Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau,
tersebar dari Sabang hingga ke Merauke. Sebagian besar dari pulau-pulau
tersebut merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang memiliki keanekaragaman
tumbuhan, hewan, jasad renik yang tinggi. Hal ini terjadi karena keadaan alam
yang berbeda dari satu pulau ke pulau lainnya, bahkan dari satu tempat ke
tempat lainnya dalam pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumber daya
hayati dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem, yang
masing-masing menampilkan kekhususan pula dalam kehidupan jenis-jenis yang
terdapat didalamnya, diantaranya adalah ekosistem hutan (Irwanto, 2007).
Indonesia terletak di daerah tropik, sehingga hutan yang ada bertipe hutan
tropik. Hutan ini sangat beranekaragam terhadap tipe, komposisi maupun
strukturnya. Ada hutan yang tumbuh dengan baik sehingga memiliki struktur lengkap
mulai dari tumbuhan tingkat bawah sampai pohon yang tingginya mencapai 100
meter (Indriyanto, 2008).
Tantangan sangat penting di bidang
kehutanan saat ini salah satunya adalah membangun hutan dan menghutankan
kembali hutan bekas penebangan. Alasannya adalah adanya manfaat hutan secara
langsung maupun tidak langsung untuk kehidupan masyarakat di sekitarnya
(Septiyani, 2010).
Hutan akan lestari apabila proses
regenerasi tegakan berjalan baik, dengan melalui pemudaan alam atau buatan.
Pemudaan hutan mutlak dilakukan terhadap setiap kawasan hutan agar dapat
berfungsi secara maksimal dan berkelanjutan (Indriyanto, 2008). Pemudaan
merupakan proses regenerasi tegakan hutan, baik mengandalkan proses alam maupun
penanganan manusia. Setiap tahap proses perkembangannya, mudah tidaknya
pemudaan di suatu kawasan hutan bergantung pada sifat-sifat jenis tegakan,
tempat tumbuh, proses-proses daur air dan hara (Alikodra, 1997, Indriyanto,
2008). TamanMargasatwa yang terletak di Ragunan Pasar Minggu Jakarta, berdasarkan Perda
No.13 tahun 1998 memiliki tugas pokok diantaranya melakukan konservasi,
mempertahankan daerah resapan air, paru-paru kota. Sesuai dengan tugas
tersebut, dalam menambah koleksi satwa, menanam dan merawat jenis tumbuhan,
juga membangun kawasan konservasi. Atas dasar ini dapat memaksimalkan fungsi
dan peranan Taman Margasatwa Ragunan (TMR) dalam mendukung upaya-upaya
konservasif, riset dan edukasi, selain disiapkan untuk menjadi tempat tujuan
rekreasi atau sebuah kebun binatang yang modern. Untuk memaksimalkan fungsi dan
peran tersebut, juga menanam dan merawat jenis-jenis tumbuhan dan bahkan
membangun hutan di kawasan konservasi yang luasnya mencapai 6,410 Ha (Jakartazoo.org,
2008). Jenis-jenis
pohon dapat tumbuh disuatu tempat dengan kecepatan pertumbuhan yang
berbeda-beda, termasuk tumbuhan yang ada di kawasan hutan di kawasan konservasi
Taman Margasatwa Ragunan. Hal ini tergantung oleh faktor tempat tumbuh yang
merupakan gabungan dari iklim dan tanah (Kadri, 1992).
Mengingat hutan di kawasan konservasi
ini ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan dan hingga saat ini belum diketahui
jenis-jenis apa yang terdapat didalamnya, maka perlu dilakukan penelitian yang
bertujuan:
1. Mengetahui komposisi, kelimpahan, keanekaragaman
jenis dan nilai penting jenis yang ada dari masing-masing tingkat
pertumbuhannya.
2. Urutan dominansi jenis tumbuhan dan perkembangan tingkat
pertumbuhan dari jenis tumbuhan yang menyusun hutan di kawasan konservasi.
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat perbedaan komposisi jenis antar tingkat pertumbuhan
2. Terdapat perbedaan keanekaragaman
jenis antar tingkat pertumbuhan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Komposisi dan keanekaragaman jenis
Struktur tumbuhan adalah organisasi
individu – individu di dalam ruang yang membentuk tipe vegetasi atau asosiasi
tumbuhan. Komposisi tumbuhan merupakan jumlah jenis yang terdapat dalam suatu
komunitas tumbuhan (Purborini, 2006). Menurut Kershaw (1973), struktur vegetasi
terdiri dari 3 penyusun, yaitu:
1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara
vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tihang,
sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi.
2. Sebaran horizontal dari jenis-jenis penyusun komunitas yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain.
3. Penyusun vegetasi ada 5 aras, yaitu fisiognomi
vegetasi, struktur biomassa, life form ( growth form ), struktur
floristik dan struktur tegakan ( Mueler-Dumbois & Ellenberg, 1974 ).
Kelimpahan (abundance) setiap
jenis dalam suatu komunitas. Struktur suatu vegetasi terdiri dari
individu-individu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Komunitas
tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu
mempertahankan sifatnya (Dombois, 1974).
Struktur suatu masyarakat tumbuhan
pada hutan hujan tropika basah dapat dilihat dari gambaran umum stratifikasi
pohon-pohon perdu dan herba tanah. Kershaw (1973) menyatakan, stratifikasi
hutan hujan tropika dapat dibedakan menjadi 5 lapisan, yaitu : Lapisan A
(lapisan pohon-pohon yang tertinggi atau emergent), lapisan B dan C (lapisan
pohon-pohon yang berukuran sedang), lapisan D (lapisan semak dan belukar) dan
lapisan E (lantai hutan). Komposisi atau kekayaan jenis adalah jumlah jenis
pada suatu area/ komunitas. Komposisi jenis suatu komunitas sangat penting
karena komunitas sebagian besar ditentukan oleh dasar-dasar floristik
(jenis-jenis yang terdapat dalam suatu komunitas). Beberapa komunitas memiliki
fisiognomi (kenampakan luar) serupa, tetapi berbeda dalam identitas jenis
dominan atas jenis penyusun lainnya (Rusmendro, 2007). Diversitas atau
keanekaragaman merupakan suatu keragaman diantara anggota suatu komunitas
(Supriatno, 2001). Deshmukh (1992) mengartikan keanekaragaman sebagai gabungan
antara jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu
komunitas atau sering disebut kekayaan jenis. Menurut Resosoedarmo dkk (1984),
keanekaragaman kecil terdapat pada komunitas yang ada di daerah dengan
lingkungan yang ekstrim, seperti daerah kering, tanah miskin, dan pegunungan
tinggi. Sementara itu keanekaragaman tinggi terdapat di daerah dengan
lingkungan optimum. Suatu
daerah yang didominansi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka daerah
tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah. Keanekaragaman
jenis yang tinggi menunjukan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang
tinggi, karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi antara jenis yang
tinggi. Lebih lanjut dikatakan, keanekaragaman merupakan ciri dari suatu
komunitas terutama dikaitkan dengan jumlah individu tiap jenis pada komunitas
tersebut. Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan
variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis
dan kelimpahan relatif dari setiap jenis (Latifah,
2004).
Indeks keanekaragaman digunakan untuk
mengetahui pengaruh gangguan terhadap lingkungan atau untuk mengetahui tahapan
suksesi dan kestabilan dari komunitas tumbuhan pada suatu lokasi (Odum, 1996).
Menurut Ariyati dkk (2007), nilai indeks keanekaragaman rendah menunjukkan
bahwa terdapat tekanan ekologi tinggi, baik yang berasal dari faktor biotik (persaingan
antar individu tumbuhan untuk setiap tingkatan) atau faktor abiotik. Tekanan
ekologi yang tinggi tersebut menyebabkan tidak semua jenis tumbuhan dapat
bertahan hidup di suatu lingkungan.
Menurut Odum (1993) ada dua komponen
keanekaragaman jenis, yaitu kekayaan jenis dan kesamarataan. Kekayaan jenis
adalah jumlah jenis dalam suatu komunitas. Keanekaragaman jenis cenderung besar
dalam suatu komunitas yang lebih tua. Keanekaragaman jenis cenderung kecil
untuk komunitas yang baru dibentuk. Kesamarataan adalah pembagian individu yang
merata diantara jenis. Pada kenyataannya setiap jenis itu mempunyai jumlah
individu yang tidak sama.
B.
Struktur Komunitas Tumbuhan
Untuk memudahkan dalam mengenal dan mempelajari makhluk hidup, diperlukan pengklasifikasian dengan
dasar dan tujuan tertentu. Klasifikasi memiliki manfaat penting yang dapat
langsung diterapkan bagi kepentingan manusia (Syamsuri, 2000).
Komunitas dapat disebut
dan diklasifikasikan menurut bentuk atau sifat struktur utama, misalnya jenis
dominan; bentuk-bentuk hidup, habitat fisik dari komunitas, sifat atau tanda fungsional, misalnya tipe metabolisme komunitas. Keanekaragaman jenis dan kelimpahan individu masing-masing jenis
(kemerataan) tidak berarti satu-satunya hal
yang terlibat di dalam keanekaragaman komunitas. Pengaruh populasi terhadap
komunitas dan ekosistem tidak hanya tergantung kepada jenis tertentu dari
organisme yang terlibat, tetapi juga tergantung kepada jumlahnya atau kerapatan
populasinya (Odum, 1993).
Komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada
habitat tertentu. Menurut Odum (1973), komunitas yang merupakan bagian hidup
ekosistem dapat diklasifikasikan berdasarkan:
2. Habitat komunitas
3. Sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional,
misalnya tipe metabolisme komunitas.
Tipe komunitas terjadi karena adanya sifat yang berbeda dalam dominansi
jenis, komposisi jenis, struktur lapisan tajuk atau juga dominansi bentuk
pertumbuhan (Whittaker, 1975). Komunitas hutan merupakan suatu sistem yang hidup
dan tumbuh karena komunitas terbentuk
secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuhan, adaptasi,
agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan
stabilitasi. Perubahan dalam komunitas atau suksesi selalu terjadi, bahkan
dalam komunitas hutan yang stabil pun selalu terjadi perubahan (Indriyanto,
2005).
Pada
suatu suatu jenis ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan
dominansi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain
ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase
penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu atau kelimpahan (Soerianegara,1996).
Frekuensi
suatu jenis menunjukan penyebaran jenis-jenis dalam areal tertentu. Jenis yang
menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya
jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi kecil mempunyai daerah sebaran yang
kurang luas. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukan jumlah
atau banyaknya suatu jenis per satuan luas, makin besar kerapatan suatu jenis,
makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas. Dominansi suatu jenis
merupakan nilai yang menunjukan peguasaan jenis terhadap komunitas
(Soerianegara,1996).
Nilai penting
didefinisikan sebagai gabungan dari densitas/ kerapatan relatif (KR), frekuensi
relatif (FR), dan dominansi relatif (DR). Kondisi ini menyebabkan nilai penting
suatu jenis maksimum adalah 300% (KR=100%, FR=100%, DR=100%), bila dalam suatu
tegakan hanya terdiri dari satu jenis saja (Curtis dan Mc.Intosh, 1951).
Whittaker, 1975, menyebutkan bahwa nilai penting dapat ditentukan berdasarkan
salah satu atau dua nilai, tetapi lebih banyak nilai dijadikan dasar akan
menjadi lebih baik dan mendekati kebenaran dalam menentukan dominansi atau
penguasaan jenis di dalam suatu komunitas (Rusmendro, 2003). Pertumbuhan tumbuhan banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor tempat tumbuh seperti: kerapatan tegakan, karakteristik umur
tegakan, faktor iklim (temperatur, presipitasi, kecepatan angin dan kelembaban
udara), serta faktor tanah (sifat fisik, komposisi bahan kimia, dan komponen
mikrobiologi tanah). Diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang paling
sering digunakan sebagai parameter pertumbuhan. Pertumbuhan diameter
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Pertumbuhan
diameter berlangsung apabila keperluan hasil fotosintesis untuk respirasi, penggantian
daun, pertumbuhan akar dan tinggi telah terpenuhi (Latifah, 2004). Pertumbuhan
tinggi tumbuhan dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan pembentukan dedaunan
bergantung pada kualitas tempat tumbuh. Setidaknya terdapat tiga faktor
lingkungan dan satu faktor genetik (intern) yang sangat nyata
berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi yaitu kandungan nutrien mineral tanah,
kelembaban tanah, cahaya matahari, serta keseimbangan sifat genetik antara
pertumbuhan tinggi dan diameter suatu pohon (Davis dan Jhonson, 1987).
Vegetasi,
tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai
keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan
vegetasi di tempat 1ain karena berbeda faktor lingkungannya. Vegetasi hutan
merupakan sesuatu sistem yang dinamis, selalu berkembang sesuai dengan keadaan
habitatnya (Greig, 1983).
Analisis
vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi
secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan. Unsur
struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk.
Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan
tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan
tersebut. Berdasarkan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi
kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Tujuan
pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori
yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis
dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan
berbeda; (2) menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal dan (3)
melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu
atau beberapa faktor lingkungan (Greig, 1983).
Untuk
mempelajari komposisi vegetasi perlu dilakukan pembuatan petak-petak pengamatan
yang sifatnya permanen atau sementara. Menurut Soerianegara (1978) petak-petak
tersebut dapat berupa petak tunggal, petak ganda ataupun berbentuk jalur atau
dengan metode tanpa petak. C. Taman Margasatwa Ragunan Berdasarkan sejarah dan perkembangannya, pada tahun 1864
suatu perkumpulan penyayang flora dan fauna yang bernama Vereneging
Plantenen Et Dierentuin, mendirikan kebun binatang yang diberi nama Plantenen
Et Dierentuin di atas lahan seluas 10 Ha yang
merupakan pemberian Raden Saleh. Kebun
binatang ini berlokasi di jalan Cikini Raya No.73. Pada tahun 1964, kebun
binatang ini dipindahkan ke daerah Ragunan, Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan
luas lahan 30 Ha, dan tanggal 22 Juni 1966, kebun binatang tersebut diberi nama Taman
Margasatwa Ragunan. Pada tanggal 22 Juli 1976 mengalami perubahan nama menjadi
Kebun binatang DKI Jakarta dan tahun 1998, sesuai dengan Perda No 13 di tetapkan
kembali oleh Pemda DKI Jakarta, menjadi Taman Margasatwa Ragunan. Taman Margasatwa Ragunan,
secara administratif termasuk kedalam wilayah Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Batas wilayah
sebelah barat: Jl. Kavling Polri dan Jl. Cilandak Utara, sebelah Utara: Jl.
Harsono RM, sebelah Timur: Jl. Jati Padang
dan sebelah Selatan: Jl. Sagu (Jakartazoo.org, 2008).
Tujuan umum didirikannyaTaman Margasatwa Ragunan, adalah menyelnggarakan perlindungan, pemeliharaan
serta melestarikan hidup binatang dan tumbuhan (flora dan fauna) salah satu
sarana penunjang pendidikan, media penilitian ilmu pengetahuan dan sebagai
sarana rekreasi. Berdasarkan Peraturan Daerah No 13 tahun 1998, Taman
Margasatwa Ragunan memiliki tugas pokok untuk melakukan konservasi, pendidikan
dan penelitian, promosi, rekreasi, serta mempertahankan daerah resapan air,
paru-paru kota dan ruang terbuka hijau. Menurut keputusan Dirjen Kehutanan No.20/kpts/dj/I/1978, Taman Margasatwa Ragunan
memiliki beberapa fungsi (Sutomo dkk, 2000), yaitu:
1. Sebagai sarana
perlindungan dan pelestarian alam (konservasi)
2. Sebagai sarana
pendidikan.
3. Sebagai sarana
penelitian.
4. Sebagai sarana rekreasi
dan apresiasi terhadap alam.
Taman Margasatwa Ragunan
juga memiliki beberapa peran, antara lain: sebagai pelestarian satwa langka dan
terancam punah secara eks-situ, juga sebagai atribut kota dan daerah tujuan
wisata, paru-paru kota, pengamanan wilayah resapan air, serta strategi
diplomasi internasional (Sutomo dkk, 2000).
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
A.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada kawasan hutan
di kawasan konservasi yang terdapat
di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan. Lokasi
yang dipilih memiliki luas ± 6,410 Ha. Alasan dipilih lokasi tersebut
karena lokasi tersebut adalah sebagai sarana perlindungan dan pelestarian alam,
pendidikan, penelitian dan paru-paru kota serta wilayah resapan air, namun
sejak dibangunnya hutan ini belum ada informasi tentang kondisi hutannya. Waktu
penelitian selama 1 bulan, dimulai pada bulan November 2009 hingga Desember
2009.
B. Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Kompas
2. Hand counter
3. Meteran baju
4. Rol meter
5. Tabulasi data
6. Polybag
7. Kertas koran
8. Kamera
9. Buku Identifikasi: Heyne I-III, 1987 dan
Stenis, 2003 dan Flora of Java, 1981
C. Cara Kerja
Pengumpulan datavegetasi dilakukan dengan menggunakan metode plot linear (Linear Sampling)
(Indriyanto, 2008). Metode ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai
keberhasilan pemudaan hutan secara alamiah, menilai hasil dan keadaan pemudaan
yang akan dipelihara dan menilai komposisi tegakan hutan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian
ini meliputi:
1.
Penentuan
jalur pengamatan
a. Jalur pengamatan direncanakan terlebih
dahulu dengan menentukan batas-batas
yang jelas dari kawasan hutan yang akan diteliti. Penentuannya berdasarkan pagar keliling dari kawasan hutan seluas 6,41
Ha.
b. Pembuatan plot linear sesuai dengan tingkatan
pertumbuhan vegetasi yang
akan diteliti, diawali dengan
pembuatan garis lurus dari satu sisi pagar menuju sisi pagar lainnya sesuai
dengan ukuran hutan yang akan diteliti, plot linear ini dibuat sebanyak 4 buah
dengan panjang bervariasi (Gambar 1) dengan ketentuan sebagi berikut:
-
LS-1 (totalchain linear sampling),
berupa jalur lurus lebar 20 m, dengan
panjang sesuai jarak antar pagar. Jalur ini digunakan untuk menghitung tegakan
hutan fase pohon (diameter >20 cm). Jalur ini dibuat sebanyak 4
buahuntuk yang disusun sejajar satu sama
lain dengan jarak antar jalur 20 m
-
LS-1/2 (half chain linear sampling), berupa
jalur lurus lebar 10 m yang diletakan di dalam jalur 20 m (nested sampling). Jalur ini digunakan
untuk menghitung tegakan hutan fase tihang (diameter 10-19 cm) .
-
LS-1/4 (quarter chain linear sampling), berupa
jalur lurus lebar 5 m yang diletakan di dalam jalur 20 m. Jalur ini digunakan
untuk menghitung tegakan hutan fase pancang (diameter 1 - <10 cm, tinggi
>1.5 m).
-
LSM (linear sampling milliare), berupa jalur
lurus lebar 2 m yang diletakan di dalam jalur 20 m. Jalur ini digunakan untuk
menghitung tegakan hutan fase semai (diameter <1 cm, tinggi <1.5 m) dan
mencatat nama jenis tumbuhan yang ditemukan.
|
|
|
-
-
c. Pencatatan data meliputi jenis-jenis
tegakan/tumbuhan, jumlah individu tiap
jenis, tinggi dan diameter batang dari masing-masing tegakan yang ada di
dalam masing-masing plot linear sesuai tingkat pertumbuhan. Tumbuhan yang belum
diketahui nama jenisnya di lapang, sampel yang diambil kemudian dibawa ke
Laboratorium Botani Fakultas Biologi Universitas Nasional dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bidang Botani untuk dilakukan identifikasi.
d. Data hasil pengamatan pada setiap jalur
ditabulasi dan dianalisis lalu
diinterpresentasikan meliputi Komposisi Jenis, Keanekaragaman Jenis, Tingkat Kesamaan komposisi jenis,
Tingkat Keseragaman/
Kemerataan, nilai penting, distribusi Kelas Diameter dan Tinggi
C.
