SKRIPSI ILMU POLITIK POLITIK PANGAN DI MALUKU

Konsepkedaulatan pangan lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan adalah hak setiap orang, kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan pertanian, ketenaga-kerjaan, perikanan, pangan dan tanah, yang berwawasan ekologis, sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai dengan kondisi khas dan kedaerahan mereka.
Indonesiaadalah Negara agraris, dimana tumbuh dan berkembang dari sektor pertanian. Pertanian tidak pernah bisa dilepaskan dari masalah pangan, karena tugas utama pertanian adalah untuk menyediakan pangan bagi penduduk suatu Negara. Salah satu indikator penting untuk melihat kondisi ketahanan pangan suatu negara secara agregat adalah melalui angka rata-rata ketersediaan pangan.
Dalam UU/No 7/Tahun 1996 dan disempurnakan menjadi UU/No 68/Tahun 2002 tentang ketahanan pangan dijelaskan bahwa: “ Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.” Revolusi hijau (greenrevolution) adalah pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi tanaman pangan, terutama tanaman serealia, (bahan makanan pokok seperti gandum, jagung, padi, kentang, sagu). Jadi tujuan pokoknya adalah untuk mencukupi tanaman pangan penduduk. Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. namun oleh karena penyeragaman pangan ke beras maka  menimbulkan dampak negatif berkurangnya keanekaragaman genetic jenis tanaman tertentu yang disebabkan oleh penyeragaman jenis tanaman tertentu yang dikembangkan dan ada sebagian daerah yang tidak berpotensi ditumbuhi tanaman padi ( beras ) seperti di Maluku.


Mengingat keragaman pangan adalah merupakan bagian penting dari mutu pangan serta keragaman budaya dan status sosial ekonomi rumah tanggga atau masyarakat, maka terjadi keanekaan pula dalam konsumsi bahan makanan. Reformasi politik pangan bertujuan menciptakan rancang-bangun politik pangan yang lebih baik, sehingga melahirkan: “Peraturan Presiden No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan PercepatanPenganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.”
Provinsi Maluku memiliki lahan pertanian padi seluas 21.252 Ha3, dengan perincian 18.545 Ha3 lahan padi sawah dan 2.207 Ha3 lahan padi ladang. Dari lahan pertanian padi tersebut dihasilkan padi sebanyak 89.875 ton beras per tahun[1]. Terdiri dari 83.764 ton padi sawah dan 6.111 ton padi ladang. Sedangkan kebutuhan beras untuk Provinsi Maluku dengan jumlah penduduk 1.610.803 jiwa[2], dibutuhkan lebih kurang 133 ton setiap tahunnya. Kekurangan beras untuk kebutuhan  pangan masyarakat di provinsi Maluku cukup besar tersebut juga tidak mampu dipenuhi oleh Divre Maluku sebagai kaki tangan pemerintah sehingga  seringkali mengimpor dari luar daerah untuk mencukupi kebutuhan konsumsi pangan beras. Oleh sebab itu, pemerintah daerah berupaya sendiri untuk menutupi kebutuhan pangan masayarakat, salah satunya dengan pemberdayaan pangan berbasis lokal.

Tanaman Sagu banyak tumbuh di Maluku, Sagu diolah menjadi makanan bagi Masyarakat Maluku. Namun oleh karena manifestasi pemerintah dan modernisasi maka orang Maluku cenderung melupakan sagu dan beralih ke beras. Padahal Maluku memiliki potensi yang besar sebagai lumbung pangan “sagu” sebagai basis ketahanan pangan lokal dalam menghadapi krisis pangan. Sehingga dibutuhkan peran dan kinerja pemerintah daerah untuk dapat mempertahankan sagu sebagai makanan pokok yang memiliki kualitas pangan yang baik.  Swasembada pangan harus tetap dijaga karena produksi pangan selain merupakan masalah ekonomi juga masalah politik.
Dalam  mewujudkan kemandirian pangan di Maluku maka dikeluarkan Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku, Lembaga ini diharapkan menciptakan ketahanan pangan serta diversifikasi pangan di Maluku salah satunya dengan  melindungi, melestarikan, serta mengolah sagu sebagai basis ketahanan pangan lokal di Maluku. Namun dalam pelaksanaan mewujudkan ketahanan pangan berbasis pangan lokal Badan Ketahanan Pangan Maluku masing mendapat kendala oleh karena paradigma masyarakat Maluku yang lebih memprioritaskan makan beras ketimbang pangan lokal “Sagu”. Pergeseran pola konsumsi yang secara tidak sadar menciptakan ketergantungan terhadap beras, membuat masyarakat kurang termotivasi untuk menggali dan memanfaatkan pangan lokal. Kondisi ini secara tidak langsung mempengaruhi lambannya pengembangan penyediaan bahan pangan sampai ke tingkat rumah tangga. Perwujudan ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah (Badan Ketahanan Pangan) bersama masyarakat, dengan pangan lokal diharapkan Provinsi Maluku dapat menuju kemandirian pangan.

B. Rumusan Masalah
Memperhatikan luasnya cakupan masalah yang akan diteliti mengenai Politik Pangan di Maluku, maka penulis membatasinya pada persoalan sebagai berikut :
  1. Bagaimana implementasi Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku dalam mewujudkan ketahanan pangan berbasis lokal di Maluku?
  2. Apa faktor-faktor penunjang dan penghambat Badan Ketahanan Pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan berbasis lokal di Maluku?


C. Tujuan  Penelitian:
a.    Mendeskripsikan ketahanan pangan lokal di Maluku.
b.    Mendeskripsikan dan menganalisis implementasi Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku serta faktor-faktor pendukung dan penghambat terhadap ketahanan pangan lokal di Provinsi Maluku.
D. Manfaat Penelitian :
1.    Manfaat  Teoritis
a.    Menunjukan fenomena sosial-politik tentang Politik Pangan Lokal di Maluku.
b.    Menunjukan secara ilmiah implementasi kebijakan politik pangan di Provinsi Maluku demi terciptanya ketahanan pangan lokal.
c.    Dalam wilayah akademis, memperkaya khasanah kajian ilmu politik untuk pengembangan keilmuan, khususnya politik kontemporer.


2.    Manfaat Praktis
a.    Memberikan bahan rujukan kepada masyarakat yang berminat dalam memahami realitas Politik Pangan di Maluku.
b.    Sebagai salah satu prasyarat memperoleh gelar sarjana ilmu politik.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
            Dalam bab ini yang akan dibahas keempat aspek, yaitu: Kebijakan Publik, Implementasi Kebijakan, Politik Pangan, dan Pangan lokal. Keempat hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut.
  1. Kebijakan Publik
Menurut Johan K. Bluntschi, politik adalah suatu hal yang memperhatikan masalah kenegaraan, yaitu berusaha keras untuk mengerti dan memahami kondisi suatu Negara yang bersifat penting dalam berbagai bentuk manifestasi pembangunan.[3] Namun salah satu konsep politik yang dikemukan Miriam Budiarjo adalah kebijakan (Policy).[4]  Kebijakan diartikan sebagai aturan yang lahir dari proses politik. Kebijakan merupakan hal yang mengikat sebagai suatu upaya pencapaian tujuan yang diinginkan dengan bersifat strategis dan jangka panjang. Kebijakan harus bisa diimplementasikan ke ruang publik.


Menurut Carl Friedrich yang dikutip dalam Wahab bahwa:
Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan sebagai suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Pangan merupakan suatu yang vital bagi kelangsungan Negara terutama sebagai bahan makanan kelangsungan hidup rakyat. Oleh karena pentingnya pangan, dan agar terciptanya keterediaan pangan maka harus dibuat kebijakan yang mengatur tentang pangan.
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin  dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
  1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
  2. Kebijakan pelaksanaan, adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
  3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Anderson memberikan defenisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan penjabat-penjabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah:
  1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.
  2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.
  3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar di lakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan.
  4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tersebut atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

Analisis Kebijakan diartikan William Dunn [6] sebagai serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktifitas politik itu Nampak pada serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Maka dapat dikatakan bahwa dalam pembuatan kebijakan terdapat  terdapat empat rangkaian kesatuan penting didalam analisis kebijakan publik yang perlu dipahami, yaitu penyusunan agenda (agendasetting), formulasi kebijakan (policy formulation), implementasi kebijakan (policy implementation).  
1.    Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
            Proses kebijakan publik diawali dengan penyusunan agenda                        (agenda setting ) yaitu sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses ini memiliki ruang untuk memaknai suatu masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Isu kebijakan lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri.
2.    Formulasi Kebijakan (policy formulation)
Langkah kedua dalam proses kebijakan setelah agenda setting adalah formulasi kebijakan. Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah yang masuk diidentifikasi untuk kemudian di cari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Formulasi kebijakan memiliki aktivitas yang sangat penting dalam kerangka peramalan. Formulasi kebijakan akan memberi gambaran mengenai konsekuansi di masa mendatang dari diterapkannya kebijakan tersebut.

3.  Implementasi Kebijakan (policy implementation) dan Evaluasi Kebijakan
Berhasil tidaknya suatu kebijakan pada akhirnya ditentukan pada tataran implementasinya. Sering dijumpai bahwa proses perencanaan kebijakan yang baik sekalipun tidak dapat menjamin keberhasilan dalam implementasinya. Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusaha mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Tahap paling akhir dalam proses kebijakan adalah penilaian kebijakan. Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi implementasi dan dampak.



Tabel. 01. Proses Kebijakan Publik
Tahap
Karakteristik
v  Perumusan Masalah
v  Formulasi Kebijakan

v  Rekomendasi Kebijakan
v  Monitoring Kebijakan
v  Implementasi  Kebijakan dan Evaluasi Kebijakan
Memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah.

Memberikan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari diterapkannya alternative kebijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan.


Memberikan informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif.

Memberikan informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu, termasuk kendalanya, pengawasan.

Memberikan informasi mengenai kinerja atau hasil kebijakan.

  1. Implementasi Kebijakan
Telah disebutkan diatas ada tahapan tahapan kebijakan, namun pada dalam permasalahan ini, penulis lebih menfokuskan pada tahapan implementasi. Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan.[7]  Sedangkan menurut Mazmadian:
“implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang atau bentuk perintah-perintah atau keputusan eksekutif. ” [8]
Menurut Lane, implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor, Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu.
            Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. T.B. Smith mengakui, ketika kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan.[9]
            Dari definisi diatas implementasi dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan, dan hasil kebijakan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapat suatu hasil yang sesuai dengan sasaran kebijakan.
Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders). Tachjan menjelaskan tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu:
  1. Unsur pelaksana, Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock dalam Tachjan sebagai berikut: ”Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian”.[10]
  2. Adanya program yang dilaksanakan, program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan budjet.
  3. Target group atau kelompok sasaran, target group yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kelompok sasaran dalam konteks implementasi kebijakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti: besaran kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta kondisi sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi .













 


 









 







Dalam mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat. Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi didasarkan pada tiga aspek, yaitu: (1) tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang, (2) adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah; serta (3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang dikehendaki dari semua program yang ada terarah.
Menurut Teori implementasi kebijakan VanMeter dan Horn, terdapat variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yakni:
1.    Standar dan sasaran kebijakan, dimana standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur agar dapat direalisir, komunikasi sangatlah diperlukan agar implementator mengetahui apa yang harus dilakukannya.
2.    Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia dan sumber daya non manusia (finansial). Meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tapi kekurangan sumber daya maka implementasi tidak dapat berjalan efektif.
3.    Hubungan antar organisasi, dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain agar tecapai keberhasilan suatu program.
4.    Disposisi Implementator, yakni karakteristik yang dimiliki implementator, mencakup respon implementator terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan. Kognisi, yakni pemahaman terhadap kebijakan.
5.    Kondisi sosial, politik dan ekonomi, ini menyangkut sumber daya lingkungan mendukung implementasi kebijakan, misalnya kelompok kepentingan, elit politik, serta opini publik.
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan akhir (output), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang akan diraih.




  1. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan
Menurut Budi Winarno implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan: “ Alat administrasi hukumdimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” Adapun syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan kebijakan Negara secara sempurna menurut teori implementasi Brian W. Hogwood dan Lewis A.Gun yang dikutif oleh Wahab[11], yaitu:
a.    Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak akan mengalami gangguan atau kendala yang serius. Hambatan hambatan tersebut mungkin sifatnya fisik, politis dan sebagainya.
b.    Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.
c.    Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia;Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh suatu hubungan kausalitas yang handal.
d.    Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnnya.
e.    Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
f.     Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
g.    Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
h.    Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di lingkungannya. Menurut James Anderson, [12] masyarakat mengetahui dan melaksanakan suatu kebijakan publik dikarenakan :
a.    Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-keputusan badan-badan pemerintah;
b.    Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan;
c.    Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah,konstitusional, dan dibuat oleh para pejabat pemerintah yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan;
d.    Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan itu lebih sesuai dengan kepentingan pribadi; Adanya sanksi-sanksi tertentu yaang akan dikenakan apabila tidakmelaksanakan suatu kebijakan.

Berdasarkan teori diatas bahwa faktor pendukung implementasi kebijakan harus didukung dan diterima oleh masyarakat, apabila anggota masyarakat mengikuti dan mentaati sebuah kebijakan maka sebuah implementasi kebijakan akan berjalan sesuai tujuan yang telah ditetapkan tanpa ada hambatan-hambatan yang mengakibatkan sebuah kebijakan tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Bambang Sunggono dalam buku Hukum dan kebijakan publik, implementasi kebijakan mempunyai beberapa faktor penghambat, yaitu:
a.    Isi kebijakan.
Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci, sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau programprogram kebijakan terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan. Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan dapat juga menunjukkan adanya kekurangankekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat terjadi karena kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia.
b.    Informasi.
Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik.Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.
c.    Dukungan.
Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut.
d.    Pembagian potensi.
Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para pelaku yang terlibat dalam implementasi.Dalam hal ini berkaitan dengan diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas[13]. Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat harus sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Sehingga apabila perilaku atau perbuatan mereka tidak sesuai dengan keinginan pemerintah atau negara, maka suatu kebijakan publik tidaklah efektif.

  1. Politik Pangan
Politik berasal dari bahasa Latin “Polis” yang berarti kota. Politik memiliki arti suatu kegiatan berkaitan dengan Negara, kekuasaan, kebijakan, serta pembagian kekuasaan.[14] Masalah pangan merupakan hal yang sangat fundamental dalam Negara karena berkaitan dengan kelangsungan hidup rakyat. Sehingga dibutuhkan suatu kebijakan untuk mengatur tentang pangan. Dalam Peraturan Pemerintah tentang ketahanan pangan pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan  pembuatan makanan atau minuman.
Politik pangan adalah kebijakan politik yang diarahkan guna terciptanya pemenuhan pangan bagi masyarakat dalam konteks Negara. Pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tetang ketahanan pangan. Dalam Undang-Undang tersebut pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan. Sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi atau penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Pangan merupakan hal pokok bagi kelangsungan hidup masyarakat. Pemenuhan ketersediaan pangan harus terus digalakan agar tidak terjadi kerawanan pangan. Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif. Pada dasarnya terjadinya kerawanan pangan dan kelaparan disebabkan masalah kekurangan pangan akibat antara lain:
  1. Rendahnya ketersediaan pangan dari produksi setempat maupun pasokan dari luar.
  2. Gangguan distribusi karena kerusakan sarana dan prasarana serta keamanan distribusi.
  3. Terjadinya bencana alam menyebabkan suatu wilayah/daerah terisolasi.
  4. kegagalan produksi pangan
  5. Gangguan kondisi sosial.
Keterbatasan pemenuhan sumber pangan akan mengakibatkan situasi rawan pangan, untuk itu harus  dibuat suatu mekanisme ketahanan pangan. Menurut Kurniawan  ketahanan pangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang dan setiap individu mampu memperolehnya.[15] Dalam konsep ketahanan pangan terdapat tiga topik yang perlu untuk dibahas berhubungan dengan rencana aksi pemantapan ketahanan pangan pemerintah Indonesia, yaitu:
  1. Kecukupan pangan
Kecukupan pangan adalah suatu kondisi pada suatu negara yang cukup akan jumlah pangan, mutu baik, mudah diperoleh, aman dikonsumsi, dan harga terjangkau.
  1.  Kemandirian pangan
Kemandirian pangan adalah keadaan dimana suatu negara dapat memenuhi kebutuhan pangan dengan produk sendiri (negara tersebut).
  1.  Kedaulatan pangan
Kedaulatan pangan adalah suatu penentuan yang dilakukan oleh suatu negara atas pangan untuk negaranya sendiri.
Ù¤
 
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan serta mengembangkan lahan produktif.
Subeno menjelaskan bahwa, basis konsep ketahanan pangan nasional adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, terutama di pedesaan.[16] Proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Berdasarkan berbagai konsep tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan (food security) merupakan kondisi tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk kebutuhan masyarakat yang dapat diakses dengan mudah berdasarkan kemampuan daya beli masyarakat serta terdistribusi merata di semua wilayah dan strata masyarakat.
Oxfam  2001 mengartikan Ketahanan  pangan  adalah  kondisi  ketika:  setiap  orang  dalam  segala  waktu  memiliki  akses  dan control atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang katif dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di sini yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).
Ketahanan pangan adalah sebuah bangunan sistem yang terdiri dari tiga subsistem yang saling interpenden dan tidak bisa dibahas secara parsial. Hal ini sangat penting karena memahami konsep ketahanan pangan adalah memahami sebuah proses yang saling memiliki keterkaitan dari awal sampai akhir dimulai dari produksi, distribusi sampai kepada aktivitas konsumsi.
Ù¥
 
Dalam era otonomi daerah peranan daerah otonom sangat penting untuk meningkatkan stok pangan lokal. Sistem ketahanan pangan sudah didesentralisasikan ke seluruh daerah otonom yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Peranan pusat hanya membuat kebijakan-kebijakan strategis dan bersifat normatif, sedangkan implikasi teknis di lapangan diserahkan ke pemerintah daerah otonom.  Nainggolan menyatakan bahwa, otonomi daerah memberikan keleluasaan dalam menetapkan prioritas pembangunan masing-masing daerah, diantaranya melalui pembangunan ketahanan pangan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Melibatkan peran aktif seluruh stakeholders pemerintahan daerah.
  2. Melaksanakan program pembangunan yang secara langsung memberikan manfaat kepada masyarakat.
  3. Mengembangkan kerjasama antar daerah dan antara daerah dengan pusat.
  4. Mempertahankan lahan produktif dan suplai air untuk pertanian.
Waluyo menyatakan[17] bahwa, permasalahan fundamental yang dihadapi oleh daerah otonom untuk ketahanan pangan antara lain: Kebijakan ketahanan pangan, penataan dan pemanfaatan lahan pertanian, lumbung pangan,  sebagaimana uraian berikut:
(1) Kebijakan Ketahanan Pangan 
Ù¦
 
Terkait dengan  aspek pengelolaan dan  pemeliharaan cadangan pangan  pemerintah, Peraturan Pemerintah (PP) No 68 tahun 2002 menyebutkan secara tegas tentang pentingnya peran pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah desa dalam menangani masalah pangan. Semangat otonomi daerah menurut PP 68/2002 tersebut pada dasarnya dapat dilihat dari dua  hal pokok. Pertama, pengakuan terhadap pentingnya peran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah desa dalam pengelolaan ketahanan  pangan; Kedua, pernyataan secara tegas tentang keberagaman pola pangan  masyarakat, yaitu dengan  memberikan keleluasaan  pengertian atas  pangan  tertentu bersifat pokok, sesuai dengan  pola pangan  masyarakat setempat. Oleh sebab itu ketahanan pangan hanyalah satu elemen dari sistem sosial suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, jika kesadaran tentang ketahanan pangan telah menjiwai kebijakan pemerintah, maka akan terlihat dari kebijakan baik di bidang ekonomi, politik, lingkungan, maupun sosial dan budaya masyarakat tersebut. Intinya sistem dan seluruh kelembagaan dalam masyarakat harus memiliki visi untuk mencapai ketahanan pangan. Untuk mencapai visi ketahanan pangan tersebut diperlukan tiga dimensi ketahanan pangan, yaitu: dimensi ketersediaan (availability), dimensi akses (access), dan dimensi pemanfaatan (utilization).
 (2) Penatalaksanaan Lahan Pertanian
               
Ù§
 
Alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan.
 (3) Lumbung Pangan
Ù¨
 
Secara formal pengaturan cadangan pangan menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah dan masyarakat harus sama-sama eksis dan satu sama lain harus saling melengkapi. Oleh sebab itu memelihara tradisi penyediaan lumbung pangan yang pernah ada, baik secara individu maupun secara kolektif, untuk cadangan pangan demi keberlanjutan kehidupan masyarakat merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan ketahanan pangan.
  1. Pangan Lokal
Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
Pangan Lokal adalah pangan yang diproduksi dan dikembangkan sesuai dengan potensi dan sumberdaya wilayah dan budaya setempat.[18] Pangan lokal juga diartikan pangan yang asal usulnya secara biologis ditemukan di suatu daerah. [19] Pangan adalah hak asasi setiap individu untuk memperolehnya dengan jumlah yang cukup dan aman serta terjangkau. Oleh karena itu, upaya pemantapan ketahanan pangan harus terus dikembangkan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.
Dalam  menunjang keberhasilan ketahanan pangan penduduk Indonesia harus kembali ke makanan pokok lokal daerahnya masing-masing, sebagai contoh; orang Maluku dengan makanan pokok sagu, maka penduduk Maluku wajib mengkonsumsi sagu, tetapi pada saat ini mana ada orang yang suka makan sagu terus-menerus, tentunya akan merasa bosan dan merasa gengsi, maka sagu harus diolah dengan baik dan lebih bervariasi, begitu pula makanan pokok lainnya. Sesuai dengan peraturan presiden No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Kebijakan pengembangan konsumsi pangan dapat diarahkan pada :
1.    Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan yang diarahkan untuk memperbaiki konsumsi pangan penduduk baik jumlah maupun mutu, termasuk keragaman dan keseimbangan gizinya;
2.    Pengembangan konsumsi pangan lokal baik nabati dan hewani yang diarahkan untuk meningkatkan mutu pangan lokal dan makanan tradisional dengan memperhatikan standar mutu dan keamanan pangan sehingga dapat diterima di seluruh lapisan masyarakat.
Strategi pengembangan konsumsi pangan diarahkan pada tiga hal yaitu produk/ketersediaan, pengolahan dan pemasaranan. Strategi pengembangannya adalah :
1.    Pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini adalah berupa peningkatan peran masyarakat dalam pengembangan konsumsi pangan yang meliputi peningkatan pengetahuan/kesadaran dan peningkatan pendapatan untuk mendukung kemampuan akses pangan oleh setiap rumah tangga.
2.    Peningkatan kemitraan. Merupakan implementasi, sinkronisasi dan kerjasama antara semua stakeholders dalam pengembangan konsumsi pangan termasuk pengembangan produksi/pengembangan teknologi pengolahan pangan.
3.    Sosialisasi. Memasyarakatkan dan meningkatkan apresiasi masyarakat dalam pengembangan konsumsi pangan melalui promosi, kampanye, penyebaran informasi melalui media massa (cetak dan elektronik) dan pemberian penghargaan.
Pemanfaatan pangan lokal dapat membantu masyarakat lokal dalam memenuhi pangan secara berkesinambungan terutama untuk kebutuhan pangan rumah tangga. Sumber-sumber pangan lokal ( jagung, ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, dan sumber karbohidrat lainnya ) sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan pokok pendamping beras. Program pembangunan ketahanan pangan yang dilaksanakan melalui Badan Ketahanan Pangan bertujuan:
  1. Memantapkan ketersediaan pangan dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki secara berkelanjutan.
  2.  Memantapkan kelancaran distribusi pangan untuk menjamin stabilitas pasokan pangan secara merata dan terjangkaunya daya akses pangan masyarakat. Meningkatkan percepatan diversifikasi konsumsi pangan dan mencegah kerawanan pangan.


Ù©
 
 

  1. Kerangka Pemikiran
Pada masa orde baru terjadi penyeragaman pangan ke satu komoditas pangan yakni beras. Namun ketergantungan pola konsumsi pangan masyarakat Maluku terhadap beras, tidak sebanding dengan tingkat produksi beras di Provinsi Maluku. Secara letak geografis Maluku adalah Provinsi kepulauan yang hampir keseluruhan daerah lahan pertanian tidak cocok ditanami padi dan seringkali harus mengimpor dari luar daerah. Dari permasalahan inilah pemerintah Provinsi berupaya mengupayakan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal “sagu” agar tercipta ketahanan pangan yang mandiri. Pemerintah daerah membentuk Badan Ketahanan Pangan sebagai badan pembantu Gubernur dalam membuat dan melaksanakan kebijakan teknis tentang ketahanan pangan dan kemudian di buatkan peraturan daerah No. 04 tahun 2010 tentang organisasi tata kerja badan ketahanan pangan Maluku. Peraturan daerah ini diharapkan menjadi legitimasi hukum Badan Ketahanan pangan dalam menciptakan ketahanan pangan berbasis lokal di Maluku.
Daerah Maluku memiliki potensi pangan lokal yang bisa dikembangkan untuk menciptakan ketahanan pangan. Daerah ini merupakan habitat yang cocok untuk tanaman sagu, bahkan sebelum penyeragaman pangan ke beras, makanan pokok orang Maluku adalah sagu.
Faktor Penunjang
  • Potensi Sagu sebagai Pangan Lokal
  • Kelembagaan BKP




 
Dalam pelaksanaan implementasi Badan Ketahanan pangan Maluku mengalami hambatan untuk melakukan diversifikasi pangan. Pola pikir masyarakat yang cenderung bergantung pada beras, menjadikan pangan lokal “sagu” hanya menjadi makanan pendamping.  Hutan sagu mulai dialih fungsikan menjadi daerah perumahan  membuat semakin berkurangnya sumber daya dan habitat asli tanaman sagu. Selain itu kendala yang dihadapi adalah masih kurang daya inovatif terhadap pangan lokal dimana pangan lokal lebih cepat rusak bila dibandingkan dengan beras yang dapat disimpan dalam waktu yang lama saat dijadikan sebagai cadangan makanan. Letak geografis Maluku yang merupakan daerah kepulauan, minimnya aparatur dan penyediaan dana Badan Ketahanan pangan menjadi penghambat dalam proses sosialisasi  diversifikasi pangan di masyarakat.


BAB III
METODE PENELITIAN
            Dalam bab ini akan dibahas ada lima aspek, sebagai berikut : Lokasi Penelitian, Tipe dan Dasar Penelitian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data. Kelima hal tersebut akan di uraikan lebih lanjut.
  1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Maluku. Lokasi penelitian di Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku yang bertempat di Kota Ambon dan merupakan merupakan lembaga yang membantu Gubernur dalam penggagas perumusan kebijakan teknis  pangan di Maluku. Alasan dipilihnya Maluku sebagai daerah penelitian karena daerah Maluku merupakan habitat asli tanaman sagu dan merupakan potensi pangan yang dapat dikembangkan guna terciptanya diversifikasi pangan berbasis lokal.
  1. Tipe dan Dasar Penelitian
Dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif untuk menghasilkan temuan atau kebenaran yang didalam penelitian kualitatif disebut kebenaran “intersubjektif”, yakni kebenaran yang dibangun dari jalinan berbagai faktor yang bekerja bersama-sama, seperti budaya dan sifat unik manusia, maka realitas kebenaran adalah sesuatu yang “dipresepsikan” oleh yang melihat bukan sekedar fakta yang bebas konteks dan interpretasi apapun. Kebenaran merupakan bangunan (konstruksi) yang disusun oleh peneliti dengan mencatat dan memahami apa yang terjadi dalam interaksi sosial kemasyarakatan.[20]
Tipe penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu penelitian diarahkan untuk menggambarkan fakta dengan argument yang tepat. Penelitian dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. ujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta. Namun demikian, dalam perkembangannya selain menjelaskan tentang situasi atau kejadian yang sudah berlangsung sebuah penelitian deskriptif juga dirancang untuk membuat komparasi maupun untuk mengetahui hubungan atas satu variabel kepada variabel lain.



  1. Sumber Data
Pada penelitian ini penulis menggunakan data yang menurut penulis sesuai dengan objek penelitian yang  mampu memberikan gambaran tentang objek penelitian. Adapun sumber data yang digunakan yaitu Data Primer dan Data Sekunder.
a.  Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui lapangan atau daerah penelitian dari hasil wawancara mendalam dengan informan dan observasi langsung. Peneliti turun langsung ke daerah penelitian untuk mengumpulkan data dalam berbagai bentuk, seperti rekaman hasil wawancara dan foto kegiatan di lapangan. Dari proses wawancara peneliti berharap akan mendapatkan data-data seperti, ketahanan pangan di Maluku, kinerja Badan Ketahanan Pangan, serta penganekaragaman pangan berbasis lokal di Maluku.
b.  Data Sekunder
Penulis selain turun ke lapangan, juga melakukan telaah pustaka yakni mengumpulkan data dari buku, jurnal, koran, dan sumber informasi lainnya yang erat kaitannya dengan masalah penelitian yakni politik pangan di Maluku.
  1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu : Wawancara Mendalam dan Arsip / Dokumen.
a. Wawancara Mendalam
Penulis dalam melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam, pedoman wawancara (interview guide) agar wawancara tetap berada pada fokus penelitian, meski tidak menutup kemungkinan terdapat pertanyaan-pertanyaan berlanjut. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman tersebut  interviwer harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Proses pengumpulan data dengan wawancara mendalam penulis membaginya menjadi dua tahap, yakni :
  1. