PENDAHULUAN
Menarik sekali
melihat beberapa contoh kasus yang dimulai tahun 2001, tentang permintaan atau
bahkan tuntutan berbagai kelompok perempuan terkait jabatan sebagai menteri
dalam kabinet di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri (Kompas, 31 Juli
2001). Pada tahun 2004, banyak kelompok perempuan menjelang pemilu meminta
dipenuhi jatah 30 persen kursi perwakilan perempuan dari masing-masing partai
politik saat pengajuan daftar anggota calon legislatif di dewan perwakilan
rakyat. Walaupun dalam kenyataannya, setelah hasil pemilu diumumkan, ternyata hanya
sekitar 11 persen saja kaum perempuan dari 550 anggota dewan yang dipastikan
menduduki anggota parlemen tingkat nasional tersebut. Fenomena-fenomena ini
bisa dirasakan sebagai sebuah gerakan pembaharuan yang dulu pada rejim Soeharto
tidaklah mungkin dapat terjadi.
Dirasakan atau tidak, sebenarnya gerakan
berbagai kelompok perempuan ini termasuk dalam permasalahan gender sensitive. Tuntutan untuk
menyetarakan kedudukan jender (laki-laki dan perempuan) telah menempati hati banyak
kalangan kelompok lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Melihat fenomena ini,
terdapat inti yang bisa diambil yaitu bahwa dalam setiap kasus mestinya “peran
perempuan” haruslah menjadi agenda utama. Mohammad Sadli (dalam Istiyanto, 2002) menyimpulkan kaum perempuan
sekarang ini bukanlah sekadar subsider atau warga kelas dua lagi. Kaum
perempuan adalah sama kedudukannya sebagai warga negara dan masyarakat.
Dengan
contoh-contoh kasus di atas, dimana aktifis gerakan perempuan meminta berbagai
kalangan bahkan pemerintah untuk menyetarakan kedudukannya, terlihat sebagai
sesuatu harapan yang “seolah-olah ironis”, bila dibandingkan dengan kondisi kekinian
yang ada. Bukan tidak mendukung, justru dibanding dengan bermacam situasi dan
realitas permasalahan perempuan di Indonesia yang ada pada masyarakat, rasanya
gerakan ini masih mendapat banyak tantangan yang berat. Selain kondisi kultural
masyarakat yang masih didominasi garis patrilineal
atau garis dari jalur laki-laki yang melihat berbagai permasalahan dari sisi
pandang laki-laki (yang selalu diuntungkan), faktor pendidikan masyarakat luas
yang masih rendah juga sangat berpengaruh dalam persoalan ini, sehingga
perempuan selalu diimajinasikan sebagai orang belakang (dalam istilah Jawa
sering disebut konco wingking atau
teman kasur, dapur dan sumur) atau sekunder dan ada bermacam norma pengekang
sebagai batasan di masyarakat yang jarang menempatkan kaum perempuan sebagai
penentu sebuah keputusan penting.
Belum
lagi faktor eksternal yang terlihat menempatkan kaum perempuan sebagai “hanya
sebuah objek” yang patut untuk terus dieksploitasi, seperti media massa baik elektronik dan cetak. Sebagai
contoh, dalam memandang dan memperlakukan perempuan, televisi bahkan bersifat
paradoks. Di satu pihak, media mempromosikan kemajuan-kemajuan dan
prestasi-prestasi perempuan, misalnya memunculkannya sebagai tokoh atau sebagai
“wanita karir” yang sukses dalam iklan dan program-program lainnya, namun pada
saat yang sama, seperti contoh di banyak iklan, juga melemparkan mereka kembali
pada keterbelakangan, dengan tetap menonjolkan keutamaan perempuan hanya sebagai
makhluk yang dapat menarik perhatian lawan jenisnya (Cassata dan Asante dalam
Istiyanto, 2002). Misal,
dalam iklan Ifa Cosmetic yang
sekarang ini gencar menerpa pemirsa televisi. Atau Iklan pencipta badan dan
buah dada indah di koran-koran nasional.
Dari tayangan-tayangan yang ada di televisi misalnya, terlihat bahwa banyak
acara televisi khususnya iklan merupakan pengabadian atau reproduksi dari
penstereotipan kaum pria terhadap peran tradisional kaum perempuan. Pria dan
perempuan digambarkan untuk selalu mempunyai kegiatan yang berbeda dan
memutuskan hal-hal yang berbeda pula. Perempuan digambarkan sebagai manusia
yang hanya selalu peduli dengan rumah tangga dan penampilan fisik mereka (yang
berkulit dan bermuka putih, lembut, tidak gendut, tidak cerewet, rambut bagus
dan tidak bau), sebaliknya kepedulian pria adalah pekerjaan, bisnis, urusan
publik, olah raga, mobil, dsb. Ironisnya, banyak diantara kaum perempuan
sendiri yang tidak menyadari adanya fenomena tersebut, bahkan menganggapnya
sebagai sesuatu yang normal dan “memang sudah seharusnya begitu”.
Tentu saja, pekerjaan gerakan
kaum perempuan Indonesia untuk memberdayakan dirinya dan menyetarakan
kedudukannya mendapatkan tantangan yang tidak ringan. Berbicara dengan media massa berarti juga
berbicara tentang pengaruh. Karena setiap media massa pasti mempunyai pengaruh
yang berbeda. Tinggal efektifitasnyalah yang menentukan apakah pengaruhnya bisa
memberikan hanya sekadar dampak bagi tingkat kognitif pemirsa, afektif atau
bahkan behavioral (menjadi tindakan).
Maka menjadi sangat menarik membandingkan
kasus nyata yang terjadi dengan seorang aktifis feminisme yang semula
getol berbicara tentang keharusan wanita
untuk berkarir/bekerja bernama asli Chaerani (Anni Iwasaki) yang kemudian
setelah menikah justru menyerukan wanita untuk bekerja di rumah saja. Bahkan dianjurkan
agar para wanita yang bekerja di luar rumah, segera kembali menata rumahnya.
Ini dibuktikan dari data penelitian di Jepang yang menyebutkan hampir sedikit
wanita yang bekerja di luar mempunyai anak-anak yang lebih berkualitas baik
secara intelektual dan kepribadian. Sebaliknya kemorosotan kualitas anak-anak
justru terjadi bagi keluarga dimana kaum ibunya mengagungkan karir dengan bekerja
di luar rumah seperti di Amerika (dalam Istiyanto, 2002)..
Maka dengan uraian di atas
menunjukkan persoalan gender bisa berada dimana saja. Termasuk terkait dengan
masalah ibu bekerja atau meniti karir yang sering disebut dengan wanita karir.
Apakah hal tersebut mempengaruhi pola komunikasi keluarga atau bahkan mempengaruhi
peningkatan prestasi belajar anak.
SEDIKIT PEMAHAMAN TENTANG
KONSEP GENDER
Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender sudah mulai ramai dibicarakan
orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini
juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran
gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”.
Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di
kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa,
diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya
mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidak adilan yang menimpa kaum
perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang
kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami
kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.
Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita
tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan
statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk
pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman
arti pria dan wanita dalam pelabagi kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan
konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita (dalam Khaliq, 2005).
Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum
feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak
pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum
laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin
muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan
perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki
dan perempuan akan istilah gender itu
sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender
tersebut.
Bertolak dari
fenomena tersebut, maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu
sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender.
Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting
karena kesamaan pengertian (mutual
understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan ini akan
menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang
tindih antara masalah-masalah perempuan yang muncul karena perbedaan akibat seks dan masalah-masalah perempuan yang
muncul akibat hubungan gender, di samping
itu juga untuk memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep asing ke dalam konteks
Indonesia.
Kekaburan makna atas istilah gender ini telah mengakibatkan perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari
kaum laki-laki yang merasa terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang
dari kaum perempuan sendiri yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya
dipermasalahkan oleh perjuangan gender
itu.
Konsep gender pertama
kali harus dibedakan dari konsep seks
atau jenis kelamin secara biologis. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat
permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa
sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau
seorang perempuan (Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, 2002).
Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka
dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis
kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan
memproduksi sperma. Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim
sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami
kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua
tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu
sama lain.
Berbeda dengan seks
atau jenis kelamin yang diberikan oleh Tuhan dan sudah dimiliki seseorang
ketika ia dilahirkan sehingga menjadi kodrat
manusia, istilah gender yang diserap
dari bahasa Inggris dan sampai saat ini belum ditemukan padanan katanya dalam
Bahasa Indonesia, -kecuali oleh sebagian orang yang untuk mudahnya telah
mengubah gender menjadi jender-
merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang
berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah,
waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena gender
merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk
jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat
ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai secara berbeda dari satu
tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu.
Meskipun demikian, upaya
untuk mendefinisikan konsep gender tetap
dilakukan dan salah satu definisi gender
telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang sejarawan, sebagai “a
constitutive element of social relationships based on perceived differences
between the sexes, and…a primary way of signifying relationships of power.”
(dalam Khaliq, 2005)
Sebagai contoh dari
perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya
jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin,
lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut,
keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus
anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah
kodrat karena itu dibentuk oleh manusia.
Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari
waktu ke waktu, di suatu daerah dan daerah yang lainnya. Oleh karena itu, identifikasi
seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal.
Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan
lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan
rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan
kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin
perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan
perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai
wilayah kekuasaan kaum laki-laki.
Di sinilah kesalah pahaman akan konsep gender seringkali muncul, dimana orang sering memahami konsep gender yang merupakan rekayasa sosial budaya sebagai “kodrat”, sebagai sesuatu hal yang sudah melekat pada diri seseorang, tidak bisa diubah dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian, gender yang dibentuk dan terbentuk sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi bukanlah kodrat.
WANITA KARIR
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988) karir berarti : 1. perkembangan
dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan. 2. pekerjaan yang memberi
harapan untuk maju. Karir dapat juga diartikan sebagai ‘urut-urutan status yang
diiringi oleh peningkatan prestasi seseorang’ (Dina Nawangningrum dalam
Marhaeni, 1996).
Wanita
yang berkarir adalah wanita yang bekerja untuk mengembangkan karir. Pada
umumnya ‘wanita karir’ adalah wanita yang berpendidikan cukup tinggi dan
mempunyai status yang cukup tinggi dalam pekerjaannya, yang cukup berhasil
dalam berkarya.