Analisis data
a. Indeks kesamaan jenis, IS:
2C
IS = x 100
A+B
Dimana:
C = Jumlah jenis yang sama
pada masing-masing tingkat
Pertumbuhan
A = Jumlah jenis pada masing-masing
tingkat pertumbuhan A
B = Jumlah jenis pada masing-masing
tingkat pertumbuhan B
yang diperbandingkan
b. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
(Brower dkk, 1977)
H' =
Di mana :
H' = Indeks keanekaragaman
ni = Jumlah individu suatu jenis dari masing-masing
tingkat
pertumbuhan
N = Jumlah individu seluruh jenis yang terdapat dalam satu
tingkatan
pertumbuhan
Michell (1995), mengelompokkan indeks keanekaragaman menjadi 3, yaitu
apabila nilai H' ≤ 1,5, maka tingkat keanekaragaman rendah; bila nilai 1,5 <
H' ≤ 3,5, maka tingkat keanekaragaman sedang; dan bila nilai H' > 3,5, maka
tingkat keanekaragaman tinggi.
Untuk membedakan nilai indeks
keanekaragaman pada masing-masing tingkat pertumbuhan digunakan uji Hutchinson
yang dilengkapi dengan uji t (Magurran, 1987):
Var H'
Dimana :
Var = Varians yaitu perbedaan keanekaragaman pada masing-masing tingkat pertumbuhan.
S =
Jumlah jenis pada masing-masing tingkat pertumbuhan
Uji ini menggunakan uji “t” dengan peluang 95 % (α =
0,05). Rumus-rumus yang digunakan
berdasarkan Magurran (1987) adalah:
Hipotesis: t hit < t tabel, tolak
Ho (terdapat perbedaan yang bermakna)
t hit > t tabel, terima Ho (tidak
terdapat perbedaan yang bermakna)
c.
Indeks kesamarataan/
keseragaman untuk mengetahui penyebaran jumlah
individu tiap jenis.
H maks = ln
S E = H'
H maks
Dimana: H maks =
Keseragaman maksimum
S = Jumlah jenis
E =
Indeks kesamarataan
H' = Indeks keanekaragaman
d.
Indeks nilai
penting
Nilai penting merupakan parameterkuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi jenis dalam suatu komunitas
tumbuhan. Menghitung Indeks
nilai penting menggunakan rumus:
Jumlah individu
Kerapatan =
Luas petak ukur
Kerapatan satu jenis
Kerapatan relatif =
x
100%
Kerapatan
seluruh jenis
Jumlah petak penemuan suatu
jenis
Frekuensi =
Jumlah seluruh petak
Frekuensi suatu
jenis
x
100%
Frekuensi relatif = Frekuensi seluruh jenis
Luas penutupan suatu jenis
Dominansi =
Luas petak
Dominansi suatu jenis
Dominansi relatif =
x
100%
Dominansi
seluruh jenis
Nilai penting = Kerapatan
relatif + Frekuensi relatif + Dominansi Relatif
Nilai penting relatif suatu
jenis pada tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tihang dan tingkat pohon
dapat dirata-ratakan sehingga diketahui urutan status dominansi suatu jenis
dalam satuan komunitas jenis dari tingkat pohon, tihang, pancang sampai dengan
tingkat semai. Nilai penting relatif rata-rata suatu jenis = 1/4 x (nilai penting relatif pada tingkat
semai + pancang + tingkat tihang + tingkat pohon. Selanjutnya untuk memperoleh
gambaran urutan dominansi suatu jenis pada tingkat semai dan urutan dominansi
pada tingkat lainnya secara mudah perlu digunakan klasifikasi yang seragam.
Jumlah kelas nilai penting pada tingkat semai sama dengan jumlah kelas nilai
penting pada tingkat pancang, tihang maupun pohon. Klasifikasi nilai penting
tersebut didasarkan kepada nilai penting tertinggi dan nilai penting terendah
(Whittaker, 1975). Klasifikasi dibuat 5 kelas yaitu kelas nilai penting I yang
menunjukkan tingkat penguasaan ekologis/dominansi sangat tinggi, kelas II agak
tinggi, kelas III sedang (moderat), kelas IV rendah dan kelas V sangat rendah
(Sutisna dan Soeyatman, 1984).
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Komposisi Jenis dan Keanekaragaman Jenis
Tumbuhan
Hasil pengamatan di hutan di kawasan konservasi Taman Margasatwa Ragunan (TMR) terdapat 31
suku, yang terdiri dari 46 marga dan 54 jenis tumbuhan. Jumlah jenis, marga,
suku pada masing-masing tingkat pertumbuhan jumlahnya bervariasi seperti
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah jenis, marga, suku komunitas
tumbuhan pada masing-masing tingkat pertumbuhan.
Stratifikasi Takson
|
Tingkatan pertumbuhan
|
Total
jenis
|
|||
Pohon
|
Tihang
|
Pancang
|
Semai
|
||
Jenis
|
15
|
4
|
17
|
37
|
54
|
Marga
|
13
|
4
|
15
|
28
|
46
|
Suku
|
9
|
4
|
11
|
23
|
31
|
Berdasarkan Tabel 1 di atas,
jumlah jenis tertinggi terdapat pada tingkatan semai, diikuti pancang, pohon
dan tihang. Perbedaan ini diduga berkaitan erat dengan kondisi habitat yang
memberikan pengaruh terhadap semua jenis pada masing-masing tingkatan
pertumbuhan (Whitmore, 1986). Kondisi habitat disana menguntungkan tumbuhan
dengan tingkatan semai sehingga jumlah jenis yang didapat lebih banyak jika
dibandingkan dengan tingkatan pohon, tihang dan pancang. Faktor-faktor
lingkungan di habitat tersebut seperti: suhu, pH tanah, kelembaban, dan
lain-lain yang sesuai dan menguntungkan bagi tumbuhan tingkat bawah seperti semai
dan pancang sehingga sering di temukan.
Terbukanya kanopi merupakan titik kritis bagi permudaan alam dari banyak jenis tumbuhan yang membentuk tajuk hutan. Cahaya matahari yang langsung menembus lantai
hutan dapat mempengaruhi pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan, terutama tumbuhan dengan tingkat yang rendah
(pancang, semai) (Hartson, 1980). Pembukaan kanopi di hutan akan menyajikan satu atau beberapa habitat bagi jenis tumbuhan pionir karena permudaan dan pertumbuhan dibatasi
oleh adanya naungan (Bradshaw dkk, 1980).
Meskipun jenis tumbuhan pada
tingkat pancang dan semai bukan yang permanen, tetapi masih bisa dikatakan bahwa lingkungan hutan di kawasan konservasi yang
ada saat ini paling tidak bisa menopang tingkat pertumbuhan pancang dan semai
dibandingkan tingkat pertumbuhan yang lainnya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan
indeks kesamaan komposisi jenis antar tingkat pertumbuhan yang secara umum
adalah <50%, kecuali diantara pancang-semai 50% (Gambar 2).
