A. PENDAHULUAN
Berbagai macam implikasi yang ditimbulkan dari fenomena
golput sebagaimana telah dijelaskan pada halaman abstraksi sebelumnya, fenomena
ini menjadi sangat menarik untuk dicermati dan diteliti. Permasalahan yang
berkembang adalah tentang seputar fenomena golput tersebut dan untuk mengetahui
alasan-alasan masyarakat untuk tidak berpartisipasi dalam perhelatan ini.
Adapaun penelitian ini dilakukan untuk mendeskripskan secara faktual tentang
fenomena ini sekaligus menjelaskan alasan-alasan masyarakat untuk tidak
berpartisipasi dalam Pilgub Jateng 2008.
Pada dasarnya, keikutsertaan warga negara dalam
pemilihan umum yang merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Ramlan Surbakti yaitu memilih atau tidak
memilih dalam pemilu.[1]
Sehingga, keputusan untuk tidak memilih ini juga merupakan suatu pilihan yang
memungkinkan untuk diambil. Hal ini merupakan bentuk konsekuensi dari berbagai
macam karakteristik perilaku politik masyarakat yang oleh Bone dan Renney
diuraikan antara lain menyumbang dan memberikan dana bagi organisasi,
mendirikan organisasi, menjadi anggota organisasi, mengemukakan pendapat,
memberikan suara dan bersikap apolitis.
Sebenarnya perilaku memilih merupakan bentuk partisipasi
politik aktif yang paling kecil dari masyarakat karena hal itu hanya menuntut
suatu keterlibatan minimal yang akan berhenti jika pemberian suara telah
terlaksana.[2]
Meskipun demikian perilaku memilih menjadi sebuah obyek penelitian menarik bagi
para ilmuwan sosial, termasuk perilaku memilih di Indonesia. Hal ini dikarenakan
pluralitas yang terdapat dalam masyarakat Indonesia, yaitu kemajemukan suku,
agama, ideologi, aliran dan budaya politik dalam masyarakat yang dapat mepengaruhi
sikap dan perilaku memilih masyarakat terhadap pemilihan partai maupun calon
kepala daerah tertentu. Lebih menarik lagi dicermati, bahwa ternyata pola
perilaku masyarakat pemilih di Indonesia cenderung tidak bersifat rasional
dalam arti bahwa para pemilih di Indonesia menentukan pilihannya terhadap
partai tertentu bukan semata-mata karena perhitungan rasional tentang manfaat
yang akan mereka terima, namun cenderung didasarkan oleh faktor-faktor yang
bersifat tradisional dan ikatan-ikatan emosional yang dibangun sebagai akibat
internalisasi nilai yang mereka pilih dari suatu generasi ke generasi
sebelumnya.[3]
Maka, konsep identifikasi kepartaian menjadi sangat relevan dalam memahami
perilaku memilih masyarakat.
Selanjutnya berbagai macam pendekatan dalam perilaku
memilih ini banyak sekali dijelaskan oleh beberapa pakar, namun yang cenderung
cocok dengan kondisi dewasa ini adalah konsep dari J. Kristiadi yang
diantaranya adalah pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, dan pendekatan
ekonomis.[4]
Pendekatan sosiologis menyangkut pada masalah status sosial, profesi, agama dan
lain sebagainya. Sedangkan pendekatan psikologis mengacu pada identifikasi
partai, dan juga penilaian terhadap isu-isu politik. Pendekatan ekonomis
menghitung untung rugi atas isu-isu yang berkembang atau kebijakan politik
tertentu. Lebih lanjut beliau juga menambahkan satu pendekatan dalam memahami
perilaku memilih yang dinamakan pendekatan sosio kultural. Pendekatan sosio
kultural merupakan penggabungan pendekatan sosiologis dan psikologis. Asumsi
dari pendekatan sosio kultural adalah bahwa sejarah suatu bangsa dalam suatu
dinamika terus-menerus antara kemauan untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan dan hasrat mempertahankan nilai-nilai, kebiasaan, adat, serta
kepercayaan yang dianggap sebagai jati diri, masyarakat tersebut. Jadi dalam
memahami perilaku pemilih perlu melihat kultur yang ada dalam masyarakat.
