1. Filsafat
dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Sebelum
Metode Penelitian dengan pendekatan Kualitatif atau Metode Penelitian
Kualitatif, akan diuraikan terlebih dahulu apa Perbedaan Ilmu PengetahuanIlmiah (Science) dengan Pengetahuan (Knowledge). Mengapa demikian ? Kedua
metode Penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif digunakan untuk
mengembangkan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science).
Oleh karena itu perlu diketahui terlebih dahulu apa itu Ilmu Pengetahuan Ilmiah
dan perbedaanya dengan Pengetahuan. Dengan dipahaminya Ilmu Pengetahuan Ilmiah
akan mempermudah memahami Metode Penelitian Ilmiah dan kaitan antara keduanya.
Berikut ini akan disinggung sedikit tentang Filsafat dan perbedaannya dengan
Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Secara
singkat dapat dikatakan Filsafat adalahrefleksi kritis yang radikal. Refleksi adalah upaya memperoleh pengetahuan
yang mendasar atau unsur-unsur yang hakiki atau inti. Apabila ilmu pengetahuan
mengumpulkan data empiris atau data fisis melalui observasi atau eksperimen,
kemudian dianalisis agar dapat ditemukan hukum-hukumnya yang bersifat
universal. Oleh filsafat hukum-hukum yang bersifat universal tersebut direfleksikan atau dipikir secara kritis dengan tujuan untuk mendapatkan unsur-unsur
yang hakiki, sehingga dihasilkan pemahaman yang mendalam. Kemudian apa
perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Filsafat. Apabila ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif dan
ilmiah, maka filsafat sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di
samping membuka dan memperdalam pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan objeknya dibatasi, misalnya Psikologi
objeknya dibatasi pada perilaku manusia saja, filsafat objeknya tidak dibatasi
pada satu bidang kajian saja dan objeknya dibahas secara filosofis atau
reflektif rasional, karena filsafat mencari apa yang hakikat. Apabila ilmu
pengetahuan tujuannya memperoleh data
secara rinci untuk menemukan pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari
hakiki, untuk itu perlu pembahasan yang mendalam. Apabila ilmu pengetahuannya
datanya mendetail dan akurat tetapi tidak mendalam, maka filsafat datanya tidak
perlu mendetail dan akurat, karena yang dicari adalah hakekatnya, yang penting
data itu dianalisis secara mendalam.
Persamaan
dan perbedaan antara Filsafat dan Agama adalah sebagai berikut. Persamaan
antara Filsafat dan Agama adalah semuanya mencari kebenaran. Sedang
perbedaannya Filsafat bersifat rasional yaitu sejauh kemampuan akal budi,
sehingga kebenaran yang dicapai bersifat relatif. Agama berdasarkan iman atau
kepercayaan terhadap kebenaran agama, karena merupakan wahyu dari Tuhan YME,
dengan demikian kebenaran agama bersifat mutlak.
Kajian
filsafat meliputi ruang lingkup yang disusun berdasarkan pertanyaan filsuf
terkenal Immanuel Kant sebagai berikut:
1) Apa yang dapat saya ketahui (Was kan ich wiesen)
Pertanyaan
ini mempunyai makna tentang batas mana yang dapat dan mana yang tidak dapat
diketahui. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah suatu fenomena. Fenomena selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini
menjadi dasar bagi Epistomologi.
Eksistensi Tuhan bukan merupakan kajian Epistomologi karena berada di luar
jangkauan indera. Bahan kajian Epistomologi adalah yang berada dalam jangkauan
indera. Kajian Epistomologi adalah fenomena sedang eksistensi Tuhan merupakan
objek kajian Metafisika. Epistomologi meliputi: Logika Pengetahuan (Knowledge), Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dan Metodologi.
2) Apa yang harus saya lakukan (Was soll ich tun)
Pertanyaan
ini mempersoalkan nilai (values), dan
disebut Axiologi, yaitu nilai-nilai
apa yang digunakan sebagai dasar dari perilaku. Kajian Axiologi meliputi Etika atau nilai-nilai keutamaan atau
kebaikan dan Estetika atau
nilai-nilai keindahan.
3) Apa yang dapat saya harapkan (Was kan ich hoffen)
Pengetahuan
manusia ada batasnya. Apabila manusia sudah sampai batas pengetahuannya,
manusia hanya bisa mengharapkan. Hal ini berkaitan dengan being, yaitu hal yang ”ada”, misalnya permasalahan tentang apakah
jiwa manusia itu abadi atau tidak, apakah Tuhan itu ada atau tidak.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab oleh Ilmu Pengetahuan Ilmiah,
tetapi oleh Religi. Refleksi tentang Being
terbagi lagi menjadi dua, yaitu Ontologi
yaitu struktur segala yang ada, realitas, keseluruhan objek-objek yang ada, dan
Metafisika yaitu hal-hal yang berada
di luar jangkauan indera, misalnya jiwa dan Tuhan.
Bidang-bidang
kajian Filsafat, apabila digambarkan adalah sebagaimana bagan berikut:
Selanjutnya
akan dibahas salah satu bidang kajian Filsafat, yaitu Filsafat Ilmu
Pengetahuan, karena bidang ini membahas hakekat ilmu pengetahuan ilmiah (science). Hakekat ilmu pengetahuan dapat
ditelusuri dari 4 (empat) hal, yaitu:
1) Sumber ilmu pengetahuan itu dari mana.
Sumber ilmu
pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Ilmu
pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio).
Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme.
Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya berdasarkan pada empiri
atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David Hume (1711-1776), John
Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan
ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang
digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang rasionalisme menggunakan metode
deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham empirisme dan
rasionalisme.
2) Batas-batas Ilmu Pengetahuan.
Menurut
Immanuel Kant apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu hanya
terbatas pada gejala atau fenomena,
sedang substansi yang ada di dalamnya tidak dapat kita tangkap dengan panca
indera disebut nomenon. Apa yang
dapat kita tangkap dengan panca indera itu adalah penting, pengetahuan tidak
sampai disitu saja tetapi harus lebih dari sekedar yang dapat ditangkap panca
indera.
Yang dapat
kita ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan panca indera
adalah hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada di luar ruang dan
waktu adalah di luar jangkauan panca indera kita, itu terdiri dari 3 (tiga) ide
regulatif: 1) ide kosmologis yaitu tentang semesta alam (kosmos), yang tidak
dapat kita jangkau dengan panca indera, 2) ide psikologis yaitu tentang psiche atau jiwa manusia, yang tidak
dapat kita tangkap dengan panca indera, yang dapat kita tangkap dengan panca
indera kita adalah manifestasinya misalnya perilakunya, emosinya, kemampuan
berpikirnya, dan lain-lain, 3) ide teologis yaitu tentang Tuhan Sang Pencipta
Semesta Alam.
3) Strukturnya.
Yang ingin
mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran. Yang ingin kita ketahui
adalah objek, diantara kedua hal tersebut seakan-akan terdapat garis demarkasi
yang tajam. Namun demikian sebenarnya dapat dijembatani dengan mengadakan dialektika. Jadi sebenarnya garis
demarkasi tidak tajam, karena apabila dikatakan subjek menghadapi objek itu
salah, karena objek itu adalah subjek juga, sehingga dapat terjadi dialektika.
4) Keabsahan.
Keabsahan
ilmu pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa ilmu pengetahuan itu sah
berarti membahas kebenaran. Tetapi kebenaran itu nilai (axiologi), dan
kebenaran itu adalah suatu relasi. Kebenaran adalah kesamaan antara gagasan dan
kenyataan. Misalnya ada korespondensi yaitu persesuaian antara gagasan yang terlihat
dari pernyataan yang diungkapkan dengan realita.
Terdapat 3
(tiga) macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
a) Teori Korespondensi, terdapat persamaan
atau persesuaian antara gagasan dengan kenyataan atau realita.
b) Teori Koherensi, terdapat keterpaduan
antara gagasan yang satu dengan yang lain. Tidak boleh terdapat kontradiksi
antara rumus yang satu dengan yang lain.
c) Teori Pragmatis, yang dianggap benar
adalah yang berguna. Pragmatisme adalah tradisi dalam pemikiran filsafat yang
berhadapan dengan idealisme, dan realisme. Aliran Pragmatisme timbul di Amerika
Serikat. Kebenaran diartikan berdasarkan teori kebenaran pragmatisme.
Untuk mengetahui penerapan 3
(tiga) macam teori tersebut pada bidang apa, periksa skema berikut ini.
Ilmu-ilmu Formal
|
Ilmu-ilmu Empiris Induktif
|
Ilmu-ilmu Terapan
|
|||
Deduktif:
Logika
Matematika
|
Alam
unorganik:
karang, batu, air.
|
Hayati:
Kehidupan
|
Sosial:
Manusia ber masyarakat
|
Budaya:
Manusia dengan ekspresinya
|
|
Ukuran kebenaran Koherensi
menghadapi rumusan-rumusan yang tidak boleh
kontradiksi satu sama lain
|
Ukuran kebenaran Korespondensi
kesesuaian antara gagasan dengan realita/antara gagasan dengan fakta.
|
Pragmatis
apa yang bermanfaat itu benar.
|
|||
Gambar 4: Penerapan Teori Korespondensi, Koherensi
dan Pragmatis.
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Ciri-ciri
Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Filsafat
Ilmu Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang menelaah baik ciri-ciri ilmu
pengetahuan ilmiah maupun cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan ilmiah.
Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah adalah sebagai berikut:
1) Sistematis.
Ilmu
pengetahuan ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan ilmiah dalam
upaya menjelaskan setiap gejala selalu berlandaskan suatu teori. Atau dapat
dikatakan bahwa teori dipergunakan sebagai sarana untuk menjelaskan gejala dari
kehidupan sehari-hari. Tetapi teori itu sendiri bersifat abstrak dan merupakan
puncak piramida dari susunan tahap-tahap proses mulai dari persepsi
sehari-hari/ bahasa sehari-hari, observasi/konsep ilmiah, hipotesis, hukum dan
puncaknya adalah teori.
Ciri-ciri
yang sistematis dari ilmu pengetahuan ilmiah tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
a) Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari).
Dari
persepsi sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang biasanya disampaikan
dalam bahasa sehari-hari diobservasi agar dihasilkan makna. Dari observasi ini
akan dihasilkan konsep ilmiah.
b) Observasi (konsep ilmiah).
Untuk
memperoleh konsep ilmiah atau
menyusun konsep ilmiah perlu ada definisi. Dalam menyusun definisi perlu
diperhatikan bahwa dalam definisi tidak boleh terdapat kata yang didefinisikan.
Terdapat 2 (dua) jenis definisi, yaitu: 1) definisi sejati, 2) definisi
nir-sejati.
Definisi
sejati dapat diklasifikasikan dalam:
1) Definisi
Leksikal. Definisi ini
dapat ditemukan dalam kamus, yang biasanya bersifat deskriptif.
2) Definisi
Stipulatif. Definisi ini
disusun berkaitan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian tidak dapat
dinyatakan apakah definisi tersebut benar atau salah. Benar atau salah tidak
menjadi masalah, tetapi yang penting adalah konsisten (taat asas). Contoh adalah
pernyataan dalam Akta Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut sebagai Pihak
Pertama, si B disebut sebagai Pihak Kedua.
3) Definisi
Operasional. Definisi ini
biasanya berkaitan dengan pengukuran (assessment)
yang banyak dipergunakan oleh ilmu pengetahuan ilmiah. Definisi ini memiliki
kekurangan karena seringkali apa yang didefinisikan terdapat atau disebut dalam
definisi, sehingga terjadi pengulangan. Contoh: ”Yang dimaksud inteligensi
dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang yang dinyatakan dengan skor tes
inteligensi”.
4) Definisi
Teoritis. Definisi ini
menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena atau istilah berdasarkan teori
tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan Superego, lalu menggunakan teori
Psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Definisi
nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Definisi
Ostensif. Definisi ini
menjelaskan sesuatu dengan menunjuk barangnya. Contoh: Ini gunting.
2) Definisi
Persuasif. Definisi yang
mengandung pada anjuran (persuasif). Dalam definisi ini terkandung anjuran agar
orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh: ”Membunuh adalah tindakan
menghabisi nyawa secara tidak terpuji”. Dalam definisi tersebut secara implisit
terkandung anjuran agar orang tidak membunuh, karena tidak baik (berdosa
menurut Agama apapun).
c) Hipotesis
Dari konsep ilmiah yang merupakan
pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, 2 (dua) pernyataan digabung
menjadi proposisi. Proposisi yang
perlu diuji kebenarannya disebut hipotesis.
d) Hukum
Hipotesis
yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum.
e) Teori
Keseluruhan
dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan satu sama lain serta dapat
menjelaskan fenomena disebut teori.
2) Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu
pengetahuan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem,
yaitu:
a) Sistem axiomatis
Sistem ini
berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai
dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori
umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah
ilmu-ilmu formal, misalnya matematika.
b) Sistem empiris
Sistem ini
berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus
menuju rumus umum atau teori. Jadi bersifat induktif dan untuk menghasilkan
rumus umum digunakan alat bantu statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini
adalah ilmu pengetahuan alam dan sosial.
c) Sistem semantik/linguistik
Dalam
sistem ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi-proposisi secara
ketat. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu bahasa (linguistik).