Indeks kesamaan jenis atau index of similarity (IS)
diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan antara beberapa tegakan,
antara unit sampling atau antara beberapa komunitas yang dipelajari dan
dibandingkan komposisi dan struktur komunitasnya. Oleh karena itu, besar
kecilnya indeks kesamaan menggambarkan tingkat kesamaan komposisi jenis dan
struktur dari dua komunitas, tegakan atau unit sampling yang dibandingkan
(Indriyanto, 2005). Indeks
kesamaan komposisi jenis (IS) > 50% menjelaskan bahwa tingkat pancang-semai
memiliki tipe komunitas yang relatif sama dengan jenis-jenis didalamnya relatif
sama pula. Hal ini diduga faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan seperti
kelembaban, pH tanah, suhu di lingkungan hutan di kawasan konservasi sangat
cocok dengan pertumbuhan pancang dan semai sehingga memberikan pengaruh yang
sama terhadap kedua tingkatan (pancang-semai) tersebut. Sebaliknya IS < 50%
didapati tipe komunitas yang berbeda.
Berarti faktor lingkungan tidak mendukung pertumbuhan tumbuhan didalamnya
sehingga faktor lingkungan memberikan pengaruh yang tidak sama (Lampiran 6).
Perbandingan nilai keanekaragaman
jenis (H') dari hasil studi ini menunjukkan tingkat semai paling tinggi,
diikuti tingkat pohon, pancang dan tihang. Perbedaan nilai H' antar tingkat
pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 3.
Indeks keanekaragaman (H') tingkatan pohon diperoleh sebesar 2.433. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas
pohon termasuk dalam kondisi sedang
(moderat). Indeks keanekaragaman (H') pada tingkatan tihang diperoleh nilai
sebesar 0.838. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas tihang termasuk dalam kondisi rendah dan dalam
kondisi tidak stabil. Indeks keanekaragaman (H') pada tingkatan
pancang diperoleh nilai sebesar 2.11. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas
pancang di sana termasuk dalam kondisi sedang (moderat). Indeks keanekaragaman
(H') pada tingkatan semai diperoleh sebesar 2.797.
Hal ini menunjukkan bahwa komunitas semai di sana termasuk dalam kondisi sedang
(moderat).
Perbandingkan
indeks keanekaragaman tiap tingkat pertumbuhan dilakukan uji Hutchcinson. Berdasarkan uji Hutchinson diketahui bahwa perbandingan H' antara
pohon-tihang memiliki nilai t hit > t tabel (Lampiran 5) yang berarti indeks
keanekaragaman antara pohon-tihang diindikasi terdapat perbedaan yang bermakna. Perbandingan
H' antara pohon-pancang memiliki
nilai t hit < t tabel yang berarti indeks keanekaragaman antara
pohon-pancang tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Perbandingan
H' antara pohon-semai memiliki nilai
t hit > t tabel yang berarti indeks keanekaragaman antara pohon-semai
memiliki terdapat perbedaan yang bermakna. Perbandingan H' antara tihang-pancang memiliki nilai t hit >
t tabel yang berarti indeks keanekaragaman antara tihang-pancang memiliki
terdapat perbedaan yang bermakna. Perbandingan H' antara pancang-semai memiliki nilai t hit >
t tabel yang berarti indeks keanekaragaman antara pancang-semai memiliki
terdapat perbedaan yang bermakna.Faktor pembatas keanekaragaman jenis (H') antara
lain adalah kondisi geologi, evolusi suatu jenis, sejarah dan penyebaran suatu
jenis, kondisi habitat, proses suksesi, pengaruh musim, stratifikasi dan
sebagainya (Rusmendro, 2007). Apabila dilihat dari faktor pembentuk H', perbedaan nilai H' lebih cenderung pada kondisi habitat,
proses suksesi dan stratifikasi. Selain itu juga karena jumlah jenis lebih
rendah dan kelimpahan individu dari masing-masing jenis pembentuk komunitas
tersebut lebih rendah.Keanekaragaman
jenis adalah gabungan kekayaan jenis yang disusun oleh kemerataan jenis. Indeks keseragaman (E), memperlihatkan
nilai yang relatif tidak berbeda antara pancang, semai dan pohon, tetapi agak
berbeda dengan tingkatan tihang. Nilai indeks Keseragaman (E) komunitas
tumbuhan pada masing-masing tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada
Pada
tumbuhan tingkat pancang, semai dan pohon didapati nilai E keseragaman (E) yang
tidak berbeda. Hal ini didukung dari Indeks keseragaman Menurut Krebs (1985),
nilai indeks keseragaman (E) digolongkan menjadi 3, yaitu: 0 < E ≤ 0,4, maka
keseragaman populasi kecil; bila 0,4 < E < 0,6, maka keseragaman populasi
sedang; dan bila E ≥ 0,6, maka keseragaman populasi tinggi. Untuk tingkatan pohon memiliki nilai indeks
keseragaman tertinggi pada tumbuhan dengan nilai 0.90, hal menunjukkan bahwa
keseragaman populasi pohon di area tersebut tinggi. Nilai indeks keseragaman
tertinggi kedua yaitu untuk tingkatan semai dengan nilai 0.77, hal ini
menunjukkan bahwa keseragaman populasi semai tinggi. Pada nilai indeks
keseragaman tertinggi ketiga yaitu untuk tingkatan pancang dengan nilai 0.74,
hal ini menunjukkan bahwa keseragaman populasi pancang juga tinggi. Pada
tingkatan tihang memiliki nilai indeks keseragaman terendah dengan nilai 0.60,
hal ini menunjukkan bahwa keseragaman populasi tihang sedang. Tingginya nilai E ini menandakan bahwa tidak terdapat jenis
yang lebih dominan di suatu komunitas, artinya secara umum dominansi jenis
relatif sama, bila ada yang dominan 1 atau 2 jenis saja atau hampir semua jenis tumbuhan adalah dominan.
Berdasarkan
pencatatan jenis-jenis tumbuhan di hutan di kawasan konservasi Taman Margasatwa
Ragunan sebanyak 2 jenis diantaranya terdapat secara lengkap dari tingkat semai
sampai tingkat pohon. Sisanya, 52 jenis hanya terdapat pada salah satu tingkat
atau dua tingkat atau tiga tingkat saja.
Perincian jumlah jenis tersebut adalah sebagai berikut (Lampiran 4). Pada
Lampiran 4, dapat dinyatakan bahwa jenis alkesa (Pouteria campechiana) dan
pete (Parkia
speciosa) terdapat pada semua tingkat pertumbuhan (semai
sampai pohon). Jenis-jenis pada tingkat tihang terdapat pada tingkat pancang
dan semai kecuali mengkudu (Morinda citrifolia L.) dan bar-bara (Ficus septica Burm.f) yang hanya pada dua tingkat (pancang atau
semai). Selain itu dapat ditemukan 13 jenis yaitu angsana (Pterocarpus indicus Willd), apel-apelan (Ficus variegate Bl), bacang (Mangifera
foetida Lour), belimbing (Averrhoa
bilimbi Linn), benda (Artocarpus
elasticus Reinw), beringin (Ficus benjamina L.), kluwek (Pangium edule), melinjo (Gnetum gnemon), salopa (Macaranga pruinosa Miq), rambutan (Nephelium lappaceum L.), Karet (Ficus elastica), Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis) dan sawo (Manilkara kauki L) yang hanya didapat pada tingkat pohon saja.