Karena kultur masyarakat berpengaruh dalam kehidupan politik masyarakat yang
bersangkutan.
Sesuai dengan fokus penelitian tentang fenomena golput,
maka didapatkan berbagai alasan yang melatarbelakangi seseorang/individu tidak berpartisipasi dalam
pemilu/pilkada, didapat faktor-faktor dari beberapa ahli diantaranya seperti
yang termuat dalam Tabloid Suara Islam (tidak dijelaskan penulisnya), namun
diperkuat juga oleh Eep Saefulloh Fatah[5] yang
telah merangkum sebab-sebab orang untuk golput, diantaranya adalah:
1) Golput teknis,
hal ini dikarenakan sifat teknis berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara,
atau salah mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tak sah, atau tidak terdaftar
sebagai pemilih karena kesalahan teknis pendataan penyelenggara pemilu.
2) Golput politis, hal ini untuk
masyarakat yang tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau pesimistis
bahwa pemilu/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan.
3) Golput ideologis, yang tak
percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat didalamnya
entah karena alasan nilai-nilai agama atau alasan politik-ideologi lain.
Eep Saefulloh Fatah menambahkan bahwa ada
juga sebab teknis-politis, dimana mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih
karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara
pemilu). Namun alasan tersebut penulis kategorikan sama dengan golput teknis
untuk mempermudah dalam menganalisa. Sebenarnya terdapat banyak uraian-uraian
tentang alasan-alasan seseorang/individu golput, namun penulis menganggap bahwa
uraian di atas sudah cukup untuk mewakili realitas yang terjadi dewasa ini.
B. METODE PENELITIAN
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan
adalah explorationare reaseach yaitu tipe penelitian yang bertujuan
untuk menemukan fenomena-fenomena baru.
2.
Sumber Data
Jenis dan sumber data yang
digunakan untuk membantu penelitian berupa:
a. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh
secara langsung dari sumbernya atau responden, yang diperoleh melalui wawancara
dengan melakukan interview dengan narasumber dan responden atau sampel yang
berhubungan dengan penelitian ini.
- Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh
secara tidak langsung dari sumbernya, yaitu data yang diperoleh dari
laporan-laporan, internet, surat kabar, dokumen-dokumen, jurnal-jurnal, dan
buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.
Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data yang digunakan adalah:
a.
Observasi
Yaitu pengamatan langsung yang
dilakukan oleh penulis di lapangan untuk memperolah data yang lebih akurat.
b.
Wawancara
Yaitu mengumpulkan data dengan
melakukan wawancara secara langsung dengan narasumber atau informan melalui
tanya jawab lisan.
c.
Kuesioner
Yaitu pengumpulan data dengan
memberikan kuesioner kepada mesyarakat Kota Semarang yang dipilih sebagai
responden dalam penelitian ini.
d.
Dokumentasi
Yaitu pengumpulan data yang
berasal dari sumber-sumber data yang berupa catatan literatur dan buku-buku
yang berhubungan dengan penelitian.
4.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh jumlah masyarakat Kota Semarang yang tidak menggunakan hak pilihnya,
yang tersebar di 16 kecamatan. Sedangkan teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan multistage
random sampling atau sampel acak bertahap dimana peneliti mengambil jumlah
sampel sebanyak 100 responden.
100 responden tersebut diambil dari
tiga (3) kecamatan yang masing-masing mewakili kecamatan yang memiliki tingkat
golput tinggi, sedang dan rendah. Ketiga kecamatan tersebut adalah Kecamatan
Semarang Tengah (tinggi), Kecamatan Semarang Barat (sedang) dan Kecamatan
Gunungpati (rendah).
Adapun untuk masing-masing kecamatan
terpilih tersebut, peneliti juga menunjuk tiga (3) kelurahan yang mewakili
tingkat golput yang tinggi, sedang dan rendah. Dari kriteria tersebut
didapatkan, untuk Kecamatan Semarang Tengah adalah Kelurahan Pindrikan Kidul
(tinggi), Kelurahan Miroto (sedang), dan Kelurahan Sekayu (rendah). Sedangkan
untuk Kecamatan Semarang Barat ditunjuk Kelurahan Kalibanteng Kidul (tinggi),
Kelurahan Cabean (sedang) dan Kelurahan Gisikdrono (rendah). Selanjutnya untuk
Kecamatan Gunungpati, ditunjuk Kelurahan Sekaran (tinggi), Kelurahan Ngijo
(sedang) dan Kelurahan Mangunsari (rendah).
5. Teknik Pengolahan Data
Dalam penelitian ini pengolahan data yang akan
dilakukan adalah:
1. Editing
Editing adalah kegiatan meneliti
jawaban responden dari hasil kuesioner yang memakai daftar pertanyaan agar
benar-benar sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.
2. Tabulating
Kegiatan
yang dilakukan dalam tabulasi adalah menyusun dan menghitung data hasil
pengkodean untuk kemudian disajikan dalam bentuk tabel.untuk
memudahkan analisis masing-masing kelompok.
6.
Teknik Analisa Data
Analisa data merupakan proses
pengolahan data ke dalam yang lebih mudah dimengerti dan diinterpretasikan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode analisis data menggunakan SPSS for Windows.
C. HASIL
PENELITIAN
Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan, dihasilkan bahwa perolehan angka golput yang tinggi di
Kota Semarang (37,52%) disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :
1. Lemahnya Sosialisasi tentang
Pilgub
Pemerintah dalam hal ini Pemprov
Jawa Tengah dan Pemkot Semarang
serta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dirasa masih sangat kecil peranannya dalam
rangka mensosialisasikan pengetahuan tentang Pilgub Jateng ini. Hal ini
terbukti dari hasil wawancara yang diwakili oleh 100 responden pemilih golput,
mayoritas mereka tidak mengetahui secara lengkap para kandidat yang
berkompetisi dalam Pilgub Jateng 2008.
2. Lebih Mementingkan Kebutuhan
Ekonomi
Tuntutan ekonomi merupakan
kebutuhan yang paling mendesak bagi mayoritas responden. Dengan demikian,
apabila dihadapkan pada pilihan antara harus bekerja atau menyempatkan diri
datang ke TPS untuk berpartisipasi dalam Pilgub maka mayoritas responden lebih
memilih untuk bekerja. Pernyataan ini terbukti dengan data dimana sebesar 63%
responden mengaku golput karena alasan pekerjaan.
3. Sikap Apatisme terhadap Pilgub
Dalam perspektif politis,
mayoritas responden (67%) menganggap bahwa dengan dilaksanakannya Pilgub ini
tidak akan membawa perubahan apapun baik terhadap provinsi maupun kehidupan
mereka. Menurut mereka perhelatan semacam Pilgub ini hanyalah sebuah rutinitas
politik saja tanpa menjanjikan suatu perubahan yang berarti. Mayoritas
responden mengaku jenuh dengan silih bergantinya pemimpin yang masih saja tidak
dapat memperbaiki keadaan.
D. PEMBAHASAN
Sosialisasi Pilgub Jateng 2008 yang
selama ini dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah maupun Pemerintah
Kota Semarang dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum sepadan dengan tingkat
partisipasi politik masyarakat dalam penggunaan hak pilih dalam Pilgub. Di Kota
Semarang, sebagai obyek penelitian ini, tingkat partisipasi politik masyarakat
sangat rendah, terbukti dari data yang terhimpun, yakni 409.459 dari
keseluruhan jumlah pemilih sebanyak 1.091.189 pemilih atau sebesar 37,52%.
Sosialisasi Pilgub yang ternyata hanya sekedar menginformasikan akan adanya
Pilgub belum menyentuh kesadaran pemilih akan pentingnya Pilgub bagi pemilih. Ini terlihat dari data yang diperoleh dimana pengetahuan dari
responden yang telah peneliti jaring tentang adanya Pilgub sangat rendah.
Pengetahuan mendasar tentang Pilgub seperti contohnya
pengetahuan tentang kandidat gubernur/wakil gubernur hingga mencapai 10%
responden yang tidak mengetahui sama sekali nama-nama kandidat dari jumlah
keseluruhan responden. Namun terlepas dari pengetahuan tersebut, mayoritas
responden menyadari bahwa sebenarnya jabatan gubernur ini penting (sebanyak
62%) dan cukup penting (17%).
Sedangkan informasi yang diterima masyarakat tentang
Pilgub, mayoritas responden mendapatkannya dari koran dan majalah (46%). Berdasarkan
hasil wawancara yang mendalam dengan responden, hal ini dikarenakan media
tersebut menyuguhkan informasi tentang Pilgub jauh-jauh hari sebelum
dilaksanakannya perhelatan tersebut, sedangkan media seperti
brosur/selebaran/pamflet/spanduk muncul hanya pada saat mendekati saja. Lebih
lanjut media televisi yang juga sering menampilkan berita-berita tentang pilgub
kurang dapat menjadi perhatian bagi mayoritas responden, hal ini dikarenakan
aktifitas responden yang sudah jarang berlama-lama di depan televisi karena
mobilitas pekerjaan yang tinggi. Selain daripada itu, tayangan televisi yang
memuat tentang informasi Pilgub mayoritas hanya ditayangkan oleh beberapa
stasiun televisi lokal saja, sedangkan rating televisi lokal tersebut dewasa
ini semakin kecil. Sedangkan media informasi radio, dewasa ini juga sudah
kurang diminati oleh responden, sehingga informasi tentang Pilgub dari media
ini dirasa kurang mendapatkan perhatian dari responden.
Selanjutnya dalam memahami permasalahan yang muncul pada
individu seputar alasan responden untuk tidak berpartisipasi dalam Pilgub
(golput), peneliti membagi kondisi pelaku golput tersebut kedalam beberapa
kategori, diantaranya adalah alasan teknis, alasan politis dan alasan
ideologis. Penjelasan sebagai hasil dari penelitian ini terkait dengan latar
belakang kondisi pelaku golput tersebut adalah sebagaimana yang peneliti
sajikan di bawah ini.
Kondisi Pelaku Golput
1. Alasan Teknis
Sebagian besar responden mendapatkan kartu pemilih dan
undangan (92%). Namun apabila melihat pemilihan ini bagi responden adalah
sebuah hak, maka sekecil apapun prosentase yang tidak mendapatkan kartu pemilih
dan undangan (8%), sebenarnya hal ini tidak harus terjadi. Fenomena inilah yang
menjadi perdebatan selama ini, banyak masyarakat yang menuntut kepada
pihak-pihak terkait karena dirinya tidak tercantum dalam Dafar Pemilih Tetap
(DPT) dalam Pilgub Jateng 2008.
Sedangkan alasan teknis lainnya adalah keadaan dimana
kemungkinan responden memiliki kegiatan lain yang dapat menghalangi datang ke
Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan suaranya. Berdasarkan hasil yang
peneliti peroleh, mayoritas responden memiliki kegiatan lain yang menghambat
untuk memberikan suaranya (63%). Kebanyakan dari responden lebih mementingkan
kebutuhan ekonomi daripada mengurusi kegiatan Pilgub ini yang menurut mereka
tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka.
2. Alasan Politis
Mayoritas responden
yang berhasil peneliti jaring, mereka beranggapan bahwa dengan adanya Pilgub
ini tidak akan membawa perubahan yang signifikan. Sebanyak 67% responden
meyakini hal ini, karena sikap apatis yang sangat tinggi. Sikap apatis ini
bukan tanpa alasan, responden pada umumnya telah jenuh terhadap
fenomena-fenomena silih bergantinya pemimpin yang menurut mereka semata-mata
hanyalah perebutan kekuasaan untuk kepentingan elit itu sendiri. Terlebih,
ketidakpercayaan responden juga semakin tinggi karena setiap kali diadakannya
perebutan kursi kepemimpinan, mereka selalu saja disuguhkan dengan adanya
ambisi-ambisi kekuasaan yang teramat fulgar dari para kandidat. Fenomenademikian semakin meyakinkan responden bahwa setiap kali diadakannya perhelatan
pemilihan pemimpin semacam Pilgub ini, responden hanya dijadikan sebuah alat
untuk mengantarkan kandidat untuk menggapai ambisi kekuasaannya. Setelah
mendapatkan kekuasaan itu, sebagaimana sebuah alat yang sudah terpakai
fungsinya, maka akan dibuang begitu saja karena sudah hilang nilai manfaatnya.