3) Objektif atau intersubjektif
Ilmu
pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak
(intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri,
bukan milik perorangan (subjektif) tetapi merupakan konsensus antar subjek
(pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain ilmu pengetahuan ilmiah itu harus
ditopang oleh komunitas ilmiah.
Cara
Kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Cara kerja
Ilmu Pengetahuan Ilmiah untuk mendapatkan kebenaran oleh Karl Popper disebut
Siklus Empiris, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan Gambar:
Gambar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) komponen,
yaitu:
1) Komponen Informasi, yang terdiri dari:
a. Problem
b. Teori
c. Hipotesis
d. Observasi
e. Generalisasi Empiris
Komponen Informasi digambarkan dengan kotak.
2) Komponen langkah-langkah Metodologis, yang
terdiri 6 (enam) langkah metodologis, yaitu:
a. Inferensi logis
b. Deduksi logis
c. Interpretasi, instrumentasi, penetapan
sampel, penyusun skala.
d. Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi
parameter.
e. Pengujian hipotesis.
f. Pembentukan konsep, pembentukan dan penyusunan
proposisi.
Langkah Metodologis digambarkan dengan elips.
Penjelasan tentang
langkah-langkah Metodologis adalah sebagai berikut:
- Langkah pertama. Ada masalah yang harus dipecahkan. Seluruh langkah ini (5 langkah) oleh Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk pemecahan masalah tersebut diperlukan kajian pustaka (inferensi logis) guna mendapatkan teori-teori yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah.
- Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis. Untuk menyusun hipotesis diperlukan metode deduksi logis.
- Langkah ketiga. Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis perlu adanya observasi. Sebelum melakukan observasi perlu melakukan interpretasi teori yang digunakan sebagai landasan penyusunan hipotesis dalam penelitian adalah penyusunan kisi-kisi/dimensi-dimensi, kemudian penyusunan instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan skala.
- Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melakukan pengukuran (assessment), penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter estimation). Langkah tersebut dilakukan guna mendapatkan generalisasi empiris (empirical generalization).
- Langkah kelima. Generalisasi emperis tersebut pada hakekatnya merupakan hasil pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar akan memperkuat teori (verifikasi). Apabila hipotesis tidak terbukti akan memperlemah teori (falsifikasi).
- Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan sebagai bahan untuk pembentukan konsep, pembentukan proposisi. Pembentukan atau penyusunan proposisi ini dipergunakan untuk memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru apabila hipotesis tidak terbukti.
2. Beda Ilmu Pengetahuan dan Pengetahuan
a. Pendahuluan
Ilmu
pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan
(knowledge atau dapat juga disebut common sense). Orang awam
tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan
pengetahuan. Bahkan mugkin mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang
perbedaan antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari
apa itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau
hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti
membahas hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit
Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di
samping akan diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita
tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan
eksklusif. Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif
(wawasan) yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat
berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan
ilmu pengetahuan secara interdisipliner. Sebelum kita membahas hakekat ilmu
pengetahuan dan perbedaannya dengan pengetahuan, terlebih dahulu akan
dikemukakan serba sedikit tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu
penting, karena dengan mempelajari hal tersebut kita dapat mengetahui
tahap-tahap perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung terbentuk begitu
saja, tetapi melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode
perkembangan.
a)
Periode Pertama (abad 4 sebelum
Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan”
dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena peninggalan-peninggalan
yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad
terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari
dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh persepsi mitos adalah pandangan
yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau gempa
bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat
rasional, sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional.
Dalam persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan
magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar
(eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari
faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan
argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis
rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat
dikatakan ilmiah.
Pada
periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles
tentang dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis).
Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang
keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide.
Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki
substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian
dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai struktur ontologis. Dalam
struktur terdapat 2 prinsip, yaitu: 1) Akt: menunjukkan prinsip
kesempurnaan (realis); 2) Potensi:
menunjukkan prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda
sempurna dalam dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan
lain. Perubahan terjadi bila potensi berubah, dan perubahan tersebut
direalisasikan.
Pandangan
Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu
pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut:
1)
Hal Pengenalan
Menurut
Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu: (1) pengenalan inderawi; (2)
pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi
pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Sedang
pengenalan rasional dapat mencapai hakekat sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2)
Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles,
“ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsipatau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti
berargumentasi (reasoning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu
pengetahuan” berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu
pengetahuan” (teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas
teori dan metode. Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk
mengembangkan “ilmu pengetahuan” ada dua, yaitu: (1) induksi intuitif
yaitu mulai dari fakta untuk menyusun hukum (pengetahuan universal); (2) deduksi
(silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju
fakta-fakta.
b)
Periode Kedua (abad 17 sesudah
Masehi)
Pada periode yang kedua ini terjadi
revolusi ilmu pengetahuan karena adanya perombakan total dalam cara berpikir.
Perombakan total tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya
bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada awal abad 17
sesudah Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam
bentuk kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam
berfikir ilmiah Aristoteles adalah berpikir tentang hakekat, jadi
berpikir metafisis (apa yang berada di balik yang nampak atau apa yang
berada di balik fenomena).
Abad 17
meninggalkan cara berpikir metafisi dan beralih ke elemen-elemen yang
terdapat pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat. Dengan demikian
bukan substansi tetapi elemen-elemen yang merupakan kesatuan sistem. Cara
berpikir abad 17 mengkonstruksi suatu model yaitu memasukkan unsur makro
menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model yang dapat diuji coba secara
empiris, sehingga memerlukan adanya laboratorium. Uji coba penting, untuk
itu harus membuat eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan matematis
dan pendekatan eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu
pengetahuan bersifat ontologis, maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak
pada prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly
and distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan pihak
lain berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah dapat dilihat dari
pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal, yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya karena
aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito
Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan
khayalan. Suatu yang pasti adalah jelas dan terpilah-pilah. Menurut Descartes
pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan
rasio (dalam Hadiwijono, 1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera
(mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya), oleh karena itu hasilnya kabur,
karena ini sama dengan pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang pasti
menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui
sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dikemukakan melalui
keragu-raguan. Keragu-raguan menimbulkan kesadaran, kesadaran ini berada di
samping materi. Prinsip ilmu pengetahuan satu pihak berpikir pada kesadaran dan
pihak lain berpijak pada materi juga dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant
(1724-1808). Menurut Immanuel Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan
pangalaman terhadap fakta, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Agar dapat
memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu mengenal
pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur
apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala
pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori,
berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik
rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan
bahwa pengenalan manusia merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur
apriori dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu
Kant berpendapat bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada
objek. Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan
hasil pengalaman, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan
Immanuel Kant yang menolak pandangan Aristoteles yang bersifat ontologis dan
metafisis. Banyak tokoh lain yang meninggalkan pandangan Aristoteles, namun
dalam makalah ini cukup mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup untuk
menggambarkan adanya pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
c. Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan
Terdapat
beberapa definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a) Ilmu pengetahuan adalah penguasaan
lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima
karena mencampuradukkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b) Ilmu pengetahuan adalah kajian tentang
dunia material.
Definisi ini tidak dapat
diterima karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat
materi.
c) Ilmu pengetahuan adalah definisi
eksperimental.
Definisi ini tidak dapat
diterima karena ilmu pengetahuan tidak hanya hasil/metode eksperimental semata,
tetapi juga hasil pengamatan, wawancara. Atau dapat dikatakan definisi ini
tidak memberikan tali pengikat yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen
dan hasil pengamatan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d) Ilmu pengetahuan dapat sampai pada
kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris.
Definisi
mempergunakan metode induksi yaitu membangun prinsip-prinsip umum berdasarkan
berbagai hasil pengamatan. Definisi ini memberikan tempat adanya hipotesa,
sebagai ramalan akan hasil pengamatan yang akan datang. Definisi ini juga
mengakui pentingnya pemikiran spekulatif atau metafisik selama
ada kesesuaian dengan hasil pengamatan. Namun demikian, definisi ini tidak
bersifat hitam atau putih. Definisi ini tidak memberi tempat pada
pengujian pengamatan dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran
yang disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya berdasarkan kesimpulan
logis berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal sehat. Apabila kesimpulan
tersebut hanya merupakan akal sehat, walaupun itu berdasarkan pengamatan
empiris, tetap belum dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tetapi masih pada
taraf pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah hasil dari kesimpulan logis
dari hasil pengamatan, namun haruslah merupakan kerangka konseptual atau
teori yang memberi tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh
ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian diterima secara
universal. Ini berarti terdapat adanya kesepakatan di antara para ahli
terhadap kerangka konseptual yang telah dikaji dan diuji secara kritis atau
telah dilakukan penelitian akan percobaan terhadap kerangka konseptual
tersebut.
Berdasarkan
pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis ekstrim, maupun yang
bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak. Pandangan yang bersifat
statis ekstrim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan cara menjelaskan
alam semesta di mana kita hidup. Ini berarti ilmu pengetahuan dianggap sebagai
pabrik pengetahuan. Sementara pandangan yang bersifat dinamis ekstrim
menyatakan ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadi dasar munculnya
kegiatan lebih lanjut. Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu
laboratorium. Bila kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu
pengetahuan akan hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut
ditutup.
Ilmu
pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat
dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi merupakan teori, prinsip, atau
dalil yang berguna bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut,
atau dengan kata lain untuk menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh
karena itu, ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu
pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling
berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang
bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995). Pengertian
percobaan di sini adalah pengkajian atau pengujian terhadap kerangka
konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian (pengamatan dan wawancara)
atau dengan percobaan (eksperimen).
Selanjutnya
John Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi tekanan pada makna
manfaat, mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru
atau juga penemuan penelitian baru (menurut penulis) akan diukur hasilnya yaitu
hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian
ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan
sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang
bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita
analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi ilmu pengetahuan di
atas menekankan kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru, berarti juga
menghasilkan penelitian baru yang pada gilirannya menghasilkan teori baru dan
seterusnya – berlangsung tanpa berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak
menekankan penerapannya? Seperti yang dilakukan para ahli fisika dan kimia yang
hanya menekankan pada penerapannya yaitu dengan mempertanyakan bagaimana alam
semesta dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi penekanan ilmu
pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu pengetahuan itu
akan berhenti. Oleh karena itu, definisi ilmu pengetahuan tidak berorientasi
pada penerapannya melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan percobaan
baru atau penelitian baru, dan pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli
fisika dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya bukan merupakan
ilmu pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common sense).
Selanjutnya untuk membedakan hasil akal sehat dengan ilmu pengetahuan William
James yang menyatakan hasil akal sehat adalah sistem perseptual, sedang
hasil ilmu pengetahuan adalah sistem konseptual (Conant J. B. dalam
Qadir C. A., 1995). Kemudian bagaimana cara untuk memantapkan atau
mengembangkan ilmu pengetahuan? Berdasarkan definisi ilmu pengetahuan tersebut
di atas maka pemantapan dilakukan dengan penelitian-penelitian dan
percobaan-percobaan.
Perlu
dipertanyakan pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang menghasilkan
perseptual dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual. Jawabannya adalah akal
sehat yang menghasilkan pengetahuan merupakan premis bagi pengetahuan
eksperimental (Conant, J.B. dalam Qadir C.A., 1995). Ini berarti pengetahuan
merupakan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan tersebut selanjutnya diterima
sebagai masalah untuk diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk
teori baru.
Sedangkan
Ernest Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan
ilmu pengetahuan (science).
Perbedaan
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Dalam common sense informasi
tentang suatu fakta jarang disertai penjelasan tentang mengapa dan bagaimana.
Common sense tidak melakukan pengujian kritis hubungan
sebab-akibat antara fakta yang satu dengan fakta lain. Sedang dalam science
di samping diperlukan uraian yang sistematik, juga dapat dikontrol
dengan sejumlah fakta sehingga dapat dilakukan pengorganisasian dan
pengklarifikasian berdasarkan prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berlaku.
2) Ilmu pengetahuan menekankan ciri
sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan
untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku umum tentang suatu
hal. Artinya dengan berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam
penelitian-penelitian terdahulu, penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan
teori yang telah ada yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common
sense tidak memberikan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari
berbagai fakta yang terjalin. Di samping itu, dalam common sense cara
pengumpulan data bersifat subjektif,
karena common sense sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan.
3) Dalam menghadapi konflik dalam kehidupan,
ilmu pengetahuan menjadikan konflik sebagai pendorong untuk kemajuan ilmu
pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha
untuk mencari, dan mengintroduksi pola-pola eksplanasi sistematik sejumlah
fakta untuk mempertegas aturan-aturan. Dengan menunjukkan hubungan logis dari
proposisi yang satu dengan lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4) Kebenaran yang diakui oleh common sense
bersifat tetap, sedang kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu diusik oleh
pengujian kritis. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada
pengujian melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat
diperbaharui atau diganti.
5) Perbedaan selanjutnya terletak pada segi bahasa
yang digunakan untuk memberikan penjelasan pengungkapan fakta. Istilah dalam common
sense biasanya mengandung pengertian ganda dan samar-samar. Sedang ilmu
pengetahuan merupakan konsep-konsep yang tajam yang harus dapat diverifikasi
secara empirik.
6) Perbedaan yang mendasar terletak pada
prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah.