Sedangkan karet (Ficus elastica Roxb),
salopa (Macaranga pruinosa Miq),
kelapa sawit (Elaeis guineensis) dan rambutan (Nephelium lappaceum L.) selain ada pada tingkat pohon terdapat pula pada
tingkat semai. Sementara itu, untuk jenis- jenis yang terdapat pada tingkat
pancang saja tercatat 7 jenis serta jenis yang sama ada pada tingkatan pancang dan semai ada 10 jenis.
Untuk tingkat semai saja sebanyak 27 jenis (Lampiran 4).
Tingkat
pertumbuhan tumbuhan lengkap dan tidak lengkap ini menunjukkan bahwa:
1. Hutan ini berisi tumbuhan yang berumur lebih
kurang sama, terutama untuk 10 jenis tingkat pohon yang ada, artinya diantaranya
tumbuhan tersebut ditanam pada waktu kurang lebih bersamaan.
2. Hutan ini juga terdapat tumbuhan yang tidak seumur,
akibat adanya proses regenerasi tumbuhan yang ditunjukkan banyaknya tumbuhan
fase muda (semai dan pancang).
Tegakan
hutan seumur ditandai oleh tajuk pohon yang seragam, jumlah terbesar tumbuhan
berada pada kelas diameter yang diwakili oleh rata-rata diameter tingkat pohon
(> 20 cm), sedangkan kelas diameter di atas atau di bawah tingkat pohon,
diameter tegakan hutan lebih sedikit, tegakan hutannya dikatakan tidak seumur
(Indriyanto, 2008).
B.
Urutan Dominansi Jenis Pada Masing-Masing
Tingkat Pertumbuhan
Apabila dilihat dari nilai
kuantitatif komunitas masing-masing tingkat pertumbuhan (Lampiran 2) dapat
diterangkan sebagai berikut:
1.
Frekuensi
Relatif (FR)
Untuk tingkatan pohon,
tumbuhan yang memiliki nilai frekuensi tertinggi yaitu Macaranga pruinosa Miq (Salopa/ Mahang) dan Nephelium lappaceum L (Rambutan) dengan nilai 13.636%. Pada
tingkatan tihang yang memiliki nilai frekuensi tertinggi yaitu Pouteria campechiana (Alkesa). Untuk
tingkatan pancang yang nilai frekuensinya besar/ tinggi yaitu Morinda citrifolia (Mengkudu) dengan
nilai 13.333%. Pada tingkatan semai, ada 3 tumbuhan yang memiliki nilai
frekuensi tertinggi yang sama yaitu Pouteria
campechiana (Alkesa), Plantago
lanceolarta L (Oyot-oyotan) dan Elaeis
guineensis (Kelapa sawit) dengan nilai 6.897%. Hal ini menunjukkan bahwa
tumbuhan Salopa/ Mahang, Rambutan, Alkesa, Mengkudu, Oyot-oyotan dan Kelapa
sawit memiliki tingkat penyebaran yang tinggi pada jalur-jalur pengamatan
(Lampiran 2).
2.
Kerapatan
Relatif (KR)
Untuk tingkatan pohon,
tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi yaitu Nephelium lappaceum L (Rambutan) dengan
nilai 21.94%. Pada tingkatan tihang, tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan
relatif yaitu Pouteria campechiana
(Alkesa) dengan nilai 75.00% dan pada tingkatan pancang dan semai, tumbuhan
yang memiliki nilai kerapatan tertinggi yaitu Pachystachys coccinea Nees (Bunga bahagia) dengan nilai 29.53% dan
22.58% (Lampiran 2).
3.
Dominansi
Relatif (DR)
Dominansi pada suatu jenis
menunjukkan penguasaan suatu daerah vegetasi dari suatu jenis tumbuhan. Untuk
tingkatan pohon yang memiliki nilai dominansi relatif tertinggi yaitu Artocarpus elasticus Reinw (Benda)
dengan nilai 41.33%. Untuk tingkatan tihang yang memiliki nilai dominansi
relatif tertinggi yaitu Pouteria
campechiana (Alkesa) dengan nilai 31.26%. Untuk tingkatan pancang yang
memiliki nilai dominansi relatif tertinggi yaitu Schizostachyum blumei Nees (Bambu tali) dengan nilai 22.74% dan
untuk tingkatan semai ada 2 tumbuhan yang memiliki nilai dominansi tertinggi
yang sama yaitu Solanum melongena
(Terong) dan Amarantus spinosus Linn
(Bayam) dengan nilai 10.85%. Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan konservasi
untuk tingkatan pohon di dominansi oleh Artocarpus elasticus Reinw (Benda),
untuk tingkatan tihang di dominansi oleh Pouteria
campechiana (Alkesa), untuk tingkatan pancang di dominansi oleh Schizostachyum blumei Nees (Bambu tali)
dan untuk tingkatan semai di dominansi oleh Solanum melongena (Terong) dan Amarantus spinosus Linn (Bayam) (Lampiran 2).
Klasifikasi nilai penting (NP)
jenis tumbuhan pada masing-masing tingkat pertumbuhan, dapat
dilihat pada Tabel
2 dan Lampiran 3. Beberapa hal yang perlu diungkapkan adalah hanya beberapa jenis saja yang
memiliki NP atau penguasaan ekologis
yang sangat tinggi (kelas I), tinggi (II) dan cukup
tinggi (III), sedangkan yang lainnya
keseluruhan jenis vegetasinya pada kelas penguasaan rendah dan sangat rendah (kelas IV dan V).
Tabel 2. Jumlah
jenis berdasarkan nilai penting (NP) pada masing-masing tingkat pertumbuhan.
Kelas
|
Urutan
Dominansi
|
Tingkat pertumbuhan
|
|||
Pohon
|
Tihang
|
Pancang
|
Semai
|
||
I
|
Sangat Tinggi
|
1
|
1
|
4
|
1
|
II
|
Agak Tinggi
|
1
|
0
|
0
|
2
|
III
|
Cukup
|
2
|
0
|
4
|
4
|
IV
|
Rendah
|
3
|
0
|
4
|
4
|
V
|
Sangat Rendah
|
8
|
3
|
6
|
21
|
Jenis-jenis dengan tingkat penguasaan
relatif cukup tinggi seperti:
1. Pada tingkatan pohon yaitu jenis benda (Artocarpus elasticus Reinw), rambutan (Nephelium lappaceum L.) dan salopa (Macaranga
pruinosa Miq).
2. Pada tingkatan tihang yaitu jenis alkesa (Pouteria campechiana).
3. Tingkat pancang yaitu pada jenis bambu ampel (Bambusa
vulgaris Schrad), bambu tali (Gigantochloa
apus Kurz), bunga merah (Pachystachys
coccinea Nees), daun bahagia (Dieffenbachia
seguine Schott), bambu hias (Bambusa
glaucescens Willd), bambu suling (Schizostachyum
blumei Nees), mengkudu (Morinda citrifolia L.) dan pete (Parkia speciosa).
4. Tingkatan semai yaitu jenis bunga merah (Pachystachys coccinea Nees), alkesa (Pouteria campechiana),
syngonium (Syngonium sp), terong terongan
(Solanum melongena), kelapa sawit (Elaeis guineensis) dan
lenca-lencaan (Solanum
nigrum L.).
Hal ini memberi
jawaban secara umum bahwa pemudaan diduga kurang baik. Faktor lingkungan, terutama untuk tingkat pohon, pancang
dan semai diduga kurang menguntungkan
bagi pertumbuhan jenis tersebut. Jenis yang sukses mencapai tingkat pohon
adalah jenis yang tingkat pertumbuhannya yang terwakili oleh masing-masing
tingkatan pertumbuhannya (Sutisna dan Soeyatnan, 1984). Di dalam hutan di
kawasan konservasi di TMR diduga yang sukses adalah jenis alkesa dan pete.
Hal yang menarik di
dalam hutan di kawasan konservasi TMR adalah jenis alkesa dan pete. Jenis
alkesa dapat mendominansi pada tingkatan tihang dan semai (I dan II), tetapi
pada tingkatan pohon dan pancang, jenis
alkesa tidak mendominansi (IV dan V) sedangkan pada jenis pete pada tingkatan
pancang cukup mendominansi (III) tetapi
untuk tingkatan tihang, pohon dan semai jenis pete tidak mendominansi (IV dan
V). Keadaan ini membuat jenis-jenis ini (alkesa dan pete) menjadi jenis yang
sukses pada masa mendatang.
Hal ini didukung dari nilai penting
relatif rata-rata jenis alkesa dan pete yang juga memiliki nilai paling tinggi
(Lampiran 4). Nilai Penting rata-rata suatu jenis ini merupakan petunjuk
proporsi sumberdaya lingkungan yang dimanfaatkan jenis tersebut dari suatu
komunitas (Whittaker, 1975). Kondisi ini menunjukkan bahwa di hutan di kawasan
konservasi TMR jenis alkesa dan pete memanfaatkan sumberdaya lingkungan paling
besar, yaitu pada alkesa 48.54% (I dan II) dan pada pete 23.92% (III) (Tabel
3), sedangkan untuk jenis-jenis lain lebih kecil dalam memanfaatkan sumberdaya
lingkungan, sehingga untuk jenis alkesa
dan pete mendominansi dalam suatu vegetasi di daerah tersebut. Hal ini juga
menunjukan bahwa alkesa dan pete adalah penyusun klasifikasi vegetasi di hutan
di kawasan konservasi TMR. Kriteria dalam menyusun klasifikasi vegetasi hutan
adalah kombinasi jenis yang memiliki dominansi tinggi dari semua stratum atau
tingkat pertumbuhan (Whittaker, 1975).
Tabel 3. Jumlah
jenis berdasarkan urutan dominansi dalam satuan vegetasi.
Kelas
|
Urutan
dominansi
|
Silang(%)
|
Jumlah jenis
|
I
|
Sangat Tinggi
|
38.943 – 48.545
|
1
|
II
|
Agak Tinggi
|
29.340 – 38.942
|
0
|
III
|
Cukup
|
19.737 –
29.339
|
1
|
IV
|
Rendah
|
10.134 –
19.736
|
5
|
V
|
Sangat
Rendah
|
0.53 –
10.133
|
47
|
C.
Distribusi Kelas Diameter dan Tinggi Hasil studi ini memperlihatkan distribusi
kelas diameter dan tinggi yang kurang membentuk kurva huruf J terbalik (Gambar
5). Artinya proporsi jumlah tumbuhan
dari kelas diameter atau kelas tinggi yang lebih rendah lebih banyak
dibandingkan dengan proposi jumlah tumbuhan dari kelas diameter atau tinggi
yang lebih tinggi. Kurva huruf J terbalik mencerminkan komunitas relatif
terganggu (Kusumoantono, 1996). Untuk membuktikannya adalah pada kelas diameter
tumbuhan lebih dari 50 cm telah mengalami gangguan atau kerusakan cukup tinggi
dan dalam tinggi tumbuhan lebih dari 20 meter juga mengalami gangguan. Kondisi ini menunjukkan bahwa
tegakan hutan ini cenderung tidak seumur, artinya hutan di kawasan konservasi
TMR ini berisi tumbuhan dengan umur berbeda. Tegakan hutan tidak seumur
ditunjukkan oleh tumbuhan yang tampak kanopinya terputus dan tidak seragam,
distribusi jumlah tumbuhan dari kelas diameter
dan tinggi berbentuk kurva J terbalik (Indriyanto, 2008). Jumlah pohon terbanyak pada diameter kecil, demikian pula untuk tinggi pada tumbuhan kecil (Gambar 5).
Gambar 5. Kurva kelas diameter dan
tinggi tumbuhan di Kawasan Konservasi Taman Margasatwa Ragunan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
- Hutan di kawasan konservasi di Taman Margasatwa Ragunan (TMR) tersusun atas 31 suku, yang terdiri dari 46 marga dan 54 jenis tumbuhan dan jumlah jenis, marga, suku pada masing-masing tingkat pertumbuhan jumlahnya bervariasi.
2. Tumbuhan yang memiliki tingkat pertumbuhan lengkap
tercatat sebanyak 2 jenis yaitu alkesa (Pouteria campechiana) dan
pete (Parkia
speciosa), sisanya 52 jenis hanya terdapat pada salah satu
tingkat atau dua tingkat atau tiga
tingkat, menunjukan terdapat tumbuhan yang tidak seumur dan adanya proses
regenerasi tumbuhan yang ditunjukkan banyaknya tumbuhan fase muda (semai dan
pancang).
- Indeks kesamaan komposisi jenis antar tingkat pertumbuhan secara umum adalah <50% (berbeda), kecuali diantara pancang-semai 50% (relatif sama).
- Nilai keanekaragaman jenis (H') untuk setiap tingkat pertumbuhan menunjukkan bahwa pada tingkat semai keragamannya paling tinggi, diikuti oleh tingkat pohon, pancang dan tihang dan keanekaragaman antara pohon-tihang, pohon-semai, tihang-pancang dan pancang–semai berbeda serta pohon-pancang adalah sama.
5. Tingginya nilai keseragaman menandakan bahwa tidak terdapat jenis
yang lebih dominan, artinya secara umum dominansi jenis relatif sama.
6. Pada hutan di kawasan konservasi TMR jenis alkesa
(Pouteria
campechiana) dan pete (Parkia speciosa) memanfaatkan
sumberdaya lingkungan paling besar dan diduga regenerasinya tumbuh dengan baik serta
menjadi penyusun klasifikasi vegetasi hutan di kawasan konservasi TMR.
B.
Saran
1. Perlu dilakukan informasi yang bermanfaat
dalam memperbaiki atau meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi di Taman
Margasatwa Ragunan.
2. Pengelola Taman Margasatwa sebaiknya meningkatkan
program edukasi untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap pelestarian
tumbuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H. S. Nilai
Politik, Ekonomis dan Ekologis Keanekaragaman Hayati Sosialisasi INMENDAGRI
Nomor 35 Tahun 1997 Tentang Pembinaan Pengelolaan Taman Flora dan Fauna di
Daerah, 1997.
Ariyati, R. W., L. Sya’rani, E. Arini. Analisis
Kesesuaian Perairan Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan Sebagai Lahan Budidaya
Rumput Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal
Pasir Laut. Vol.3 No.1 : 27-45. 2007.
Backer,
C.A.D Sc and Brink, R. C.B.V.D. Flora of Java (Spermatopytes Only).
Angiospermae, Families 191-238 addenda et corrigenda general indeks to volomes
I-III. With the financial support of the ”netherland organisatie voor
zuiver-wetewsc hapeluk onderzoek”. (Nedherland Oragnisasion for the advancement
of pure research) the hague.
Wolter-Noordhoof N.V-Groningae-The Netherlands. 1981
Bradshaw, A.D & M.J. Chadwick. The restoration
of land. Studies in ecology vol. 6. Blackwell scientific publication. Oxford. 1980.
Brower, JE dan Zar JH, Field and
Laboratory Methods for General Ecology, WM. J. Brown Company Publishing, Dubuque, Iowa.1977.
Curtis,
J.T dan McIntosh, R.P. An upland Forest Cntinum In The Pririe-Forest Border
Region of Wiscosin. Ecology, 32: 476-496, 1951.
Davis, L.S and K. N. Jhonson. Forest
Management. Mc Graw-Hill Book Company. Newyork. 1987.
Deshmukh.
Ecology and Tropical Biologi. Terjemahan Kartaminata,K. dan Danimiharja. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
1992.
Dombois,
D. Aims and Methods of Vegetation Ecology, John Wiley & Sons, New York. 1974.
Greig,
S. P. Quantitative Plant Ecology, Blackwell Scientific Publications, Oxford. 1983.
Hartson,
GS. Neotropical Forest Dinamics. Dalam :
tropical Succesion. John E Suplement biotropica 12 (2), 23-30. 1980.
Heyne.
Tumbuhan Berguna Indonesia I.
Badan Litbang Kehutanan. Departemen
Kehutanan. Jakarta. 1987.
Heyne. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Badan Litbang Kehutanan. Departemen
Kehutanan. Jakarta. 1987.
Heyne. Tumbuhan Berguna
Indonesia III. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. 1987.
Indriyanto. Dendrologi. Penerbit Universitas Lampung. Bandar Lampung. 2005.
Indriyanto. Pengantar Budidaya Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 2008.
Irwanto. Analisis
vegetasi untuk pengelolaan Kawasan hutan lindung pulau marsegu, Kabupaten seram
bagian barat, Provinsi maluku. Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana S-2 Program Studi Ilmu Kehutanan Jurusan Ilmu-Ilmu
Pertanian. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2007.
Kadri, W. Manual
Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1992.
Kershaw,K.A. Quantitative and Dinamic Plant Ecology.
Second Edition. London:
William clowes and sons. 1973.
Kusumoantono. Komposisi dan struktur Komunitas Pohon
di Beberapa Daerah Tepi Taman Nasional Gunung Halimun dan Pengaruhnya Terhadap
Tumbuhan Bawah. Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Depok. 1996.
Krebs,
C. Z. Ecology : The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Third
Edition. New York
: Harper and Row Publisher Inc. 1985.
Latifah,
S. Pertumbuhan Dan Hasil Tegakan Eucalyptus grandis DI Hutan Tanaman Industri.
ITI Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. 2004.
Magurran,
A. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey : Princeton University
Press. 1987.
Michael.
Metoda Ekologi untuk Penelitian Lapangan dan Laboratorium. Terjemahan Yanti R.
Koester. UI Press. Jakarta.
1995.
Muller,
D. D dan Ellenberg, E. Aims and methods of Vegetation ecology. John
Wiley & Sons, New York. 1974.
Odum,
E. P. Fundamental of Ecology. N. B. Sounders Company. Washington : 574 pp. 1973.
Odum, E. P. Dasar-dasar Ekologi. UGM Press.
Yogyakarta. 1993.
Odum, P. E. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan Ir.
Tjahyono Samingan, MSc. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1996.
Purborini, D. H. Struktur dan Komposisi
Tumbuhan Di Kawasan Rawa Pening
Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Skripsi.
Diajukan Dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata I Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Sains Fakultas: MIPA Universitas
Negeri Semarang. 2006.
Resosoedarmo,R.S., Kuswata K, Aprilani S.Pengantar
Ekologi. Bandung:
CV. Remaja Karya. 1984.
Rusmendro, H. Nilai Penting senagai Indikator
Kedudukan Jenis Dalam Komunitas Tumbuhan. Jakarta.
2003.
Rusmendro, H. Komposisi Jenis dan Keanekaragaman
Jenis Tumbuhan. Bahan Kuliah Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi Universitas
Nasional. 2007.
Septiyani, Y. Interaksi Masyarakat Disekitar
Hutan. Karya Ilmiah Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta. 2010.
Soerianegara, I dan A. Indrawan. Ekologi Hutan
Indonesia. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 1978.
Soerianegara I. Ekologi, Ekologisme dan
Pengelolaan Sumber daya Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.Bogor. 1996.
Supriatno,B. Pengantar Praktek Ekologi Tumbuhan.
Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.
2001.
Sutisna, U dan Soeyatman, H,C. Komposisi Jenis
Pohon Hutan tebangan di Malili, Sulawesi Selatan (deskripsi dan analisa). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan, Dephut. Bogaor. 1984.
Sutomo,S. Sumampau,T. Tirtodiningrat,A.
Soebakir,S. Ismianto,Manangsang, J dan daryadi, L. Pengelolaan Taman Margasatwa
di Indonesia. PKBSI. Jakarta. 2000.
Steenis, V C.G.G.J. Flora Untuk Sekolah di
Indonesia. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
2007.
Syamsuri, I. Biologi 2000, SMA kelas 1B. Erlangga.
Jakarta. 2000.
Syamsuri, I. Biologi 2000, SMA kelas 1A. Erlangga.
Jakarta.
2000.
Syamsuri, I. Biologi 2000, SMA kelas 2A. Erlangga.
Jakarta.
2000.
Whittaker, R.H. Communities and Ecosystem. 2nd. Macmillan Publishing Co.Inc.New York. 1975.
Whitmore,
T. C. Tropical
Rain Forest of The Far East. Oxford
Iniversity Press. 1986.
www.jakaratazoo.org.2008. (tanggal kunjungan website: 10 Juni 2010).
0 Response to "SKRIPSI PENDIDIKAN BIOLOGI STRUKTUR KOMUNITAS DAN REGENERASI TEGAKAN HUTAN DI KAWASAN KONSERVASI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN, JAKARTA SELATAN"
Posting Komentar