Demikian halnya anggapan responden. Setelah pemilihan berakhir, maka mereka
akan terlupakan begitu saja.
Sejalan dengan itu,
mayoritas responden (63%) juga menganggap bahwa dari segi sistem pemerintahan,
dengan diadakannya Pilgub ini tidak akan membawa perubahan yang mendasar.
Sistem birokrasi yang sudah sedemikian parahnya ini akan tetap sulit untuk
adanya kemungkinan sebuah restrukturisasi.
3. Alasan Ideologis
Secara ideologis,
mayoritas responden menilai bahwa perhelatan Pilgub Jateng 2007 ini adalah
instrumen yang tepat dalam memilih seorang pemimpin (gubernur), yakni sebesar
71%. Responden pada umumnya sepaham bahwa pengalaman masa lalu tentang sebuah
demokrasi yang terkekang harus diubah, dan cara yang paling tepat untuk
perubahan tersebut adalah dengan proses pemilihan pemimpin secara langsung oleh
masyarakat sebagaimana Pilgub Jateng 2008 ini.
Berkaitan dengan
anggapan responden pada pendekatan politis, dimana mayoritas responden
menganggap bahwa tidak akan adanya perubahan pemerintahan kearah yang lebih
baik sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, di lain sisi mayoritas
responden menganggap bahwa sistem pemerintahan yang telah berlangsung ini sudah
tepat. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa sistem pemerintahan yang sedang
berlangsung ini sudah sesuai, namun menurut responden sistem ini dalam
prakteknya masih kurang tepat.
E. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, perolehan angka golput yang tinggi di Kota Semarang (37,52%)
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :
1. Lemahnya Sosialisasi tentang
Pilgub
2. Lebih Mementingkan Kebutuhan
Ekonomi
3. Sikap Apatisme terhadap Pilgub
Saran
Sosialisasi dalam rangka memberikan pemahaman terhadap
masyarakat tentang sebuah pemilihan umum, dalam hal ini Pilgub jateng 2008,
hendaknya tidak saja pada hal-hal yang bersifat simbolis. Berdasarkan apa yang
telah didapat dari proses penelitian ini, maka dapat peneliti simpulkan bahwa pendekatan
yang paling mendasar sebenarnya adalah sosialisasi tentang peningkatan
kesadaran masyarakat dalam hal berdemokrasi. Hal ini menjadi instrumen yang
sangat penting sebagai pondasi yang kuat dalam meningkatkan partisipasi politik
masyarakat.
Selanjutnya untuk para elit yang bersaing dalam
kompetisi Pilgub ini, hendaknya lebih bersikap “tahu diri” sebelum memutuskan
untuk memenuhi ambisinya maju sebagai kandidat dalam Pilgub ini. Sikap “tahu
diri” ini berarti mereka harus mengerti dengan pasti kekuatan politiknya akan
dapat benar-benar bersaing dengan kompetitor lainnya. Peneliti menganggap sikap
ambisius para kandidat (terutama mereka yang kurang populer) cenderung terlalu
dipaksakan, sehingga hanya membuang-buang energi saja, terlebih dalam hal
finansial yang sudah pasti akan mengeluarkan biaya banyak sekali dalam
mengarungi Pilgub ini.
Analisa tersebut peneliti ajukan dengan mengutip sebuah
strategi perang oleh Sun Tzu (tokoh seni perang dari Tiongkok) yang mengatakan
bahwa :
Peneliti sengaja mengutip pernyataan tersebut karena ajang kompetisi
dalam Pilgub ini sama halnya dengan sebuah perang, dimana beberapa kekuatan
saling melawan untuk mendapatkan sebuah kemenangan, dan siapa yang kuat maka
dialah yang menang, kemudian strategi memahami kekuatan diri sendiri dan lawan
adalah cara yang perlu dilakukan untuk mencapai kemenangan tersebut.