Dalam
kehidupannya, wanita karir yang berhasil dalam berbagai bidang disimpulkan pada
hampir setiap kasus, orang tua dan atau orang lain mempunyai harapan yang
tinggi terhadap anak. Baik orang tua maupun anak perempuan itu sendiri
menginginkan pencapaian pendidikan tinggi, walaupun hal itu tidak lazim pada
teman sebayanya (Carp, 1991). Wanita-wanita karir juga mempunyai tingkat energi
yang tinggi dan pada umumnya menikmati kesehatan yang baik. Ciri-ciri lain yang
nampak adalah mereka konsisten dalam ketetapan hati, dorongan yang kuat dan
keuletan, kendatipun menghadapi rintangan yang berat dan cukup lama.
Tentang
pandangan para wanita karir terhadap hubungan marital mereka, Carp (1991)
menyebutkan bahwa suami mereka membebaskan mereka untuk berkonsentrasi pada
pekerjaan mereka. Di samping itu, suami sering menjadi mentor yang membantu
istrinya memulai dengan karirnya. Mereka merasakan suami memberikan dukungan
penuh. Namun, peranan gender yang tidak sama juga menimbulkan ambiguitas dalam
kehidupan marital wanita karir/kreatif. Mempunyai anak banyak dapat menyebabkan
wanita jauh menjadi ketinggalan dengan suaminya dalam pengembangan karir.
Baginya tidak selalu mudah untuk kemudian sejalan dalam bayangan suaminya, dan
dibutuhkan banyak waqktu banyak untuk menemukan identitas dan keyakinan dirinya
sebagai pakar. Jika kedua partner sama kuatnya, ketegangan yang timbul dapat
menggoyahkan kehidupan marital mereka.
Ada
pula wanita yang merasa tidak bisa menjadi istri yang baik sebagaimana yang
diharapkan oleh budayanya, namun ia menangguhkan perceraian dari suaminya
sampai anak-anak cukup dewasa sehingga istri merasa telah memenuhi kewajibannya
sebagai orang tua, dan hubungan dengan suaminya tetap baik.
Beberapa
kategori wanita bakerja menurut Flanders (dalam Marhaeni,1996) yaitu :
- Wanita tunggal dan tidak mempunyai anak, kebanyakan dilakukan pada usia 20-an dan awal 30-an karena merasa cocok bagi pribadi mereka dan tidak semata-mata agar tidak mengalami rintangan dalam karirnya.
- Wanita bekerja yang menikah tanpa anak, mempunyai keuntungan bahwa ia mempunyai pasangan yang mendukungnya dan membantunya dengan urusan rumah tangga, ia kurang mempunyai masalah keuangan karena penghasilan ganda, tidak ada anak yang menyita waktunya dan mengurangi kinerja atau prospek karirnya.
- Wanita karir sebagi ibu, untuk kondisi dewasa ini dimana kebutuhan ekonomi keluarga meninggi tuntutan bekerja menjadi semakin tidak terelakan, apalagi dengan adanya program perencanaan keluarga yang semakin kecil. Tapi secara umum kombinasi antara menajdi ibu dan bekerja tetaplah mempunyai banyak masalah. Seperti stress fisik dan emosional, rasa bersalah karena kurang perhatian terhadap anak, dan kesempatan karir yang menjadi terbatas terutama dari atasan yang meragukan komitmen penuh wanita tersebut.
KELUARGA DAN FUNGSINYA
Pengertian
keluarga menurut Noor (1983) adalah suatu unit atau lingkungan masyarakat yang
paling kecil atau merupakan eselon masyarakat yang paling bawah dari satu lingkungan
negara. Posisi keluarga atau rumah tangga ini sangat sentral seperti
diungkapkan oleh Aristoteles (dalam Noor, 1983) bahwa keluarga rumah tangga
adalah dasar pembinaan negara. Dari beberapa keluarga rumah tangga berdirilah
suatu kampung kemudian berdiri suatu kota. Dari beberapa kota berdiri satu
propinsi, dan dari beberapa propinsi berdiri satu negara.
Dengan
demikian jelas bahwa keluarga atau sebuah rumah tangga sebagai lingkungan
masyarakat yang paling kecil yang akan menentukan terhadap bentuk kehidupan
masyarakat dan negaranya. Oleh karena itu, setiap rumah tangga atau keluarga di
dalam kehidupan masyarakat ini mempunyai tiga fungsi kehidupan yang sangat
menentukan sekali keadaan masyarakatnya. Fungsi-fungsi
tersebut adalah :
- sebagai lembaga masyarakat
- sebagai sumber manusiawi (human resource)
- tempat pembinaan peradaban dan kebudayaan masyarakat serta pengembangannya (Noor, 1983)
Sebagai lembaga masyarakat, keluarga itu mempunyai arti
bahwa bentuk dan corak kehidupan masyarakat itu ditentukan sekali oleh bentuk
dan corak serta situasi kehidupan rumah tangga atau keluarga yang terdapat pada
masyarakat tersebut. Apabila setiap keluarga itu baik, maka masyarakat yang
akan terbentuk pun akan baik, begitu juga sebaliknya.
Sebagai human
resource berarti dari sebuah keluarga akan dilahirkan generasi keturunan
umat manusia yang akan mengisi dan menentukan suatu bentuk kehidupan masyarakat
kelak dikemudian hari. Sementara arti keluarga sebagai tempat pembinaan
peradaban dan kebudayaan serta pengembangannya adalah bahwa setiap anak yang
dilahirkan akan bersosialisasi atau bergaul dengan keluarganya terlebih dulu. Pergaulan anak sehari-hari dalam
lingkungan keluarganya ini akan membentuk karakter, watak, dan sikap serta
kepribadian anak.
