Konsepkedaulatan pangan lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas
secara mandiri, berdaulat dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan adalah hak
setiap orang, kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan
sendiri kebijakan pertanian, ketenaga-kerjaan, perikanan, pangan dan tanah,
yang berwawasan ekologis, sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai dengan kondisi
khas dan kedaerahan mereka.
Peraturan
Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan
pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan
dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber
daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha
pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan
prasarana produksi pangan dan mempertahankan serta mengembangkan lahan
produktif.
Dalam era
otonomi daerah peranan daerah otonom sangat penting untuk meningkatkan stok
pangan lokal. Sistem ketahanan pangan sudah didesentralisasikan ke seluruh
daerah otonom yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Peranan
pusat hanya membuat kebijakan-kebijakan strategis dan bersifat normatif,
sedangkan implikasi teknis di lapangan diserahkan ke pemerintah daerah otonom. Nainggolan menyatakan bahwa, otonomi daerah
memberikan keleluasaan dalam menetapkan prioritas pembangunan masing-masing
daerah, diantaranya melalui pembangunan ketahanan pangan dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
Terkait dengan aspek pengelolaan dan pemeliharaan cadangan pangan pemerintah, Peraturan Pemerintah (PP) No 68
tahun 2002 menyebutkan secara tegas tentang pentingnya peran pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah desa dalam menangani masalah
pangan. Semangat otonomi daerah menurut PP 68/2002 tersebut pada dasarnya dapat
dilihat dari dua hal pokok. Pertama,
pengakuan terhadap pentingnya peran pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten, pemerintah desa dalam pengelolaan ketahanan pangan; Kedua, pernyataan secara tegas tentang keberagaman pola pangan masyarakat, yaitu dengan memberikan keleluasaan pengertian atas pangan
tertentu bersifat pokok, sesuai dengan
pola pangan masyarakat setempat.
Oleh sebab itu ketahanan pangan hanyalah satu elemen dari sistem sosial suatu
kelompok masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, jika kesadaran tentang
ketahanan pangan telah menjiwai kebijakan pemerintah, maka akan terlihat dari
kebijakan baik di bidang ekonomi, politik, lingkungan, maupun sosial dan budaya
masyarakat tersebut. Intinya
sistem dan seluruh kelembagaan dalam masyarakat harus memiliki visi untuk
mencapai ketahanan pangan. Untuk mencapai visi ketahanan pangan tersebut
diperlukan tiga dimensi ketahanan pangan, yaitu: dimensi ketersediaan (availability), dimensi akses (access), dan dimensi pemanfaatan (utilization).
Alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain telah menjadi
salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan.
Secara formal pengaturan
cadangan pangan menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Cadangan
pangan pemerintah dan masyarakat harus sama-sama eksis dan satu sama lain harus
saling melengkapi. Oleh sebab itu memelihara tradisi penyediaan lumbung pangan
yang pernah ada, baik secara individu maupun secara kolektif, untuk cadangan
pangan demi keberlanjutan kehidupan masyarakat merupakan salah satu alternatif
untuk meningkatkan ketahanan pangan.
Dalam pelaksanaan implementasi
Badan Ketahanan pangan Maluku mengalami hambatan untuk melakukan diversifikasi
pangan. Pola pikir masyarakat yang cenderung bergantung pada beras, menjadikan
pangan lokal “sagu” hanya menjadi makanan pendamping. Hutan sagu mulai dialih fungsikan menjadi
daerah perumahan membuat semakin
berkurangnya sumber daya dan habitat asli tanaman sagu. Selain itu kendala yang
dihadapi adalah masih kurang daya inovatif terhadap pangan lokal dimana pangan
lokal lebih cepat rusak bila dibandingkan dengan beras yang dapat disimpan
dalam waktu yang lama saat dijadikan sebagai cadangan makanan. Letak geografis
Maluku yang merupakan daerah kepulauan, minimnya aparatur dan penyediaan dana
Badan Ketahanan pangan menjadi penghambat dalam proses sosialisasi diversifikasi pangan di masyarakat.
Indonesiaadalah Negara agraris, dimana tumbuh dan berkembang dari sektor pertanian.
Pertanian tidak pernah bisa dilepaskan dari masalah pangan, karena tugas utama
pertanian adalah untuk menyediakan pangan bagi penduduk suatu Negara. Salah
satu indikator penting untuk melihat kondisi ketahanan pangan suatu negara
secara agregat adalah melalui angka rata-rata ketersediaan pangan.
Dalam
UU/No 7/Tahun 1996 dan disempurnakan menjadi UU/No 68/Tahun 2002 tentang
ketahanan pangan dijelaskan bahwa: “ Ketahanan Pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau. Sedangkan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.” Revolusi hijau (greenrevolution) adalah pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan
produksi tanaman pangan, terutama tanaman serealia, (bahan makanan pokok
seperti gandum, jagung, padi, kentang, sagu). Jadi tujuan pokoknya adalah untuk
mencukupi tanaman pangan penduduk. Konsep Revolusi Hijau yang di
Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program
nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan
tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik
ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. namun oleh karena penyeragaman
pangan ke beras maka menimbulkan dampak
negatif berkurangnya keanekaragaman genetic jenis tanaman tertentu yang
disebabkan oleh penyeragaman jenis tanaman tertentu yang dikembangkan dan ada
sebagian daerah yang tidak berpotensi ditumbuhi tanaman padi ( beras ) seperti
di Maluku.
Mengingat
keragaman pangan adalah merupakan bagian penting dari mutu pangan serta
keragaman budaya dan status sosial ekonomi rumah tanggga atau masyarakat, maka
terjadi keanekaan pula dalam konsumsi bahan makanan. Reformasi politik pangan bertujuan menciptakan rancang-bangun
politik pangan yang lebih baik, sehingga melahirkan: “Peraturan Presiden No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan PercepatanPenganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.”
Provinsi Maluku memiliki lahan
pertanian padi seluas 21.252 Ha3, dengan perincian 18.545 Ha3
lahan padi sawah dan 2.207 Ha3 lahan padi ladang. Dari lahan
pertanian padi tersebut dihasilkan padi sebanyak 89.875 ton beras per tahun[1]. Terdiri dari 83.764 ton
padi sawah dan 6.111 ton padi ladang. Sedangkan kebutuhan beras untuk Provinsi
Maluku dengan jumlah penduduk 1.610.803 jiwa[2], dibutuhkan lebih
kurang 133 ton setiap tahunnya. Kekurangan beras untuk kebutuhan pangan masyarakat di provinsi Maluku cukup
besar tersebut juga tidak mampu dipenuhi oleh Divre Maluku sebagai kaki tangan
pemerintah sehingga seringkali mengimpor dari luar daerah untuk
mencukupi kebutuhan konsumsi pangan beras. Oleh sebab itu, pemerintah daerah berupaya sendiri untuk
menutupi kebutuhan pangan masayarakat, salah satunya dengan
pemberdayaan pangan berbasis lokal.
Tanaman Sagu banyak tumbuh di
Maluku, Sagu diolah menjadi makanan bagi Masyarakat Maluku. Namun oleh karena
manifestasi pemerintah dan modernisasi maka orang Maluku cenderung melupakan
sagu dan beralih ke beras. Padahal Maluku memiliki potensi yang besar sebagai
lumbung pangan “sagu” sebagai basis ketahanan pangan lokal dalam menghadapi
krisis pangan. Sehingga dibutuhkan peran dan kinerja pemerintah daerah untuk
dapat mempertahankan sagu sebagai makanan pokok yang memiliki kualitas pangan
yang baik. Swasembada pangan harus tetap dijaga karena
produksi pangan selain merupakan masalah ekonomi juga masalah politik.
Dalam mewujudkan kemandirian pangan di Maluku maka dikeluarkan Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku, Lembaga ini diharapkan menciptakan ketahanan pangan serta diversifikasi
pangan di Maluku salah satunya dengan melindungi,
melestarikan, serta mengolah sagu sebagai basis ketahanan pangan lokal di
Maluku. Namun dalam pelaksanaan mewujudkan
ketahanan pangan berbasis pangan lokal Badan Ketahanan Pangan Maluku masing
mendapat kendala oleh karena paradigma masyarakat Maluku yang lebih
memprioritaskan makan beras ketimbang pangan lokal “Sagu”. Pergeseran pola konsumsi yang secara tidak sadar menciptakan
ketergantungan terhadap beras, membuat masyarakat kurang termotivasi untuk
menggali dan memanfaatkan pangan lokal. Kondisi ini secara tidak langsung
mempengaruhi lambannya pengembangan penyediaan bahan pangan sampai ke tingkat
rumah tangga. Perwujudan ketahanan
pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah (Badan Ketahanan
Pangan) bersama masyarakat, dengan pangan lokal diharapkan Provinsi Maluku
dapat menuju kemandirian pangan.
B. Rumusan
Masalah
Memperhatikan luasnya cakupan masalah yang
akan diteliti mengenai Politik Pangan di Maluku, maka penulis membatasinya pada
persoalan sebagai berikut :
- Bagaimana implementasi Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku dalam mewujudkan ketahanan pangan berbasis lokal di Maluku?
- Apa faktor-faktor penunjang dan penghambat Badan Ketahanan Pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan berbasis lokal di Maluku?
C. Tujuan Penelitian:
a. Mendeskripsikan ketahanan pangan lokal di Maluku.
b. Mendeskripsikan dan menganalisis implementasi Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku serta faktor-faktor pendukung dan penghambat
terhadap ketahanan pangan lokal di Provinsi Maluku.
D. Manfaat
Penelitian :
1.
Manfaat Teoritis
a. Menunjukan fenomena sosial-politik tentang Politik Pangan Lokal
di Maluku.
b. Menunjukan secara ilmiah implementasi kebijakan politik pangan
di Provinsi Maluku demi terciptanya ketahanan pangan lokal.
c. Dalam wilayah akademis, memperkaya khasanah kajian ilmu politik
untuk pengembangan keilmuan, khususnya politik kontemporer.
2.
Manfaat Praktis
a. Memberikan bahan rujukan kepada masyarakat yang berminat dalam
memahami realitas Politik Pangan di Maluku.
b. Sebagai salah satu prasyarat memperoleh gelar sarjana ilmu
politik.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Dalam bab ini
yang akan dibahas keempat aspek, yaitu: Kebijakan Publik, Implementasi Kebijakan, Politik Pangan, dan Pangan lokal. Keempat hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut.
- Kebijakan Publik
Menurut Johan K.
Bluntschi, politik adalah suatu hal yang memperhatikan masalah kenegaraan,
yaitu berusaha keras untuk mengerti dan memahami kondisi suatu Negara yang
bersifat penting dalam berbagai bentuk manifestasi pembangunan.[3] Namun salah satu konsep
politik yang dikemukan Miriam Budiarjo adalah kebijakan (Policy).[4] Kebijakan diartikan sebagai aturan yang lahir dari proses
politik. Kebijakan merupakan hal yang mengikat sebagai suatu upaya pencapaian
tujuan yang diinginkan dengan bersifat strategis dan jangka panjang. Kebijakan
harus bisa diimplementasikan ke ruang publik.
Menurut Carl Friedrich
yang dikutip dalam Wahab bahwa:
Setelah memaparkan
makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan sebagai
suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik
guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi
tertentu. Pangan merupakan suatu yang
vital bagi kelangsungan Negara terutama sebagai bahan makanan kelangsungan
hidup rakyat. Oleh karena pentingnya pangan, dan agar terciptanya keterediaan
pangan maka harus dibuat kebijakan yang mengatur tentang pangan.
Kebijakan secara umum
menurut Said Zainal Abidin dapat
dibedakan dalam tiga tingkatan:
- Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
- Kebijakan pelaksanaan, adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
- Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Anderson memberikan
defenisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh
badan-badan dan penjabat-penjabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan
itu adalah:
- Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.
- Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.
- Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar di lakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan.
- Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tersebut atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
Analisis Kebijakan
diartikan William Dunn [6] sebagai serangkaian
aktifitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat
politis. Aktifitas politik itu Nampak pada serangkaian kegiatan yang mencakup
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian
kebijakan. Maka dapat dikatakan bahwa
dalam pembuatan kebijakan terdapat terdapat empat
rangkaian kesatuan penting didalam analisis kebijakan publik yang perlu
dipahami, yaitu penyusunan agenda (agendasetting), formulasi kebijakan (policy formulation), implementasi
kebijakan (policy implementation).
1. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Proses
kebijakan publik diawali dengan penyusunan agenda (agenda setting ) yaitu sebuah fase dan proses
yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses ini
memiliki ruang untuk memaknai suatu masalah publik dan prioritas dalam agenda
publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai
masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu
tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu
lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk
menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah.
Isu kebijakan (policy issues) sering
disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy
problem). Isu kebijakan lazimnya muncul karena telah terjadi silang
pendapat antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan
ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu
sendiri.
2. Formulasi Kebijakan (policy formulation)
Langkah kedua dalam proses kebijakan setelah agenda setting
adalah formulasi kebijakan. Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan
kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah yang masuk
diidentifikasi untuk kemudian di cari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan
masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang
ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda
kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing
untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
Formulasi kebijakan memiliki aktivitas yang sangat penting dalam kerangka
peramalan. Formulasi kebijakan akan memberi gambaran mengenai konsekuansi di
masa mendatang dari diterapkannya kebijakan tersebut.
Berhasil tidaknya suatu kebijakan pada akhirnya ditentukan pada
tataran implementasinya. Sering dijumpai bahwa proses perencanaan kebijakan
yang baik sekalipun tidak dapat menjamin keberhasilan dalam implementasinya.
Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk mengubah
keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusaha
mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan
sebelumnya. Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang
seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan
tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan
kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi,
dan sosial. Tahap
paling akhir dalam proses kebijakan adalah penilaian kebijakan. Secara umum
evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi
atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi implementasi dan dampak.
Tabel. 01. Proses Kebijakan Publik
Tahap
|
Karakteristik
|
v Perumusan Masalah
v Formulasi Kebijakan
v Rekomendasi Kebijakan
v Monitoring Kebijakan
v
Implementasi
Kebijakan dan Evaluasi Kebijakan
|
Memberikan
informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah.
Memberikan
informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari diterapkannya alternative
kebijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan.
Memberikan
informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif.
Memberikan
informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu, termasuk kendalanya,
pengawasan.
Memberikan
informasi mengenai kinerja atau hasil kebijakan.
|
- Implementasi Kebijakan
Telah disebutkan diatas ada tahapan tahapan
kebijakan, namun pada dalam permasalahan ini, penulis lebih menfokuskan pada
tahapan implementasi. Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan
merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara
individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan.[7] Sedangkan
menurut Mazmadian:
“implementasi
adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk
Undang-Undang atau bentuk perintah-perintah atau keputusan eksekutif. ” [8]
Menurut Lane, implementasi sebagai konsep
dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, implementation = F (Intention,
Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi merupakan fungsi
yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari
akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi dari implementation =
F (Policy, Formator, Implementor, Initiator, Time). Penekanan utama kedua
fungsi ini adalah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan
dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu.