Lebih lanjut, untuk mengurangi lemahnya afiliasi
kepartaian dalam memilih sosok cagub, hendaknya peranan partai politik dalam
Pilgub tidak sebatas hanya sebagai “kendaraan politik” calon Gubernur. Sehingga
calon gubernur yang diusung oleh masing-masing partai politik merupakan representasi
dari ideologi dan platform partai yang bersangkutan.
Tidak munculnya tokoh partai sebagai figur yang cocok
dan berkompeten dalam menduduki jabatan Gubernur Jateng, dapat diartikan
sebagai lemahnya kaderisasi partai politik. Untuk itu, diperlukan adanya
revitalisasi peran parpol dalam proses rekruitmen politik.
F. DAFTAR RUJUKAN
Arikunto , Suharsimi. Prosedur Penelitian,
Suatu Pendekatan Praktek, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
1998
Ariya, “Golput”, Kopipait 2006 Komunitas
Angkringan Jogjakarta, 12 Agustus 2008.
Asfar, Muhammad. Beberapa
Pendekatan Dalam Memahami Perilaku Memilih, Jurnal Ilmu Politik, vol. 16, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, Hal 47
Gaffar, Afan. Javanese Voters, A
Case Study of Election Under Hegemone, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1992, Hal 2
Gaffar, Afan. Menampung
Partisipasi Politik Rakyat, dalam jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP
UGM, Yogyakarta, 1997, Hal. 11
Kristiadi, Joseph.
Pemilu dan Perilaku Memilih, Suatu Studi Kasus Tentang Perilaku memilih di Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah Pada Pemilu 1971-1987, Tesis
UGM, Yogyakrta, 1994, Hal. 74-76
Nurhasim, Moch. (edt), Konflik Antar Elit Politik Lokal.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2005. hal. 3.
Nursal, Adman. Political Marketing, Strategi Memenangkan
Pemilu, Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden,
Gramedia, Jakarta, 2004, Hal 54
Rush, Michael dan Philip
Arthaoff, “Terjemahan Pengantar Sosiologi
Politik”, Rajawali Pers, 1986, hal.146.
Surbakti, Ramlan. Memahami
Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1999, Hal 145
Sumber-sumber lain :
Ardianto dalam “Mengapa Golput?”, 13 Agustus 2008.
Dokumentasi
KPUD Provinsi Jateng dan KPU Kota Semarang
Fatah, Eep
Saefulloh, “Analisis Politik : Mengelola
Golput Jakarta”, 21 Pebruari 2008
“Golput
Meningkat Cerminan Apatisme Rakyat Meluas”, Tabloid Suara Islam edisi 47 Tgl 4-17 Juli 2008
”Hak-Hak Dewan dan implikasinya”, dalam www..pikiran+rakyat.com, diakses
tanggal 16 Desember 2006
Haramain, A. Malik. “Golput, Cermin Kegagalan Partai”,
Kompas, 23 September 2003
KPU
Provinsi Jawa Tengah, dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi
Mahfiz,
Irgan Chairul. ”Ajakan Golput Akibat
Frustasi Politik”, Berita Sore, 8 Agustus 2008
Penghitungan
Suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Tahun 2008, 1 Juli 2008
Permana,
Setia. ”Dalam Mengefektifkan Kepemimpinan
Daerah, Implementasi”
Rawinarno,
Tjahyo ”Perilaku Memilih Masyarakat”,
newblueprint, 17 Juni 2008.
focus group discussion, Prof. Ganjar Kurnia, di Lounge Gedung
Rektorat Baru, Jumat (15/08/08)
Sule, Erni
T. “Ada Apa dengan Golput?!” Padjajaran
Live, 16 Agustus 2008
Widodo, Slamet. “Fatwa Golput, Surga Dunia atau Surga Akhirat?” 16 Juli 2008
0 Response to "SKRIPSI ILMU PEMERINTAHAN FENOMENA GOLPUT PADA PILGUB JATENG 2008-2013"
Posting Komentar