Menurut
Anita Taylor (dalam Marhaeni, 1996) dijelaskan pengertian keluarga adalah
kelompok sosial yang terkecil dalam masyarakat yang mempunyai ciri dan bentuk
komunikasi yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya. Perbedaan utama adalah
pada situasi komunikasi yang terjadi dengan sangat akrab, keluarga merupakan
kelompok dimana seseorang belajar tentang pola dasar untuk berhubungan dengan
orang lain, sehingga berfungsi dalam suatu kesatuan sosial.
Marhaeni
menjelaskan fungsi utama keluarga yaitu merupakan suatu lembaga sosial yang
membentuk kepribadian seseorang yang tercermin dalam pola perilakunya. Dalam
artian, bahwa interaksi yang selalu terjadi antara anggota keluarga akan
membentuk pribadi seseorang yaitu bentuk relative dari tingkah laku, sikap dan
nilai-nilai seseorang yang diakui oleh dirinya maupun orang lain yang terbentuk
dari pengalaman individu dalam lingkungan kebudayaan dari interaksi sosialnya
dengan orang lain. Keluarga merupakan pendidikan primer dan bersifat fundamental
bagi individu. Di situ seorang anak dibesarkan, memperoleh penemuan-penemuan,
belajar hal-hal yang perlu untuk perkembangan selajutnya. Di dalam keluargalah,
seseorang pertama kali mendapat kesempatan menghayati penemuan-penemuan dengan
sesama manusia, malahan dalam memperoleh perlindungan pertama.
Beberapa pengertian keluarga yang lain, seperti Margaret
Mead (dalam Marhaeni, 1996) mendefinisikan ‘the cultural cornestone of any
society, transmitting its cultural history, instilling its prevailing value
systems and socializing the next generation into effective citizens and human
beings’. Burgers dan Lacke (dalam Marhaeni, 1996) mendefinisikan keluarga
sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang anggotanya terikat oleh
adanya hubungan perkawinan (suami-istri) serta hubungan darah (anak kandung)
atau anak pungut (adopsi).
Sementara fungsi keluarga
dimanfaatkan dalam bentuk :
a.
pemenuhan akan kebutuhan
pangan, papan, sandang, dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial
b. kebutuhan akan pendidikan formal, informal
dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan
spiritual (Guhardja, 1992; 9-10)
Kondisi Keluarga ; Antara Ibu Bekerja Dan Menjadi Ibu Rumah Tangga
Dewasa ini wanita bekerja dan kemudian lebih memikirkan karir merupakan hal yang biasa. Bagi wanita yang hidup sendiri, bekerja di luar rumah tidaklah menimbulkan banyak persoalan. Tetapi bagi wanita yang sudah menikah, keikut sertaan dalam lapangan kerja di luar rumah setidaknya akan mempengaruhi keadaan keluarga, yaitu hubungannya dengan suami dan anak-anaknya, juga pola komunikasi yang akan terjadi dalam keluarga tersebut.
Adanya gejala ibu rumah tangga yang
bekerja di luar rumah, setidaknya diperkirakan akan meniadakan perbedaan fungsi
dan peran yang ketat dari kaum pria sebagai pencari nafkah dan pengurus hal-hal
di luar rumah dan wanita sebagai pengurus rumah tangga. Sedikitnya, hal
tersebut akan mengakibatkan penyesuaian-penyesuaian tersendiri dari suami istri
bersangkutan. Kemudian ketergantungan kaum wanita pada pria diperkirakan dapat
mulai berkurang, sehingga hubungan saling ketergantungan yang baru antara suami
istri akan terbentuk. Disamping itu, juga sering ada anggapan bahwa ibu rumah
tangga yang bekerja di luar rumah dengan memperoleh penghasilan akan
mempengaruhi hubungan suami istri sehingga menjadi kurang akrab. Sebuah
penelitian di Amerika Serikat mengenai ibu rumah tangga yang bekerja lebih
sering merasa tidak bahagia dalam perkawinannya. Tetapi penelitian lain
membantahnya dengan menyebutkan tidak
ada hubungan antara status ibu rumah tangga yang bekerja dengan kepuasan
perkawinan (F.Ivan Nye dan Lois Wlodis dalam Marhaeni, 1996).
Ferber dan Birnbaum menggambarkan fakta-fakta yang lebih jelas
mengenai pembagian kerja menurut jenis kelamin, dalam pekerjaan di rumah
tangga. Disini, ternyata hanya ada perubahan yang menyangkut ‘waktu wanita’
(dan bukan perubahan ‘waktu laki-laki’ yang timbul sebagai respon terhadap
adanya permintaan terhadap tambahan pekerjaan di rumah tangga, misalnya
kehadiran anak atau karena ibu bekerja (Totok Mardikarto, 1990).
Selain itu, ditemukan pula bukti-bukti lebih jauh yang menunjukkan bahwa
para suami dari istri-isteri yang bekerja bukan saja tidak lebih banyak
melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi justru secara keseluruhan mereka lebih
banyak menikmati waktunya yang luang di luar rumah dibandingkan dengan
suami-suami yang istrinya tidak melakukan pekerjaan nafkah. Lebih-lebih lagi,
walaupun kenyataan bahwa wanita yang bekerja mengalami kehilangan waktu luang
sekitar 16 jam per minggunya, dan merasa selalu dikejar-kejar waktu, wanita
pekerja menyatakan bahwa kepuasannya tidak berkurang dibandingkan dengan ibu
rumah tangga yang menikmati waktu luang separoh lebih banyak dari waktu luang
yang dapat dinikmati.
Informasi di atas jelas mencerminkan bahwa dunia wanita yang ‘tidak
bergairah’ dan bersifat ‘rutin’ itu telah menempatkan pada keadaan untuk
memanfaatkan ketrampilannya dengan melepaskan sebagian dari dari waktu
luangnya. Tetapi di lain pihak, juga mencerminkan sebagian besar wanita
ternyata memperoleh kepuasan dari penyelesaian tugas rumah tangga. Ferber dan
Birnbaum secara sederhana menyatakan sebagai kepuasan yang sangat tradisional. Sebagai contoh,
pekerjaan rumah tangga telah dinilai sebagai yang paling rendah nilainya
dibanding sekian banyak kegiatan yang dapat memberikan kepuasan bagi para
istri. Peranan yang tradisional dari ibu rumah tangga tersebut, meliputi
pekerjan-pekerjaan rutin, pekerjaan yang tidak ada harganya (tidak pernah
dinilai) dan pekerjaan yang ‘seakan tidak ada habisnya’. Tetapi pekerjaan rumah
tangga tersebut sebagian besar juga bebas dari tanggung jawab, resiko,
jadwal/pengaturan waktu yang kilat dan harapan-harapan peranan yang tidak
menentu.
Nilai-nilai tradisional ini penting sebagai penduga (faktor-faktor
pengaruh) yang sangat baik tentang apakah istri akan memasuki pasar kerja. Arland Thoraton dalam studi Fertilitas
di Amerika pada tahun 1970 menemukan bahwa ‘rendahnya penilaian’ pada pekerjaan
rumah tangga merupakan pendukung yang paling kuat dari partisipasi tenaga kerja
istri dalam pekerjaan nafkah (dalam Marhaeni, 1996). Bahkan lebih kuat
dibanding pendidikan istri, pendapatan suami, adanya anak dan faktor-faktor
lain yang mempengaruhi perlunya memasukkan ketenagaan wanita dalam
perhitungannya. Pada sisi lain, yang mendorong seorang istri untuk hanya
mengutamakan pekerjaan rumah tangga adalah kodratnya sebagai wanita. Walker dan Geuger (dalam Totok Mardikarto,
1990) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa istri yang bekerja, umumnya
semakin berkurang waktu istirahatnya. Sebab meskipun istrinya membantu mencari
nafkah, suaminya tidak menambah jam kerjanya untuk melakukan pekerjaaan rumah
tangga dibanding dengan suami-suami yang istrinya hanya melakukan kerja rumah
tangga. Sedang alasan lain yang mendorong para istri untuk lebih mengutamakan
pekerjaan rumah tangga ialah karena terbatasnya kesempatan kerja bagi wanita,
atau kalaupun ada, tidak memperoleh penghasilan yang cukup tinggi karena
rendahnya investasi keluarga yang diberikan bagi pendidikan dan latihan
ketrampilan untuk kerja mencari nafkah.
Di kalangan wanita-wanita Indonesia, terutama ibu rumah tangga yang bekerja
di luar rumah sering mencari jalan tengah dengan memilih peran rangkapnya
dengan mencoba mengatakan kombinasi yang sebaik-baiknya. Ia harus mengikuti apa
yang menghambat suksesnya dalam pekerjaan, tetapi ia rela karena kesadarannya
bahwa baginya keluarga adalah penting (Hardjito Notopuro, 1979)
Karakteristik Keluarga Istri Bekerja
Hardjito Notopuro (1979) menyebutkan
ciri pertama yang menandai hal di
atas adalah adanya kenyataan bahwa istri bekerja di luar rumah secara tetap
dengan memperoleh penghasilan serta ikut membantu keuangan keluarga. Ciri kedua, adalah kurangnya
keterlibatan istri pada pekerjaannya karena ia tetap lebih mengutamakan urusan
rumah tangga dan anak-anaknya serta tidak keberatan berhenti bekerja jika
urusan rumah tangga dan anak tidak teratasi. Ciri ketiga, adalah dalam soal pembuatan keputusan (alokasi
kekuasaan) suami istri, dalam keluarga ini pembuatan keputusan mengenai urusan
rumah tangga seluruhnya di tangan istri, suami sama sekali tidak turut campur.
Urusan mengenai pengasuhan dan pengajaran anak dibuat bersama-sama oleh suami
istri. Sebaliknya urusan di bidang publik didominasi oleh suami. Ciri keempat, adalah soal pembagian
kerja suami istri dalam keluarga. Urusan-urusan di bidang domestik lebih banyak
ditangani oleh istri sebaliknya urusan di bidang publik ditangani oleh suami.
Berdasar pada keempat ciri tersebut
maka dapat dikatakan bahwa bentuk keluarga ini termasuk dalam bentuk ‘Senior-Yunior Partner’. Maknanya,
walaupun seorang istri bekerja di luar rumah ia masih mempunyai rasa tanggung
jawab yang besar terhadap urusan rumah tangga dan anak-anaknya.
Karakteristik Keluarga Dengan Istri Tidak Bekerja
Kebanyakan pola hubungan suami istri
dalam keluarga dimana istri tidak bekerja cenderung ke arah ‘head – complement’. Ada beberapa ciri dalam karakteristik keluarga dengan istri tidak bekerja,
yaitu :
ü
Ciri pertama, adalah istri tidak bekerja
di luar rumah.
