DOWNLOAD CONTOH PENELITIAN SEJARAH INDONESIA


Latar Belakang dan Permasalahan
Menurut Anthony J. S. Reid, operasi Jepang untuk menaklukkan Indonesia hanya memakan waktu dua bulan, Jawa jatuh pada tanggal 8 Maret 1942. Pemerintah Belanda, dengan segala kebanggaan akan sifat-sifatnya yang kuat, praktis dan efisien, lenyap dalam sekejap. Bagi pihak militer Jepang yang memerintah Indonesia, memenangkan perang merupakan prioritas di atas segala pertimbangan yang semata-mata kolonial.[1] Penjajahan Jepang di Indonesia, lebih bersifat strategis militer karena Indonesia merupakan front terdepan dalam menghadapi kekuatan Sekutu yang berpusat di Australia, oleh karena itu pemerintahan Jepang di Indonesia merupakan pemerintahan pendudukan. Jepang menduduki Indonesia dalam rangka Perang Dunia II. Dengan demikian, penjajahan Jepang sangat berbeda dengan penjajahan Belanda.[2]
Situasi sebelum pendaratan Jepang di ibukota Batavia (Jakarta) pada tanggal 5 Maret 1942 diumumkan sebagai “kota terbuka” yang berarti bahwa kota itu tidak akan dipertahankan oleh pihak Belanda.[3] Ketika tentara Jepang menyerbu Jawa Barat (1-8 Maret 1942), Purwakarta termasuk salah satu daerah pertama yang di duduki oleh sebagian pasukan Jepang. Kantor Asisten Residen di Purwakarta dijadikan HonbuKenpetai (Markas Polisi) Jepang, namun demikian kemenangan Jepang dalam Perang Dunia II tidak berlangsung lama. Pada tanggal 7 September 1944 di dalam sidang istimewa ke-85 Teikoku Ginkai (Parlemen Jepang) di Tokyo mengumumkan tentang pendirian pemerintah Kemaharajaan Jepang, bahwa daerah Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan merdeka “kelak di kemudian hari”. Pernyataan tersebut di keluarkan karena semakin terjepitnya angkatan perang Jepang. Situasi Jepang semakin buruk di dalam bulan Agustus 1944.[4] Akhirnya, Perang Dunia II berakhir dengan menyerahnya Jerman kepada Sekutu di Eropa, serta menyerahnya Jepang kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 sebagai akibat dari dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika.[5] Dalam situasi yang demikian pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan.
Berita tentang proklamasi kemerdekaan disebarkan ke seluruh Jawa dalam beberapa jam oleh para pemuda Indonesia melalui kantor-kantor berita dan telegraf Jepang.[6] Berita proklamasi ini tidak hanya disiarkan di dalam negeri saja tetapi juga ke luar negeri. Penyiaran berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ke luar negeri pada hari pertama disalurkan pula melalui Stasion Radio Pemancar Pos Telegraf dan Telepon (PTT) di Dayeuh Kolot. Dinas Sejarah Kodam VI/Siliwangi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) mengemukakan peristiwa penyiaran berita proklamasi tersebut sebagai berikut:
”Pemancar Radio Bandung pulalah yang pertama kali mengumandangkan ”station call” bertandas-tandas ”Radio Republik Indonesia”. Kelompok Sakti Alamsyah antara lain Hasyim Rakhman, Sofyan Ju, Sam Amir, Abdul Razak, Nona Odas Sumadilaga, R. A. Darya, Sutarno Brotokusumo dan lain-lainnya, menyiarkan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada malam itu juga tanggal 17 Agustus 1945, yakni pada pukul 19.00-20.00-21.00 waktu Jawa, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris untuk kemudian ditutup dengan lagu ”Indonesia Raya” yang pada waktu itu belum lagi diresmikan menjadi lagu Kebangsaan Indonesia. Pada dasarnya kelompok ini sudah memegang senjata di tangan dan menduduki gedung radio tersebut. Selanjutnya dengan bekerjasama dengan kelompok PTT yang menangkap dan menghubungkan siaran tersebut malalui pemancar bergelombang pendek, tersiarlah Proklamasi 17 Agustus 1945 itu ke seluruh dunia pada hari itu juga di Bandung.”[7]

Setelah proklamasi kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang sebanyak tiga kali. Pada sidang PPKI yang ketiga salah satunya membahas mengenai Badan Keamanan Rakyat (BKR).[8] Hal itu antara lain merupakan respon atas perkembangan situasi sesudah proklamasi di mana banyak terjadi pertempuran dan bentrokan antara pemuda-pemuda Indonesia melawan aparat kekuasaan Jepang. Tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan guna menegakkan kedaulatan Republik serta untuk memperoleh senjata.[9] Usaha-usaha yang pada mulanya hanya bersifat perorangan untuk merebut senjata tentara Jepang, kemudian meningkat menjadi gerakan massa yang teratur untuk melucuti kesatuan-kesatuan tentara Jepang setempat. Selanjutnya gerakan itu lebih meningkat dengan pengambilalihan kekuasaan sipil dan militer beserta alat-alat perlengkapannya, yang diikuti dengan gerakan menaikkan Sang Merah Putih[10] dan meneriakkan pekik merdeka, sambil menurunkan bendera Hinomaru.[11]
Pertempuran dengan Jepang juga terjadi di ibu kota Jawa Barat, Bandung. Pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut Pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas Artilleri Constructie Winkel (ACW).[12] Perebutan pabrik senjata dan mesiu ini dipelopori oleh Angkatan Muda Pos, Telegraf dan Telepon (AMPTT) di bawah pimpinan Soetoko dan Nawawi Alif. Dalam bukunya yang berjudul Bandung Lautan Api, Suwarno Kartawiriaputra menyaksikan peristiwa tersebut sebagai berikut:


”Salah satu sasaran yang amat penting ialah perebutan Pabrik Senjata dan Mesiu (PSM) di Kiaracondong. Pada tanggal 9 Oktober 1945 sebanyak 40 orang pemuda dengan kendaraan bus berangkat ke Kiaracondong. Mereka ialah para pemuda PTT di bawah pimpinan Soetoko dan Nawawi Alif”.[13]

Kekuatan asing berikutnya yang harus dihadapi oleh Republik Indonesia (RI) adalah pasukan-pasukan Sekutu yang telah keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia II. Mereka bertugas untuk kembali menduduki wilayah Indonesia dan melucuti tentara Jepang, tugas tersebut dilaksanakan oleh Komando Asia Tenggara atau South East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten. Ia kemudian membentuk suatu komando khusus yang diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI).[14]
Tentara Sekutu mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1945 di bawah pimpinan Sir Philip Christison. Pendaratan kemudian dilakukan di Padang, Medan, dan Bandung pada tanggal 13 Oktober 1945 serta di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945.[15] Tugas tentara Sekutu di Indonesia, antara lain: (1) Menerima penyerahan resmi dari pihak Jepang, kemudian melucuti dan memulangkan tentara Jepang ke negerinya; (2) Menyelamatkan, memberikan bantuan serta mengevakuasi Allied Prisoners-of-War and Internees (APWI)[16]; (3) Mengambil alih wilayah yang diduduki Jepang; (4) Mengusut dan menuntut penjahat-penjahat perang; (5) Menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah yang diambil alih.[17]
Sebelum mendarat di Indonesia, pada tanggal 26 September, Sir Philip Christison kepada wartawan Reuter di Singapura mengatakan:
“Tugas tentara Inggris di Indonesia hanyalah melucuti senjata tentara Jepang dan menerima tawanan dan tahanan rakyat Sekutu. Mereka tidak mempunyai tugas-tugas politik di Indonesia.”[18]

Kedatangan Sekutu semula disambut dengan sikap terbuka oleh pihak Indonesia, akan tetapi setelah diketahui bahwa pasukan Sekutu datang dengan membawa orang-orang Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang hendak menegakkan kembali kekuasaan kolonial Hindia Belanda, sikap Indonesia berubah menjadi curiga dan kemudian bermusuhan. Situasi dengan cepat memburuk setelah NICA mempersenjatai kembali bekas KoninklijkNetherlands-Indisch Leger (KNIL) yang baru dilepaskan dari tahanan Jepang. Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya, dan Bandung mulai memancing kerusuhan dengan cara mengadakan provokasi.[19]
Sementara itu, Christison menyadari bahwa usaha pasukan-pasukan sekutu tidak akan berhasil tanpa bantuan Pemerintah RI sehingga Christison bersedia berunding dengan Pemerintah RI dan pada tanggal 1 Oktober 1945 mengeluarkan pernyataan yang pada hakikatnya mengakui de facto negara RI.[20] Pernyataan tersebut berbunyi:
The NRI...will be expected to continue civil administration in the area outside those accupied by British forces”. (NRI...diharapkan terus melangsungkan pemerintahan sipilnya di daerah-daerah yang tidak di duduki oleh pasukan-pasukan Inggris).[21]

Sejak adanya pengakuan de facto terhadap Pemerintah RI dari Panglima AFNEI itu, masuknya pasukan Sekutu ke wilayah RI diterima dengan lebih terbuka oleh pejabat-pejabat RI karena menghormati tugas-tugas yang dilaksanakan oleh pasukan-pasukan Sekutu. Christison juga menegaskan bahwa ia tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut status kenegaraan Indonesia. Namun kenyataannya adalah lain: di kota-kota yang didatangi oleh pasukan Sekutu sering terjadi insiden, bahkan pertempuran dengan pihak RI karena pasukan-pasukan Sekutu itu tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia.[22]
Pada tanggal 22 Agustus 1945 telah dibentuk suatu Badan Keamanan Rakyat yang bertugas untuk mengamankan negara, namun dengan adanya pendaratan Sekutu yang diboncengi NICA maka untuk menghadapinya dirubahlah BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945. Pada tanggal 7 Januari 1946 diganti menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), kemudian 25 Januari 1946 dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), terakhir pada tanggal 3 Juni 1947 menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal 15 November 1946 ditandatangani persetujuan Linggarjati yang berisi 17 pasal. Draft persetujuan tersebut tidak segera mendapat pengesahan yang mulus, baik di pihak Republik maupun di pihak Belanda. Pada 20 Desember 1946, Tweede Kamer di Belanda meratifikasi persetujuan Linggarjati setelah dilakukan voting dengan suara 65 lawan 30. Tanggal 25 Februari 1947, Badan Pekerja-Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-Sementara, bersidang di Malang guna membahas persetujuan Linggarjati. Sebagian besar yang hadir adalah pengikut Perdana Menteri Sutan Syahrir, dan terhadap para penentang persetujuan tersebut dilancarkan berbagai tekanan. Bahkan dalam rapat pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Wakil Presiden Hatta mengancam, bahwa Sukarno-Hatta akan mengundurkan diri apabila persetujuan Linggarjati tidak disahkan. Akhirnya Syahrir berhasil memuluskan pengesahan KNIP atas persetujuan Linggarjati. Pada 25 Maret 1947 persetujuan Linggarjati ditandatangani oleh Pemerintah RI dan Pemerintah Belanda di Istana Gambir (sekarang Istana Merdeka), Jakarta.[23]
Pada tanggal 21 Juli 1947 pihak Belanda melancarkan agresi militer I terhadap daerah RI sebagai pengkhianatan terhadap perjanjian Linggarjati. Untuk menguasai Jawa Barat, Belanda mengerahkan dua divisi tentaranya, dengan dugaan bahwa mereka akan mendapat perlawanan yang cukup gigih dari Siliwangi. Setelah agresi militer I itu dihentikan kembali diadakan perundingan di atas kapal laut Renville yang kemudian naskah perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Pada saat itu masyarakat Jawa Barat, termasuk Purwakarta, kehilangan pelindung karena dengan adanya perjanjian tersebut maka pasukan Siliwangi diharuskan untuk hijrah ke wilayah Jawa Tengah.
Stabilitas politik pemerintah Indonesia yang tergoncang karena adanya peristiwa Madiun dipergunakan oleh Belanda untuk melancarkan agresi militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Pagi-pagi angkatan perang Belanda menyerbu Yogyakarta sebagai ibu kota RI yang kemudian jatuh ke tangan mereka.[24] Hal ini terjadi karena pihak Belanda beranggapan bahwa RI tidak mengakui adanya gencatan senjata dan persetujuan Renville.
Dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan RI hampir segenap komponen bangsa dari berbagai daerah di Indonesia ikut berpartisipasi secara aktif. Demikian pula di daerah Purwakarta di mana masyarakat Purwakarta ikut serta terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah lama dinantikan sampai akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949.
Zaman revolusi kemerdekaan, Purwakarta menjadi salah satu daerah perjuangan dalam upaya mengusir penjajah Jepang dan menghadapi tentara Sekutu dan Belanda (NICA) yang mengambil alih kekuasaan Jepang. Gejolak perjuangan di Purwakarta untuk mempertahankan kemerdekaan makin meningkat setelah berdirinya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID), dan BKR Komandemen I-Jawa Barat.[25]
Dalam gejolak perjuangan itu, kemudian dibentuk TKR Komandemen I di tingkat provinsi Jawa Barat. Semula komandemen itu berkedudukan di Tasikmalaya, namun dipindahkan ke Purwakarta dengan pertimbangan komandemen itu harus dekat dengan kedudukan pemerintah pusat dan mengingat daerah Purwakarta menjadi basis perjuangan, maka kedudukan TKR Komandemen I-Jawa Barat dipindahkan ke Purwakarta.[26]
Dengan melihat latar belakang di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam skripsi ini, yaitu:
1.      Bagaimana jalannya revolusi fisik di Purwakarta dan kekuatan-kekuatan apa saja yang terbentuk atau muncul dan kemudian berperan dalam revolusi tersebut?
2.      Bagaimana bentuk dan perlawanan yang ditempuh selama berlangsungnya revolusi tersebut dan mengapa demikian?
3.      Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh, sehingga ditempuh bentuk perlawanan tertentu oleh masyarakat Purwakarta?

B. Ruang Lingkup
Penulisan skripsi dengan judul Revolusi Fisik di Purwakarta: PerananMasyarakat dalam Mempertahankan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 dibatasi oleh tiga lingkup atau batasan, yaitu lingkup spasial, lingkup temporal, dan lingkup keilmuan. Penentuan ruang lingkup yang terbatas dari studi sejarah bukan saja lebih praktis dan lebih mempunyai kemungkinan untuk diteliti secara empiris, tetapi juga secara metodologis lebih bisa dipertanggungjawabkan.[27]
Ruang  lingkup spasial adalah batasan yang didasarkan pada kesatuan wilayah, daerah atau tempat objek penelitian yang diteliti. Pengambilan daerah tertentu dalam hal ini Purwakarta merupakan daerah geografis yang terbatas untuk menunjukkan peristiwa yang bersifat lokal.[28] Diharapkan dengan penulisan sejarah lokal ini akan tampak peranan dari bangsa Indonesia sendiri dan dengan demikian dapat dipenuhi tuntutan yang timbul dari perspektif Indonesiacentris, karena menempatkan peranan bangsa Indonesia sendiri sebagai fokus proses sejarah.[29]
Adapun alasan lain penelitian ini karena Purwakarta yang secara geografis berdekatan dengan Jakarta ikut andil dalam persiapan proklamasi kemerdekaan RI dan Purwakarta juga merupakan basis perjuangan utama sejak Komandemen I Jawa Barat dipindahkan ke Purwakarta pada 20 Oktober 1945.
Ruang lingkup temporal merupakan batasan waktu yang telah ditentukan untuk menjadi objek penelitian. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil batasan waktu tahun 1945 sampai tahun 1949. Diawali pada tahun 1945 karena pada saat itu Indonesia baru saja diproklamasikan sebagai negara merdeka namun masih menghadapi berbagai tantangan yang berat terkait dengan eksistensi kekuatan dan kekuasaan asing, sedangkan diakhiri tahun 1949 karena adanya Konferensi Meja Bundar (KMB) yang intinya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Selama periode tersebut berbagai komponen masyarakat Purwakarta ikut berperan dalam menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan negara RI.
            Sesuai dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini, maka lingkup keilmuan skripsi ini termasuk dalam kategori sejarah politik. Dalam hal ini sejarah politik mengkaji segala persoalan yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan beserta konflik-konflik dalam aneka bentuk yang terjadi antara Indonesia dan Belanda. Politik adalah ilmu yang mempelajari suatu segi khusus dari kehidupan masyarakat yang menyangkut soal kekuasaan. Tumpuan kajiannya terhadap daya upaya memperoleh kekuasaan, usaha mempertahankan kekuasaan, penggunaan kekuasaan tersebut dan juga bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan.[30]

C. Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan tinjauan terhadap beberapa pustaka. Tinjauan pustaka memuat uraian mengenai isi pustaka secara ringkas, penjelasan tentang relevansi antara buku yang ditinjau dengan penelitian yang dilakukan sekaligus menunjukkan perbedaannya.[31]
Tinjauan pustaka pada penulisan skripsi ini diawali dengan buku yang berjudul Sejarah Purwakarta karangan A. Sobana Hardjasaputra.[32] Pada bagian awal buku ini dijelaskan mengenai kondisi umum Purwakarta yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa wilayah Purwakarta memiliki berbagai potensi, baik potensi alam maupun potensi sosial-ekonomi dan budaya. Kondisi tersebut merupakan hasil proses berkesinambungan dari masa-masa sebelumnya.
 Secara garis besar bagian-bagian dalam buku ini dipisahkan menjadi dua periode, yaitu masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Masa penjajahan mencakup masa Kompeni/Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), masa Hindia-Belanda, dan masa pendudukan Jepang. Untuk masa kemerdekaan mencakup masa revolusi kemerdekaan, masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), dan masa Orde Baru.
Terdapat beberapa aspek yang menjadi isi atau substansi dari masalah yang dijelaskan, yaitu aspek pemerintahan termasuk politik, dan aspek sosial-ekonomi mencakup penduduk, ekonomi dan sosial-budaya. Aspek yang disebutkan terakhir mencakup pendidikan, agama, dan kesenian. Aspek-aspek tersebut diuraikan dan dibahas berdasarkan data yang diperoleh, baik dari sumber primer maupun sekunder yang cukup akurat. Relevansi buku ini dengan tema yang diteliti ialah dalam buku ini menguraikan mengenai kondisi dan situasi Purwakarta dengan lengkap, terutama pada bab IV yaitu tentang masa kemerdekaan yang menyoroti peristiwa di Purwakarta pada saat proklamasi kemerdekaan hingga perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Di sini dijelaskan bahwa pada saat itu berita tentang proklamasi kemerdekaan disambut dengan suka cita oleh masyarakat Purwakarta, di samping itu masyarakatnya juga mempunyai kesadaran untuk mempertahankan kemerdekaan serta melakukan perlawanan terhadap Tentara Jepang yang saat itu sebagian besar masih berada di wilayah Purwakarta. Akan tetapi terdapat sedikit kekurangan yaitu tidak menjelaskan secara terperinci tentang lahirnya organisasi-organisasi militer maupun semi militer yang terdapat di Purwakarta
Pustaka yang kedua ialah karya Drs. Djunaedi A. Sumantapura, buku ini juga berjudul Sejarah Purwakarta yang terdiri dari tujuh jilid buku.[33] Masing-masing buku menggambarkan keadaan Purwakarta yang saling berkaitan satu sama lain. Dari ketujuh buku tersebut terdapat dua buku yang relevan dengan tema yang diangkat, yaitu buku jilid kedua dan jilid ketiga.
Buku jilid kedua menjabarkan kondisi dan situasi yang terjadi di Purwakarta antara tahun 1942 sampai 1947, yang mana pada tahun tersebut dibahas mengenai keadaan Purwakarta pada masa pendudukan Jepang, persiapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga pada keadaan Purwakarta menjelang Agresi Militer Belanda I. Dalam buku ini dijelaskan bahwa selama masa pendudukan Jepang, masyarakat Purwakarta hidup serba kekurangan tetapi mereka mempunyai semangat kebangsaan yang kuat untuk menjadi bangsa yang merdeka. Hal tersebut dapat dilihat bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sama seperti di daerah lainnya di Purwakarta juga terjadi pelucutan senjata dan perlawanan terhadap tentara Jepang yang dilakukan oleh para pemuda, kemudian didirikan pula lembaga-lembaga pemerintahan dan badan-badan perjuangan seperti BKR, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Hisbullah, Angkatan Muda Indonesia (AMI), dan Tentara Republik Indonesia Kereta Api (TRI KA). Meskipun dalam buku ini menjelaskan tentang adanya badan-badan perjuangan, namun hal tersebut tidak dipaparkan secara menyeluruh sehingga hal tersebut menjadi salah satu kekurangan dalam buku ini.
Dalam bukunya, Djunaedi juga menyoroti berbagai peristiwa mejelang Agresi Militer Belanda I, di mana terjadi berbagai peristiwa seperti serangan ke markas Belanda, penghadangan konvoi Tentara Belanda yang akan menuju Ibukota Jawa Barat, dan adanya peran serta rakyat Purwakarta dalam serangan-serangan umum yang bertujuan untuk melindungi wilayah Purwakarta dan sekitarnya.
Buku jilid ketiga[34] merupakan lanjutan dari buku jilid kedua, yang membahas mengenai keadaan dan peranan masyarakat Purwakarta dalam Agresi Militer Belanda I sampai Agresi Militer Belanda II, dijelaskan bahwa pada saat itu terjadi serangan ke berbagai daerah di Purwakarta yang dilakukan oleh Tentara Belanda seperti di Rancadarah, Plered, Pasawahan, dan sebagainya, di mana pada saat bersamaan TNI, Badan-badan Perjuangan, dan Pemerintah Sipil RI telah pergi mengungsi ke hutan. Pada saat TNI diharuskan hijrah ke Jawa Tengah, di Purwakarta dibentuk suatu oraganisasi militer yang disebut TNI FieldPreparation Barisan Hitam/88 (TNI FP BH/88), anggotanya berasal dari TNI yang tidak ikut hijrah ke Jawa Tengah.
Dalam buku ini dijelaskan pula mengenai pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949, sampai pada perayaan Kemerdekaan RI yang kelima di Purwakarta. Buku ini baik sebagai bahan bacaan penambah pengetahuan, namun sayangnya tidak ditulis dalam bentuk penulisan ilmiah sebagaimana karya ilmiah lainnya. Selain itu, meskipun buku ini membahas mengenai peranan masyarakat Purwakarta dalam mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan akan tetapi terdapat perbedaannya dengan skripsi ini, di mana penulis akan berusaha untuk mengembangkan lagi mengenai peranan masyarakat di Purwakarta pada masa revolusi fisik
Pustaka ketiga berjudul Mari Bung, Rebut Kembali karangan R. H. A. Saleh.[35] Secara garis besar buku ini menggambarkan tentang fase-fase penting dari perjalanan korps Siliwangi serta peranannya. Dalam buku dipaparkan mengenai sejarah awal pembentukan organisasi ketentaraan di Jawa Barat sebelum dideklarasikannya Divisi Siliwangi. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa penataan atau manajemen organisasi ketentaraan masih belum stabil dan mantap. Keadaan ini mencerminkan pula kebijakan pemerintah RI yang pada waktu itu masih mencari bentuk organisasi ketentaraan yang tepat.
 Di dalam masa pencarian bentuk organisasi itulah, pernah lahir suatu organisasi kemiliteran yang dikenal dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dalam masa pembentukan TKR inilah kemudian diputuskan untuk membagi teritori pulau Jawa menjadi tiga Komandemen, yaitu Komandemen I-Jawa Barat (Mayjen Didi Kartasasmita/mantan KNIL), Komandemen II-Jawa Tengah (Mayjen Suratman/mantan KNIL), dan Komandemen III-Jawa Timur (Mayjen Mohamad/mantan Pembela Tanah Air (PETA). Ketiga Kepala Komandemen itu diangkat berdasarkan surat pengangkatan pada tanggal 19 Desember 1945 No. 44/MT, yang ditandatangani oleh Letjen Urip Sumohardjo, Kepala Markas Besar Umum TKR.
Buku ini sangat relevan dengan tema yang diteliti karena di dalamnya dipaparkan mengenai Komandemen I-Jawa Barat. Terdapat alasan mengapa masa Komandemen ini begitu istimewa dan perlu dituliskan, karena dari ketiga Komandemen tersebut, hanya Komandemen I-Jawa Barat yang berhasil dibentuk, selain itu dalam masa Komandemen yang hanya berumur tujuh bulan ini telah terjadi peristiwa-peristiwa heroik seperti Bandung Lautan Api, Pertempuran di Karawang-Bekasi, Kepahlawanan para Kadet Akedemi Militer Tangerang dalam Peristiwa Lengkong, serta Penghadangan terhadap Konvoi Sekutu dan Belanda. Markas Komandemen I-Jawa Barat pada awalnya berada di kota Tasikmalaya dengan alasan bahwa kota tersebut secara taktis militer lebih cocok dari pada Bandung, namun pada perkembangannya markas Komandemen I-Jawa Barat dipindahkan ke Purwakarta yang dianggap strategis karena berada dekat dengan Pemerintah RI di Jakarta.
Dalam perjalanan selama periode pada tahun 1945 hingga 1946, Komandemen I telah dihadapkan pada musuh-musuh yang sangat tangguh, mulai dari tentara Jepang, tentara Sekutu (Inggris) dan tentara Belanda, serta berbagai unsur-unsur kekuatan politik di dalam negeri (internal) yang memunculkan gejolak-gejolak sosial yang menambah pekerjaan rumah Komandemen I. Pada bagian akhir buku ini ditutup dengan gambaran situasi Jawa Barat saat proses perubahan atau peleburan dari Komandemen I menjadi Divisi I. Kelemahan buku ini ialah kurangnya penjelasan mengenai peran serta masyarakat dalam penunjang dan operasi Tentara Nasional Indonesia.
Pustaka terakhir berjudul Siliwangi dari Masa ke Masa Jilid 1 karangan Sudjono Dirdjosisworo.[36] Pada awal buku ini diuraikan mengenai sejarah singkat Prabu Siliwangi yang merupakan Raja Pakuan Pajajaran yang memerintah selama 39 tahun (1474-1513). Nama tokoh Prabu Siliwangi inilah yang sekarang diabadikan oleh KODAM VI sebagai julukannya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa Barat. Bukanlah sesuatu hal yang kebetulan belaka bahwa Siliwangi berhasil dalam pengabdiannya sebagai abdi negara dan pembela rakyat, sehingga sebutan Siliwangi untuk kesatuan TNI-AD di Jawa Barat ini merupakan penerus tokoh Prabu Siliwangi yang pada masa pemerintahannya sangat termasyhur karena arif dan bijaksana serta keberhasilannya dalam memajukan negara Kerajaan Pajajaran.
Buku ini banyak menyoroti tentang peranan dan pengalaman Tentara Siliwangi dalam kurun waktu tiga tahun yaitu mulai tahun 1946-1949. Peranan dan pengalaman tersebut terdapat dalam berbagai peristiwa yang ada di Jawa Barat seperti pertempuran di Bekasi, Cileungsir, Sumedang, Karawang, Cikampek dan sebagainya. Selain peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jawa Barat, dipaparkan pula mengenai peranan tentara Siliwangi dalam Agresi Militer Belanda I, hijrah dan long marchnya Tentara Siliwangi, peranannya dalam membasmi Partai Komunis Indonesia (PKI)-Muso di Madiun hingga pada Agresi Militer Belanda II. Selain itu, buku ini juga membahas sekitar pembentukan Divisi Siliwangi yang sebelumnya berbentuk Komandemen I-Jawa Barat, di mana pada mulanya anggota dari Divisi Siliwangi adalah pasukan-pasukan bersenjata warga Jawa Barat yang dibentuk, disusun dan bergerak di Jawa Barat.
Buku ini relevan dengan masalah yang diteliti dalam penulisan skripsi ini karena terdapat keterangan-keterangan yang dapat membantu untuk melengkapai tentang peranan militer khususnya di wilayah Jawa Barat serta berisi tentang pembentukan Komandemen I Jawa Barat yang wilayahnya meliputi Jawa Barat dan Jakarta Raya. Komandemen I Jawa Barat ini membawahi 13 resimen yaitu Resimen I Banten, Resimen II Bogor, Resimen III Sukabumi, Resimen IV Tengerang, Resimen V Cikampek, Resimen VI Purwakarta, Resimen VII Cirebon, Resimen VIII Bandung, Resimen IX Padalarang, Resimen X Garut, Resimen XI Tasikmalaya, resimen XII Jatiwangi, dan Resimen XIII Sumedang.
Untuk Resimen VI Purwakarta pada saat itu berada dibawah pimpinan Letnan Kolonel Sumarna, yang kemudian Resimen VI Purwakarta ini di masukkan ke dalam Divisi II/Cirebon di bawah pimpinan Kolonel Asikin yang kemudian diganti oleh Jenderal Mayor Abdulkadir. Kelemahan dari buku ini ialah kurangnya menyoroti tentang peranan masyarakat Jawa Barat, serta tidak adanya tulisan mengenai pertempuran maupun peristiwa heroik yang terjadi di Purwakarta, di samping itu buku ini juga kurangnya menjelaskan tentang ke-13 Resimen yang dibawahi oleh Komandemen I Jawa Barat.


D. Kerangka Teoritis dan Pendekatan
Langkah yang sangat penting dalam membuat analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka pemikiran yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu.[37] Di samping itu, penggambaran terhadap suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan, yaitu dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan lain sebagainya. Hasil-hasil pelukisannya akan sangat ditentukan oleh pendekatan yang dipakai.[38]
Penulisan skripsi ini akan mengkaji mengenai revolusi fisik yang terjadi di Purwakarta dan peranan masyarakat dalam mempertahankan kemerdekaan, dengan demikian akan dipakai suatu pendekatan dari ilmu sosiologi dan ilmu politik. Pendekatan dari ilmu sosiologi dan ilmu politik[39] ini bertujuan untuk menganalisis tentang konsep konflik, revolusi, peranan dan kepemimpinan.

Para sosiolog membedakan dua jenis konflik yang masing-masing memiliki sebab yang berbeda dalam permunculannya. Pertama, konflik yang bersifat destruktif, yaitu konflik yang disebabkan karena adanya rasa kebencian dari mereka yang terlibat konflik. Kedua, konflik yang fungsional, yaitu konflik yang menghasilkan perubahan atau konsensus baru yang bermuara pada perbaikan.[40]
Secara harfiah konflik berarti percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Konflik sebagai perselisihan terjadi akibat adanya perbedaan, persinggungan, dan pergerakan. Ketika berfikir tentang konflik, maka akan tertuju pada bayangan rasa sakit, penderitaan, dan kematian yang muncul sebagai dampak dari kekerasan atau peperangan.[41] Teori konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat merupakan pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas dan menekankan peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.[42] Menurut Lewis Coser, konflik adalah perjuangan mengenai nilai serta tuntutan atas status, kekuasan dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencenderai atau melenyapkan lawan.[43]
Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif, atau fungsi positif, dalam masyarakat. Coser membedakan dua tipe dasar konflik yaitu yang realistik dan non realistik. Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, seperti sengketa sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber sengketa itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi dengan baik. Konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Antara konflik yang pertama dan kedua, konflik yang non realistik lah cenderung sulit untuk menemukan solusi konflik atau sulitnya mencapai konsensus dan perdamaian. Bagi Coser sangat memungkinkan bahwa konflik melahirkan kedua tipe ini sekaligus dalam situasi konflik yang sama.[44]
Dengan adanya konflik tersebut maka timbul keadaan di mana suatu kelompok yang merasa tertekan atau tidak puas terhadap sistim yang ada akan melakukan suatu perlawanan dengan tujuan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik yang menjelma dalam bentuk kekerasan bersenjata seperti perang, pemberontakan atau revolusi.[45]
Revolusi dapat dilihat sebagai loncatan dua tahap, pertama, loncatan dari penjajahan ke alam merdeka, dan kedua, loncatan dari masyarakat yang diwariskan oleh zaman penjajahan dan perang kemerdekaan yang bertahun-tahun ke suatu masyarakat Indonesia yang modern, adil, makmur dan mencerminkan kepribadian kita dan yang mempunyai swadaya untuk perkembangan yang terus-menerus.[46] Di Indonesia kata revolusi mempunyai makna yang khas. Kondisi politik, sosial ekonomis, kebudayaan, menyebabkan pengertian revolusi itu erat hubungannya dengan kemerdekaan. Tiada kemerdekaan tanpa revolusi, dan tiada revolusi tanpa kemerdekaan.[47]
Pada waktu itu di Indonesia terjadi suatu perubahan yang fundamentil dan dalam waktu yang singkat, yang bersifat fundamentil ialah perubahan dari bangsa yang terjajah beralih menjadi bangsa yang merdeka. Dengan sendirinya terjadi juga perubahan struktur dari pemerintahan selama penjajahan ke alam struktur pemerintahan yang baru dari bangsa yang merdeka. Semua berlangsung dalam waktu yang amat singkat.[48]
Dilihat dari sudut yang lain, yaitu dari sudut kenegaraan, maka selama revolusi tersebut sebenarnya terjadi peperangan antara negara Indonesia yang merdeka yaitu RI dan kerajaan Belanda sebagai lawan, karena peperangan itu dilihat dari sudut Indonesia adalah peperangan yang berhubungan untuk mempertahankan kemerdekaannya, maka ia disebut perang kemerdekaan. Masa perang kemerdekaan ini berlangsung dari tahun 1945-1949. Pada akhir 1949 Belanda dengan resmi mengakui kedaulatan RI, dan sesuai dengan istilah KMB disebut: Penyerahan Kedaulatan. Dalam perang kemerdekaan itu akhirnya Belanda lah yang kalah dengan konsekuensi diadakannya KMB tersebut. Atas dasar pandangan ini maka periode tahun 1945-1949 dinamakan periode ”perang kemerdekaan” atau ”Independence War”. [49]
Dalam revolusi juga sering menonjolkan unsur-unsur kekerasan (violence), karena dalam suasana revolusi memang ada kecenderungan untuk mem-”beres”-kan segala sesuatu melalui jalan pintas, yang sering berarti mempergunakan kekerasan. Disebut juga unsur exaltation yang barangkali paling tepat diterjemahkan dengan perkataan semangat atau jiwa revolusi.[50]
Suatu revolusi tidak terjadi begitu saja, seolah-olah dia jatuh dari atas. Dalam suatu revolusi maka kekuatan-kekuatan dan cita-cita yang telah lama tertekan dan terpendam muncul kepermukaan, sering dengan disertai oleh kemarahan dan kadang-kadang keganasan. Revolusi 1945 digerakkan oleh kekuatan-kekuatan dan cita-cita yang telah berkembang selama pergerakan kebangsaan sejak permulaan abad ke 20 yang telah memperoleh sifat-sifat yang lebih militan selama tahun-tahun pendudukan Jepang.[51]
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa pada satu pihak Revolusi 1945 itu adalah reaksi dan penolakan terhadap penjajahan Belanda dan juga terhadap pendudukan Jepang. Setelah berlangsung perebutan kekuasaan terhadap Jepang, maka perhatian pemerintah pusat terutama tertuju kepada penyelesaian revolusi nasional berhubungan dengan kembalinya penjajah yang lama, Hindia-Belanda. Bagi perasaan golongan-golongan yang luas di kalangan rakyat, revolusi ini bukan saja tertuju kepada pengenyahan pegawai-pegawai dan swapraja yang sejak dahulu menjadi sendi-sendi dari pemerintahan jajahan. Banyak pula rasa dendam orang-seorang yang diwariskan oleh zaman yang lalu. Maka zaman revolusi dirasakan sebagai saat kesempatan untuk membalas pula.[52]
Lahirnya revolusi Indonesia dan keberhasilan dalam mengusir penjajah salah satunya adalah berkat adanya kesadaran dan peranan masyarakat.[53] Menurut Soerjono Soekanto, peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan.[54] Peranan juga merupakan bagian dari tugas utama yang harus dilakukan dan terdapat sesuatu yang diharapkan orang lain melalui proses sosial, yaitu hubungan timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama.[55]
Peranan masyarakat tentunya tidak terlepas dari adanya peranan pemimpin. Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya). Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau sesuatu badan yang menyebabkan gerak dari warga masyarakat. Kepemimpinan ada yang bersifat resmi (formal leadership) yaitu kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan. Ada pula kepemimpinan karena pengakuan masyarakat akan kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan.[56]
Suatu perbedaan yang mencolok antara kepemimpinan yang resmi dengan yang tidak resmi (informal leadership) adalah kepemimpinan yang resmi di dalam pelaksanaannya selalu harus berada di atas landasan-landasan atau peraturan-peraturan resmi sehingga dengan demikian daya cakupnya agak terbatas, sedangkan kepemimpinan tidak resmi mempunyai ruang lingkup tanpa batas-batas resmi, karena kepemimpinan demikian didasarkan atas pengakuan dan kepercayaan masyarakat.[57]
Hubungan konsep kepemimpinan dengan penulisan ini ialah adanya peranan tokoh-tokoh pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat dalam organisasi perjuangan yang mengkoordinir masyarakat untuk turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan. Konsep-konsep di atas cukup relevan jika diterapkan dalam tema yang akan dikaji, mengingat pada waktu itu Indonesia telah lama mengalami masa penjajahan yang akhirnya mengantarkan pada suatu keadaan di mana masyarakat Purwakarta khususnya merasa tertekan dan melakukan perlawanan yang juga didukung oleh pemerintah, kekuatan militer dan kekuatan-kekuatan perlawanan rakyat sebagai ujung tombak.

E. Metode Penelitian dan Penggunaan Sumber
Penulisan penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu suatu perangkat aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang secara sistematis dipergunakan untuk mencari atau menggunakan sumber-sumber sejarah yang kemudian menilai sumber-sumber itu secara kritis dan menyajikan hasil-hasil dari penelitian itu umumnya dalam bentuk tertulis dari hasil-hasil yang telah dicapai.
            Menurut Louis Gottschalk, metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Dengan metode sejarah juga dapat merekonstruksi sebanyak-banyaknya peristiwa masa lampau manusia.[58] Metode penelitian sejarah kritis terdiri dari empat tahapan pokok yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi fakta dan historiografi.[59]
            Tahap pertama adalah heuristik, berasal dari bahasa Yunani hueriskein artinya memperoleh.[60] Heuristik merupakan suatu proses untuk mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber-sumber yang dicari dan dikumpulkan ialah sumber-sumber yang relevan dengan tema yang diteliti.
            Sumber primer penulisan ini berasal dari arsip-arsip dan dokumen-dokumen yang relevan, serta surat kabar-surat kabar sejaman. Arsip-arsip tersebut baik yang tersimpan di Arsip Daerah Jawa Barat, Arsip Nasional Republik Indonesia, perorangan, maupun arsip yang tersimpan dalam dinas-dinas militer seperti Museum Wangsit Mandala Siliwangi. Arsip secara keseluruhan merupakan bahan-bahan penting sebagai pemberi informasi dasar tentang banyak aspek sejarah Indonesia modern,[61] sedangkan beberapa surat kabar sejaman diperoleh penulis dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, surat kabar itu di antaranya Berita Indonesia, Merdeka, dan Asia Raya. Surat kabar tersebut berisi tentang Sidang KNIP, Maklumat Pemerintah, dan peristiwa lainnya yang dianggap relevan dengan penulisan skripsi ini.
            Selain itu untuk menunjang data yang diperoleh dari arsip-arsip maupun dokumen, penulis juga mengadakan wawancara dengan informan yang terdiri dari tiga kategori, yaitu: orang yang terlibat langsung dalam peristiwa (pelaku, pendukung, pengikut), orang yang tidak terlibat langsung tetapi menyaksikan, dan orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa, tetapi mendapat keterangan dari orang yang terlibat dalam peristiwa. Wawancara dilakukan dengan beberapa veteran dan tokoh masyarakat yang ada di Purwakarta, antara lain Rd. Moch. Affandi Bratakusumah (Pemimpin Lasykar Buruh Purwakarta dan Ketua Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Purwakarta), Rd. Gar Subagdja (Pemuda Pejuang dan Mantan Guru SMA Saba Siswa Purwakarta) dan Djunaedi A. Sumantapura (Pemuda Pejuang dan Mantan Guru SMA N 1 Purwakarta).
            Sumber sekunder diperoleh melalui riset kepustakaan meliputi buku-buku karangan ilmiah yang ditulis oleh para ahli yang relevan dengan masalah yang diteliti. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa melalui penelusuran dan penelaahan kepustakaan, dapat dipelajari bagaimana mengungkapkan buah pikiran secara sistematis dan kritis.[62] Di samping itu data juga diperoleh dari internet dan majalah atau jurnal yang terkait dengan permasalahan-permasalahan yang dikaji. Sumber sekunder digunakan untuk membantu dalam melengkapi data yang tidak diperoleh dari sumber primer.
            Tahap kedua adalah kritik sumber yang terdiri dari dua macam kritik, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern penting dilakukan guna mengetahui otensitas atau keaslian sumber dan perlu atau tidaknya untuk mendukung penulisan, sedangkan kritik intern penting untuk menentukan apakah sumber yang digunakan kredibel, dapat dipercaya atau tidak. Kritik ini dilakukan terhadap informasi yang diperoleh dari para informan, yang kemudian dibandingkan dengan data dari berbagai sumber tertulis yang relevan dan telah diseleksi, begitu pula sebaliknya dilakukan kritik dengan membandingkan data dari sumber tertulis dengan keterangan yang diperoleh dari informan. Di samping itu, kritik juga dilakukan terhadap berbagai arsip atau dokumen yang telah diperoleh, antara lain seperti: peta, foto-foto dan sebagainya.  
Tahap ketiga adalah interpretasi, yaitu menafsirkan dan menyusun fakta-fakta sehingga menjadi keseluruhan yang masuk akal dan relevan dengan masalah yang diteliti. Disini fakta disintesiskan dalam bentuk kata-kata dan kalimat, sehingga dapat dibaca dan dimengerti.
Tahap yang terakhir adalah Historiografi, yaitu proses penulisan kembali peristiwa sejarah, dalam tahap ini fakta yang sudah disentesiskan dan dianalisis harus dipaparkan dalam bentuk tulisan dengan menggunakan bahasa yang baik, sehingga dapat dipahami oleh pembaca.

F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan pembahasan penelitian ini dibagi dalam lima bab, yaitu:
Bab I, merupakan pendahuluan yang antara lain berisi latar belakang dan permasalahan, ruang lingkup, tinjauan pustaka, kerangka teoritis dan pendekatan, metode penelitian dan penggunaan sumber, serta sistematika penulisan.
Bab II, berisi tentang gambaran umum daerah Purwakarta pada masa revolusi fisik, yang meliputi: kondisi geografis dan kondisi masyarakat Purwakarta. Pada kondisi masyarakat ini akan diuraikan mengenai kondisi sosial ekonomi, kondisi sosial politik, dan kondisi sosial budaya.
Bab III, membahas mengenai keadaan Purwakarta pada masa awal Revolusi Kemerdekaan. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai berita dan sambutan proklamasi kemerdekaan di Purwakarta, penngambil alihan kekuasaan dari tangan Jepang, pembentukan BKR dan badan-badan perjuangan, serta ditetapkannya Purwakarta sebagai markas Komandemen I-Jawa Barat.
Bab IV, mengemukakan tentang Revolusi Fisik yang terjadi di Purwakarta, di mana terdapat peranan masyarakat Purwakarta dalam menghadapi agresi militer Belanda I dan peranan masyarakat Purwakarta dalam agresi militer Belanda II, serta keadaan Purwakarta setelah perang kemerdekaan.
Bab V, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan bab yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini.

0 Response to "DOWNLOAD CONTOH PENELITIAN SEJARAH INDONESIA"

Posting Komentar

wdcfawqafwef

BACKLINK OTOMATIS GRATIS JURAGAN.