Implementasi kebijakan
merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan. Artinya
implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana
tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. T.B. Smith mengakui, ketika kebijakan telah
dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan.[9]
Dari definisi
diatas implementasi dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari
tujuan atau sasaran kebijakan, aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan, dan
hasil kebijakan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu
proses dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu kegiatan, sehingga
pada akhirnya akan mendapat suatu hasil yang sesuai dengan sasaran kebijakan.
Implementasi kebijakan menghubungkan antara
tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Tugas
implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan
publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan
berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders). Tachjan menjelaskan tentang
unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu:
- Unsur pelaksana, Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock dalam Tachjan sebagai berikut: ”Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian”.[10]
- Adanya program yang dilaksanakan, program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan budjet.
- Target group atau kelompok sasaran, target group yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kelompok sasaran dalam konteks implementasi kebijakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti: besaran kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta kondisi sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi .
|
|
|||||||||
|
||||||||||
Dalam mengukur kinerja implementasi suatu
kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan
lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan
yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang
optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah
ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di
dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung
pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan
tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan
berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan
positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi
kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi
benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih
daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan
hasil langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap
masyarakat. Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi didasarkan pada tiga
aspek, yaitu: (1) tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya
atau tingkatan birokrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang, (2) adanya
kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah; serta (3) pelaksanaan dan dampak
(manfaat) yang dikehendaki dari semua program yang ada terarah.
Menurut Teori implementasi kebijakan VanMeter dan Horn, terdapat variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yakni:
1. Standar dan sasaran kebijakan, dimana standar dan sasaran
kebijakan harus jelas dan terukur agar dapat direalisir, komunikasi sangatlah
diperlukan agar implementator mengetahui apa yang harus dilakukannya.
2. Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan sumber
daya, baik sumber daya manusia dan sumber daya non manusia (finansial). Meskipun
isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tapi kekurangan
sumber daya maka implementasi tidak dapat berjalan efektif.
3. Hubungan antar organisasi, dalam banyak program, implementasi
sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain agar tecapai
keberhasilan suatu program.
4. Disposisi Implementator, yakni karakteristik yang dimiliki
implementator, mencakup respon implementator terhadap kebijakan yang akan
mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan. Kognisi, yakni pemahaman
terhadap kebijakan.
5. Kondisi sosial, politik dan ekonomi, ini menyangkut sumber daya
lingkungan mendukung implementasi kebijakan, misalnya kelompok kepentingan,
elit politik, serta opini publik.
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan
dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan akhir (output),
yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang akan diraih.
- Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan
Menurut Budi Winarno implementasi kebijakan
bila dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan: “ Alat administrasi hukumdimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja
bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang
diinginkan” Adapun syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan kebijakan Negara
secara sempurna menurut teori implementasi Brian W. Hogwood dan Lewis A.Gun
yang dikutif oleh Wahab[11],
yaitu:
a. Kondisi
eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak akan mengalami
gangguan atau kendala yang serius. Hambatan hambatan tersebut mungkin sifatnya
fisik, politis dan sebagainya.
b. Untuk
pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.
c. Perpaduan
sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia;Kebijaksanaan yang akan
diimplementasikan didasarkan oleh suatu hubungan kausalitas yang handal.
d. Hubungan
kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnnya.
e. Pemahaman
yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
f. Tugas-tugas
diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
g. Komunikasi
dan koordinasi yang sempurna.
h. Pihak-pihak
yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang
sempurna.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak
hanya ditujukan dan dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi
ditujukan dan harus dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di
lingkungannya. Menurut James Anderson, [12]
masyarakat mengetahui dan melaksanakan suatu kebijakan publik dikarenakan :
a. Respek
anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-keputusan badan-badan
pemerintah;
b. Adanya
kesadaran untuk menerima kebijakan;
c. Adanya
keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah,konstitusional, dan dibuat oleh
para pejabat pemerintah yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan;
d. Sikap
menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan itu lebih sesuai
dengan kepentingan pribadi; Adanya sanksi-sanksi tertentu yaang akan dikenakan
apabila tidakmelaksanakan suatu kebijakan.
Berdasarkan teori diatas bahwa faktor pendukung
implementasi kebijakan harus didukung dan diterima oleh masyarakat, apabila
anggota masyarakat mengikuti dan mentaati sebuah kebijakan maka sebuah
implementasi kebijakan akan berjalan sesuai tujuan yang telah ditetapkan tanpa
ada hambatan-hambatan yang mengakibatkan sebuah kebijakan tidak berjalan sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Bambang Sunggono dalam buku Hukum
dan kebijakan publik, implementasi kebijakan mempunyai beberapa faktor
penghambat, yaitu:
a. Isi
kebijakan.
Pertama,
implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi kebijakan, maksudnya apa
yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci, sarana-sarana dan penerapan
prioritas, atau programprogram kebijakan terlalu umum atau sama sekali tidak
ada. Kedua, karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan
yang akan dilaksanakan. Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan
dapat juga menunjukkan adanya kekurangankekurangan yang sangat berarti. Keempat,
penyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik
dapat terjadi karena kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-sumber
daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia.
b. Informasi.
Implementasi kebijakan publik mengasumsikan
bahwa para pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu
atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik.Informasi ini
justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.
c. Dukungan.
Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan
sangat sulit apabila pada pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk
pelaksanaan kebijakan tersebut.
d. Pembagian
potensi.
Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya
implementasi suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi
diantara para pelaku yang terlibat dalam implementasi.Dalam hal ini berkaitan dengan
diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi
pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian wewenang dan
tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau ditandai oleh
adanya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas[13].
Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan mempunyai
manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain, tindakan
atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat harus sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh pemerintah atau negara. Sehingga apabila perilaku atau perbuatan
mereka tidak sesuai dengan keinginan pemerintah atau negara, maka suatu
kebijakan publik tidaklah efektif.
- Politik Pangan
Politik berasal dari bahasa Latin “Polis” yang berarti kota. Politik
memiliki arti suatu kegiatan berkaitan dengan Negara, kekuasaan, kebijakan,
serta pembagian kekuasaan.[14] Masalah pangan merupakan
hal yang sangat fundamental dalam Negara karena berkaitan dengan kelangsungan
hidup rakyat. Sehingga dibutuhkan suatu kebijakan untuk mengatur tentang
pangan. Dalam Peraturan Pemerintah tentang ketahanan pangan pada pasal 1 ayat 2
dijelaskan bahwa, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan pembuatan makanan atau minuman.
Politik pangan adalah kebijakan politik
yang diarahkan guna terciptanya pemenuhan pangan bagi masyarakat dalam konteks
Negara. Pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah
dan masyarakat secara bersama-sama seperti yang diamanatkan oleh Peraturan
Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tetang ketahanan pangan. Dalam Undang-Undang
tersebut pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan
pengawasan. Sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi atau penyediaan,
perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh
pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, terjangkau
oleh daya beli masyarakat.
Pangan merupakan hal pokok bagi
kelangsungan hidup masyarakat. Pemenuhan ketersediaan pangan harus terus
digalakan agar tidak terjadi kerawanan pangan. Kerawanan pangan merupakan suatu
kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk
hidup sehat dan aktif. Pada dasarnya terjadinya kerawanan pangan dan kelaparan
disebabkan masalah kekurangan pangan akibat antara lain:
- Rendahnya ketersediaan pangan dari produksi setempat maupun pasokan dari luar.
- Gangguan distribusi karena kerusakan sarana dan prasarana serta keamanan distribusi.
- Terjadinya bencana alam menyebabkan suatu wilayah/daerah terisolasi.
- kegagalan produksi pangan
- Gangguan kondisi sosial.
Keterbatasan pemenuhan sumber pangan akan
mengakibatkan situasi rawan pangan, untuk itu harus dibuat suatu mekanisme ketahanan pangan. Menurut
Kurniawan ketahanan pangan dapat
diartikan sebagai suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap
orang dan setiap individu mampu memperolehnya.[15] Dalam konsep ketahanan
pangan terdapat tiga topik yang perlu untuk dibahas berhubungan dengan rencana
aksi pemantapan ketahanan pangan pemerintah Indonesia, yaitu:
- Kecukupan pangan
Kecukupan pangan adalah suatu kondisi pada
suatu negara yang cukup akan jumlah pangan, mutu baik, mudah diperoleh, aman
dikonsumsi, dan harga terjangkau.
- Kemandirian pangan
Kemandirian pangan adalah keadaan dimana
suatu negara dapat memenuhi kebutuhan pangan dengan produk sendiri (negara
tersebut).
- Kedaulatan pangan
Kedaulatan pangan adalah suatu penentuan
yang dilakukan oleh suatu negara atas pangan untuk negaranya sendiri.
|
Subeno menjelaskan bahwa, basis konsep
ketahanan pangan nasional adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga,
terutama di pedesaan.[16] Proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap
bahan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga. Berdasarkan berbagai konsep tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa ketahanan pangan (food security)
merupakan kondisi tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk
kebutuhan masyarakat yang dapat diakses dengan mudah berdasarkan kemampuan daya
beli masyarakat serta terdistribusi merata di semua wilayah dan strata
masyarakat.
Oxfam 2001 mengartikan
Ketahanan pangan
adalah
kondisi
ketika:
“setiap orang dalam
segala waktu
memiliki akses dan control atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang katif dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di sini yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).
Ketahanan
pangan adalah sebuah bangunan sistem yang terdiri dari tiga subsistem yang
saling interpenden dan tidak bisa dibahas secara parsial. Hal ini sangat
penting karena memahami konsep ketahanan pangan adalah memahami sebuah proses
yang saling memiliki keterkaitan dari awal sampai akhir dimulai dari produksi,
distribusi sampai kepada aktivitas konsumsi.
|
- Melibatkan peran aktif seluruh stakeholders pemerintahan daerah.
- Melaksanakan program pembangunan yang secara langsung memberikan manfaat kepada masyarakat.
- Mengembangkan kerjasama antar daerah dan antara daerah dengan pusat.
- Mempertahankan lahan produktif dan suplai air untuk pertanian.
Waluyo menyatakan[17] bahwa, permasalahan
fundamental yang dihadapi oleh daerah otonom untuk ketahanan pangan antara
lain: Kebijakan ketahanan pangan, penataan dan pemanfaatan lahan pertanian,
lumbung pangan, sebagaimana uraian
berikut:
(1) Kebijakan Ketahanan Pangan
|
(2) Penatalaksanaan Lahan Pertanian
|
(3) Lumbung Pangan
|
- Pangan Lokal
Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang
interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang
interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu
pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan
fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting.
Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun
hubungan-hubungan face to face dalam
lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung
akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan
hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
Pangan Lokal
adalah pangan yang diproduksi dan dikembangkan sesuai dengan potensi dan
sumberdaya wilayah dan budaya setempat.[18] Pangan lokal juga
diartikan pangan yang asal usulnya secara biologis ditemukan di suatu daerah. [19] Pangan adalah hak asasi
setiap individu untuk memperolehnya dengan jumlah yang cukup dan aman serta
terjangkau. Oleh karena itu, upaya pemantapan ketahanan pangan harus terus
dikembangkan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.
Dalam menunjang keberhasilan ketahanan pangan
penduduk Indonesia harus kembali ke makanan pokok lokal daerahnya masing-masing,
sebagai contoh; orang Maluku dengan makanan pokok sagu, maka penduduk Maluku
wajib mengkonsumsi sagu, tetapi pada saat ini mana ada orang yang suka makan
sagu terus-menerus, tentunya akan merasa bosan dan merasa gengsi, maka sagu
harus diolah dengan baik dan lebih bervariasi, begitu pula makanan pokok
lainnya. Sesuai dengan peraturan presiden No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Kebijakan pengembangan konsumsi pangan dapat diarahkan pada :
1.
Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan yang diarahkan
untuk memperbaiki konsumsi pangan penduduk baik jumlah maupun mutu, termasuk
keragaman dan keseimbangan gizinya;
2.
Pengembangan konsumsi pangan lokal baik nabati dan hewani yang
diarahkan untuk meningkatkan mutu pangan lokal dan makanan tradisional dengan
memperhatikan standar mutu dan keamanan pangan sehingga dapat diterima di
seluruh lapisan masyarakat.
Strategi
pengembangan konsumsi pangan diarahkan pada tiga hal yaitu produk/ketersediaan,
pengolahan dan pemasaranan. Strategi pengembangannya adalah :
1.
Pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini adalah berupa peningkatan
peran masyarakat dalam pengembangan konsumsi pangan yang meliputi peningkatan
pengetahuan/kesadaran dan peningkatan pendapatan untuk mendukung
kemampuan akses pangan oleh setiap rumah tangga.
2.
Peningkatan kemitraan. Merupakan implementasi, sinkronisasi dan
kerjasama antara semua stakeholders dalam pengembangan konsumsi pangan termasuk
pengembangan produksi/pengembangan teknologi pengolahan pangan.
3.
Sosialisasi. Memasyarakatkan dan meningkatkan apresiasi
masyarakat dalam pengembangan konsumsi pangan melalui promosi, kampanye,
penyebaran informasi melalui media massa (cetak dan elektronik) dan pemberian
penghargaan.
Pemanfaatan pangan lokal dapat membantu masyarakat
lokal dalam memenuhi pangan secara berkesinambungan terutama untuk kebutuhan
pangan rumah tangga. Sumber-sumber pangan lokal ( jagung, ubi kayu, ubi jalar,
kentang, sagu, dan sumber karbohidrat lainnya ) sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai bahan pangan pokok pendamping beras. Program pembangunan
ketahanan pangan yang dilaksanakan melalui Badan Ketahanan Pangan bertujuan:
- Memantapkan ketersediaan pangan dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki secara berkelanjutan.
- Memantapkan kelancaran distribusi pangan untuk menjamin stabilitas pasokan pangan secara merata dan terjangkaunya daya akses pangan masyarakat. Meningkatkan percepatan diversifikasi konsumsi pangan dan mencegah kerawanan pangan.
|
- Kerangka Pemikiran
Pada masa orde baru terjadi penyeragaman
pangan ke satu komoditas pangan yakni beras. Namun ketergantungan pola konsumsi pangan
masyarakat Maluku terhadap beras, tidak sebanding dengan tingkat produksi beras
di Provinsi Maluku. Secara letak geografis Maluku adalah Provinsi kepulauan
yang hampir keseluruhan daerah lahan pertanian tidak cocok ditanami padi dan
seringkali harus mengimpor dari luar daerah. Dari permasalahan inilah
pemerintah Provinsi berupaya mengupayakan diversifikasi
pangan berbasis pangan lokal “sagu” agar tercipta ketahanan pangan yang
mandiri. Pemerintah daerah membentuk Badan Ketahanan Pangan sebagai badan
pembantu Gubernur dalam membuat dan melaksanakan kebijakan teknis tentang
ketahanan pangan dan kemudian di buatkan peraturan daerah No. 04 tahun 2010
tentang organisasi tata kerja badan ketahanan pangan Maluku.
Peraturan daerah ini diharapkan menjadi legitimasi hukum Badan Ketahanan pangan
dalam menciptakan ketahanan pangan berbasis lokal di Maluku.
Daerah Maluku memiliki potensi pangan lokal
yang bisa dikembangkan untuk menciptakan ketahanan pangan. Daerah ini merupakan
habitat yang cocok untuk tanaman sagu, bahkan sebelum penyeragaman pangan ke
beras, makanan pokok orang Maluku adalah sagu.
|
BAB III
METODE
PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas ada lima aspek, sebagai berikut :
Lokasi Penelitian, Tipe dan Dasar Penelitian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan
Data, dan Teknik Analisis Data. Kelima hal tersebut akan di uraikan lebih
lanjut.
- Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Maluku.
Lokasi penelitian di Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku yang bertempat di
Kota Ambon dan merupakan merupakan lembaga yang membantu Gubernur dalam penggagas perumusan kebijakan teknis pangan di Maluku. Alasan dipilihnya Maluku
sebagai daerah penelitian karena daerah Maluku merupakan habitat asli tanaman
sagu dan merupakan potensi pangan yang dapat dikembangkan guna terciptanya
diversifikasi pangan berbasis lokal.
- Tipe dan Dasar Penelitian
Dasar penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif untuk menghasilkan
temuan atau kebenaran yang didalam penelitian kualitatif disebut kebenaran
“intersubjektif”, yakni kebenaran yang dibangun dari jalinan berbagai faktor
yang bekerja bersama-sama, seperti budaya dan sifat unik manusia, maka realitas
kebenaran adalah sesuatu yang “dipresepsikan” oleh yang melihat bukan sekedar
fakta yang bebas konteks dan interpretasi apapun. Kebenaran merupakan bangunan
(konstruksi) yang disusun oleh peneliti dengan mencatat dan memahami apa yang
terjadi dalam interaksi sosial kemasyarakatan.[20]
Tipe
penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu penelitian diarahkan untuk
menggambarkan fakta dengan argument yang tepat. Penelitian dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu
gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian
dilakukan. ujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat penjelasan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta. Namun demikian, dalam
perkembangannya selain menjelaskan tentang situasi atau kejadian yang sudah
berlangsung sebuah penelitian deskriptif juga dirancang untuk membuat komparasi
maupun untuk mengetahui hubungan atas satu variabel kepada variabel lain.
- Sumber Data
Pada penelitian ini penulis menggunakan
data yang menurut penulis sesuai dengan objek penelitian yang mampu memberikan gambaran tentang objek
penelitian. Adapun sumber data yang digunakan yaitu Data Primer dan Data Sekunder.
a.
Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh
melalui lapangan atau daerah penelitian dari hasil wawancara mendalam dengan
informan dan observasi langsung. Peneliti turun langsung ke daerah penelitian
untuk mengumpulkan data dalam berbagai bentuk, seperti rekaman hasil wawancara
dan foto kegiatan di lapangan. Dari proses wawancara peneliti berharap akan
mendapatkan data-data seperti, ketahanan pangan di Maluku, kinerja Badan
Ketahanan Pangan, serta penganekaragaman pangan berbasis lokal di Maluku.
b.
Data Sekunder
Penulis selain turun ke lapangan,
juga melakukan telaah pustaka yakni mengumpulkan data dari buku, jurnal, koran,
dan sumber informasi lainnya yang erat kaitannya dengan masalah penelitian
yakni politik pangan di Maluku.
- Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan
penulis dalam penelitian ini yaitu : Wawancara Mendalam dan Arsip / Dokumen.
a.
Wawancara Mendalam
Penulis dalam melakukan pengumpulan data
dengan cara wawancara mendalam, pedoman wawancara (interview guide) agar
wawancara tetap berada pada fokus penelitian, meski tidak menutup kemungkinan
terdapat pertanyaan-pertanyaan berlanjut. Pedoman wawancara digunakan untuk
mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga
menjadi daftar pengecek (check list)
apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan
pedoman tersebut interviwer harus
memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit dalam
kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat
wawancara berlangsung. Proses pengumpulan data dengan wawancara mendalam
penulis membaginya menjadi dua tahap, yakni :
- Tahap Persiapan Penelitian
Pertama peneliti membuat pedoman wawancara
yang disusun berdasarkan demensi kebermaknaan hidup sesuai dengan permasalahan
yang dihadapi subjek. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang
telah disusun, ditunjukan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah
pembimbing penelitian untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman wawancara.
Setelah mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat
perbaikan terhadap pedoman wawancara dan mempersiapkan diri untuk melakukan
wawancara. Tahap persiapan selanjutnya adalah peneliti membuat pedoman observasi
yang disusun berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama
wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta
pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan pencatatan langsung yang dilakukan
pada saat peneliti melakukan observasi. Namun apabila tidak memungkinkan maka
peneliti sesegera mungkin mencatatnya setelah wawancara selesai. Peneliti
selanjutnya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian.
Sebelum wawancara dilaksanakan peneliti bertanya kepada subjek tentang
kesiapanya untuk diwawancarai. Setelah subjek bersedia untuk diwawancarai,
peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat
untuk melakukan wawancara.
- Tahap Pelaksanaan Penelitian
Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek
mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang
dibuat. Setelah wawancara dilakukan, peneliti memindahakan hasil rekaman
berdasrkan wawancara dalam bentuk tertulis. Selanjutnya peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai
dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di
akhir bab ini. setelah itu, peneliti membuat dinamika psikologis dan kesimpulan
yang dilakukan, peneliti memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Informan
yang penulis wawancarai adalah:
Tabel. 02
Narasumber Penelitian
Narasumber
|
Jabatan
|
Dr.
Syuryadi Sabirin
|
Kepala
Badan Ketahanan Pangan Maluku
|
Drs.
H. Ramli Hasan
|
Kepala
Divisi Regional Bulog Maluku
|
Abdullah
Tuanaya
|
Sekertaris
Dinas Pertanian Maluku
|
Ir.
S. M Talla
|
Kepala
Bidang Ketersediaan dan kerawanan Pangan Maluku
|
Drs.
M. Siahalatua
|
Kepala
Bidang Organisasi Kantor Gubernur Maluku
|
Ir.
Melkias L. Frans
|
Ketua
Komisi B DPRD Maluku
|
Drs.
Andreas. J. W. Taborat
|
Wakil
Ketua Komisi B Maluku
|
Abraham
M. M Malioy, SH
|
Anggota
Badan Legislasi DPRD Maluku
|
b. Arsip/Dokumen
Arsip atau Dokumen mengenai berbagai
informasi dan hal yang berkaitan dengan fokus penelitian merupakan sumber data
yang penting dalam penelitian. Dokumen yang dimaksud dapat berupa dokumen
tertulis gambar atau foto, film audio-visual, data statistik, tulisan ilmiah
yang dapat memperkaya data yang dikumpulkan. Data-data ini didapat di Dinas
Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, DPRD Maluku, dan Perpustakaan Daerah.
E. Teknik
Analisis Data
Strauss dan
Corbin[21] mengungkapkan penelitian
kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selanjutnya,
dipilihnya penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan
pengalaman penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang
lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.
Penelitian
kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif
dan cenderung mengg unakan analisis dengan pendekatan induktif. Penelitian
kualitatif juga membutuhkan triangulasi yakni pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data tersebut. Pengamatan
yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi
yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Analisis data
dilakukan bersamaan atau hampir bersamaan dengan pengumpulan data. Langkah yang
digunakan dalam analisis data adalah sebagai berikut : Reduksi Data, Sajian
Data, dan Penyimpulan Data.
1.
Reduksi Data
Pada tahap ini dilakukan proses pengumpulan
data mentah, dengan menggunakan alat-alat yang perlu seperti rekaman MP3, field
note, serta observasi yang dilakukan penulis selama berada dilokasi penelitian.
Pada tahap ini sekaligus dilakukan proses penyeleksian, penyederhanaan,
pemfokuskan, dan pengabstraksian data dari field note dan transkrip hasil
wawancara. Proses ini berlangsung selama penelitian dilakukan dengan membuat
singkatan, kategorisasi, memusatkan tema, menentukan batas-batas permasalahan.
Reduksi data sperti ini diperlukan sebagai analisis yang akan menyeleksi,
mempertegas, membuat fokus dan membuang hal yang tidak penting dan mengatur
sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan.
Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh
data hasil wawancara yang berupa rekaman MP3, catatan lapangan, dan pengamatan
lainnya, peneliti melakukan transkrip data untuk mengubah data hasil wawancara,
catatan lapangan dalam bentuk tulisan yang lebih teratur dan sistematis. Setelah
seluruh data sudah dirubah dalam bentuk tertulis, peneliti membaca seluruh data
tersebut dan mencari hal-hal yang perlu dicatat untuk proses selanjutnya yakni
pengkategorisasian data agar data dapat diperoleh lebih sederhana sesuai dengan
kebutuhan penelitian. Sampai disini diperoleh kesimpulan sementara berdasarkan
data-data yang telah ada. Pada tahap selanjutnya, penulis melakukan triangulasi
yakni check and recheck antara satu sumber data dengan sumber data yang
lainnya. Apakah sumber data yang satu sesuai dengan data yang lainnya, hal ini
dilakukan untuk meningkatkan validitas data.
2.
Sajian Data
Sajian data adalah suatu informasi yang
memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat sajian data
penulis dapat lebih memahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan untuk
mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahaman
tersebut. Sajian data diperoleh dari hasil interpretasi, usaha memahami, dan
analisis data secara mendalam terhadap data yang telah direduksi,
dikategorisasi, dan check and recheck antara saru sumber data dengan sumber
yang lainnya. Sajian data dapat meliputi deskriftif, matriks dan table. Sajian
data yang baik dan jelas sistematikanya akan mudah memahami dan mengerti.
3. Penyimpulan
Data
Dari hasil pengumpulan data yang telah
diperoleh peneliti menemukan berbagai hal-hal penting yang sesuai dengan
kebutuhan penelitian. Pada saat mengolah data peneliti sudah mendapat
kesimpulan sementara, kesimpulan sementara yang masih berdasarkan data akan
dipahami dan dikomentari oleh peneliti yang pada akhirnya akann mendeskripsikan
atau menarik suatu kesimpulan akhir dari hasil penelitian yang telah diperoleh.
Penelitian berakhir ketika peneliti sudah merasa bahwa data sudah jenuh dan
setiap penambahan data baru hanya berarti ketumpang tindihan.
BAB
IV
GAMBARAN
UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Lintasan
Sejarah Maluku
Maluku merupakan salah satu provinsi tertua
dalam sejarah Indonesia Merdeka. Daerah ini dinyatakan sebagai provinsi bersama
tujuh daerah lainnya, yaitu Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sumatera, dan Sulawesi, hanya dua hari setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945. Seperti daerah lainnya di
Indonesia, Maluku sebagai wilayah kepulauan juga memiliki sejarah yang panjang
yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Indonesia secara keseluruhan. Meskipun
di daerah Maluku tidak ditemukan fosil/ kerangka manusia purba, namun ada
asumsi yang mengatakan bahwa di Maluku sudah pernah hidup manusia purba yang
mempunyai kemuripan dengan manusia Homosapiens yang hidup sekitar 40.000 tahun
SM di daratan Jawa dan di pulau – pulau lain di Nusantara. Sebenarnya juga ada
manusia Australoid, yaitu suatu ras manusia yang mempunyai kemiripan dengan
penghuni pertama Pulau Seram. Sebagai daerah yang cukup subur, Maluku tentu
saja mengundang kedatangan kaum migran dari berbagai kawasan yang menimbulkan
gelombang perpindahan dan menghasilkan percampuran perpindahan dan menghasilkan percampuran kebudayaan
antara penghuni lama / asli dengan suku-suku pendatang sehingga melahirkan suku-suku
baru.
Awal abad ke 7 pelaut-pelaut dari daratan
Cina pada masa Dinasti Tang yang telah menyinggahi daerah-daerah di Kepulauan
Maluku untuk mencari rempah-rempah. Namun mereka merahasiakan agar tidak
diketahui oleh bangsa-bangsa lain dalam mencari rempah-rempah. Pada zaman
keemasan Kerajaan Sriwijaya di abad ke 12, kepulauan Maluku termasuk dalam
wilayah kekuasaan kerajaan itu. Pada abad ke 14 Kerajaan Majapahit mengambil
alih kekuasaan maritim hampir keseluruhan Asia Tenggara termasuk Kepulauan
Maluku. Para pendatang Eropa, seperti Portugis, rvf65tb gyn hun jh nj nkj k nj nh huim
jui,kikio,lo/.Spanyol, dan Belanda baru menemukan jalan ke Kepulauan Maluku
pada abad ke 16. Masuknya agama Islam melalui pedagang – pedagang dari Aceh,
Malaka, dan Gresik pada abad ke 14 dan abad ke 15 turut memperkenalkan bentuk
pemerintahan yang lebih rapi dan teratur seperti pada Kesultanan Ternate,
Tidore, serta Jailolo.
Pada
tahun 1512, bangsa Portugis yang telah menemukan jalan ke Maluku dan menjalin
persahabatan dengan Kesultanan Ternate, diberi izin untuk mendirikan benteng di
Pikapoli dan Hitu Lama serta Mamala. Sembilan tahun kemudian Spanyol mulai
menapakan kaki di Kepulauan Maluku dan mendirikan benteng Tidore. Pada tahun
1570, karena kalah perang dengan Kesultanan Ternate yang diperintah Sultan
Baabullah, Portugis diusir dari Ternate dan pindah ke Ambon. Bangsa Belanda pun
mulai mengincar Maluku dan membantu Hitu dalam perang melawan Portugis di Ambon
dan pada akhirnya Portugis harus terpaksa menyerahkan benteng pertahanannya
yang ada di Ambon kepada Belanda demikian juga dengan benteng Inggris di
Kambelo, Pulau Seram. Sejak saat itu Belanda menguasai sebagian besar Kepulauan
Maluku. Posisi Belanda makin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602,
sehingga Belanda praktis menjadi pemegang monopoli perdagangan rempah-rempah di
Maluku. Guna memperkuat kedudukannya di Maluku, Belanda membentuk badan
administrative yang disebut Governement van Amboina. Demikian pula dengan di
Banda, Kei, Aru, Tanimbar, serta Teon-Nila-Serua yang berada di bawah pengawasan
Governement van Banda. Sistem monopoli yang ditetapkan Belanda dalam
perdagangan rempah-rempah lambat laun mengundang perlawanan rakyat Kepulauan
Maluku terhadap Belanda. Pada tahun 1817 pecah perang terhadap Belanda yang
lebih dikenal dengan perang Pattimura di mana rakyat Maluku bangkit melawan
Belanda di bawah pimpinan Thomas Matulessy yang mendapat gelar Kapitan
Pattimura. Pattimura di tangkap dan dihukum gantung di benteng Fort Niew Victoria Ambon. Memasuki abad ke 20 perlawanan
terhadap penjajah bergeser ke perlawanan politik. Pengaruh Boedi Oetomo 1908
serta keterlibatan pemuda Maluku dalam sumpah pemuda 1928 membuktikan
pemuda–pemuda Maluku yang tergabung dalam Jong Ambon juga berperan aktif dalam
perjuangan untuk merdeka. Sebelum itu di tahun 1920 Alexander Jacob Patty
mendirikan Organisasi Politik masyarakat Ambon di semarang yahng terang–terangan
menentang Belanda. 1925 Jacob Patty di tangkap dan dibuang ke bengkulu dan
kedudukannya di ganti oleh Mr. J. Latuharhary. Setelah proklamasi Provinsi
Maluku masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada
tanggal 19 agustus 1945.
B. Letak Geografis Maluku
Dengan ditetapkannya Undang –Undang RI No
46 Tahun 1999 tentang pembentukan pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten
buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, secara geografis Provinsi Maluku
terletak antara 30- 80 3 Lintang Selatan dan 125045
- 1350 Bujur Timur dengan luas wilayah 712.479,69 Km2 terdiri
dari 658.294,69 Km2 lautan dan 54.185 Km2 daratan.[22]
Melalui Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun
2003 tentang pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian
Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru, maka secara administrasi Provinsi Maluku
terbagi atas tujuh Kabupaten dan satu Kota, yaitu Kabupaten Buru, Kabupaten
Maluku Tengah, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur,
Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Tenggara
Barat, dan Kota Ambon. Secara geografis Provinsi Maluku berbatasan dengan :
Ø Sebelah Utara : Provinsi Maluku Utara
Ø Sebelah Selatan : Negara Timor Leste dan
Australia
Ø Sebelah Timur : Provinsi Papua
Ø
Sebelah Barat : Provinsi Sulawesi
Tenggara dan Sulawesi Tengah
Gambar.
02 Peta Provinsi Maluku
Sumber Google.com
Kepulauan Maluku beriklim tropis dan iklim
mozon dimana iklim inin sangat dipengaruhi oleh lautan yang luas dan berlangsung
seirama dengan musim yang ada. Suhu rata – rata pada tahun 2010 sesuai data
klimatologi hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika stasiun
Meteorologi Pattimura Ambon, Tual dan Saumlaki masing – masing sebesar 27,4 C,
27,7 C dan 27,7 C. Suhu Minimum masing – masing sebesar 24,5 C, 24,5 C dan 24,9
C, sedangkan maksimum masing – masing sebesar 30,5 C, 31,4 C dan 31,2 C.
Kelembaban
nisbi udara sesuai pencatatan Stasiun Meteorologi Ambon rata – rata sebulan
dalam tahun 2010 adalah 83% dimana terendah pada bulan Januari sebesar 72% dan
tertinggi pada bulan Juli dan Agustus sebesar 87%. Sesuai pencatatan peralatan
meteorologi Tual pada tahun yang sama rata – rata sebulan adalah 87% dimana
terendah pada bulan Januari sebesar 85% dan tertinggi pada bulan April sebesar
90%. Sedangkan sesuai pencatatan peralatan Meteorologi Saumlaki pada tahun yang
sama rata – rata sebulan 82% dimana terendah pada bulan Januari sebesar 77% dan
tertinggi pada bulan Desember sebesar 87%.
Tabel. 03
Jumlah Penduduk Maluku
Nama
Kabupaten/Kota
|
Jumlah
Penduduk
|
Kota
Ambon
|
302.
526
|
Maluku
Tengah
|
393.439
|
Buru
|
106.774
|
Buru
Selatan
|
54.679
|
Seram
Bagian Barat
|
166.154
|
Seram
Bagian Timur
|
128.050
|
Kepulauan
Aru
|
89.633
|
Kota
Tual
|
68.523
|
Maluku
Tenggara
|
127.106
|
Maluku
Tenggara Barat
|
103.088
|
Maluku
Barat Daya
|
70.831
|
BPS 2010, Maluku dalam Angka
Jumlah
Penduduk Maluku pada tahun 2010 berjumlah 1.610.803 jiwa. Mayoritas
penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan
pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh
Kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku serta
Pedagang Arab
di pesisir Pulau Ambon dan sekitarnya sebelumnya. Tempat ibadah di Provinsi
Maluku pada tahun 2010 adalah Mesjid 1.188 buah, Gereja 1.022
buah, Pura 10 buah dan Wihara 4 buah. Sedangkan Pemeluk agama Islam sebesar
50,03 persen, Kristen Protestan sebesar 39,04 persen, Kristen Katholik 10,06
persen, Hindu 0,20 persen dan Budha 0,03 persen dan lainnya 0,65.
C.
Pemerintahan Provinsi Maluku
Maluku merupakan salah satu provinsi tertua
dalam sejarah Indonesia Merdeka. Daerah ini dinyatakan sebagai Provinsi bersama
tujuh daerah lain, yaitu: Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat, Sumatera, dan Sulawesi, pada tanggal 19 Agustus 1945. Ibu Kota
Provinsi Maluku adalah Kota Ambon dengan 10 Kabupaten.
Tabel. 04
Kabupaten/Kota di Maluku
Nama
Kabupaten/Kota
|
Ibu
Kota
|
Kota
Ambon
|
-
|
Maluku
Tengah
|
Masohi
|
Buru
|
Namlea
|
Buru
Selatan
|
Namrole
|
Seram
Bagian Barat
|
Piru
|
Seram
Bagian Timur
|
Bula
|
Kepulauan
Aru
|
Dobo
|
Kota
Tual
|
-
|
Maluku
Tenggara
|
Langgur
|
Maluku
Tenggara Barat
|
Saumlaki
|
Maluku
Barat Daya
|
Wonreli
|
Sumber: Biro Pemerintahan
Sekretaris Daerah Maluku
Daerah Maluku yang ditetapkan sebagai
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama tujuh provinsi lain pada
tanggal 19 agustus 1945 dipimpin oleh seorang Gubernur, yaitu Mr. J.J.
Latuharhary.
Tabel. 05 Gubernur Maluku
Nama
Gubernur
|
Periode
|
Mr. J.J. Latuharhary
|
1950 – 1955
|
M. Djosan
|
1955 – 1960
|
Muhammad Padang
|
1960 – 1965
|
G.J. Latumahina
|
1965 – 1968
|
Soemitro
|
1968 – 1973
|
Soemeru
|
1973 – 1975
|
Hasan Slamet
|
1975 – 1985
|
Sebastian Soekoso
|
1985 – 1993
|
M. Akib Latuconsina
|
1993 – 1998
|
Dr. M. Saleh Latuconsina
|
1998 – 2003
|
Brigjen TNI (Purn) Karel Albert Ralahalu
|
2003 – 2013
|
Sumber: Maluku dalam Angka 2010
Gambar.
03 Logo Pemerintahan Provinsi Maluku
Sumber. Google.com
Arti logo pemerintah Provinsi Maluku :
- Sagu, Padi, Cengkeh dan Kelapa, adalah lambang kehidupan.
- Mutiara, adalah lambang Kekayaan alam.
- Tombak, adalah lambang Ksatria.
- Gunung, adalah lambang Keperkasaan dan kekayaan alam yang melimpah.
- Motto Siwa Lima (Milik bersama), adalah Atas Dasar Siwa Lima, memupuk persatuan dan kesatuan untuk mencapai kesejahteraan bersama.
D.
Pertanian Pangan di Maluku
Daya dukung lahan untuk pembangunan
terutama yang sesuai bagi pembangunan pertanian adalah luas lahan yang sesuai bagi pembangunan pertanian dan
perkebunan berdasarkan persyaratan yang dikehendaki komoditas yang akan
diusahakan. Ketersediaan sumberdaya lahan di Provinsi Maluku relatif terbatas,
karena kondisi geografis wilayah yang mencirikan Provinsi Maluku sebagai daerah
kepulauan, dengan luas laut yang lebih luas dari daratan.
Tabel. 06
Luas areal, produksi Padi di Maluku 2010
Komoditi/Kabupaten/Kota
|
Luas Areal Tanam
(Ha)
|
Luas Panen
(Ha)
|
Provitas
(Kw/Ha)
|
Produksi
(Ton)
|
PADI SAWAH
|
18,668
-
-
-
5,017
10,377
-
-
2,491
784
-
-
|
17,779
-
-
-
4,778
9,883
-
-
2,372
746
-
-
|
43.61
-
-
-
44.01
44.82
-
-
43.02
42.58
-
-
|
77,532
-
-
-
21,028
44,269
-
-
10,204
3,178
-
-
|
PADI LADANG
|
2,577
1,220
523
226
257
106
78
74
32
45
-
17
|
2,454
1,162
498
215
245
101
74
14
72
57
-
16
|
22.73
22.73
23.35
21.68
23.39
23.37
22.56
22.05
22.59
22.78
-
22.33
|
5,577
2,711
1,080
503
573
234
167
154
68
98
-
36
|
Sumber.
Dinas Pertanian Maluku
Tabel. 07
Luas Areal dan Produksi Sagu 2011
Nama
Kabupaten/Kota
|
Luas Areal
(ha)
|
Persiapan
Pohon ditebang (phn/thn)
|
Pohon masak ditebang
(phn/thn)
|
Maluku Tengah
|
5,004
|
315,094
|
185,306
|
Seram Bagian Barat
|
6,338
|
356,883
|
267,917
|
Seram Bagian Timur
|
36,075
|
2,065,125
|
1,542,375
|
Buru
|
1,312
|
78,336
|
52,864
|
Buru Selatan
|
1,287
|
76,260
|
52,440
|
Kepulauan Aru
|
1,130
|
72,540
|
40,460
|
Maluku Tenggara
|
Belum ada data
|
Belum ada data
|
Belum ada data
|
Maluku Tenggara Barat
|
Belum ada data
|
Belum ada data
|
Belum ada data
|
Kota Ambon
|
Belum ada data
|
Belum ada data
|
Belum ada data
|
Kota Tual
|
Belum ada data
|
Belum ada data
|
Belum ada data
|
Maluku Barat Daya
|
Belum ada data
|
Belum ada data
|
Belum ada data
|
Sumber:
Dinas Pertanian Maluku dan BKP
Pada masa Revolusi Hijau dimana terjadi
penyeragaman pangan ke beras, dimana beras menjadi komoditas pangan yang
diutamakan Provinsi Maluku juga terkena imbasnya. Daerah Maluku yang merupakan
daerah kepulauan “terkesan dipaksakan” untuk ditanami padi sehingga potensi
lokal seperti sagu mulai terpinggirkan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
Pulau Buru yang tadinya dijadikan sebagai tempat pengasingan tawanan X-
Pengikut PKI berhasil dijadikan program pemerintah sebagai lumbung padi
Provinsi Maluku. Namun jika dicermati produksi padi di Maluku kadang tidak
mencukupi tingkat konsumsi beras masyarakat Maluku, sehingga harus mengimport
beras dari daerah lain, padahal potensi lahan sagu di Maluku sangatlah besar.
Pengabaian potensi lokal dan pemfokusan pangan ke beras sehingga data tentang
lahan sagu serta produksi sagu kurang digali oleh pemerintah setempat padahal
hampir setiap daerah di Maluku terdapat kawasan sagu yang tumbuh secara
alamiah.
E.
Sejarah Politik Pangan di Indonesia
a.
Politik Pangan Kerajaan Mataram
Sudah sejak lama beras digunakan sebagai komoditas politik.
Catatan yang lengkap soal itu setidaknya diketahui sesama Kerajaan Mataram,
abad ke-16 sampai 18. Para raja yang
berkuasa menyadari beras
merupakan simbol stabilitas ekonomi dan politik. Jika terjadi masalah dengan
produksi beras, pasti adapula masalah dengan kekuasaan. Sebaliknya, kerajaan
dan raja akan di agung – agungkan bila masalah beras bisa di kendalikan.
Secara parsial
dan terpisah – pisah kita bisa meneliti berbagai aspek seperti politik beras
dan politik pangan. Buku babad tanah jawi
[23]yang
digunakan untuk membahas politik beras Kerajaan Mataram yang diterbitkan
berbahasa Indonesia oleh Yayasan Lontar. Sejak awal berdiri kerajaan Mataram, beras telah menjadi
komoditas politik. Keamanan pasokan beras merupakan salah satu sendi penyokong
kekuasaan Ki Ajeng Pemanahan, pendiri kerajaan Mataram. Pada mulanya, Pemanahan
mengalah mendapatkan tanah mataram yang disebutkan masih berwujud hutan ketika
mendirikan mataram dibandingkan dengan daerah lain yang subur. Berkat
kepemimpinan mataram bisa diubah menjadi kawasan pertanian. Mataram menjadi
negeri yang makmur, banyak orang datang, sandang pangan murah, dan sawah
berlimpah. Penguasa zaman dulu menggunakan beras sebagai indikator stabilitas
ekonomi dan politik serta pencapaian kemakmuran. Sebaliknya, tanda-tanda keruntuhan
sebuah rezim juga selalu terkait dengan morat-maritnya pasokan pangan.
Serbuan pasukan
Trunajaya dari Madura mengakibatkan Mataram porak-poranda. Raja Amangkurat I
terpaksa mengungsi hingga wafat. Situasi ini ditandai dengan banyak Punggawa kekurangan pangan. Ketika itu hujan belum
turun sehingga pangan sangat kurang. Negeri Mataram menjadi Negeri yang amat
menyedihkan.
Persoalan beras
juga menjadi persoalan kewibawaan karena tidak mampu menyediakan beras murah.
Dalam Babad Tanah Jawi itu disebutkan sang raja dirundung kesusahan
karena banyak prajurit kecil yang sakit demam. Raja memandang harga pangan yang
mahal akan mengakibatkan ia dipandang hina oleh rakyatnya. Kalau situasi tidak
pulih kerajaan akan dipandang rendah.
Beras juga
digunakan sebagai bagian dari strategi perang. Jauh sebelum Sultan Agung
menyerbu Batavia, penaklukan sejumlah daerah oleh Mataram, seperti sejumlah
kabupaten di wilayah timur, selalu memperhitungkan pasokan pangan oleh pasokan
yang hendak menyerbu,. Disamping pengetahuan tentang jalan yang memadai.
Pasukan rahasia selalu diminta mencari daerah yang rata, aman, dan beras murah
sebelum mereka melakukan penyerbuan. Perhitungan tempat yang dijadikan
penyangga pangan selalu dilakukan. Jepara salah satu contoh yang dijadikan
tempat untuk penyangga pangan. Meski demikian, Mataram gagal melihat beras
sebagai komoditas diplomasi. VOC bisa memanfaatkan beras untuk diplomasi.
Ketika Pakubuana I hendak menguasai Kartasura, ia bersekutu dengan VOC.
Kesalahan diplomasi Pakubuana I telah terjadi sejak awal ketika VOC meminta
imbal jasa atas partisipasinya.dalam penyerbuan ke Kartasura. Politik beras
dilakukan kerajaan Mataram semakin menyakinkan kita komoditas beras adalah
strategis. Setiap penguasa tidak bisa mengabaikan komoditas ini selama makanan
pokok kita adalah beras. Pelajaran dari Mataram adalah: pemerintahan yag kuat
terlihat dari kedisiplinannya dalam mengelola komoditas pangan.
b. Politik Pangan
Era Soekarno
Keputusan-
keputusan dan pandangan hidup Presiden RI pertama Soekarno telah banyak digali.
Salah satu yang belum banyak digali adalah pandangan dan keputusan Soekarno
ketika menghadapi krisis pangan. Hal ini telah menjadi aktual ketika dunia dan juga Indonesia tengah
menghadapi krisis pangan. Buku berjudul “Di
bawah Bendera Revolusi” yang ditulis oleh Soekarno mengisyaratkan
kegelisahannya terhadap rakyat yang kesulitan pangan pada tahun 1932-1933.
Soekarno juga memunculkan topik permasalahan pangan, salah satu topik yang
sempat diperdebatkan adalah “mana jang
lebih baik, beras atau djagung, dan mengapa?´
Soekarno menghadapi krisis pangan dengan bekerja sama
dengan menghadapi masalah ekonomi. Pasukan Jepang menghadapi persoalan beras
yang rumit sehingga meminta bantuan Soekarno untuk menyediakan beras. Soekarno
berpikir lebih baik menyediakan beras kepada Jepang dengan begitu rakyat tidak
mendapat siksa dari Jepang. Namujn kesulitan pangan muncul di mana – mana dan
Jepang berusaha merampas beras dari rakyat sehingga hanya segelintir orang yang
bisa memiliki beras. Kerwanan pangan yang terjadi membuat Soekarno menghimbau
rakyat agar memproduksi pangan selain beras.
“Saudara-saudara kaum wanita, dalam waktu
saudara-saudara jang teluang, kerdjakanlah seperti jang dikerdjakan Ibu Inggit
dan saja sendiri. Tanamlah djagung. Di halaman muka saudara sendiri saudara
dapat menanamnya djukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara,” [24]
Pada masa
berikutnya Soekarno mulai memikirkan masalah pangan secara politis. Sebuah
dokumen rapat dari Dewan Penasehat Pemerintah untuk Pemerintah Militer Jepang
di Hindia Belanda tertanggal 8 Januari 1945 “Sidang Kabinet Pertama” membahas
kebijakan beras. Soekarno mulai mempelajari angka-angka produksi beras. Krisis
pangan yang melanda tidak mendorong Soekarno membuat program bantuan. Keadaan
tidak mengimpor beras dan memanfaatkan pangan pengganti memang memperlihatkan
sebuah upaya untuk kemandirian pangan.
c. Penyeragaman
Pangan Ke Beras di era Orde Baru
Orde baru di
bawah kepemimpinan Soeharto kebijakan pertanian merupakan kebijakan pokok
setelah upaya pemulihan ekonomi. Kebijakan harga terutama komoditas pertanian
menjadi konsentrasinya tertutama untuk mengendalikan harga setelah perekonomian
morat-marit pasca tragedi 30 september 1965. Soeharto berkeyakinan stabilitas
pangan merupakan fondasi bagi stabilitas politik. Langkah pertama ketika
Soeharto berkuasa adalah meningkatkan produksi padi. Pada saat yang bersamaan
di kalangan dunia pertanian tengah muncul upaya yang disebut Revolusi Hijau
untuk menggenjot produksi pangan. Soeharto membuka investasi asing untuk
meningkatkan produksi padi, memperkuat kebijakan pertanian dengan membuat
kebijakan harga gabah. Pertanian menjadi program prioritas yang dituangkan
dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[25] Kebijakan pertanian pada
masa awal kekuasaan Soeharto mengundang investasi asing untuk meningkatkan
produksi padi melalui gerakan Revolusi Hijau cenderung membiarkan kekuatan
asing mencengkram Indonesia dengan hutang luar negeri. Kebijakan pertanian yang
berorientasi pada kebijakan pertanian padi pola jawa dinilai sangat merugikan
karena dinilai mematikan diversifikasi pangan yang sangat dirasakan akibatnya.
Tanah diluar Jawa yang sebenarnya tidak cocok untuk tanaman padi dipaksa ditanami padi hingga potensi pangan
lokal mati. Ketergantungan penduduk di daerah
yang bukan penghasil beras terhadap beras menjadi permasalahan yang
berujung pada kerawanan pangan. Ketergantungan terhadap pangan beras dan
kebutuhan beras yang tidak mencukupi memaksa pemerintah harus mengimpor beras.
BAB V
HASIL
PENELITIAN
A.
Implementasi Perda No
04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi
Maluku
Ketergantungan pangan
masyarakat Maluku terhadap beras sering kali membuat Provinsi
Maluku harus bergantung pada daerah lain guna pemenuhan kebutuhan beras. Tingginya
ketergantungan pada beras di daerah Maluku terjadi oleh karena politisasi
beras pada masa Soeharto. Ketersediaan beras di gudang Bulog kerap di jadikan basis
ketahanan pangan di level propinsi maupun kabupaten. Hal ini mengindikasikan
pengutamaan beras sebagai indikator ekonomi nasional. Beras telah menjadi
sumber pangan dominan di Indonesia.
Menurut Syuryadi Sabirin:
“Daerah ini masih kekurangan beras sebanyak 60 ribu ton
per tahun, sementara produksi beras di Maluku baru mencapai 58.000 ton/tahun
dan tidak mencukupi 1,6
juta penduduk di daerah ini,
karena jumlah konsumsi beras mencapai 133.000
ton/tahun,”[26]
Hanya ada dua
pulau saja yang bisa dikembangkan tanaman padi, yakni pulau buru dan Seram. Pulau
lain tidak bisa dikembangkan menjadi lahan persawahan karena resistensinya
sangat tinggi. Sehingga membuat
Maluku harus menutupi kekurangan beras dengan mengimpor beras dari luar daerah,
hal ini juga diungkapkan Ramli Hasan:
“Jika maluku kekurangan beras
maka biasanya kami ambil dari surabaya, sulsel, dan import.”[27]
Pertumbuhan produksi relatif kecil khususnya beras dan
belum mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan yang semakin meningkat. Adanya
alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Maluku walaupun
masih relatif kecil merupakan ancaman dalam rangka pengembangan penyediaan
pangan. Pergeseran pola konsumsi dari non beras ke beras karena
akan dibutuhkan penyediaan yang semakin besar, sedangkan kapasitas produksi
relaltif kecil. Seiring dengan otonomi daerah, maka setiap level
daerah dapat menyusun strategi dan kebijakan ketahanan pangan yang paling
sesuai dengan karakter wilayah dan ekologinya.
Menurut Anggota Komite II DPD RI Etha Aisha
Hentihu seperti yang dikutip Koran Harian
Siwalima:
“Maluku harus melihat fenomena ini sebagai
peringatan keras sehingga langkah-langkah strategis segera di ambil guna
mengurangi ketergantungan Maluku terhadap beras.”[28]
Kebijakan dan program pada dasarnya
terdiri dari rencana kongkrit, guna mempercepat laju pengembangan daerah ini.
Terkhususnya pada bidang ketahanan pangan yang mewujudkan ketahanan rumah
tangga yang mandiri, berbasis pada kepulauan dan sumber daya lokal secara
efektif dan berkelanjutan.
Dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melaksanakan
kembali diversifikasi pangan menuju produksi dan konsumsi pangan yang beragam,
bergizi seimbang dan aman, serta yang terpenting adalah berbasiskan sumberdaya
lokal. Diversifikasi pangan akan mempunyai nilai manfaat yang besar apabila
mampu menggali, mengembangkan dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber
pangan lokal yang ada dengan tetap menjunjung tinggi hak atas pangan sebagai
hak dasar manusia dan kearifan lokal. Sehingga harus segera dirumuskan langkah-langkah nyata tentang bagaimana memaksimalkan
sumber pangan lokal ketimbang harus membeli beras diluar daerah, selain
menghabiskan devisa, ini membahayakan perekonomian daerah karena tidak ada
kemandirian pangan. Langkah-langkah srategis pembangunan ketahanan pangan
kemudian ditindaklanjuti oleh langkah-langkah operasinal yaitu dengan
melaksanakan program pulau mandiri pangan, dalam konsep ini pengembangan
dilakukan pada setiap pulau-pulau kecil sehingga diharapkan masyarakat di
setiap pulau kecil mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan.
Seperti yang diungkapkan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu:
“untuk mengatasi berbagai tantangan
yang ada, maka Pemprov Maluku memiliki strategi pengembangan yaitu, percepatan
diverifikasi pangan lokal.”[29]
Dari
pemikiran inilah Pemerintah Provinsi Maluku untuk membentuk Badan Ketahanan
Pangan Maluku dan kemudian dijadikan Perda No 04 tahun 2010 Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan
Pangan Provinsi Maluku (BKP) dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi
ketahanan pangan. “Badan Ketahanan
Pangan adalah merupakan unsur pendukung tugas Gubernur di bidang ketahanan
pangan,[30]
Badan Ketahanan Pangan mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang ketahanan pangan.”[31]
BKP awalnya berada di bawah pengawasan
langsung Dinas Pertanian Maluku, yang dulunya hanyalah bidang ketahanan pangan.
Namun oleh karena ketahanan pangan menjadi isu sentral maka bidang ketahanan
pangan diberikan kemandirian guna melaksanakan tugas dalam pemenuhan pangan di
Provinsi Maluku. Menurut Ramli Hasan:
“bulog dan BKP saling
bekerja sama dalam menciptakan ketahanan pangan, namun secara prosedural
berbeda, bulog lebih kepada penyediaan logistik beras, dan menentukan harga beras. Sedangkan BKP itu lebih mengutamankan ketahanan pangan
berbasis lokal” [32]
BKP Maluku meskipun diberikan Kemandirian dalam
pelaksanaan tugas penganekaragaman pangan namun sering kali melakukan fungsi
kordinasi dengan dinas-dinas lain, seperti dinas pendidikan, dinas pertanian
dan dinas kesehatan.
Gambar.
04 Struktur Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku
Sumber
Badan Ketahanan Pangan
Badan Ketahanan Pangan Maluku mengemban misi dalam
tahun 2010 - 2014, yaitu:
- Peningkatan kualitas pengkajian dan perumusan kebijakan pembangunan ketahanan pangan;
- Pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan masyarakat, daerah, dan nasional;
- Peningkatan koordinasi dalam perumusan kebijakan, dan pengembangan ketahanan pangan, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaannya.
Adapun tujuan BKP Maluku adalah Memberdayakan masyarakat agar mampu mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya yang dikuasainya untuk mewujudkan ketahanan pangan
secara berkelanjutan, dengan cara:
- Meningkatkan ketersediaan dan cadangan pangan dengan mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya/dikuasainya secara berkelanjutan;
- Membangun kesiapan dalam mengantisipasi dan menanggulangi kerawanan pangan di Maluku;
- Mengembangkan sistem distribusi, harga dan akses pangan untuk turut serta memelihara stabilitas pasokan dan harga pangan bagi masyarakat Maluku;
- Mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi guna meningkatkan kualitas SDM dan penurunan konsumsi beras perkapita;
- Mengembangkan sistem penanganan keamanan pangan segar.
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
merupakan amanah dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Berbasis Sumberdaya Lokal dan
dijabarkan secara lebih rinci dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan)
Nomor 43 tahun 2009 tentang Gerakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Sama halnya yang diungkapkan
S.M. Talla:
“karena adanya kebijakan Mentri pertanian
untuk penurunan konsumsi beras 1,5 per tahun dan kemudian peraturan presiden No
22 tahun 2009 tentang penganekaraman pangan, maka BKP pun mengemban tugas itu.”[33]
Sehingga sasaran makro BKP
Maluku yang hendak dicapai dalam pemantapan ketahanan pangan Tahun
2010-2014, meliputi:
- Makin berkurangnya jumlah penduduk rawan pangan minimal 1% setiap tahun;
- Menurunnya konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 1,5 % dan mengutamakan pangan lokal.
- Tercapainya peningkatan distribusi pangan yang mampu menjaga harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat.
Dari peta tersebut (dapat dilihat di
lampiran) menggambarkan daerah-daerah yang memiliki tingkat masalah kerawanan
pangan serius. Salah satu program
pemerintah daerah adalah memberantas kemiskinan dan
kelaparan, kelaparan lebih kepada
ketersediaan pangan bagi masyarakat. Selain karena lahan pertanian di
Maluku secara keseluruhan tidak cocok ditanami padi, distribusi pangan beras
seringkali terkendala dengan medan letak geografis daerah Maluku yang merupakan
daerah kepulauan. Hal senada juga di ungkapkan
Ramli Hasan:
“Kalau tercapai
penganekaragaman pangan, kita tidak perlu lagi mengambil beras dari daerah
lain, karena ini juga sering memakan ongkos transportasi, apalagi Maluku daerah
kepulauan dan jika cuaca tidak mendukung distribusi terhambat”[34]
BKP
perlu meminimalkan berbagai ancaman yang
selalu dan akan muncul dalam pelaksanaan kegiatan kewaspadaan pangan adalah
sebagai berikut :
a) Kerawanan pangan dan gizi biasanya terjadi
pada masyarakat miskin yang tinggal di lingkungan yang kurang memadai. Kerawanan
pangan di Maluku terdiri dari rawan pangan kronis dan rawan
pangan transien. Rawan pangan kronis adalah keadaan kekurangan pangan yang
berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu yang dapat disebabkan oleh
keterbatasan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Sedangkan rawan pangan
transien adalah disebabkan oleh kondisi yang tidak terduga seperti terjadinya
bencana alam.
b) Kondisi
iklim yang tidak menentu mempengaruhi proses produksi, ketersediaan dan akses
masyarakat terhadap pangan. Kondisi dimaksud adalah terbatasnya curah hujan,
hari hujan, kekeringan dan juga bencana alam.
Raskin ( akronim dari beras miskin ) adalah sebuah program
bantuan pangan bersyarat diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia berupa penjualan
beras di bawah harga pasar kepada penerima tertentu. Penyaluran Raskin sudah dimulai
sejak 1998. Krisis moneter tahun 1998 merupakan awal pelaksanaan Raskin yang
bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga
miskin. Pada awalnya disebut program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian
diubah menjadi Raskin mulai tahun 2002, Raskin diperluas fungsinya tidak lagi
menjadi program darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari
program perlindungan sosial masyarakat.
Beberapa kendala dalam pelaksanaan
Raskin selama ini terutama dalam pencapaian ketepatan indikator maupun
ketersediaan anggaran. Sampai dengan saat ini, jumlah beras yang akan
disalurkan baru ditetapkan setelah anggarannya tersedia. Selain itu ketetapan
atas jumlah beras raskin yang disediakan juga tidak selalu dilakukan pada awal
tahun, dan sering dilakukan perubahan di pertengahan tahun karena berbagai
faktor. Hal ini akan menyulitkan dalam perencanaan penyiapan stoknya,
perencanaan pendanaan dan perhitungan biaya-biayanya. Pelaksanaan penyaluran Raskin seringkali
dipolitisasi dan menjadi tempat korupsi, untuk kasus Maluku, korupsi Raskin
yang terdeteksi terjadi di Seram Bagian Barat dan Tual. “Kerugian negara mencapai Rp
300 juta rupiah lebih, dimana masing-masing camat itu meraup sekitar 80 juta
lebih,” tandas Kacabjari Piru, Marvie de Queljoe kepada Siwalima”[35]
Kasus penyalahgunaan Raskin di SBB terdapat
di empat kecamatan yang merupakan wilayah sasaran penyaluran yakni Kecamatan
Inamoso, Kecamatan Elpaputih, Kecamatan Kairatu dan Kecamatan Amalatu. Empat
kecamatan ini merupakan wilayah sasaran bantuan penerima subsidi Raskin tahun
2010 dari pemerintah. Sedangkan di Kota Tual korupsi penyimpangan beras raskin
3,4 milliar yang melibatkan tersangka mantan Kepala Gudang Dolog Tual.[36]
Daerah Maluku yang merupakan daerah
kepulauan menjadi hambatan penyaluran Raskin ke pulau-pulau terpencil
politisasi penyaluran raskin terjadi oleh karena adanya kepentingan politik
untuk lebih fokus daerah pemilihan atau basis massa politik. Seperti yang
diungkapkan Abraham Malioy:
“Politik pangan akan selalu terkait dengan
legislatif. Biasanya ada penolakan, karena bukan daerah politiknya, seakan-akan
dipaksakan, biasanya dipakai sebagai ajang politik, kau menangkan saya, maka
saya akan mendistribusi raskin”[37]
Penyaluran Raskin di Maluku juga terkendala
dengan tunggakan hutang. Hingga
21 Nopember 2011, tercatat tunggakan raskin beberapa kabupaten dan kota di
Maluku mencapai Rp 8 miliar. Tunggakan tersebut meliputi tahun 2008, 2009, 2010
dan 2011. Kepala Bidang Penyaluran Perum Bulog Divre Maluku, Tugio menjelaskan,
dari 11 kabupaten dan kota yang ada di Maluku pada umumnya membayar tunggakan
secara cicilan, bahkan ada kabupaten yang belum membayar sama sekali, karena
itu kami belum salurkan ke daerah tersebut. Ini juga diungkapkan Ramli Hasan:
"Kami tidak berani
untuk salurkan kepada kabupaten yang belum melunasi tunggakan, karena sistem
yang digunakan Bulog saat ini yakni 'cash and carry' (uang dulu baru beras
diberikan)”[38]
Jika hutang belum terbayarkan maka
distribusi beras tidak akan dikirim, ketahanan pangan masyarakat terkena
dampaknya, apalagi pola konsumsi pangan masih bergantung pada beras. “Banyak orang merasa rendah
diri jika mengkonsumsi pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian, padahal
pangan non beras ini juga memiliki nilai gizi yang tinggi jika diolah secara
baik,” [39]
Dampak penguatan
ketahanan pangan berbasis lokal, sangat baik, karena dapat meningkatkan potensi
lokal sebagai bahan konsumsi pangan, Bulog akan terbantu oleh karena tidak
terlalu banyak menyediakan beras, dan konsumsi pangan masyarakat bisa beralih
ke pangan lokal selain menghabiskan devisa, ini membahayakan perekonomian
daerah karena tidak ada kemandirian. Pemerintah daerah dalam hal ini BKP harus memaksimalkan sumber pangan lokal ketimbang harus membeli beras
diluar daerah. Menurut Melkias L.
Frans :
“Kita harus mandiri
pangan dengan pangan lokal kita, pada waktu-waktu tertentu akses beras ke
pulau-pulau susah, dan jika masih bergantung pada beras, dan apa kita harus
menunggu sampai beras itu datang, itu konyol.” [40]
Hal senada juga diungkapkan Abdulah Tuanaya:
“ketersediaan lahan untuk pangan
lokal seharusnya dapat diberdayakan, dan itu merupakan tanggung jawab dari
Pemerintah Daerah. Jika masyarakat belum melihat kearah itu, namun pemerintah
seharusnya dapat lebih jeli melihat persoalan tersebut. Sebab, sebetulnya, hal
itu merupakan sebuah persoalan yang besar.”[41]
Sebenarnya jika dicermati yang sering terjadi di Maluku bukanlah rawan pangan jika melihat ketersedian pangan lokal yang
ada, melainkan krisis beras, karena rata-rata pangan masih selalu
diidentikan dengan ketersediaan beras dan pola konsumsi beras tinggi dan ketika
beras tidak tersedia rawan pangan “semu” itu terjadi. Krisis beras terjadi
diakibatkan cuaca buruk sehingga
mengakibatkan sulitnya akses transportasi untuk menyalurkan beras ke beberapa
kabupaten yang hanya bisa didatangi dengan kapal laut. Seperti yang diungkapkan S.M Talla:[42]
"Biasanya krisis beras
di beberapa daerah di Maluku terjadi sekitar Desember-Februari karena cuaca
buruk yang mengakibatkan gelombang tinggi dan angin kencang, sehingga kapal
yang biasanya menyalurkan beras tidak melewati jalur biasanya”
Kondisi inilah yang membuat BKP mulai memetakan daerah pangan sesuai potensi
pangan lokal di tiap-tiap daerah. Maluku Tengah, Seram Bagian Barat, Seram
Bagian Timur, Kepulauan Aru, Buru Selatan, Maluku Barat Daya diupayakan
memaksimalkan sagu sebagai pangan lokal, sedangkan Maluku Tenggara dan Kota
Tual memaksimalkan konsumsi singkong. Mengantisipasi
adanya krisis beras, BKP Maluku telah menyediakan Rp 6 miliar dari Anggaran
Pendapatan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan untuk menggalakkan program
pengembangan pulau mandiri pangan berbasis makanan pokok lokal orang Maluku.
Seperti yang dikatakan Syuryadi Sabirin:
“anggaran tersebut
untuk menggalakkan sagu, serta pangan lokal lainnya jagung dan umbi-umbian
sesuai potensi, karakteristik dan luas lahan di masing - masing kabupaten/kota,"[43]
BKP pun memanfaatkan 10 persen dari total Dana Alokasi
Khusus (DAK) Departemen Pertanian (Deptan) sebesar Rp33,2 miliar untuk
membangun lumbung pangan di sembilan kabupaten di Maluku. Diversifikasi pangan
ini sengaja dilakukan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap
konsumsi beras minimal 1,5 persen per tahun. Dalam konteks penyediaan pasokan,
diversifikasi adalah salah satu cara adaptasi yang efektif untuk mengurangi
risiko produksi akibat perubahan iklim dan kondusif untuk mendukung perkembangan
industri pengolahan berbasis sumberdaya lokal. Pada sisi konsumsi,
diversifikasi pangan memperluas spektrum pilihan pangan dan kondusif untuk
mendukung terwujudanya pola pangan harapan. Pendek kata, diversifikasi pangan
dapat mendukung stabilitas ketahanan pangan sehingga dapat dipandang sebagai
salah satu pilar pemantapan ketahanan pangan. Oleh karena itu akselerasi
diversifikasi pangan sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 22 Tahun 2009
harus dapat diwujudkan.
Badan Ketahanan
Pangan Maluku diminta melakukan sosialisasi untuk mengubah pola konsumsi
masyarakat dari ketergantungan pada beras aneka pangan lokal. Badan Ketahanan Pangan Maluku pun mengusulkan untuk mengubah
Raskin Menjadi Pangkin (Pangan Miskin). pangkin sudah mencakup semua, baik
beras maupun umbi-umbian. BKP mencoba melihat kembali kearifan lokal dalam
bidang pangan, sehingga tidak ada lagi desa rawan pangan jika konsumsi lokal
bisa dimanfaatkan. Seperti yang diungkapkan Syuryadi Sabirin:
“Kalau raskin kita mengikuti
pola konsumsi jawa, orang kontinental,sedangkan kita kepulauan yg sering
diisolasi. Maka maluku yang mengusulkan pangkin, struktur maluku secara
keseluruhan tidak cocok untuk persawahan.”[44]
Kebijakan pangan miskin, karena BKP ingin menciptakan
ketahananan pangan lokal dan disversifikasi pangan. Secara karakterisktik
wilayah kebanyakan maluku lebih cocok ditanami sagu ketimbang beras. Divesifikasi
pangan salah satunya pangan lokal, bagaimana mengamankan pangan agar tidak
terjadi kerawanan pangan, baik ketersediaan maupun distribusinya.
Pangkin diprogramkan menggantikan Raskin dengan
memanfaatkan bahan pangan lokal. Program Pangkin itu merupakan hasil dari
seminar yang diselenggarakan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan
thema "Membangun Sinergi Sistem Penguatan Ekonomi Kerakyatan Berbasis
Pangan di Daerah Kepulauan Indonesia Timur" di Ambon pada 19 Juli 2011. Dengan
keputusan Kementerian Pertanian yang menetapkan Maluku menjadi proyek
percontohan pangan untuk orang miskin (Pangkin) pada 2012.
Pihak Kementan masih terus melakukan kajian
terkait kemungkinan pemberian beras untuk rakyat miskin (raskin) menjadi
program pangan untuk rakyat miskin (pangkin). kajian akan dilakukan dibeberapa
derah yang selama ini memiliki budaya mengkonsumsi non beras. Dan pada daerah
tersebut, nantinya warga miskin yang selama ini mendapat jatah raskin akan
diberikan pangan sesuai dengan jenis pangan lokal pada masing-masing daerah.
Andreas Taborat mengatakan:
“hasil
pangan lokal seperti umbi-umbian, jagung dan sagu juga memiliki nilai gizi yang
tidak kalah dengan beras, sehingga berbagai program diversifikasi pangan lokal
yang dikembangkan Badan Ketahanan Pangan (BKP) harus gencar
disosialisasikan,"[45]
Sementara
permasalahan di daerah ini menyangkut ketahanan pangan adalah pemikiran masyarakat
yang selalu tergantung pada beras, dan mengkonsumsi umbi-umbian, jagung dan
sagu, statusnya lebih rendah dari makan nasi. Tahap
awal pangkin tidak seluruhnya diberikan dalam bentuk pangan lokal, seperti,
sagu, jagung dan lainnya, namun sebagian masih diberikan dalam bentuk beras. BKP akan bekerja sama dengan Bulog dalam
mendesain program pangkin, Perum Bulog yang
nantinya mendesain kantongnya agar Pangkin terawat sebagaimana Raskin. Taborat
mengatakan, “Sehingga komisi B dalam penentuan
anggaran belanja daerah tahun lebih fokus untuk mendorong BKP melakukan
perubahan pola pikir masyarakat agar tidak terlalu bergantung kepada beras.”
Dengan pertumbuhan penduduk yang
semakin meningkat menyebabkan konsumsi pangan semakin tinggi hal ini tidak
dapat diharapkan bila suatu daerah atau negara hanya memiliki satu sumber
pangan utama seperti beras dikarenakan banyaknya areal persawahan yang
dialihfungsikan menjadi areal pemukiman dan industri yang berdampak pada
menurunnya produksi beras sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat
akan semakin sulit dan harga beras semakin tinggi.
Program Pangkin yang dirumuskan sebagai
suatu kebijakan pangan berbasis lokal dengan tujuan mengurangi ketergantungan
Maluku terhadap beras, akan efektif jika pemerintah daerah juga memperhatikan
dan melestarikan potensi lokal tersebut dalam hal ini sagu. Kecocokan lahan di
Maluku dengan siklus tumbuh tanaman sagu belum dimaksimalkan potensinya.
BKP juga
mengadakan program Desa Mandiri Pangan, Lumbung Pangan Desa dan Pengembanan
Pulau Mandiri Pangan. Dengan program ini ketahanan pangan masyarakat diharapkan
terjaga.
Seperti yang
diungkapkan S. M Talla :
“program tersebut sudah berjalan cukup baik. Program Pulau
Mandiri Pangan didanai APBD sedang dua program lainnya didanai APBN. Untuk Kota
Ambon yang dinilai paling berhasil untuk program Desa Mandiri Pangan yaitu Desa
Latuhalat”[46]
Desa Mandiri
Pangan diprogramkan untuk desa yang tingkat kemiskinannya minimal 30 persen,
sebagaimana survei tim Badan Ketahanan Pangan. Desa yang tergolong miskin,
diberikan bantuan dana stimulus Rp 100 juta. Dana tersebut dikelola secara
ekonomis untuk menambah income masyarakat. Sedang program Lumbung Pangan Desa,
untuk mempersiapkan stok pangan dari bahan lokal. S. M Talla juga
mengungkapkan:
“Contohnya beras, pasokannya terbatas, padahal ada sumber
pangan lokal seperti sagu, singkong, dan jagung. Maka kita intervensi dengan
peralatan pengolah untuk memperpanjang usia simpan bahan tersebut”[47]
Baik Desa
Mandiri Pangan maupun Lumbung Pangan Desa diprogramkan selain menjamin
ketersediaan pangan di masyarakat juga untuk perputaran ekonomi. Sementara
Pulau Mandiri Pangan, sasarannya pulau-pulau kecil di Maluku. Ini khusus untuk
mengantisipasi kerawawan pangan jika cuaca dan musim yang berakibat terhambatnya
pasokan bahan makanan melalui transportasi laut.
B.
Faktor Faktor Penunjang dan Penghambat BKP dalam Mewujudkan
Ketahanan Pangan berbasis Lokal di Maluku
Dalam mengukur kinerja
implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi
dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan
kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi
yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah
ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di
dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung
pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan
tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan
berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan
positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi
kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi
benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam akan gagal.
Berdasarkan teori implementasi faktor pendukung
implementasi kebijakan harus didukung dan diterima oleh masyarakat, apabila
anggota masyarakat mengikuti dan mentaati sebuah kebijakan maka sebuah implementasi
kebijakan akan berjalan sesuai tujuan yang telah ditetapkan tanpa ada
hambatan-hambatan yang mengakibatkan sebuah kebijakan tidak berjalan sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
a.
Faktor Pendukung
Faktor
pendukung adalah faktor penentu keberhasilan suatu kebijakan. Dalam konteks
ketahanan pangan lokal di Maluku yang menjadi kekuatan BKP dalam menjalankan
program kerja sebagai berikut:
- Potensi Sagu sebagai Sumber daya Pangan Lokal
Jika
dicermati daerah Maluku memiliki Potensi pangan lokal yang mampu memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat Maluku. Ketahanan pangan dapat
terjadi jika kondisi kondusif dalam mengembangkan penanganan permasalahan pangan,
baik di tingkat nasional (makro) maupun daerah (mikro).
Ketahanan
pangan harus bertumpu pada sumber daya lokal sehingga mampu menghindarkan
ketergantungan pada impor.
Sagu berpotensi menjadi cadangan pangan di Maluku karena
memiliki nilai karbohidrat yang cukup tinggi dibanding beras. Sagu sebagai
pangan lokal sumber karbohidrat ini perlu dikembangkan karena Maluku mempunyai
potensi sagu cukup besar Maluku sejak dahulu dikenal sebagai daerah penghasil
sagu harus diperkuat kembali, karena ke depan persoalan pangan menjadi masalah
yang sangat riskan. Seperti yang diungkapkan Ramli Hasan:
"Salah satu tantangan
yang dihadapi saat ini adalah perubahan iklim, karena itu kita tidak bisa
mengandalkan sepenuhnya beras menjadi pangan pokok untuk dikonsumsi,"[48]
Apabila kita lihat dari
jumlahnya pangan lokal sagu maka stok yang ada cukup untuk mengimbangi beras.
Tetapi masyarakat hanya melihat beras sebagai satu-satunya bahan pangan. Maluku
saat ini memiliki sekitar 3,1 juta pohon sagu yang tersebar di tujuh Kabupaten
dan Kota dengan tingkat produktivitas rata-rata 25 ton per hektar per tahun, Ini
yang perlu disosialisasi untuk tidak bergantung pada beras. Seperti yang
diungkapkan Syuryadi Sabirin:
“Secara makro jika kita
mengacu pada potensi sumber daya alam yang ada, sebenarnya kita surplus, tetapi
secara mikro justru defisit karena potensi yang ada tidak digarap secara
maksimal,” [49]
Tanaman sagu yang tumbuh di Maluku tumbuh
secara alami tanpa ada penanganan serius dalam hal budidaya. Kerumitan ini bertambah pada saat
data yang dibutuhkan juga tidak mudah untuk didapat atau dihitung. Kebanyakan
petani atau pelaku usaha industri sagu tidak mengeluarkan output yang berarti
untuk bisa memanen sagu. Sagu masih dipandang sebagai tanaman hutan dan tumbuh
secara alamiah.
Seperti yang diungkapkan Andreas Taborat:
“Padahal, ketersediaan lahan di
Maluku untuk itu cukup besar, akan tetapi ketergantungan terlihat jelas, karena
proses pemaksimalan pemanfaatan lahan belum dapat dilakukan secara baik.” [50]
Sebagai sumber pangan, sagu
sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternative pengganti
beras.. Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per hektar,
jauh melebihi produksi pati beras atau jagung yang masing-masing hanya 6 ton
dan 5.5 ton per hektar. Sagu tidak hanya menghasilkan pati terbesar,
tetapi juga menghasilkan pati sepanjang tahun. Setiap batang menghasilkan
sekitar 200 kg tepung sagu basah per tahun. Aneka
produk pangan lokal daerah sebenarnya memiliki kadar gizi yang lebih tinggi
dari beras sehingga pola pikir seperti ini sudah harus diubah, dan BKP sebagai
institusi yang menangani persoalan ini memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
melakukan sosialisasi.
2.
Kelembagaan
BKP
Otonomi daerah memberikan
otoritas kepada pemerintah setempat untuk menggali kembali bahan pangan selain
beras seperti sagu kelembagaan local yang
berbeperan besar dalam ketahanan pangan desa dan tumah tangga perlu
digali kembali seperti lumbung desa, lumbung rumah tangga , lumbung hidup dan
sebagainya. Kebijakan tentang pangan
tidak lagi tergantung pada pemerintah pusat, namun lebih kepada inisiatif
daerah untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan konteks kebutuhan daerahnya.
Sehingga upaya kreatif dari masing-masing daerah untuk menggali kembali potensi
sumberdaya lokal harus dilakukan. Harapan ini tentulah tidak salah, karena
politik pangan yang sentralistik melalui tangan Bulog tidak mampu
menjamin ketersediaan bahan pangan. Selanjutnya alternative diversifikasi
pangan oleh daerah sangat mungkin dilakukan oleh masing – masing daerah tanpa
harus melakukan penyeragaman dengan daerah lain. Namun apa yang menjadi kebutuhan
dan kepentingan daerah dengan menggali potensi sumberdaya lokal menjadi
kebijakan daerah tersebut. Demi menjaminkan kontrol terhadap ketersediaan
pangan dibutuhkan lembaga yang
berkompoten. Sejatinya, untuk melakukan pengontrolan maka diperlukan Badan
Ketahanan Pangan (BKP). Pemerintah tidak bisa berharap fungsi normalisasi stok
pangan hanya kepada bulog dan dinas pertanian semata.
Hadirnya BKP memungkinkan
untuk bisa menakar keberhasilan swasembada pangan berbasis pangan lokal. BKP
mengemban fungsi pengkajian, penyiapan perumusan kebijakan, pengembangan,
pemantauan dan pemantapan ketersediaan pangan serta mencegah dan menanggulangi
kerawanan pangan, melakukan pengkajian hingga penyiapan perumusan kebijakan,
pengembangan, pemantauan dan pemantapan distribusi pangan, hingga pemantapan
konsumsi dan keamanan pangan. Seperti yang diungkapkan Syuryadi Sabirin:
“Jangan
dilihat bahwa stok pangan masih terkontrol, lantas urgenitas pembentukan BKP
disepelekan. Pembentukan BKP adalah penting dalam rangka mengantisipasi
timbulnya kerawanan pangan pada waktu-waktu kedepan ”[51]
BKP awalnya berada di bawah pengawasan
langsung Dinas Pertanian Maluku, yang dulunya hanyalah bidang ketahanan pangan.
Namun oleh karena ketahanan pangan menjadi isu sentral maka bidang ketahanan
pangan diberikan kemandirian guna melaksanakan tugas dalam pemenuhan pangan di
Provinsi Maluku. Menurut Ramli Hasan:
“bulog dan BKP saling
bekerja sama dalam menciptakan ketahanan pangan, namun secara prosedural
berbeda, bulog lebih kepada penyediaan logistik beras, dan menentukan harga beras. Sedangkan BKP itu lebih mengutamankan ketahanan pangan
berbasis lokal” [52]
Semua satuan
organisasi dilingkungan BKP dalam melaksanakan tugasnya wajib menerapkan
prinsip koordinasi, integrasi, simplikasi dan sinkronisasi baik dalam
lingkungan masing-masing maupun antar satuan organisasi dilingkungan Provinsi
Maluku sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Penyusunan BKP dalam suatu
organisasi adalah dalam rangka efisiensi, efektifitas kelancaran dan
peningkatan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan
kepada masyarakat. Seperti yang diungkapkan
Syuryadi Sabirin:
“kami adalah lembaga yang membantu gubernur dalam pelaksanaan
teknis ketahanan pangan, kami bekerja secara fungsi mandiri guna menciptakan
ketahanan pangan tapi kordinasi dengan lembaga lain itu perlu dilakukan, dan
yang paling sering adalah dinas pertanian”[53]
BKP
Maluku meskipun diberikan Kemandirian dalam pelaksanaan tugas penganekaragaman
pangan namun sering kali melakukan fungsi kordinasi dengan dinas-dinas lain,
seperti dinas pendidikan, dinas pertanian dan dinas kesehatan. Menurut S.M Talla:
“memang tidak dapat
dipungkiri kinerja BKP belum maksimal, karena aparat yang terbatas, letak
geografis, keterbatasan dana operasional, namun kendala yang paling sulit
adalah merubah pola konsumsi masyarakat yang sudah terpatok dengan beras.”[54]
Dalam hal ini perlu dilakukan penyuluhan secara terpadu dan koordinasi
pemecahan masalah ketersediaan pangan yang melibatkan semua stakeholders.
Pemantapan sistem ketahanan pangan terus digalakkan pada
berbagai level mulai tingkat nasional, regional sampai dengan tingkat rumah
tangga yang dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi sehingga dapat
meminimalkan kekurangan pangan dan mengakseskan pangan masyarakat ke pangan lokal.
Keterbatasan sumber daya
manusia yang dimiliki serta jumlah dana yang harus dikeluarkan, sehingga
program yang disusun berjalan belum maksimal, kondisi geografis Maluku sering
menjadi penghambat gerak BKP dalam melakukan sosialisasi.
b.
Faktor
penghambat
Faktor
penghambat adalah faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan implementasi,
sehingga seringkali membuat suatu implementasi tidak dapat mencapai tujuannya.
Dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan lokal BKP mengalami hambatan yang
akan diuraikan lebih lanjut
1.
Pola konsumsi
yang tergantung pada beras
Pada masa orde
baru pemerintah menganut paradigma
kebijakan pangan yakni ketahanan pangan. Dalam praktiknya, pemerintah
menerjemahkan ketahanan pangan sebatas ketersediaan beras dalam jumlah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Di masa Orde baru,
pemerintah mewujudkan paradigma ini lewat kebijakan penyeragaman sistem
pertanian dan pangan secara nasional. Kebijakan penyeragaman pangan
menimbulkan berbagai bias. Pangan diarahkan pada satu jenis pangan saja,
yaitu beras. Padahal sistem
pangan berbagai komunitas masyarakat lokal di Indonesia mempunyai
keanekaragaman yang sangat tinggi. Penyeragaman pangan ini telah
menyingkirkan sistem pangan lokal yang biasa dipraktikkan oleh masyarakat
setempat sejak dulu. Dukungan politik untuk pengembangan berbagai jenis
pangan lokal lainnya tidak dilakukan. Paradigma ini
pun terbangun sampai sekarang dan sulit untuk dihilangkan, masyarakat Maluku masih mengandalkan
beras sebagai komunitas pangan utama, sedangkan pangan lokal sebagai konsumsi
pelengkap. Seperti yang diungkapkan Talla :
“karena penyeragaman pangan ke
beras, pola konsumsi pangan orang Maluku yang dulunya sagu sebagai makanan
pokok sekarang berubah ke beras, orang Maluku dikatakan makan jika mengkonsumsi
nasi”[55]
Kekeliruan
kebijakan pembangunan pertanian dan kebijakan pangan pada satu komoditas pangan membuahkan
ketidak-berdaulatan rakyat atas pangan sehingga makin lemahnya akses masyarakat
lokal terhadap pangan atau sumber-sumber produktif untuk menghasilkan
pangan. Hal ini tercermin dari hilangnya kemampuan masyarakat dalam
kemandirian untuk memproduksi pangan serta mengkomsums pangan lokal yang
dimilikinya. Akibatnya, sistem pangan
lokal yang khas digantikan oleh sistem pangan dari luar yang berorientasi pasar
dengan beras sebagai komoditi utama. Akibatnya, masyarakat semakin tergantung
pada pasokan pangan dari luar. Karena tidak ada kontrol komunitas atas
pangannya sendiri, berbagai potensi sumber daya alam serta potensi
sosial-ekonomi-budaya lokal tidak bisa dimanfaatkan secara optimal.
Walaupun potensi sagu yang dimiliki Maluku
sangat besar dan dapat dijumpai di setiap daerah, namun untuk merubah pola
konsumsi pangan masyarakat mendapat kendala oleh karena masyarakat Maluku sudah
terbangun sejak orde baru bahwa makanan pokok secara universal di Indonesia
adalah sagu. Sagu hanya dijadikan
sebagai makanan pendamping. Kurangnya inovasi terhadap pangan sagu membuat
masyarakat mulai meninggalkan sagu terlebih khusus di daerah perkotaan
Kebijakan raskin dirubah menjadi pangkin, dari
sisi sumber daya, BKP seharusnya mampu memaksimalkan potensi sagu sebagai
pangan lokal, namun kurangnya perhatian pemerintah terhadap lahan sagu,
sehingga banyak lahan sagu yang dialih fungsikan. Luas lahan, dan produksi sagu
di beberapa daerah belum terdata secara sistematis (lihat tabel 07). Secara kuantitatif sampai sekarang
masih dirasakan sulit mengingat terbatasnya data dan tidak kontinyunya
pengambilan data mengenai sagu dan sekitarnya. Bahkan BPS pun belum begitu
tertarik untuk memasukkan data sagu sebagai data yang mesti diambil secara
periodik setiap tahun. Potensi
pangan lokal yang dimiliki belum dikembangkan secara maksimal, karena harga
belum memberikan keuntungan yang layak bagi produsen dan pengolahan serta
konsumsi pangan lokal belum berkembang.
Program pangan miskin yang akan
diterapkan di Maluku sebenarnya baik untuk mengurangi ketergantungan pada
beras, namun jika dilihat ini pangan lokal dalam hal tempat penyimpanan akan
cepat rusak bila dibandingkan beras. Permasalahan menonjol dalam penanganan
sagu antara lain, dijumpai data luas areal dan potensi produksi yang
sangat beragam, sehingga menyulitkan dalam perencanaan industrialisasi sagu dan
prediksi pengembangan untuk masa mendatang. Pemanfaatan dan nilai tambah sagu
pada tingkat petani masih sangat terbatas, produk yang dihasilkan bermutu
rendah dan penanganannya kurang efisien. Potensi sagu di tingkat petani saat
ini belum optimal pemanfaatannya, hal ini ditandai dengan : 1) banyak tanaman
sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen dan akhirnya rusak. 2) pemanfaatan
potensi sagu masih rendah, pemanfaatan potensi sagu hanya terbatas pada skala
petani/industri kecil dengan cara pengolahan manual karena tidak tersedia alat
pengolahan sagu yang memadai secara lokal dan 4) masalah pemasaran. Sebaliknya
eksploitasi sagu yang dilakukan industri skala menengah-besar, kurang
memperhatikan keseimbangan produksi, akibatnya terjadi degradasi pertumbuhan
sagu, yang pemulihannya membutuhkan waktu cukup lama sekitar 5 – 7 tahun. Jika
kerusakan ini dibiarkan berlangsung terus, maka secara langsung akan mengganggu
ketersediaan sumber pangan karbohidrat bagi masyarakat sekitar areal sagu yang
dieksploitasi.
Keanekaragaman
hayati sebagai penopang keseimbangan ekosistem yang menjadi sumber penopang
keragaman pangan telah hilang oleh sistem penyeragaman pangan ke beras.
Hilangnya keanekaragaman hayati di lahan pertanian lantaran hanya mengandalkan
beras sebagai tumpuan ketahanan pangan sangatlah beresiko bagi kehidupan
masyarakat. Dengan keberagaman tanaman, persediaan pangan dapat terjaga
sehingga bila sewaktu-waktu terjadi kegagalan panen masyarakat tidak
kesulitan untuk memperoleh sumber pangan pengganti dan tidak perlu mengimpor
dari daerah lain.
2.
Alih Fungsi
Lahan Sagu
BKP dalam mewujudkan ketahanan pangan
melihat adanya peluang sagu sebagai pangan lokal memiliki potensi, namun alih
fungsi lahan oleh karena modernisasi pembangunan mekipun karakteristik sagu
cocok dengan geografis Maluku, lambat laun akan hilang oleh karena
ketidaktersedianya lahan pertanian. Di Maluku, sagu
merupakan tumbuhan hutan yang tidak dibudidayakan. Sebagai makanan pokok
masyarakat Maluku, pohon sagu dari tahun ke tahun semakin berkurang, baik
karena hasil panen secara eksploitatif maupun karena alih fungsi lahan untuk
usaha lainnya bahkan untuk keperluan pembangunan lainnya. Melkias L. Frans mengatakan:
"Karena Maluku memiliki lahan
yang luas, maka harus menjadi catatan Pemerintah Daerah, bahwa selama ini
pemanfaatan lahan dan kepedulian pemerintah sepertinya terlewatkan dan tidak
terngiang, dan ada indikasi pura-pura tidak tahu, padahal itu ada di depan mata
bahwa ini menandakan bahwa kita tidak mandiri.[56]
Disamping itu
hutan sagu yang merupakan salah satu sumbedaya alam yang menghasilkan berbagai
unsur untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat sudah mulai langkah disebabkan
telah terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat dan ketergantungan masyarakat
pada sumber pangan berupa beras serta alihfungsi lahan hutan menjadi perkebunan
masyarakat dan pemukiman menyebabkan hutan sagu mengalami penurunan
ketersediaan di alam misalnya banyaknya program transmigrasi yang dilaksanakan
oleh pemerintah dengan mengalihkan hutan sagu di Maluku menjadi pemukiman masyarakat.
BKP
sebagai pembuat dan pelaksanaan kebijakan teknis pangan pun mengusulkan agar
dibuat Peraturan Daerah pelestarian kawasan sagu, ini pun didukung oleh anggota
legislative Maluku. Salah satunya Abraham Malioy: “banyak hutan sagu yang dikomersialkan menjadi daerah
perumahan. Kalau ada perda sagu, maka lahan sagu tidak bisa diganggu gugat.”[57] Komisi B DPRD Maluku juga mendorong berbagai proses itu,
sehingga kemandirian masyarakat dalam hal pangan dapat segera terpenuhi dan tak
bergantung lagi dari daerah lain seperti saat ini.
"Pemprov harus
mengambil kebijakan melestarikan makanan pokok dan khas orang Maluku ini
sebagai salah satu stok pangan pengganti beras, agar pohon sagu terlindungi dan
tidak punah tergilas roda pembangunan yang semakin pesat di daerah ini,"[58]
Pengelolaan hutan sagu
merupakan suatu upaya sistematis dan terpadu baik dalam perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum,
terhadap kelestarian hutan sagu sebagai sumber daya alam dengan tidak merubah
fungsi hutan sagu secara ekologinya. Syuryadi Sabirin mengatakan:
“namun
kita tidak bisa jalan tanpa ada petunjuk, paling tidak ada kebijakan-kebijakan
yang tertuang dalam perda dan kami mengangap ini sangat penting, sehingga kita
harus membuat perda tersebut,”
Pelestarian terhadap
tanaman sagu sangatlah penting karena sangat bermanfaat terhadap masyarakat,
oleh karena itu dibuat konsep, dan diajukan kepada pihak dewan untuk
dibicarakan. Ranperda ini bukan saja berjalan mulus, tapi ada pertentangan
dalam pembahasan dan sempat tertahan karena Provinsi Maluku pasca rekonsiliasi
konflik lebih fokus pada sisi pembangunan infrastruktur baik itu perumahan dan
hotel, karena ingin mengembalikan citra Pariwisata Maluku. Sehingga harus
terjadi alih fungsi lahan. Seperti yang diungkapkan Syuryadi Sabirin: “Memang
ada sedikit perbedaan, tapi akhirnya disepakati, agar tercipta balance, baik
pangan maupun pariwisata”. Usulan kebijakan dari BKP tentang pelestrian
sagu pun akhirnya disahkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku No.
10 Tahun 2011 tentang pengelolaan dan pelestarian sagu. Dengan adanya perda tersebut diharapkan dapat menjadi pegangan hukum
bagi Pemerintah Maluku (BKP) dalam mengambil setiap kebijakan dalam kaitannya
dengan pengembangan pelestarian pangan lokal.
Peraturan
Daerah No 10 Tahun 2011 tentang pengelolaan dan pelestarian sagu sebenarnya terlambat, jika dilihat
Maluku sebagai potensi sagu, perda perlindungan sagu justru sudah dikeluarkan
pemerintah daerah Papua satu tahun sebelumnya. Jaminan atas
hak setiap komunitas masyarakat di tingkat lokal untuk menentukan sendiri
kebijakan produksi, distribusi, dan konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi
ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masing-masing komunitas. Sebenarnya masyarakat lokal yang lebih tahu dan lebih
mampu memecahkan persoalan pangan mereka. Dalam membuat kebijakan pangan,
pemerintah harus mengikutsertakan berbagai unsur masyarakat lokal secara
representatif.
BAB
VI
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Implementasi Peraturan Daerah Maluku No 04
tahun 2010 tentang Badan Ketahanan Pangan Maluku terhadap ketahanan
pangan lokal
Penyeragaman konsumsi pangan ke beras pada
masa orde baru telah membuat ketergantungan masyarakat terhadap beras. Kondisi
ini sangat mengawatirkan bagi ketahanan pangan suatu Negara yang hanya bergantung
pada satu macam bahan pangan saja. Apalagi bagi daerah-daerah yang secara
geografis tidak dapat di tumbuhi tanaman padi. pangan adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah
yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.” Politik
pangan adalah kebijakan politik yang diarahkan guna terciptanya pemenuhan
pangan bagi masyarakat dalam konteks Negara. Pangan merupakan kebutuhan dasar
yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti
yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan
pangan. Salah satu upaya agar mengurangi ketergantungan tehadap beras dan
kerawanan pangan, maka pemerintah melakukan diversifikasi pangan dengan
mengembangkan dan mengkonsumsi pangan lokal yang merupakan potensi daerah
masing-masing.
Dalam mewujudkan ketahanan pangan dan
mengurangi ketergantungan terhadap beras. Pemerintah Daerah Maluku membentuk
Badan Ketahanan Pangan yang berguna untuk membuat serta menjalankan kebijakan
pangan di Maluku, BKP bekerja sama dengan Bulog dalam menyediakan bahan pangan
masyarakat. Jika Bulog lebih kepada penyediaan dan pengaturan harga beras, BKP
berupaya menciptakan ketahanan pangan, dengan memanfaatkan potensi pangan
lokal. BKP sebagai lembaga yang membantu Gubernur dalam masalah pangan.
Berdasarkan data yang dipaparkan maka teori
kebijakan sangat relevan untuk menganalisis implementasi peraturan daerah No 04
tahun 2010 tentang tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku terhadap ketahanan pangan lokal. Menurut Carl
Friedrich kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Politik
pangan adalah kebijakan politik yang diarahkan guna terciptanya pemenuhan
pangan bagi masyarakat. Peraturan daerah tentang Badan Ketahanan Pangan adalah sebuah
kebijakan yang diusulkan oleh pemerintah dengan tujuan mewujudkan ketahanan
pangan di Maluku. Perda ini dibuat sebagai landasan hukum BKP dalam membuat
serta melaksanakan kebijakan teknis membantu Gubernur dalam hal pemenuhan
pangan. Tujuan pembentukan BKP juga untuk merealisasikan peraturan presiden
dalam percepatan diversivikasi pangan lokal. Keberhasilan suatu kebijakan dapat
diukur dari proses dan pencapaian hasil akhir, jika hasilnya baik maka tujuan
yang diinginkan terlaksana, namun jika hasilnya negatif maka tidak sesuai
dengan diharapkan, ini diakibatkan oleh faktor kendala yang dialami pada saat
proses kebijakan berjalan. Menurut Teori implementasi kebijakan Van Meter dan Horn,
terdapat variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yakni: Standar dan
sasaran kebijakan, Sumberdaya, Hubungan antar organisasi, Disposisi
Implementator, serta kondisi sosial, politik dan ekonomi.
Jika dianalisis sesuai variabel
implementasi kebijakan, sasaran dari pembentukan BKP adalah mempercepat
diversifikasi berbasis lokal hingga tercipta kemandirian pangan. Program yang
dibuat oleh BKP sebenarnya dapat diukur dan dapat diwujudkan karena apa yang
diinginkan dalam program benar-benar ada dalam lingkungan masyarakat.
2.
Faktor pendukung dan penghambat Badan Ketahanan Pangan
a. Faktor pendukung
Dalam pelaksanaannya BKP
memiliki faktor pendukung dalam menciptakan ketahanan pangan berbasis lokal di
Maluku. Potensi pangan lokal sagu yang banyak tumbuh di daerah Maluku dapat
dijadikan sebagai pengganti pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap
beras. Secara kelembagaan BKP yang dulunya hanya menjadi divisi pada Dinas
Pertanian sekarang terpisah dan diberikan kemandirian menjadi lembaga yang
membantu Gubernur membuat dan melaksanakan kebijakan teknis ketahanan pangan.
b. Faktor
Penghambat
Namun tidak dapat dipungkiri dalam
pelaksanaanya juga BKP mengalami hambatan dalam mengubah pola ketergantungan
Masyarakat terhadap beras. Masyarakat Maluku masih bergantung pada beras oleh
karena politik penyeragaman pangan zaman orde baru, dan mengesampingkan sagu
yang dulu adalah pangan pokok orang Maluku. Alih fungsi hutan sagu menjadi
pemukiman, dan terlambatnya disahkan Peraturan daerah tentang pelestarian hutan
sagu dinilai sebagai penghambat. Secara
kelembagaan kurangnya sumber daya Manusia (aparatur BKP) dan minimnya dana ditambah
lagi dengan letak geografis Maluku yang merupakan daerah kepulauan menjadi
penghambat kinerja BKP dalam melakukan sosialisasi ke masyarakat. Terlepas dari kekurangan yang terjadi pada saat
pelaksanaan, BKP telah melakukan sedikit perbaikan dalam mewujudkan
diversifikasi pangan di Maluku, walaupun belum maksimal tapi secara bertahap
akan ada perbaikan menuju hasil yang diharapkan. BKP Provinsi Maluku baru dua
tahun terbentuk, dan untuk mengembalikan pola konsumsi masyarakat yang selama
32 tahun mengandalkan konsumsi pangan beras ke pangan lokal harus membutuhkan
partisipasi dari setiap masyarakat Maluku untuk mendukung kebijakan dalam hal
kemandirian pangan.
B.
Saran
Adapun saran penulis agar tercipta
diversifikasi pangan lokal di Maluku :
1. BKP sebagai lembaga yang membantu Gubernur dalam membuat dan
melaksanakan kebijakan pangan di Maluku harus lebih mensosialisasikan
konsumsi pangan lokal bukan saja bagi
masyarakat miskin, tapi semua elemen masyarakat tanpa terkecuali. Penguatan
internal birokrasi BKP (sumber daya manusia) harus bisa menjalankan program ketahanan
pangan yang efektif dan efisien. Kordinasi BKP, Bulog dan Dinas Pertanian harus
saling mendukung dalam mengatasi kerawanan pangan.
2. Pangan lokal harus
dikemas secara inovatif dan modern agar memiliki daya tarik sehingga masyarakat
lebih tertarik mengkonsumsi pangan lokal.
3. Data kuantitatif lahan dan produksi pangan lokal terutama sagu
hendaknya di update 1 tahun sekali sebagai bahan perbandingan informasi
terhadap ancaman alif fungsi lahan.
4. Peraturan Daerah No 10 tahun 2011 tentang pelestarian dan pengelolaan
sagu harus dijadikan alat hukum yang tegas guna melindungi sagu sebagai pangan
lokal masyarakat Maluku
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana
Amang,
B., M.H. Sawit. 1999. Kebijkan Beras dan Pangan Nasional. Bogor:
IPB Press.
Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Terj, Nuktaf
Arfawie Kurde, Imam Safe’I dan Noorhaidi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif.
PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Bustaful, Arifin. 2005. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan. Jakarta:
Rajawali Press
Dunn, William. 1998. Pengantar
Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
George,
Susan. 2007. Pangan “ dari penindasan
sampai ketahanan pangan”. Yogyakarta: INSIST
Gunawan,
Faisal. 2003. Strategi Diversifikasi
Pangan. Jakarta: Prisma
Haryanto.
1988. Sagu dan Pemanfaatanya. BPPT
INSIST.
2008. Politik Pangan: perlu perubahan
paradigma. Yogyakarta: INSIST
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian kwalitatif dan kwantitatif untuk
ilmu-ilmu sosial. Jakarta: DIA FISIP UI
Jhamtani, Hira. 2008. Lumbung Pangan ”Menata Ulang
Kebijakan Pangan.Yogyakarta: INSIST
Raharjo,
Dawam. 2003. Politik Pangan dan Industri
Pangan di Indonesia. Jakarta: Prisma
Soekarto.
1999. Prospek Pengembangan Sagu sebagai
Pangan di Indonesia. LIPI
Syafie, Inu
Kencana. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Bandung:
Pustaka RekaCipta
Wahab, Solichin Abdul. 1997, Analisa
Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi
Aksara
Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik,
Intermedia Jakarta.
Wijayanti,dkk. 2003. Pengembangangara Pengelolaan Sagu di
Sulawesi Tenggara dan Maluku. Bogor: IPB
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media
Pressindo Yogyakarta.
Undang-Undang:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 68 Tahun 2002 tentang
Ketahanan Pangan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
0 Response to "SKRIPSI ILMU POLITIK POLITIK PANGAN DI MALUKU"
Posting Komentar