ü Ciri
kedua, adalah dalam pembagian
peran suami istri. Dalam suatu keluarga dengan ciri seperti ini peran istri
bukan hanya di bidang domestik dan peran suami juga bukan di bidang publik saja
tetapi masing-masing mulai ikut serta di keduanya.
ü Ciri
ketiga, adalah dalam soal
pembuatan keputusan atau alokasi kekuasaan suami istri. Sebagai pimpinan
(head), suami mulai mengikut sertakan istri dalam pembuatan keputusan di bidang
publik, terutama dalam soal pengeluaran dengan jumlah besar diluar pengeluaran
rumah tangga rutin, walaupun keputusan terakhir di tangan suami. Sebaliknya
urusan di bidang domestik suami juga ikut serta dalam memutuskan, khususnya
dalam urusan pengasuhan dan pendidikan anak yang sebenarnya domestik dari
isteri.
ü
Ciri keempat, adalah dalam soal pembagian kerja suami istri
dalam keluarga. Walaupun istri tidak bekerja di luar rumah tapi kegiatan bidang
publik seperti ikut perkumpulan dan organisasi bisa diikuti. Intinya masing-masing pihak mulai ikut serta menangani kedua bidang
tersebut.
Untuk mendukung data di atas ada
teori yang bisa digunakan yaitu teori Sumber Daya dari Blood Dan Walfe yang
menyatakan bahwa kekuasaan berasal dari sumber daya dan kebutuhan atau resources and needs. Kekuasaan suami
istri ditentukan oleh pengontrolan sumber-sumber daya oleh seseorang dalam
lingkungan masyarakatnya/sistem eksternal dan sumber-sumber eksternal tersebut
pada dasarnya adalah untuk keluarga inti (Pujiwati dalam
Marhaeni, 1996). Teori sumber daya ini sering digunakan untuk menjelaskan
mengapa pekerjaan yang dilakukan istri di luar rumah berhubungan dengan
kekuasaan dalam keluarga (Lois Wlodis and F. Ivan Nye dalam Marhaeni, 1996).
POLA KOMUNIKASI KELUARGA
Sebuah
keluarga yang ideal adalah sebuah keluarga yang lengkap posisi dan peranannya. Ada suami dan istri yang juga berperan
sebagai bapak dan ibu bagi anak-anak mereka. Hubungan antar anggota keluarga
ini terbentuk karena sebuah komunikasi yang tepat dan sesuai untuk digunakan
dalam keluarga itu, dan bisa jadi masing-masing keluarga menerapkan pola
komunikasi yang berbeda-beda karena sangat tergantung kebutuhan dan situasi
yang melatarinya.
Secara umum, komunikasi dalam
keluarga ini biasanya berbentuk komunikasi antar persona (face to face
communication) yang pada intinya merupakan komunikasi langsung dimana
masing-masing peserta komunikasi dapat beralih fungsi, baik sebagai komunikator
dan komunikan. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah bahwa reaksi yang
diberikan masing-masing peserta komunikasi dapat diperoleh langsung. Karena
itulah, keluarga dapat dikategorikan sebagai satuan sosial terkecil dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
Bagi anak, komunikasi dalam keluarga
merupakan pengalaman pertama yang merupakan bekal untuk menempatkan diri dalam
masyarakat. Komunikasi ini akan memberikan pengaruh bagi kehidupannya.
Komunikasi dalam keluarga dapat pula
dipengaruhi oleh pola hubungan antar peran. Hal ini, disebabkan masing-masing
peran yang ada dalam keluarga dilaksanakan melalui komunikasi. Dalam kaitannya
dengan peran, aspek yang paling penting menurut Blood dan Walfe adalah posisi
anggota keluarga karena distribusi/alokasi kekuasaan, kemudian aspek berikutnya
yang penting adalah pembagian kerja di dalam keluarga. Jadi, kombinasi antara
kekuasaan dan pembagian kerja menurut Blood dan Walfe (dalam Marhaeni, 1996) adalah
hal yang mendasar dalam keluarga. Hal ini, dipengaruhi pula oleh posisi ke
hubungan suami istri dalam keluarga yang dapat dikembangkan dalam dua pola
hubungan, yaitu pertama hubungan antara pria dan wanita ditelaah dalam
arti distribusi dan alokasi kekuasaan, dan yang kedua adalah hubungan
antara pria dan wanita yang ditelaah dengan menganalisa ada atau tidaknya
differensiasi dalam perilaku antara pria dan wanita, yang pada kenyataan
umumnya menunjukkan pada peranan yang berbeda oleh masing-masing jenis kelamin.
Dalam masyarakat, kedua pola hubungan itu bisa tampil bersama-sama maupun
tidak.
Dalam kasus komunikasi orang tua dan
anak dimana dominasi keluarga itu dipegang suami, maka segala keputusan
(terutama dalam bidang publik) ada pada figur suami. Kondisi ini akan
mempengaruhi orang tua (terutama ibu) dalam komunikasinya dengan anak. Karena
ibu sebagai orang yang paling dekat dengan anak kurang berani mengambil
keputusan dalam bidang publik yang disebabkan ketergantungannya pada suami. Hal
ini, seperti dikatakan DeVito (1986), bahwa pola komunikasi seperti di atas
dapat dikategorikan dalam pola pembagian yang tidak seimbang. Dimana dalam
komunikasi ini satu orang mendominasi yang lain karena satu orang nampak lebih
ahli daripada lainnya, dan juga biasanya orang seperti ini adalah orang yang
lebih dalam mendapatkan pendapatan untuk keluarga tersebut. Lebih lanjut,
karena alasan ini pula seorang suami cenderung untuk membuat keputusan sendiri
dan jarang meminta pendapat anggota keluarga yang lain.
Keadaan di atas dapat menyebabkan
komunikasi yang berjalan searah dan arus balik sangat kurang didapatkan.
Anggota keluarga lain tidak bebas mengeluarkan pendapat sehingga komunikasi
yang terjadi pada keluarga ini dapat dikatakan tidak harmonis, dalam arti istri
dan anak tidak dianggap sebagai partisipan yang sejajar.
Sementara itu, jika dalam suatu
keluarga menganut pandangan bahwa kekuasaan tidak hanya dikuasai oleh suami
saja tetapi istri juga mempunyai hak, maka akan dapat dilihat bahwa komunikasi
yang terjadi akan seimbang baik antara orang tua (suami-istri) maupun orang
tua-anak. Dalam kondisi seperti ini, hubungan antar anggota keluarga lainnya
akan sangat akrab, karena masing-masing tidak merasa dikuasai oleh yang lain
sehingga bebas dalam mengeluarkan pendapat.
Menurut DeVito (1986), bahwa dalam
keluarga seperti di atas dapat dikategorikan dalam pola kesamaan dimana
masing-masing pihak berkedudukan sama, saling percaya dan masing masing pihak
terbuka terhadap ide-ide, pendapat serta kepercayaan pada orang lain. Dengan
kondisi semacam ini, maka komunikasi yang terjadi dalam keluarga dapat seimbang
yaitu masing-masing pihak saling menempatkan diri sesuai peranannya. Orang tua
dalam keluarga ini, menganggap anak bukan saja sebagi objek yang harus selalu
patuh tetapi sudah dianggap sebagai partner dalam berkomunikasi sehingga antara
mereka dapat terjalin komunikasi yang harmonis.
Komunikasi
Orang Tua Dan Anak Melalui Komunikasi Antarpersona
Komunikasi diakui oleh para ahli sebagai komponen yang sangat penting dari
tingkah laku antar manusia (interpersonal communication). Termasuk dalam
permasalahan komunikasi orang tua dan anak yang dilakukan melalui komunikasi
antarpersona. Gerbner menjelaskan pengertian komunikasi orang tua dan anak
melalui komunikasi antar persona ini sebagai ‘proses pengiriman dan penerimaan
pesan antara dua orang atau dari sejumlah orang-orang dalam suatu kelompok
dengan sejumlah efek yang dapat diketahui dengan segera.
Komunikasi antar persona merupakan salinan dari bentuk-bentuk lain dari
pemikiran komunikasi yang mempunyai bagian atau elemen-elemen interpersonal. Di
sini, dia menggambarkan perbandingan komunikasi interpersonal sebagai interaksi
atau hubungan langsung antara individu-individu. Komunikasi membagi
aturan-aturan dari sumber ke penerima dan didalam interaksinya mereka
menciptakan arti-arti dan pemahaman-pemahaman (Trenholm dan Jenseris dalam
John, 1989; 152).
Dalam perkembangan selanjutnya komunikasi interpersonal digambarkan sebagai
komunikasi yang memerlukan tempat antara keduanya, dan orang menyebutnya
sebagai “koneksi”, yang dicontohkan dengan hubungan antara ayah dan anak, dua
saudara, guru dan murid, insan bercinta, dua teman dan sebagainya (DeVito,
1986; 13).
Dalam kaitannya dengan komunikasi orang tua dan anak, maka faktor-faktor
yang berperan dalam hubungan interpersonal adalah bagaimana anak mempunyai
persepsi terhadap orangtua dan kemampuan menampilkan diri sebagai orang tua
yang baik. Kalau seorang anak beranggapan bahwa orang tua adalah sosok yang
memiliki sifat-sifat yang baik, ramah, menyayangi dan sebagainya, biasanya anak
akan lebih santai dan lebih antusias didalam berkomunikasi dengan orang tua.
Tetapi sebaliknya, bila anggapan anak terhadap orang tua tidak ramah, tidak
baik, galak, tidak menyayangi dan sebagainya, akan membuat anak kurang tertarik
untuk berkomunikasi dengan orang tua.
Hal lain, di luar pembentukan persepsi atau kesan posistif yang menentukan
keberhasilan komunikasi antar persona anak kepada orang tua adalah keberhasilan
melakukan proses komunikasi antar persona orang tua itu sendiri dengan benar
kepada anaknya. Ini ditandai beberapa ciri yaitu :
a.
Kebutuhan untuk dicinta,
mencerminkan adanya keinginan yang kuat untuk mendapatkan cinta dimana semua
anak akan mempunyai perilaku yang sama dalam menarik perhatian orang tua untuk
dicinta. Begitu pula orang tua akan berperilaku sama dalam memberikan cinta
(perhatian) kepada anaknya.
b.
Kebutuhan
berinteraksi, mencerminkan keinginan untuk berteman/bergaul dengan orang lain.
Setiap orang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya, demikian juga anak
membutuhkan teman.
c.
Kebutuhan
untuk dikontrol, mencerminkan keinginan untuk dapat meraih keberhasilan.
Misalnya, dengan memberikan tanggung jawab kepada anak sehingga bisa dikontrol
keberhasilannya sampai ke masa depan (Marhaeni, 1996).
Dalam kaitannya dengan komunikasi orang tua dan anak, penekanan di sini
bukan kepada keadilan (hasil yang diperoleh seimbang), tetapi didasarkan pada
sikap orang tua yang memperlakukan anak tidak saja sebagai objek yang harus
selalu patuh, tetapi sudah dianggap sebagai partner dalam berkomunikasi
sehingga antara mereka dapat terjalin komunikai yang baik dan akrab. Intensitas
pemenuhan kebutuhan anak yang diberikan orang tua akan menyebabkan anak merasa
diperhatikan. Perhatian yang diperoleh ini akan merangsang anak untuk
membalasnya dengan mewujudkan pada sikap dan perilaku yang baik sesuai dengan
harapan orang tua.
Dalam teori Pembentukan Sosial (Social
Mold Theory) dikatakan bahwa dalam pembentukan sifat dan sikap anak, komunikasi
dengan orang tua merupakan variabel yang penting. Dalam hubungan ini, cara orang tua berkomunikasi
dengan anak dibedakan menjadi dua yaitu : mendukung dan mengontrol. Pesan-pesan
orang tua yang bersifat mendukung misalnya, ditemukan berhubungan dengan
munculnya rasa percaya diri yang lebih besar pada anak. Sedangkan penolakan
yang merupakan kebalikan dari dukungan sering menimbulkan ketergantungan dari
anak yang sangat besar kepada orang lain nantinya, khususnya kepada orang tua.
PENUTUP
Dalam pembahasan sebelumnya, menunjukkan betapa
perencanaan akan proses komunikasi yang tepat dalam keluarga bisa memudahkan
mencari solusi atas kondisi keluarga dimana sang ibu ada dalam kondisi bekerja
di luar rumah atau menjadi wanita karir. Bila didasarkan pada kerangka analisis
model Moser (salah satu model analisis berbasis gender) terdapat kesesuaian bahwa
seorang ibu yang sekaligus adalah seorang wanita harus diberdayakan dengan terlibat
pada sebuah perkerjaan. Lebih jauh hal tersebut adanya keterhubungan antara
peranan-peranan reproduktif (sebagai ibu), produktif (usaha
menghasilkan/berproduksi) dan kemasyarakatan atau kerja sosial secara seimbang.
Hal
inilah yang menjadi kesulitan tersendiri pada penulis dalam menjelaskan
gambaran lebih mendalam tentang bagaimana memahami upaya komunikasi yang tepat
bagi penciptaan keluarga harmonis, dimana ada kondisi sang ibu harus meniti
karir dan harus membagi tanggung jawabnya antara rumah tangga dan juga
persoalan yang berhubungan dengan publik (urusan di luar rumah). Namun pada
intinya setiap keluarga membutuhkan komunikasi yang tepat dan ideal pada
situasi yang berbeda. Pemahaman tentang bagaimana memilih media dan bentuk komunikasi
yang tepat akan memudahkan tercapainya tujuan keluarga itu sendiri.
Masing-masing komponen keluarga akan dapat saling memahami hak dan tanggung
jawab bersama dan pada akhirnya akan mampu menuntaskan dan menyelesaikan semua
persoalan yang terjadi dalam keluarga tersebut. Akan menjadi sangat penting
bila hal ini menjadi sebuah penelitian ilmiah bahwa komunikasi yang tepat baik yang
terjadi dengan ibu bekerja di luar rumah dibandingkan dengan ibu yang tidak
bekerja dalam keluarga, akan mempunyai pengaruh terhadap keharmonisan keluarga
atau penciptaan anak-anak berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Albar, Muhamad. 2000.
Wanita karir dalam timbangan Islam; kodrat kewanitaan, emansipasi dan pelecehan
seksual. Jakarta. Pustaka Azzam
Bahan Informasi
Pengarusutamaan Gender. 2002. Apa itu gender. Edisi 2.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia
Carp, F.M. 1991. Lives of career woman: approaches to
work, marriage, children. New York.
Plenum
Depdikbud,
1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta
DeVito, JA. 1986. The interpersonal communication. 4th
Edition. New York
: Harper and Row Publisher
Guhardja, S. dkk. 1992. Diktat manajemen sumber daya
keluarga. Jurusan GMSK IPB
Hardjito, Notopuro. 1979. Peranan wanita dalam masa pembangunan di
Indonesia. Jakarta. Chalia Indonesia
Istiyanto, S. Bekti. 2002.
Jurnal Komunikasi Acta Diurna : Wanita dalam gambaran iklan televisi kita. Vol. 1 No. 1, November 2002
John, Little Stephen W.
1989. Theories of human communication. 3rd Edition. California. Publishing
Company
Khaliq,
Abdul. 2005. Perilaku komunikasi aparat pemda kabupaten dalam pengarusutamaan gender di era otonomi daerah.
Tesis IPB.
Mardikarto, Totok. 1990. Wanita dan keluarga. Makalah
Marhaeni, Dwi Pangastuti. 1996. Hubungan pola komunikasi suami istri dengan
prestasi anak. Tesis UI
Noor, Faried Ma’ruf. 1983.
Menuju keluarga sejahtera dan bahagia. Bandung. PT Alma’arif
Referensi Tambahan :
(Kompas, 31 Juli 2001)
(Kompas, 3 September
1995)
0 Response to "CONTOH MAKALAH KOMUNIKASI PENTINGNYA KOMUNIKASI KELUARGA : MENELAAH POSISI IBU ANTARA MENJADI WANITA KARIR ATAU PENCIPTAAN KELUARGA BERKUALITAS "
Posting Komentar