Dalam ilmu pengetahuan alam (sains), metoda yang dipergunakan adalah
metoda pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial
dan budaya juga menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen,
generalisasi, dan verifikasi. Dalam common sense cara mendapatkan
pengetahuan hanya melalui pengamatan dengan panca indera.
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan
tokoh-tokoh tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka
konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan
pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang
yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan
yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan
pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat
sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.
d. Proses Terbentuknya Ilmu Pengetahuan
a) Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Agar dapat diuraikan proses terbentuknya
ilmu pengetahuan ilmiah, perlu terlebih dahulu diuraikan syarat-syarat ilmu
pengetahuan ilmiah.
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam
Filsafat Ilmu Pengetahuan (Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas
Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat,
yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan
teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai
intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang
lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu
mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima
oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu pengetahuan tersebut
telah diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan
Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa Metode Ilmiah adalah suatu kerangka
landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa
penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Sedangkan
penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif
(Suparlan P., 1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus
sestematik dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi
terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah. Maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuanjuga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori pada dasarnya merupakan
bagian utama dari metode ilmiah. Suatu kerangka teori menyajikan cara-cara
mengorganisasikan dan menginterpretasi-kan hasil-hasil penelitian, dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Jadi
peranan metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari
waktu dan tempat yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi
corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut
di atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah
melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah pada
dasarnya merupakan bagian yang penting dari metode ilmiah. Suatu ilmu
pengetahuan ilmiah menyajikan cara-cara pengorganisasian dan penginterpretasian
hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang
dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan ilmiah
merupakan suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini peranan metode
ilmiah penting yaitu menghubungkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu
dan tempat yang berbeda. Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan metode
induktif guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus, dalam rangka
penelitian, penciptaan teori dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial,
baik metode induktif maupun deduktif sama-sama penting. Walaupun fakta-fakta
empirik itu penting peranannya dalam metode ilmiah namun kumpulan fakta itu
sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu pengetahuan (Suparlan P., 1994). Jadi
jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau
kumpulan fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena
fakta-fakta empirik itu sendiri agar mempunyai makna, fakta-fakta tersebut
harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi berdasarkan metode yang
berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas
merupakan prinsip utama dalam metode ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu
sosial berhubungan dengan kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya
sehingga tidak terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional antara peneliti
dengan pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah
dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya
dengan penuh keraguan dan skeptis.
b) Ilmuwan harus objektif yaitu
membebaskan dirinya dari sikap, keinginan, kecenderungan untuk menolak, atau
menyukai data yang dikumpulkan.
c) Ilmuwan harus bersikap netral,
yaitu dalam melakukan penilaian terhadap hasil penemuannya harus terbebas dari
nilai-nilai budayanya sendiri. Demikian pula dalam membuat kesimpulan atas data
yang dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir, mutlak, dan merupakan
kebenaran universal (Suparalan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang
berpedoman pada metode ilmiah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a) Prosedur penelitian harus terbuka untuk
diperiksa oleh peneliti lainnya.
b) Definisi-definisi yang dibuat adalah benar
dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada/baku.
c) Pengumpulan data dilakukan secara
objektif, yaitu dengan menggunakan metode-metode penelitian ilmiah yang baku.
d) Hasil-hasil penemuannya akan ditentukan
ulang oleh peneliti lain bila sasaran, masalah, pendekatan, dan prosedur
penelitiannya sama (Suparlan P., 1994).
b)
Metode Penelitian Ilmiah
Pada dasarnya metode penelitian ilmiah
untuk ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan menjadi dua golongan pendekatan, yaitu:
(1) pendekatan kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1)
Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan
kuantitatif adalah filsafat positivisme yang dikembangkan pertama kali oleh
Emile Durkheim (1964). Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa
tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut
fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara
objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai benda, seperti benda dalam ilmu
pengetahuan alam.
Caranya dengan melakukan observasi atau
mengamati sesuatu fakta sosial, untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya,
menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian
kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi.
Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisa yang dapat
dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan
ketepatan pengguna model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung
(Suparlan P., 1997).
2)
Pendekatan Kualitatif
Landasan berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran Max
Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya
gejala-gejala sosial, tetapi juga dan terutama makna-makna yang terdapat di
balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala
sosial tersebut. Oleh karena
itu, metode yang utama dalam sosiologi dari Max Weber adalah Verstehen atau
pemahaman (jadi bukan Erklaren atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang
ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang peneliti harus dapat berperan
sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku yang
ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai
makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan
P., 1997).
Daftar
Pertanyaan BAB I
1.
Apa yang dimaksud dengan
Filsafat ? Jelaskan !
2.
Apa perbedaan Filsafat dengan
Ilmu Pengetahuan ? Jelaskan !
3.
Apa perbedaan Filsafat dengan
Agama ? Jelaskan !
4.
Bagaimana cara Immanuel Kant
mendapatkan ruang lingkup Filsafat ? Jelaskan ! Gambarkan juga ruang lingkup
kajian Filsafat !
5.
Hakikat Ilmu Pengetahuan dapat
ditelusuri dari 4 (empat) hal. Sebutkan dan jelaskan!
6.
Terdapat 3 (tiga) macam teori
untuk mengungkapkan kebenaran. Jelaskan 3 (tiga) macam teori tersebut dan
gambarkan penerapan 3 (tiga) macam tersebut dengan contoh-contoh !
7.
a. Jelaskan apa yang dimaksud Ilmu Pengetahuan Ilmiah harus sistematis
?
b. Bagaimana
cara yang dapat ditempuh agar Ilmu Pengetahuan Ilmiah dapat sistematis ?
8.
Jelaskan apa yang dimaksud Ilmu
Pengetahuan Ilmiah harus dapat dipertanggung jawabkan !
9.
Jelaskan apa yang dimaksud Ilmu
Pengetahuan Ilmiah harus objektif atau intersubjektif !
10.
Jelaskan dan gambarkan
bagaimana cara kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah mendapatkan kebenaran menurut Karl
Popper !
11.
Jelaskan sejarah perkembangan
Ilmu Pengetahuan mulai abad 4 sebelum Masehi sampai dengan abad 17 sesudah
Masehi ! Penjelasan hendaknya disebut juga tokoh-tokohnya.
12.
Jelaskan mengapa apabila Ilmu
Pengetahuan didefinisikan sebagai: “Penguasaan lingkungan hidup manusia” tidak
dapat diterima !
13.
Jelaskan mengapa apabila Ilmu
Pengetahuan didefinisikan sebagai: “Kajian tentang dunia material” tidak dapat
diterima !
14.
Jelaskan mengapa apabila Ilmu
Pengetahuan dikatakan sebagai: “definisi eksperimental” tidak dapat diterima !
15.
Jelaskan mengapa apabila “Ilmu
Pengetahuan dikatakan dapat sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari
pengamatan empiris” !
16.
Sebutkan dan jelaskan definisi
Ilmu Pengetahuan yang paling tepat menurut anda !
17.
Jelaskan perbedaan Pengetahuan
dengan Ilmu Pengetahuan menurut Ernest Nagel!
18.
Dalam penelitian ilmiah dikenal
adanya 2 (dua) macam pendekatan, yaitu: 1) pendekatan kuantitatif yang
disebut juga penelitian kuantitatif, 2) pendekatan kualitatif yang disebut juga
penelitian kualitatif. Jelaskan dan berikan contoh-contoh kongkret kedua
pendekatan dalam penelitian ilmiah tersebut !
BAB
II
PARADIGMA DAN
PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA
DALAM PENELITIAN
Berikut ini akan dijelaskan pengertian paradigma menurut
beberapa ahli, paradigma dalam penelitian kuantitatif dan, berbagai macam
paradigma penelitian kualitatif, serta serta prinsip-prinsip implementasinya
dalam dua macam penelitian tersebut.
1. PENGERTIAN PARADIGMA
Denzin & Lincoln (1994:105)
mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic belief system or worldview thatguides the investigator, not only in choices of method but in ontologically andepistomologically fundamental ways.” Pengertian tersebut mengandung makna
paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang
membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda tetapi juga cara-cara
fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis. Secara singkat, Denzin
& Lincoln (1994:107) mendefinisikan “Paradigm as Basic Belief Systems
Based on Ontological, Epistomological, and Methodological Assumptions.”
Paradigma merupakan sistem keyakinan dasar berdasarkan asumsi ontologis,
epistomologis, dan metodologi. Denzin & Lincoln (1994:107) menyatakan: “A
paradigm may be viewed as a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals
with ultimates or first principle.” Suatu paradigma dapat dipandang sebagai
seperangkat kepercayaan dasar (atau yang berada di balik fisik yaitu metafisik)
yang bersifat pokok atau prinsip utama. Sedangkan Guba (1990:18) menyatakan
suatu paradigma dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga pertanyaan mendasar
yaitu pertanyaan ontologi, epistomologi, dan metodologi. Selanjutnya
dijelaskan:
a.
Ontological: What is the
nature of the “knowable?” or what is the nature of reality? Ontologi: Apakah hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui? Atau
apakah hakikat dari realitas? Secara lebih sederhana, ontologi dapat dikatakan
mempertanyakan tentang hakikat suatu realitas, atau lebih konkret lagi,
ontologi mempertanyakan hakikat suatu fenomena.
b.
Epistomological: What is the
nature of the relationship between the knower (the inquirer) and the known (or
knowable)? Epistomologi: Apakah hakikat hubungan
antara yang ingin mengetahui (peneliti) dengan apa yang dapat diketahui? Secara
lebih sederhana dapat dikatakan epistomologi mempertanyakan mengapa peneliti
ingin mengetahui realitas, atau lebih konkret lagi epistomologi mempertanyakan mengapa
suatu fenomena terjadi atau dapat terjadi?
c.
Methodological: How should
the inquirer go about finding out knowledge?
Metodologi: Bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan? Secara lebih
sederhana dapat dikatakan metodologi mempertanyakan bagaimana cara peneliti
menemukan pengetahuan, atau lebih konkret lagi metodologi mempertanyakan cara
atau metoda apa yang digunakan oleh peneliti untuk menemukan pengetahuan?
Sedang Denzin & Lincoln
(1994:108) menjelaskan ontologi, epistomologi, dan metodologi sebagai berikut:
–
The ontological question:
What is the form and nature of reality and, therefore, what is there that can
be known about it? Pertanyaan ontologi: “Apakah
bentuk dan hakikat realitas dan selanjutnya apa yang dapat diketahui
tentangnya?”
–
The epistomological
question: What is the nature of the relationship
between the knower or would be-knower and what can be known? Pertanyaan
epistomologi: “Apakah hakikat hubungan antara peneliti atau yang akan menjadi
peneliti dan apa yang dapat diketahui.”
–
The methodological question: How can the inquirer (would-be knower) go about finding out
whatever he or she believes can be known. Pertanyaan metodologi: “Bagaimana
cara peneliti atau yang akan menjadi peneliti dapat menemukan sesuatu yang
diyakini dapat diketahui.”
Apabila dianalisis secara saksama
dapat disimpulkan bahwa pandangan Guba dan pandangan Denzin & Lincoln
tentang ontologi, epistomologi serta metodologi pada dasarnya tidak ada
perbedaan. Dengan mengacu pandangan Guba (1990) dan Denzin & Lincoln (1994)
dapat disimpulkan paradigma adalah sistem keyakinan dasar yang berlandaskan
asumsi ontologi, epistomologi, dan metodologi atau dengan kata lain paradigma
adalah sistem keyakinan dasar sebagai landasan untuk mencari jawaban atas
pertanyaan apa itu hakikat realitas, apa hakikat hubungan antara peneliti dan
realitas, dan bagaimana cara peneliti mengetahui realitas.
Sedang Salim (2001:33), yang mengacu
pandangan Guba (1990), Denzin & Lincoln (1994) menyimpulkan paradigma
merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang
dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Atau seperangkat keyakinan
mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita baik tindakan keseharian maupun
dalam penyelidikan ilmiah. Dalam bidang ilmu pengetahuan ilmiah paradigma
didefinisikan sebagai sejumlah perangkat keyakinan dasar yang digunakan
untuk mengungkapkan hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya dan bagaimana cara
untuk mendapatkannya.
Dalam komunitas Sosiologi, definisi
paradigma yang banyak digunakan mengacu pada definisi dari George Ritzer.
Menurut Ritzer dalam buku: Sociology A Multiple Paradigm Science (1975):
paradigma merupakan gambaran fundamental tentang pokok permasalahan dalam suatu
ilmu pengetahuan. Paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus
dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu
dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi
jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling luas
dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah
(atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma memasukkan, mendefinisikan, dan
menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan instrumen yang ada di dalamnya
(Ritzer, 1975 dalam Lawang, 1998:2).
Catatan: eksemplar adalah
contoh atau model penelitian yang secara konsisten (kurang lebih)
memperlihatkan hubungan antara gambaran fundamental tentang pokok permasalahan,
teori, dan metode yang digunakan (Lawang, 1999:4).
Menurut pendapat penulis, definisi
paradigma yang dikemukakan Ritzer tersebut mengandung tiga asumsi yaitu
ontologi, epistomologi, dan metodologi. Ini dapat dilihat dari pernyataan:
“paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari (asumsi
ontologi), pertanyaan apa yang harus dikemukakan (asumsi epistomologi), bagaimana
pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam
menginterpretasikan jawaban yang diperoleh (asumsi metodologi). Dengan
demikian definisi paradigma Ritzer mengandung tiga asumsi mendasar yang sama
dengan definisi paradigma dari Guba, Denzin & Lincoln, yaitu asumsi ontologi, epistomologi,
dan metodologi.
Menurut Creswell (1994: 6), paradigma
merupakan landasan untuk mencari jawaban atas lima pertanyaan mendasar, yaitu ontologi,
epistomologi, aksiologi, retorika, dan metodologi. Aksiologi adalah
jawaban atas pertanyaan apa peranan nilai, sedang retorika adalah
jawaban atas pertanyaan apa bahasa yang digunakan dalam penelitian.
Dari semua uraian di atas dapatlah
dikemukakan bagaimana seseorang mengembangkan dan menggunakan suatu paradigma
ilmu pengetahuan dengan melihat cara pandang yang digunakan dalam menjawab lima
pertanyaan mendasar, yaitu: ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan
metodologi. Oleh karena itu, uraian selanjutnya akan dikemukakan
prinsip-prinsip implementasi, dimensi-dimensi paradigma dalam penelitian
kuantitatif dan dalam penelitian kualitatif.
2. PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASI PARADIGMA DALAM PENELITIAN
Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis
penelitian yaitu penelitian dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian
kuantitatif dan penelitian dengan pendekatan kualitatif atau penelitian
kualitatif. Sebelum dijelaskan paradigma dari setiap jenis penelitian tersebut
dan bagaimana implementasinya, akan diuraikan terlebih dahulu perbedaan
penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif.
Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif
dengan penelitian kualitatif baik yang dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh
Creswell, Denzin & Lincoln, Guba & Lincoln, Moustyan yang akan
diuraikan di bawah ini merupakan prinsip-prinsip implementasi dalam penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif.
Perbedaan Penelitian
Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif
Suparlan (1997) menjelaskan perbedaan
penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif sebagai berikut:
Landasan
berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang pertama kali
diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah
bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang
disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara
objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu
pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati fakta
sosial untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan
fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu
fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif
diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi
tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel
bebas dan variabel tergantung (Suparlan, 1997:95).
Pada buku
yang lain Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif memusatkan
perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam
kehidupan manusia, yang dinamakan variabel. Hakikat
hubungan antara variabel-variabel dianalisa dengan menggunakan teori yang
objektif. Karena sasaran kajian dari penelitian kuantitatif adalah
gejala-gejala, sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu
tidak terbatas banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan
variasi dan hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik
dalam penelitian kuantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan
menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat
diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang telah dikumpulkan
(Suparlan, 1994:6-7).
b)
Penelitian Kualitatif
Landasan berpikir dalam penelitian
kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok
penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang
terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya
gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam
sosiologi dari Max Weber adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren
atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial,
maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan
harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat
pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala
sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain, Suparlan
menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip
umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan
manusia, atau pola-pola. Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan
menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh
gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi
dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif
sasaran kajiannya adalah pola-pola yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip
yang secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas kehidupan
manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak
harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka acuannya.
Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan lainnya maka
maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak objektif, sehingga pendekatan
kualitatif tidak relevan (Suparlan, 1994:6-7).
Dari uraian Suparlan tersebut sudah
jelas perbedaan yang fundamental antara penelitian kuantitatif dengan
penelitian kualitatif. Agar terdapat gambaran yang lebih rinci perbedaan
penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif akan dikemukakan pandangan
Cresswell (1994), Denzin & Lincoln (1994), Guba & Lincoln (1994), dan
Moustyan (1995) (dalam Neuman, 1997:14) sebagai berikut.
Quantitative Style (Model
Kuantitatif)
a.
Measure objective facts (mengukur fakta yang objektif)
b.
Focus on variables (terfokus pada variabel-variabel)
c.
Reliability is key (reliabilitas merupakan kunci)
d.
Value free (bersifat bebas nilai)
e.
Independent of context (tidak tergantung pada konteks)
f.
Many cases subjects (terdiri atas kasus atau subjek yang banyak)
g.
Statistical analysis (menggunakan analisis statistik)
h.
Researcher is detached (peneliti tidak terlibat)
Qualitative Style (Model Kualitatif)
a.
Construct social
reality, cultural meaning (mengonstruksi realitas
sosial, makna budaya)
b.
Focus on interactive
processes, events (berfokus pada proses
interpretasi dan peristiwa-peristiwa)
c.
Authenticity is key (keaslian merupakan kunci)
d.
Values are present and
explicit (nilai hadir dan nyata / tidak bebas
nilai)
e.
Situationally
constrained (terikat pada situasi / terikat pada
konteks)
f.
Few cases subjects (terdiri atas beberapa kasus atau subjek)
g.
Thematic analysis (bersifat analisis tematik)
h.
Researcher is involved (peneliti terlibat)
Penjelasan dan contoh Model Kuantitatif
a.
Mengukur fakta yang
objektif
Setiap
fakta atau fenomena yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan variabel
(hal-hal yang pokok dalam suatu masalah) untuk mendapatkan objektivitas,
variabel tersebut harus diukur. Misalnya untuk mengetahui kualitas atau kadar
atau tinggi rendahnya motivasi kerja karyawan suatu perusahaan dilakukan tes atau
dengan kuesioner yang disusun berdasarkan
komponen-komponen/unsur-unsur/indikator-indikator dari variabel penelitian yang
dalam hal ini motivasi kerja karyawan.
b.
Terfokus pada
variabel-variabel
Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu ditentukan
variabel-variabel atau hal-hal pokok yang terdapat dalam suatu
masalah/gejala/fenomena. Penentuan variabel-variabel tersebut berdasarkan hukum
sebab-akibat, suatu gejala yang terjadi merupakan akibat dari gejala yang lain
atau karena adanya hubungan atau pengaruh gejala lain. Di sini terjadi cara
berpikir nomotetik. Misalnya dalam suatu perusahaan terjadi gejala
penurunan produktivitas kerja karyawan. Selanjutnya dilakukan pengkajian secara
teoritis faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas
kerja tersebut. Misalnya secara teori ditemukan bahwa produktivitas kerja
dipengaruhi oleh faktor-faktor motivasi kerja dan kepemimpinan manajer.
Kemudian pengaruh atau hubungan dari data hasil pengukuran masing-masing
variabel diuji secara statistik apakah benar variabel motivasi kerja dan
kepemimpinan manajer mempunyai pengaruh atau mempunyai hubungan dengan variabel
produktivitas kerja. Dan apakah pengaruh atau hubungan tersebut signifikan atau
dapat dipercaya (mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi). Apabila hasil
analisis statistik menyatakan variabel-variabel tersebut mempunyai pengaruh
atau hubungan secara signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas
kerja karyawan dipengaruhi oleh variabel motivasi kerja dan kepemimpinan manajer
atau mempunyai hubungan dengan motivasi kerja dan kepemimpinan manajer.
Catatan: Analisis
statistik yang dipergunakan untuk mengukur pengaruh suatu variabel pada
variabel lain berbeda dengan analisis statistik yang dipergunakan untuk
mengukur hubungan suatu variabel dengan suatu variabel yang lain atau beberapa
variabel. Analisis statistik untuk mengukur pengaruh suatu variabel pada
variabel yang lain di antaranya menggunakan analisis statistik multiple
regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur hubungan suatu
variabel dengan variabel lain di antaranya menggunakan analisis statistik correlation
(korelasi) misalnya correlation product-moment (korelasi product-moment)
dari Carl Pearson atau Spearman-Brown.
c.
Reliabilitas merupakan
kunci
Reliabilitas atau keajegan suatu tes
atau kuesioner mempunyai arti bahwa tes atau kuesioner tersebut menghasilkan
skor yang relatif sama walaupun dilakukan pada waktu yang berbeda. Suatu alat
ukur atau instrumen penelitian (misalnya tes atau kuesioner) apabila memiliki
reliabilitas yang tinggi akan menyebabkan hasil penelitian itu akurat. Oleh
karena itu, reliabilitas merupakan kunci dalam penelitian kuantitatif, karena
apabila alat ukur atau instrumen penelitian reliabel (terpercaya), maka
akan berdampak hasil penelitian akurat. Di samping alat ukur harus reliabel
dipersyaratkan pula harus valid (sahih) atau memiliki validitas
(kesahihan). Suatu instrumen penelitian dikatakan valid atau memiliki validitas
apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Catatan: Uji statistik
untuk mengukur reliabilitas diantaranya adalah Analisis Alpha Cronbach
dan KR-20 (Kuder-Richardson 20). Sedangkan uji statistik untuk mengukur
validitas dilakukan di antaranya dengan mengorelasikan skor setiap item dengan
skor total (jumlah seluruh skor item dikurangi skor item yang dikorelasikan).
d.
Bebas nilai
Dalam penelitian kuantitatif pengujian terhadap
gejala/fenomena tidak dikaitkan dengan budaya atau nilai-nilai budaya
masyarakat yang melatarbelakangi fenomena tersebut. Pengaruh nilai-nilai budaya
terhadap fenomena tidak diperhitungkan atau tidak diperhatikan. Sebagai contoh
salah satu komponen dari konsep diri adalah kelebihan dan kelemahan pada diri
individu. Dalam budaya Barat seorang individu untuk menyatakan kelebihan dan
kelemahan diri sendiri tidak menjadi masalah. Seorang individu untuk dapat
dikatakan memiliki konsep diri yang positif, individu tersebut dapat menyatakan
kelemahan dan kelebihannya di samping memiliki kriteria-kriteria
konsep diri yang lain. Sedangkan pada budaya Timur perilaku yang demikian dapat
dikategorikan perilaku sombong. Dalam penelitian kuantitatif pengaruh
nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena menurut paradigma yang
dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian kuantitatif,
kriteria-kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku umum.
e.
Tidak tergantung pada
konteks
Suatu fenomena terkait dengan konteks
artinya terkait dengan situasi atau lingkungan yang menyertai fenomena
tersebut. Fenomena yang sama, konteksnya dapat berbeda. Misalnya fenomena
aktualisasi diri atau kebutuhan untuk mewujudkan kemampuan dirinya (Teori
Motivasi Abraham Maslow) bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan
orang-orang pedesaan. Aktualisasi diri orang Jakarta akan berbeda dengan orang
pedesaan yang tinggal di lereng gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman
Kalimantan, atau di pedalaman Irian Barat (Papua). Aktualisasi diri orang
Jakarta dimanifestasikan dalam kemampuan teknologi, teknologi informasi, bahasa
asing, manajemen, dan lain-lain, sedangkan orang-orang pedesaan di lereng
gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman Kalimantan atau di pedalaman Papua
dimanifestasikan dalam kemampuan bertani atau bercocok tanam, memelihara
binatang, atau memburu binatang buas atau menguasai seni lokal atau seni daerah
setempat. Penelitian kuantitatif tidak tergantung konteks dari fenomena yang
diteliti.
f.
Terdiri dari kasus-kasus
atau subjek-subjek yang banyak
Dalam penelitian kuantitatif diperlukan adanya kasus-kasus
atau subjek-subjek yang banyak. Hal ini bertujuan agar dapat digeneralisasikan
atau dapat diberlakukan secara umum. Untuk itu terdapat terminologi populasi,
sampel, dan technique sampling (teknik menentukan sampel). Populasi
adalah seluruh atau jumlah individu dari suatu wilayah atau organisasi atau
instansi atau perusahaan yang memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari selanjutnya untuk ditarik kesimpulan. Sedang
sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili populasi, oleh karena itu
sampel harus representatif (harus dapat mewakili) artinya sampel harus dapat
menggambarkan keadaan populasi. Terdapat beberapa teknik sampling (cara
pengambilan sampel), di antaranya: total sampling, yaitu apabila seluruh
individu atau seluruh anggota populasi dijadikan sampel; stratified random
sampling, yaitu apabila setiap strata/tingkat/bagian ada wakil yang
dijadikan sampel dan dilakukan secara acak (random); purposive
sampling, yaitu apabila individu yang dijadikan sampel memiliki persyaratan
tertentu sesuai tujuan penelitian; accidental sampling, yaitu individu
yang dijadikan sampel adalah individu yang dapat ditemui; dan lain-lain. Dengan
adanya sampel yang representatif terhadap populasinya, maka penelitian cukup
dilakukan terhadap sampel, dan hasil penelitian terhadap sampel tersebut dapat
digeneralisir artinya dapat menggambarkan populasi, walaupun penelitian hanya
ditujukan pada sampel, tetapi sudah dapat untuk menggambarkan keadaan populasi.
g. Menggunakan analisis statistik
Dalam penelitian kuantitatif digunakan analisis
statistik bertujuan agar dapat mendeskripsikan secara akurat suatu fenomena (erklaren).
Sedangkan dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan analisis statistik
karena tujuannya tidak akan mendeskripsikan suatu fenomena tetapi mencari makna
guna mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen). Terdapat beberapa
macam teknik analisis statistik, misalnya sebagaimana telah diuraikan di depan
untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang satu dengan
variabel yang lain digunakan teknik analisis statistik korelasi product-moment
dari Carl Pearson atau dari Spearman-Brown. Untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh antara variabel yang satu pada variabel yang lain digunakan analisis
statistik multiple regression. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
antara variabel yang satu dengan variabel yang lain digunakan rumus t-test.
Dalam penelitian kuantitatif digunakan istilah-istilah yang spesifik dan tidak
digunakan dalam penelitian kualitatif, misalnya variabel, validitas,
reliabilitas, hipotesis, signifikan, dan lain-lain. Signifikan digunakan untuk
menggambarkan apabila hubungan, perbedaan, pengaruh antara suatu variabel
dengan variabel yang lain mempunyai makna, untuk itu kemungkinan salah perhitungannya
dibatasi maksimal 5%, atau dengan simbol statistik p < 0.05. Suatu
hubungan atau perbedaan atau pengaruh antara variabel yang satu dengan variabel
yang lain apabila p < 0.05 (tingkat kesalahan sama atau lebih kecil
dari 5%) dinyatakan signifikan atau bermakna.
h. Peneliti tidak memihak
Dalam penelitian kuantitatif peneliti
tidak memihak, artinya peneliti menghindari subjektivitas dari subjek yang
diteliti. Dalam penelitian kualitatif peneliti justru berusaha mengetahui
persepsi subjektif dari subjek yang diteliti. Hasil penelitian kualitatif
merupakan hasil analisis persepsi subjektif dari subjek yang diteliti terhadap
suatu fenomena. Sedangkan dalam penelitian kuantitatif peneliti sejauh mungkin
mengeleminir subjektivitas dari subjek yang diteliti. Oleh karena itu dalam
penelitian kuantitatif dikatakan peneliti tidak memihak.
Penjelasan dan contoh Model Kualitatif
a.
Mengonstruksi realitas
sosial, makna budaya
Apabila penelitian kuantitatif berusaha mengukur fakta
yang objektif atau dengan kata lain mendeskripsikan suatu fenomena atau
realitas, maka penelitian kualitatif ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam.
Untuk itu harus mencari nomenon atau makna di balik fenomena.
Atau dapat dikatakan penelitian kuantitatif berusaha mendeskripsikan fenomena
secara akurat (erklaren), sedangkan penelitian kualitatif ingin
mendapatkan makna di balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang
mendalam dari suatu fenomena (verstehen).
Untuk mendapatkan pemahaman yang
mendalam (verstehen), tidak cukup apabila hanya mengetahui tentang apa
dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan bagaimana dari suatu fenomena.
Mengapa suatu fenomena ada atau terjadi, bagaimana suatu fenomena terjadi atau
bagaimana proses terjadinya suatu fenomena. Dan hal ini, yaitu pengetahuan tentang
apa, mengapa, dan bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia mempunyai metakognisi
yang mampu menghasilkan pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang
apa), pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang bagaimana), dan pengetahuan
kondisional (pengetahuan tentang mengapa dan kapan) (Micchenbaum, dkk, 1985
dalam Woolfolk, 1998:267). Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen)
tidak cukup hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga
mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendapat penulis ini mengacu
pendapat Suparlan (1997: 99) sebagai berikut: “Dalam pendekatan kualitatif,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan-pertanyaan penelitian
bukan hanya mencakup: apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana, tetapi yang
terpenting yang harus tercakup dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut
adalah mengapa. Pertanyaan mengapa menuntut jawaban mengenai
hakikat yang ada dalam hubungan diantara gejala-gejala atau konsep-konsep,
sedangkan pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, dimana, dan kapan
menuntut jawaban mengenai identitas, dan pertanyaan bagaimana menuntut
jawaban mengenai proses-prosesnya.
Poerwandari (1998:17) menyatakan
penelitian kualitatif dilakukan untuk mengembangkan pemahaman. Penelitian
kualitatif membantu mengerti dan menginterpretasi apa yang ada di balik
peristiwa: latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya, serta
bagaimana manusia meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan
hukum umum tidak menjadi tujuan penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau
meramalkan juga tidak menjadi aspek penting. Aspek subjektif manusia menjadi
hal penting.
Penelitian kualitatif dinyatakan
mengonstruksi realitas sosial, karena penelitian kualitatif berlandaskan
paradigma Konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya
merupakan pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi
rasio subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial
berpusat pada subjek dan bukan pada objek, ini berarti ilmu pengetahuan bukan
hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh rasio.
b.
Berfokus pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa
Penelitian kuantitatif berfokus pada variabel-variabel,
bahkan sebelum penelitian dilakukan telah ditentukan terlebih dahulu
variabel-variabel yang akan diteliti. Sedangkan dalam penelitian kualitatif,
fokus perhatiannya pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadiannya itu sendiri, bukan pada variabel-variabel. Bahkan fokus
penelitian dapat berubah pada waktu di lapangan setelah melihat kenyataan yang
ada di lapangan. Dalam penelitian kualitatif di antara teknik pengumpulan data
yang dipergunakan adalah observasi. Observasi tidak cukup apabila hanya
diarahkan pada setting saja, tetapi justru yang pokok adalah proses
terjadinya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian itu sendiri. Demikian
pula observasi tidak cukup dilakukan bersamaan dengan wawancara, tetapi
observasi sebaiknya dilakukan tidak bersamaan dengan wawancara. Apabila observasi
dilakukan bersamaan dengan wawancara, maka tidak dapat terfokus pada hal-hal
yang akan diobservasi. Walaupun memang ada perilaku yang dapat diobservasi pada
waktu diadakan wawancara, namun mengenai perilaku tersebut belum dapat ditarik
kesimpulan. Agar dapat ditarik kesimpulan maka hasil wawancara harus dilengkapi
dan dicek dengan hasil observasi yang dilakukan secara khusus. Dengan observasi
akan dapat diketahui tentang proses interaksi atau kejadian-kejadiannya
sendiri. Atau dengan kata lain, dengan observasi terutama observasi langsung
tidak hanya akan dapat menjawab pertanyaan tentang apa, tetapi juga bagaimana
dan mengapa. Dengan diketahuinya tentang apa, bagaimana, dan mengapa, maka
masalah akan dapat dipahami secara mendalam (verstehen).
c.
Keaslian merupakan kunci
Dalam penelitian kuantitatif, reliabilitas merupakan
kunci, jadi analisis statistik mempunyai fungsi yang sangat strategis. Dalam
penelitian kualitatif keaslian merupakan kunci, sehingga penelitian kualitatif
ini juga dikatakan sebagai penelitian alamiah (naturalist inquiry).
Dalam penelitian kualitatif tidak ada usaha untuk memanipulasi situasi maupun setting.
Sebaliknya penelitian kuantitatif justru sering melakukan manipulasi situasi
maupun setting penelitian. Misalnya dalam metoda eksperimen, situasi
dapat dimanipulasi dengan subjek diatur sehingga homogen dengan dipilih sesuai
kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu, dengan ditiadakannya pengaruh
dari variabel kontrol, adanya treatment (perlakuan khusus) misalnya
diberikan terapi khusus atau diberikan pelatihan khusus, dan lain-lain.
Sebaliknya penelitian kualitatif melakukan studi terhadap fenomena dalam
situasi dan setting sebagaimana adanya. Guba seperti yang dikutip Patton
(1990 dalam Poerwandari, 1998:30) mendefinisikan studi dalam situasi alamiah
sebagai studi yang berorientasi pada penemuan (discovery-oriented).
Penelitian demikian secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada
dalam keadaan sesungguhnya, dan menunggu apa yang akan muncul atau ditemukan.
d.
Nilai hadir dan nyata
(tidak bebas nilai)
Dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk
tidak memperhatikan atau tidak memperhitungkan nilai (bebas nilai), sebaliknya
dalam penelitian kualitatif nilai sangat diperhatikan atau diperhitungkan.
Penelitian kuantitatif memegang teguh prinsip menghindari pernyataan-pernyataan
yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam laporan penelitian (juga dalam skripsi,
tesis, disertasi) dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal
(misalnya tidak menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat
laporan penelitian, mengajukan argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang
diperoleh dalam penelitian. Sedang penelitian kualitatif menggunakan bahasa
yang personal (dapat menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua).
Menurut Neuman (1997 dalam Salim, 2001:36) dalam penelitian kualitatif para
peneliti mengetahui adanya sifat value-laden (sarat nilai-nilai
subjektif si peneliti) dalam penelitian, dan si peneliti pun secara aktif
melaporkan nilai-nilai dan bias-biasnya, serta nilai-nilai dari informasi yang
dikumpulkan di lapangan.
e.
Terikat pada situasi
(terikat pada konteks)
Telah dijelaskan bahwa suatu fenomena terikat pada
situasi yang mengelilinginya, atau dengan kata lain selalu terikat pada
konteks. Telah dijelaskan pula di depan bahwa dalam penelitian kuantitatif
karena ingin menghasilkan data yang berlaku umum (universal), maka peneliti
harus menjaga jarak dan bebas dari pengaruh yang diteliti. Peneliti selalu
berusaha mengontrol bias, memilih percontohan yang sistematis dan berusaha
objektif dalam meneliti suatu fenomena. Sebaliknya penelitian kualitatif tidak
menjaga jarak dan tidak bebas dari yang diteliti karena ingin mengetahui
persepsinya, atau dengan kata lain ingin mengetahui persepsi subjektif dari
yang diteliti. Persepsi subjektif dari yang diteliti selalu terikat pada
situasi atau terikat pada konteks. Individu yang sedang mengalami kesedihan
dapat berubah menjadi senang atau gembira pada saat memasuki pesta ulang tahun
anaknya atau teman karibnya. Dengan adanya data yang bersifat subjektif, apa
ini berarti penelitian kualitatif tetap bersifat ilmiah? Walaupun datanya
bersifat subjektif, penelitian kualitatif tetap ilmiah, karena apabila data
tersebut dimiliki beberapa atau banyak individu atau dengan kata lain beberapa atau
banyak individu memiliki data yang sama dengan subjek yang diteliti, maka hasil
penelitian seperti ini disebut bersifat intersubjektif. Dalam
penelitian kualitatif, pengertian intersubjektif sama dengan objektif.
f.
Terdiri dari beberapa
kasus atau subjek
Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan
menggeneralisasikan hasil penelitiannya, maka penelitian kualitatif tidak perlu
meneliti banyak kasus atau subjek. Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat
satu tetapi dapat juga banyak, bahkan mungkin penduduk suatu negara. Karena
dalam studi kasus yang sangat penting adalah sifatnya yang sangat spesifik.
Contoh penelitian tentang “Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara Sosialis.”
Negara-negara yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi
penelitian perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik.
Sebagai contoh tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok jumlah
subjek minimal sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat dianalisis dengan
statistik parametrik, maka dalam penelitian kualitatif tidak mematok jumlah
subjek yang diteliti.
g.
Bersifat analisis
tematik
Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan
menggeneralisasikan hasil penelitiannya, maka yang diteliti adalah hal-hal yang
bersifat khusus atau spesifik, dan analisisnya bersifat tematik. Misalnya
tindak kekerasan terhadap perempuan, masalah-masalah jender: perjuangan
perempuan mendapatkan perlakuan yang adil dalam lapangan pekerjaan, kasus-kasus
perilaku menyimpang, masalah kesulitan belajar bagi anak-anak yang tidak normal
(learning-disabilities), dan lain-lain.
h.
Peneliti terlibat
Berbeda dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti
mengambil jarak dengan yang diteliti agar dapat menjaga objektivitas atau
menghindari subjektivitas dari yang diteliti, maka sebaliknya penelitian
kualitatif peneliti tidak mengambil jarak, agar peneliti benar-benar memahami
persepsi subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena. Untuk itu peneliti dapat
melakukan misalnya observasi terlibat (participant observation). Dengan
observasi terlibat pemahaman terhadap subjek dapat mendalam.
3.
PARADIGMA DALAM PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF
a.
Paradigma dalam penelitian
kuantitatif
Paradigma dalam penelitian
kuantitatif adalah Positivisme, yaitu suatu keyakinan dasar yang berakar
dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas itu ada (exist)
dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws).
Dengan demikian penelitian berusaha untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang
ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan (Salim, 2001:39).
Menurut Sarantakos (1993 dalam
Poerwandari, 1998:17), Positivisme melihat penelitian sosial sebagai langkah
instrumental, penelitian dianggap sebagai alat untuk mempelajari peristiwa dan
hukum-hukum sosial pada akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan
kemungkinan kejadian serta mengendalikan peristiwa.
Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan:
“The basic belief system of positivism is rooted in a realist ontology, that
is, the belief that there exists a reality out there, driven by immutable the
natural laws.” Intinya sistem keyakinan dasar dari Positivisme berakar pada
ontologi realis yaitu percaya akan keberadaan realitas di luar individu, yang
dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang tetap.
Secara
singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan dasar yang menyatakan kebenaran
itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-hukum alam yaitu hukum
kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya menurut Guba (1990:20) sistem
keyakinan dasar para peneliti positivis dapat diringkas sebagai berikut:
“Ontology: Realist-reality exists “out there” and is
driven by immutable natural laws and mechanism. Knowledge of this entities,
laws and mechanisms is conventionally summarized in the form of time and context-free generalizations. Some of
these latter generalizations take the form of cause-effect laws.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi:
bersifat nyata, artinya realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur
oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang
hal-hal di luar diri manusia (entities), hukum, dan mekanisme-mekanisme
ini secara konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak
terikat waktu dan tidak terikat konteks. Sebagian dari generalisasi ini
berbentuk hukum sebab-akibat.
“Epistomology
: Dualist/objectivist – it is both possible and essential for the enquirer to
adopt a distant, noninteractive posture. Value and other biasing and
confounding factors are thereby automatically excluded from influencing the
outcomes.”
Kutipan tersebut mempunyai arti
asumsi epistomologi: dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi peneliti
untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan interaksi dengan objek yang
diteliti. Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya secara
otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
“Methodology : Experimental/manipulate – questions
and/or hypotheses are studied in advance in propositional term and subjected to
empirical tests (falsification) under carefully controlled conditions.”
Kutipan tersebut mempunyai arti
asumsi metodologi: bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan
dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum
penelitian dilakukan dan diuji secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang
terkontrol secara cermat.
Positivisme muncul pada abad ke-19
dimotori oleh Sosiolog Aguste Comte. Comte menguraikan secara garis besar
prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih banyak digunakan. John
Stuart Hill dari Inggris (1843) memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte.
Sedang Emile Durkheim (Sosiolog Perancis) mengembangkan suatu versi positivisme
dalam Rules of the Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi
acuan bagi para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurut Emile
Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial
tersebut meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan dan
lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi
dalam penelitian positivisme informasi kebenaran itu ditanyakan oleh peneliti
kepada individu yang dijadikan responden penelitian.
b. Paradigma dalam penelitian kualitatif
Paradigma dalam penelitian kualitatif
adalah Konstruktivisme, Post Positivisme, dan Teori Kritis
a)
Konstruktivisme
Guba (1990:25) menyatakan: “But philosophers of
science now uniformly believe that facts are facts only within some theoretical
framework (Hesse, 1980). Thus the basis
for discovering “how things really are” and “really work” is lost. “Reality”
exist only in the context of mental framework (construct) for thinking about
it.”
Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu
pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse, 1980). Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar
ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam
konteks suatu kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas
tersebut. Ini berarti realitas itu ada sebagai hasil konstruksi dari
kemampuan berpikir seseorang. Selanjutnya Guba (1990:25) menyatakan “Constructivists
concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If
“reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only
through a value window. Many constructions are possible.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis
setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas”
hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui
jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba
penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat
diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa
hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba
yang terakhir tetapi penting adalah sebagai berikut: “Finally, it depicts
knwledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human
construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever
changing” (Guba, 1990:26).
Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat
digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan
merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai
kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.”
Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia
itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan
kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus.
Dari beberapa penjelasan Guba yang
dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi
manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai
dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi
berkembang terus.
Konstruktivisme ini secara embrional
bertitik tolak dari pandangan Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya
yang terkenal: “Cogito Ergo Sum,” yang artinya “Aku berpikir maka aku
ada.” Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir
bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan
hasil pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan
hasil/kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh
karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes
kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal
pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai dengan meragukan kemudian
menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini berada di samping materi. Sedangkan
prinsip ilmu pengetahuan di satu pihak berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di
pihak lain berpijak pada materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel
Kant (1724-1808). Menurut Kant ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata
merupakan pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi
oleh rasio.
Selanjutnya menurut Guba (1990:27)
sistem keayakinan dasar pada peneliti Konstruktivitas dapat diringkas sebagai
berikut:
“Ontology: Relativist – Realities
exist in the form of multiple mental constructions, socially and experientially
based local and specific, dependent for their form and content on the persons
who hold them.”
Asumsi ontologi: “realitivis –
realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda,
didasarkan secara sosial dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya,
tergantung pada mereka yang mengemukakannya.”
“Epistomogy: Subjectivist – inquirer and inquired into are fused a
single (monistic) entity. Findings are literally the creation of the process of
interaction between the two.”
Asumsi epistimologi: “subjektif –
peneliti dan yang diteliti disatukan ke dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat
tunggal (monistic). Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari
proses interaksi antara peneliti dan yang diteliti.”
“Methodology: Hermeneutic – dialectic – individual constructions are
elicited and refined hermeneutically, with the aim of generating one (or a few)
constructions on which there is substantisl consensus.”
Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi
individual dinyatakan dan diperhalus
secara hermeneutik dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi
yang secara substansial disepakati”
b)
Postpositivisme
Guba (1990:20) menjelaskan
Postpositivisme sebagai berikut: “Postpositivism is best characterized as
modified version of positivism. Having assessed the damage that positivism has
occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust
to it. Prediction and control continue to be the aim.”
Kutipan tersebut mempunyai arti
Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme.
Melihat banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung
Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya.
Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”
Salim (2001:40) menjelaskan
Postpositivisme sebagai berikut: Paradigma ini merupakan aliran yang ingin
memperbaiki kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan
pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini
bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam
kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu
realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu
secara metodologi pendekatan eksperimental melalui metode triangulation
yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Selanjutnya dijelaskan secara
epistomologis hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas
yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran
Positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau
melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut
terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara
pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat
harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi
secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang
juga mengacu pandangan Guba, Denzin dan Lincoln
dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan
Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada
sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan
kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau
tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan
realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip
trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan
lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23)
sistem keyakinan dasar pada peneliti Postpositisme adalah sebagai berikut:
“Ontology: Critical realist – reality exist but can never be fully
apprehended. It is driven by natural laws that can be only incompletely
understood.”
Asumsi ontologi: realis kritis –
artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami
sepenuhnya. Realitas diatur oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara
sempurna.
“Epistomology: Modified objectivist – objectivity remains a
regulatory ideal, but it can only be approximated with special emphasis placed
on external guardians such as the critical tradition and critical community.”
Asumsi epistomologi: objektivis
modifikasi - artinya objektivitas tetap merupakan pengaturan (regulator)
yang ideal, namun objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus
pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.
“Methodology: Modified experimental/manipulative – emphasize
critical multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more natural
settings, using more qualitative methods, depending more on grounded theory,
and reintroducing discovery into the inqury process.”
Asumsi metodologi:
eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda
yang kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam
latar yang alamiah, yang tidak banyak menggunakan metode-metode kualitatif,
lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-theory) dan
memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.
c)
Teori Kritis (Critical
Theory)
Guba (1990:23) menjelaskan Teori
Kritis sebagai berikut: “The label critical theory is no doubt inadequate to
encompass all the alternatives that can be swept into this category of
paradigm. A more appropriate label would be “ideologically oriented inquiry”,
including neo-Marxism, materialism, ferminism, Freireism, participatory
inquiry, and other similar movements as well as critical theory itself. These
perspectives are properly placed together, however because they converge in
rejecting the claim of value freedom made by positivists (and largely
continuing to be made by postpositivists).”
Kutipan tersebut mempunyai arti:
“Nama teori kritis tidak diragukan lagi bahwa tidak dapat mencakup semua
alternatif yang dapat dimasukkan dalam kategori paradigma. Lebih tepat diberi
nama penelitian yang berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme,
materialisme, feminisme, Freireisme, penelitian terlibat, dan perspektif yang
lain termasuk teori kritis itu sendiri. Perspektif-perspektif ini pantas
ditempatkan bersama karena sama-sama menolak klaim bebas nilai yang dibuat oleh
kaum Positivis (dan yang umumnya terus dibuat kaum Postpositivis).”
Sedang Salim (2001:41) dengan mengacu
pada pandangan Guba, Denzin dan Lincoln
menjelaskan bahwa aliran ini (Critical Theory) sebenarnya tidak dapat
dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut “ideologically
oriented inquiry,” yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas
yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini
meliputi: Neo Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme, Participatory
inquiry, dan paham-paham yang setara.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat
dari segi ontologis, paham Teori Kritis ini sama dengan Postpositivisme yang
menilai objek atau realitas secara kritis (Critical Realism), yang tidak
dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi
masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan
transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara
epistomologis, hubungan antara pengamat dengan realitas merupakan suatu hal
yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep
subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang
dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaraan
tentang suatu hal (Salim, 2001:41).
Dari pandangan-pandangan tersebut
dapat disimpulkan bahwa Teori Kritis (Critical theory) tidak dapat
dikatakan sebagai paradigma, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai suatu cara
pandang yang berorientasi pada ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme,
Feminisme, Freireisme, dan lain-lain. Yang penting Teori Kritis ini menolak
pandangan kaum Positivis dan postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas
nilai. Karena Teori Kritis ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat
dipisahkan dengan subjek, nilai-nilai yang dianut oleh subjek ikut mempengaruhi
kebenaran dari realitas tersebut.
Selanjutnya menurut Guba (1990:25)
sistem keyakinan dasar para peneliti Critical Theory dapat diringkas
sebagai berikut:
“Ontology : critical realist, as
in the case of postpositivism.”Artinya ontologi:
“bersifat realis – kritis, seperti Post-Positivisme.”
“Epistomology : subjectivist, in
the sense that values mediate inquiry.”Artinya
epistomologi: “subjektivis, dalam arti nilai-nilai menjadi mediasi penelitian.”
“Methodology: dialogic, transformastive; eliminate false
consciousness and energize and facilitate transformation.” Artinya
metodologi: “dialogis, transformatif; mengeliminasi kesadaran palsu dan
membangkitkan dan memfasilitasi transformasi.”
Selanjutnya akan digambarkan
perbedaan asumsi-asumsi dari paradigma Kuantitatif dengan Kualitatif lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan
penelitian yang digunakan masing-masing paradigma serta implementasi dalam
penelitian berdasarkan asumsi-asumsi dan pertanyaan-pertanyaan penelitian dari
masing-masing paradigma, sebagai berikut:
4. INTERPRETIVE, HERMENEUTIK, FENOMENOLOGI
a. Interpretive
Pada bagian ini akan dijelaskan pengertian
interpretive (Geisteswissenschaften)
dan ilmu budaya (Kulturwissenschaften).
Thomas A. Schwandt (dalam Denzin &
Lincoln, 1994: 119) mencoba menggambarkan secara lebih luas dan lebih mendalam
tentang faham interpretive dan menyatakan bahwa interpretive
merupakan ide yang berasal dari tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik,
tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan
kritik kepada aliran ilmu pengetahuan alam (scientism) dan aliran
Positivis (positivism) yang dipengaruhi oleh kritik para filosuf
terhadap logika empirisme.
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan
Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
“Painted in broad strokes,
the canvas of interpretivism is layered with ideas stemming from the German
intellectual tradition of hermeneutics and the Verstehen tradition in
sociology, the phenomenology of Alfred Schutz and critiques of scientism and
positivism of ordinary language philosophers critical of logical emperism (e.g
Peter Winch, A. R. Lough Isaiah Berlin).”
Selanjutnya Schwandt menjelaskan bahwa
secara historis argumentasi pengikut faham interpretive bahwa interpretive
digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik. Terdapat bermacam
sanggahan terhadap interpretive naturalistik (alamiah) dari ilmu
pengetahuan sosial (secara kasar pandangan tentang tujuan dan metoda ilmu
pengetahuan sosial disamakan (identik) dengan tujuan dan metoda ilmu pengetahuan
alam). Kaum interpretive berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) atau ilmu
pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften)
berbeda dengan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften).
Tujuan ilmu pengetahuan alam adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan ilmu
pengetahuan mental dan budaya adalah membentuk pemahaman (verstehen) mengenai “makna” dari fenomena sosial.
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan
Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
“Historically, at least, interpretivists
argued for the uniqueness of human inquiry. They crafted various refutations of
naturalistic interpretation of the social sciences (roughly the view that the
aims and methods of the social sciences are identical to those of the natural
sciences). They held that the mental sciences (Geisteswissenschaften) or
cultural sciences (Kulturwissenschaften) were different in kind than the
natural sciences (Naturwissenschaften): The goal of the latter is scientific
explanation (Erklaren), where as the goal of the former is the grasping or
understanding (Verstehen) of the “meaning” of social phenomena.”
Sebelum menjelaskan interpretive seperti
tersebut di atas Schwandt menjelaskan bahwa istilah-istilah Konstruktivis,
Konstruktivisme, Interpretivis dan Interpretivisme merupakan istilah-istilah
yang sehari-hari dipergunakan dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial dan oleh
ahli-ahli filsafat. Arti dari istilah-istilah tersebut dibentuk oleh maksud
para penggunanya. Konstruktivisme dan interpretivisme berfungsi memberikan
alternatif penjelasan lain yang meyakinkan secara metodologi dan filosofi yang
berpasangan. Istilah-istilah tersebut sangat tepat untuk disebut konsep yang
peka. Walaupun demikian istilah-istilah ini hanya memberikan arahan terhadap
apa yang harus diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak memberikan
penjelasan.
Hal tersebut dapat dilihat dalam pandangan
Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 118) sebagai berikut:
“Constructivist, constructivism,
interpretivist and interpretivism are terms that routenely appear in the
lexicon of social science methodologists and philosophers. Yet, their
particular meaning are shaped by the intent of their user. As general
descriptors for a loosely coupled family of methodological and philosophical
persuasions, these terms are best regarded as sentizing concepts (Blumer,
1954). They steer the interest reader in the general direction of where
instances of particular kind of inquiry can be found. However they “merely
suggest directions along which to look” rather than provide descriptions of
what to see.”
Dari penjelasan-penjelasan Schwandt tersebut
dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme, dan interpretivisme merupakan dua
istilah yang dipahami secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu
fenomena sosial. Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan
oleh ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften)
dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Sedang menurut Guba dan Denzin &
Lincoln, konstruktivisme merupakan paradigma. Hal ini telah dijelaskan secara
memadai dalam Bab II. Dalam buku Paradigm Dialog karangan Guba, maupun Handbook of Qualitative Research
karangan Denzin & Lincoln interpretivisme tidak disebut-sebut sebagai suatu
paradigma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa interpretive hanyalah
merupakan metode analisis yang dipergunakan oleh kaum Konstruktivis untuk
mendapatkan makna dari suatu fenomena. Dan dari penjelasan Schwandt pada alinea
pertama di atas juga nyata/jelas bahwa interpretive juga digunakan oleh
hermeneutik dan fenomenologi, yang keduanya juga merupakan metode analisis
sebagai kritik terhadap aliran ilmu pengetahuan alam dan positivisme yang
menggunakan logika emperisme. Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang
bertujuan memberikan penjelasan (erklaren)
maka interpretive bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen).
Untuk menjelaskan perbedaan fenomena dengan
makna dibalik fenomena (noumenon),
penulis akan mengutip uraian Spradley (1997: 5-6) dalam bukunya “The Etnographic Interview” yang telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Metode Etnografi” sebagai berikut:
“Tiga orang anggota kepolisian yang sedang
memberikan pijitan jantung dan bantuan oksigen kepada seorang wanita korban
serangan jantung, tetapi malah diserang oleh segerombolan yang terdiri atas 75
sampai 100 orang yang jelas-jelas tidak memahami upaya yang sedang dilakukan
polisi. Anggota polisi lain menghadang gerombolan yang kebanyakan berbahasa
Spanyol itu sampai sebuah ambulan datang. Para
anggota kepolisian itu menjelaskan kepada kerumunan orang itu mengenai apa yang
mereka kerjakan, tetapi kerumunan itu tetap beranggapan bahwa para anggota
polisi itu memukul wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan oleh
anggota polisi namun korban serangan jantung itu, Evangelica Echevacria, 59
tahun, meninggal dunia.”
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan
bahwa walaupun menghadapi peristiwa atau fenomena yang sama yaitu seorang
wanita yang mendapat serangan jantung, sehingga perlu diselamatkan kemudian
diberi bantuan oleh polisi, namun peristiwa tersebut diinterpretasikan sangat
berbeda oleh kelompok masyarakat tadi dengan polisi. Polisi berdasarkan
kebudayaannya menginterpretasikan wanita itu mengalami gangguan jantung,
sehingga perlu diselamatkan dengan memberikan pijitan jantung dan memberikan
oksigen kepada wanita itu. Sedang gerombolan itu mengamati peristiwa yang sama
tetapi dengan interpretasi yang berbeda. Gerombolan itu berdasarkan
kebudayaannya menginterpretasikan
tingkah laku polisi sebagai tindak kekerasan karena dipersepsikan
memukul, dan gerombolan itu bertindak untuk menghentikan perbuatan polisi yang
mereka pandang sebagai perbuatan jahat.
Dari contoh peristiwa tersebut dapat
disimpulkan bahwa:
1)
Interpretasi terhadap makna kejadian
antara polisi dan gerombolan sangat berbeda.
2)
Perbedaan interpretasi terhadap
makna kejadian tersebut disebabkan latarbelakang budaya yang berbeda.
Untuk memantapkan penjelasan bahwa suatu
peristiwa atau fenomena yang sama dapat dimaknai secara berbeda, penulis
mencoba menambah contoh dengan mengutip contoh yang diberikan oleh Clifford
Geertz (1992: 7 - 8) “The Interpretation
of Cultures, Selected Essays” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan judul: “Tafsir
Kebudayaan”. Geertz memberikan contoh tentang anak yang mengedipkan mata.
Perilaku mengedipkan mata dapat memiliki makna yang berbeda-beda. Pertama, anak yang mengedipkan mata
hanya karena kedutan. Di sini anak yang mengedipkan matanya mempunyai makna
adalah karena kedutan. Kedua, anak
yang mengedipkan mata karena memberi isyarat. Disini anak melakukan kedipan
mata dengan sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat dimulainya suatu
persekongkolan dengan sekelompok anak lain. Ketiga,
anak mengedipkan mata karena sedang latihan atau melatih orang lain untuk
bermain badut-badutan.
Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan
bahwa perilaku yang sama yaitu mengedipkan mata ternyata dapat mengandung makna
yang berbeda-beda. Menurut Geertz (1992: 6) untuk dapat memahami makna tersebut
seseorang harus melakukan “thick
description” (“lukisan mendalam”), yang pada hakikatnya sama dengan
melakukan interpretasi. Kesimpulan
ini analog dengan pernyataan Geertz (1992: 5) sebagai berikut: “Dengan percaya
pada Max Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya
sendiri, saya menganggap kebudayaan
sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya tidak merupakan ilmu
eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretif untuk mencari makna.”
b. Hermeneutik
Berikut akan dijelaskan pengertian
Hermeneutik serta fungsi dan statusnya dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan (Geisteswissenschaften) dan ilmu
pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Telah dijelaskan di atas (pada Bab II) bahwa
interpertive, hermeneutik maupun fenomenologi merupakan metode analisis yang
mempunyai tujuan yang sama yakni mencari pemahaman yang mendalam (verstehen) atau dengan kata lain mencari
makna di balik fenomena. Cara yang dilakukan adalah melakukan interpretasi
terhadap suatu fenomena. Kalau demikian apa bedanya antara interpretive dengan
hermeneutik? Untuk itu akan dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan hermeneutik.
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal
dari bahasa Yunani hermeneuin yang
berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneia
secara harfiah dapat diartikan penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini
mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang
mempunyai tugas menyampaikan pesan dewa Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes
adalah menerjemahkan pesan-pesan dewa di
Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena
itu fungsi Hermes sangat penting karena apabila terjadi kesalahpahaman tentang
pesan-pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes
harus mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam bahasa yang
dipergunakan oleh para pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol
seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi
itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan (Sumaryono,
1993: 24). Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti”. Batasan umum ini selalu dianggap benar,
baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Palmer,
1969: 3 dalam Sumaryono, 1993: 24).
Hermeneutik dalam pandangan klasik akan
mengingatkan kepada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu: bahwa
kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan
kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan.
Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang
lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan orang
lain. Akan tetapi pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara
langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga
pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (De Interpretatione, I. 16. a. 5 dalam
Sumaryono, 1993: 24).
Pada masa itu Aristoteles sudah menaruh
minat terhadap interpretasi. Menurut Aristoteles, tidak ada satu pun manusia
yang mempunyai baik bahasa tulisan maupun bahasa lisan yang sama dengan lain.
Bahasa sebagai sarana komunikasi antara individu dapat juga tidak berarti
sejauh orang yang satu berbicara dengan yang lain dengan bahasa yang berbeda.
Bahkan pengalihan arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat
menimbulkan banyak problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang
berbeda-beda. Kesulitan itu akan muncul lebih banyak lagi jika manusia saling
mengkomunikasikan gagasan-gagasan mereka dalam bahasa tertulis (Sumaryono,
1993: 24).
Dari uraian-uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa walaupun manusia mempunyai pengalaman mental yang sama,
misalnya susah, gembira, kecewa, bangga, simpati, benci, rindu dan lain-lain,
tetapi pengungkapan dalam bahasa baik bahasa tulisan maupun lisan berbeda.
Begitu pula walaupun mempunyai pengalaman mental yang sama seperti sakit,
ekspresi lisan orang yang satu dengan orang lain tidak sama. Demikian pula
dalam berkomunikasi, walaupun mereka berkomunikasi dalam bahasa yang sama,
belum tentu mereka memiliki pemahaman yang sama. Bahkan dalam pengalihan bahasa
(penerjemahan) dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dapat menimbulkan
banyak persoalan.
Pengungkapan pengalaman mental ke dalam
kata-kata yang diucapkan atau ditulis ke dalam kata-kata yang diucapkan atau
ditulis mempunyai kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah
pengalaman mental atau sebuah konsep mempunyai nuansa yang kaya dan
beranekaragam. Tetapi kekayaan dan keanekaragaman nuansa tersebut tidak dapat
tercakup seluruhnya dalam sebuah kata yang diucapkan atau ekspresi yang
diperlihatkan. Kita sering mengungkapkan pengalaman mental ke dalam kata-kata
atau ungkapan yang biasa dipakai orang pada umumnya, kita tidak berusaha
mengungkapkan dengan kata-kata yang lebih baik dan lebih jelas. Orang pada
umumnya mengungkapkan kesedihan atau kegembiraan sebagaimana orang biasanya
berbuat. Mereka pada umumnya tidak mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus
dari pengalamannya sendiri yang bersifat pribadi. Apabila kita berbicara, maka
kata-kata yang kita ucapkan pada dasarnya lebih sempit bila dibandingkan dengan
buah pikiran atau pengalaman kita. Apabila kita menuliskan pengalaman kita,
maka kata-kata yang tertulis, juga menjadi lebih sempit artinya.
Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan
bahasa. Manusia menyampaikan hasil pemikirannya melalui bahasa, kita berbicara
dan menulis dengan bahasa. Kita memahami sesuatu dan menginterpretasikan
sesuatu melalui bahasa. Begitu pula mengapresiasi sesuatu seni dengan bahasa,
atau mengungkapkan kekaguman karya seni dengan bahasa, dan lain-lain.
Hermeneutik membantu kita untuk menginterpretasikan makna yang terkandung dalam
bahasa yang tertulis dalam buku, dokumen, majalah, surat dan lain-lain, agar makna yang kita
tangkap sesuai dengan makna yang dimaksud oleh penulisnya.
Disiplin ilmu yang pertama yang banyak
menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang
mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda,
dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik
(Sumaryono, 1993: 28).
c.
Fenomenologi
Sebelum diuraikan Fenomenologi
sebagai metoda analisis dalam Penelitian Kualitatif, akan diuraikan lebih dulu
pengertian Fenomenologi.
Berdasarkan faham Fenomenologi
terbentuknya pengetahuan manusia terdapat dua hal yang pokok yaitu subjek yang
ingin mengetahui dan objek yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat
dibedakan secara jelas dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Keduanya harus ada, keduanya merupakan satu kesatuan asasi bagi terwujudnya
pengetahuan manusia. Oleh Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001: 19) dinyatakan:
“Supaya ada pengetahuan, keduanya niscaya ada, Yang
satu tidak pernah ada tanpa yang lain…..”. Pendapat ini juga sejalan dengan
pendapat Merleau Ponty (dalam Bertens, 1985: 345) yang menyatakan: “Ia
(fenomenologi) sangat menekankan hubungan dialektis antara subjek dan dunianya:
tidak ada subjek tanpa dunia dan tidak ada dunia tanpa subjek”. Oleh karena
itu menurut Husserl agar terwujud pengetahuan, subjek harus terarah pada objek
agar dapat diketahui sebagaimana adanya, sebaliknya objek harus terbuka kepada
subjek agar dapat pula diketahui sebagaiman adanya.
Di
sini perlu dipahami bahwa keterarahan subjek kepada objek hanya akan
menghasilkan pengetahuan apabila subjek yaitu manusia memiliki
kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak mungkin
dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain pengetahuan itu
hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri memiliki kesamaan dengan
objek sebagai realitas di alam semesta ini. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa hanya melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia dapat mengetahui objek
yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak mampu mengetahui dunia dan
segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan manusia dianggap bersifat temporal,
kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani,
melainkan juga memiliki jiwa atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu
mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini
berarti manusia berkat akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan
yang kongkret yang ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan
mencapai pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek
apa saja pada tempat dan waktu mana pun.
Fenomenologi
yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938) merupakan metoda untuk
menjelaskan fenomena dalam kemurniannya. Fenomena adalah segala
sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik
berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa
gagasan maupun berupa kenyataan (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).
Selanjutnya dikatakan yang penting ialah pengembangan suatu metoda yang tidak
memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya.
Untuk tujuan itu fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena
tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya
menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat memahami
fenomena sebagaimana adanya.
Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada
barangnya sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang yang tampil
sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl dalam
Delfgaauw, 1988: 105).
Usaha
kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk
melukiskan fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu.
Yang pokok adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metoda
tersebut harus dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini
dapat mengungkapkan diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi,
melainkan intuisi mengenai hakekat sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988:
105).
Selanjutnya
dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah sacara langsung terjangkau sebagaiman
adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional, artinya terarah
pada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri. Pengamatan serta
pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta upaya, semuanya
senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu. Hanya dengan melakukan
analisis mengenai intensionalitas ini kesadaran itu dapat ditemukan. Untuk itu
seorang fenomenolog harus sangat cermat “ menempatkan tanda kurung” kenyataan
dunia luar agar fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia
luar ini memerlukan metoda yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik
atau epoche (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut
terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu reduksi eidetik yang memperlihatkan
hakekat (eidos) dalam fenomena, dan reduksi transendental yang
menempatkan dalam “tanda kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia
luar. Melalui kedua macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transendental,
sedangkan kesadaran terhadap pengalaman emperik sebetulnya hanya merupakan
bentuk pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.
Sedang
Calra Willig (1999: 51) menjelaskan bahwa Fenomenologi Transendental yang
diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20 menekankan dunia yang
menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai manusia. Tujuannya ialah agar
kembali ke barangnya/bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita dan
mengesampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka.
Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia
dengan konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak
tentang kealamiahan dunia secara umum. Fenomenologi menekankan fenomena yang
tampil dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling kita
(“Transendental phenomenologi, as formulated by Husserl in the early
twentieth century, is concerned with the world as it presents itself to us as
humans. Its aim was to return to things themselves, as they appear to us
perceivers, and to set aside, or bracket, that which we (think) we already know
about them. In other words, phenomenology is interested in the world as it is
experienced by human beings within particular contexts and at particular times,
rather than in abstract statements about the nature of the world in general.
Phenomenology is concerned with the phenomena that appear in our consciousness
as we engage with the world around us”).
Menurut
prespektif fenomenologi, tidak masuk akal untuk berpikir/berpendapat bahwa
dunia objek dan subjek terpisah dari pengalaman kita. Ini dikarenakan seluruh
objek dan subjek harus hadir kepada kita sebagai sesuatu, dan manifestasinya
seperti sesuatu ini atau itu membentuk realitasnya pada saat manapun.
Penampilan suatu objek sebagai fenomena konseptual bervariasi menurut lokasi
dan konteks, segi pandang, dan terpenting, orientasi mental dari penerima
(misalnya hasrat, kebijakan, penilaian, emosi, maksud dan tujuan). Inilah yang
disebut intensionalitas. Intensionalitas membiarkan objek menampakan diri
sebagai fenomena. Ini berarti bahwa “diri” dan dunia merupakan
komponen-komponen makna yang tidak dapat dipisahkan (Moustakas, 1994: 28). Di
sini makna bukan merupakan sesuatu yang ditambahkan pada presepsi, sebagai
sesuatu yang dipikirkan sesudah presepsi, sebaliknya presepsi selalu bersifat
intensional, oleh karena itu merupakan unsur pengalamannya itu sendiri. Akan
tetapi pada waktu yang sama fenomenologi transendental mengakui bahwa presepsi
kurang lebih dapat menyatu dengan ide-ide atau keputusan-keputusan.
Fenomenologi mengidentifikasi strategi-strategi yang dapat membantu memfokuskan
diri dimana letak kemurnian fenomenologi (Husserl, 1931: 262), dan
merefleksikan apa yang kita bawa serta pada aktivitas presepsi dengan merasa,
berpikir, mengingat dan memutuskan. Hal ini merupakan implikasi metodologi
fenomenologi (“According to a phenomenological perspective, it makes no
sense to think of the world of objects and subjects as separate from our
experience of it. This is because all objects and subjects must present
themselves to us as something, and their manifestation as this or that
something constitutes their reality at any one time. The appearance of an
object as a perceptual phenomenon varies depending upon the perceiver’s mental
oriention (e. q. desires, wishes, judgements, emotions, aims and purposes).
This is refered to as intentionality. Intentionality allows objects to appear
as phenomena. This means that “self and world are inseparable components of
meaning” (Moustakas 1994: 28). Here, meaning is not something that is added on
to perception as an afterthought; instead, perception is always intentional and
therefore constitutive of experience itself. However, at the same time,
transcendental phenomenology acknowledeges that perception can be more or less
infused with ideas and judgements. It identifies strategies that can help us to
focus on “ that which lies before one in phenomenological purity” (Husserl,
1931: 262), and to reflect on that which we bring to the act of perception
through feeling, thingking, remembering and judging. This takes us on to the
methodological implications of phenomenology (Willig, 1999:51).
Metode Fenomenologi
Metode fenomenologi derivasi (diturunkan dari asalnya) fenomenologi
membentuk bagian sentral dari fenomenologi transendental. Husserl menyatakan
adalah mungkin mentransendensikan prasangka dan bias, dan mengalami suatu
keadaan dari kesadaran yang belum direfleksikan yang menggambarkan fenomena
sebagai mereka yang menampakkan dirinya sendiri kepada kita. Husserl
mengidentifikasikan serangkaian tahap akan diambil filsof dari persepsi segar
tentang fenomena yang dikenal untuk menggali ciri khusus fenomena. Pengetahuan
yang berasal dari cara ini yaitu dari pikiran sehat, penjelasan ilmiah dan
interpretasi-interpretasi lain atau abstraksi-abstraksi yang menjadi ciri
pemahaman yang lain. Pengetahuan seperti itu akan menjadi suatu pengetahuan
tentang dunia sebagai ia menampakkan kepada kita dalam hubungan kita dengannya.
(“The phenomenological method of deriving forms a central part of
transcendental phenomenology. Husserl suggested that it was possible to
transcend presuppositions and biases and to experience a state of
pre-reflective consciousness, which allows us to describe phenomena as they
present themselves to us. Husserl identified a series of steps that would take
the philosopher from a fresh perception of familiar phenomena to the extraction
of the essences that give the phenomena their unique character. Knowledge
derived in this way would be free from the common-sense notoins, scientific
explanations and other interpretations or abstractions that characterize most
other forms of understanding. It would be a knowledge of the world as it
appears to us in our engagement with it” (Willig, 1999: 52).
Selanjutnya
dijelaskan bahwa metoda fenomenologi meliputi 3 (tiga) fase perenungan yang
membedakan yaitu: epoche, reduksi fenomenologi dan variasi
imajinatif. Epoche mensyaratkan penundaan perkiraan dan asumsi, penilaian
dan interprestasi untuk memungkinkan kita menyadari secara penuh keberadaan apa
yang nyata. Pada tahap reduksi fenomenologi kita menggambarkan
fenomena yang menampakkan dirinya kepada kita secara total/utuh. Penggambaran
itu meliputi penampilan fisik seperti bentuk, ukuran, warna, dan juga ciri-ciri
pengalaman seperti pemikiran dan perasaan yang muncul dalam kesadaran kita
ketika kita mengarahkan ke fenomena. Melalui reduksi fenomenologi kita
mengidentifikasi unsur-unsur hakiki pengalaman akan fenomena. Dengan kata lain
kita menjadi sadar tentang pengalaman seperti adanya. Variasi imajinatif meliputi
usaha mencapai susunan komponen fenomena. Apabila reduksi fenomenologi
bertalian dengan “apa” yang dialami (yaitu teksturnya), imajinasi “menanyakan”
bagaimana pengalaman itu mungkin (yaitu struktur). Tujuan variasi imajinasi
adalah mengidentifikasikan kondisi yang berhubungan dengan fenomena dan tanpa
hubungan tersebut tidak mungkin akan menjadi sesuatu. Kondisi ini dapat
meliputi waktu, ruang atau hubungan social. Akhirnya gambaran tekstural dan
struktural diintegrasikan untuk sampai pada pemahaman tentang esensi fenomena. (“The phenomenological method of gaining
understanding involves three distinct phases of contemplation: ephoce,
phenomenological reduction and imaginative variation (for a detailed account of
these, see Moustakas 1994). Epoche requires the suspension of presuppositions
and assumptions, judgements and interpretations to allow ourselves to become
fully aware of what is actually before us. In phenomenological reduction we
describe the phenomenon that present itself to us it totality. This includes
physical features such as shape, size, colour and texture, as well as
experiential features such as the thought and feelings that appear in our
consiousness as we attend to the phenomenon. Through phenomenological
reduction, we identify the constitutens of our experience of the phenomenon. In
other words, we become aware of what makes the experience what it is.
Imaginative variation involves an attempt to access the structural components
of the phenomenon. That is, while phenomenological reduction is concerned with
“what”is experienced (i.e. its texture), imaginative variation asks “how” this
experience is made possible (i.e. its structure). The aim of imaginative
variation is to identify the conditions associated with the phenomenon and
whitout which it would not be what it is. This could involve time, space or
social relationships. Finally, textural and structural descriptions are
integrated to arrive at an understanding of the essence of the phenomenon”)
(Willig, 1999: 52).
Fenomenologi dan Psikologi
Menurut
Willig (1999: 52) meskipun fenomenologi transcendental dipahami sebagai sistem
pemikiran filsafat, rekomendasinya telah terbukti menarik minat peneliti ilmu
pengetahuan sosial umumnya dan psikologi khususnya. Hal ini disebabkan
fenomenologi memfokuskan diri pada isi kesadaran dan pengalaman individu
tentang dunia, seperti yang dinyatakan oleh Kvale (1996 b: 53) sebagai berikut:
Fenomenologi berminat menguraikan apa yang nampak maupun
cara bagaiman sesuatu menampakkan diri. Fenomenologi mempelajari perspektif
subjek tentang dunianya; berusaha menjelaskan secara detail isi dan kesadaran
subjek, berusaha menujukkan keragaman kualitatif dari pengalaman-pengalaman
mereka dan mengungkapkan makna-makna yang esensiil pengalaman-pengalaman
tersebut.
(“Even though
transcendental phenomenology was conceived as a philosophical system of
thought, its methodological recommendations have proved to be of interest to
researchers in the social sciences in general and psychology in particular.
This is because phenomenology focuses upon the content of consciousness and
individual’s experience of the word as Kvale (1996 b:53) put in:
Phenomenology is
interested in elucidating both that which appears and the manner in which it
appears. It studies the subjects perspectives of their word; attempts to
describe in detail the content and structure of the subjects consciouness, to
grasp the qualitative diversity of their experiences and to explicate their
essential meanings.
Selanjutnya dijelaskan: Penelitian empiris fenomenologi
dalam psikologi telah dirintis dan diaplikasikan secara ekstentif pada
Universitas Duquesne di Amerika Serikat (lihat Van Kaam 1959, 1994; Georgi
1970, 1990; Georgi et al 1975). Topik-topik penelitian fenomenologi meliputi:
“pemahaman perasaan” (Van Kaam 1959), “belajar” (Georgi 1975,1985), “ jadi
kurban” (Fisher dan Wertz, 1979), “amarah” (Stevick 1971), dan banyak fenomena
yang lain dari pengalaman manusia. Kenyataanya pengalaman manusia dapat dianalisis
secara fenomenologis. Inilah alasan lain mengapa fenomenologi merupakan
pendekatan yang menarik bagi peneliti-peneliti psikologi. Akan tetapi terdapat
perbedaan dalam fokus dan penekanan antara fenomenologi transcendental dan
penggunaan metoda fenomenologi dalam psikologi. (“Emperical phenomenonlogical research in psychology was pioneered and
applied extensively at Duquesne
University in the USA (see Van
Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1994; Georgi et al. 1975). Topics of
phenomenological investigation include “feeling understood” (Van Kaam 1959),
“learning” (Georgi 1975, 1985), “being victimized” (Fisher and Wentz 1979),
“angry” (Stevick 1971), and many other phenomena of human experience. In fact,
any human experience can be subjected to phenomenological analysis. This is
another reason why this approach appeals to psychological researchers. However,
there are differences in focus and emphasis between transcendental
phenomenology and the use of the phenomenological method in psychology (Willg,
1999:52-53).
Spinelli
(1989) menunjukan bahwa psikologi fenomenologi lebih memperhatikan keberagaman
dan variasi pengalaman manusia dibandingkan dengan identifikasi tentang
esensi-esensi dalam pandangan Husserl. Sebagai tambahan penelitian-penelitian
fenomenologi dalam psikologi mengklaim bahwa seluruh prasangka dan bias-bias
dalam suatu perenungan tentang suatu fenomena. Lebih dari itu usaha memberi
tanda kurung fenomena membolehkan peneliti menggunakan pengujian secara kritis
atau cara yang biasa digunakan untuk mengetahuinya. Akhirnya sangat penting
untuk membedakan antara perenungan fenomenologi tentang suatu objek atau
kejadian sebagaimana menampakan dirinya kepada peneliti, dengan analisis
fenomenologi atas catatan pengalaman khusus seperti yang ditampilkan oleh
penelitian terlibat. Analisis fenomenologis menuntut (mensyaratkan) perhatian
intropektif oleh seseorang terhadap pengalamannya sendiri, sementara analisis
terhadap laporan pengalaman terlibat berupaya “masuk dalam” pengalaman orang
lain atas dasar deskripsi mereka tentang pengalamannya. Dalam penelitian
psikologi fenomenologi menggunakan laporan penelitian terlibat dijadikan
fenomena oleh peneliti. (“Spinelli (1989)
pointed out that phenomenological psychology is more concerned with the
diversity and variability of human experience than with the identification of
essences in Husserl’s sense. In addition, few, if any, phenomenological
researchers in psychology would claim that it is possible to suspend all
presuppotions and biases in one’s contemplation of a phenomenon. Rather the
attempt to bracket the phenomenon allows the researchers to engage in a
critical examination of his or her customary ways of knowing (about) it (see
reflexity. p. 10). Finally, it is important to differentiate between phenomenological
contemplation of an object or event as it present it self to the researcher,
and phenomenological analysis of an account of a particular experience as
presented by a research participant. The former requires introspective
attention to one’s own experience, where as the latter an attempt to “get
inside” someone else’s experience on the basis of their description of it. In
phenomenological psychological research, the research participotion’s account
becomes the phenomenon with which the researcher engages”) (Willig, 1999: 53).
NB : SOBAT INGIN VERSI LENGKAPNYA , SILAHKAN REQUEST DIKOLOM KOMENTAR DAN TINGGALKAN ALAMAT E-MAIL SOBAT...................
0 Response to "KARYA TULIS ILMIAH PENDIDIKAN PERBEDAAN ILMU PENGETAHUAN ILMIAH (SCIENCE) DENGAN PENGETAHUAN (KNOWLEDGE)"
Posting Komentar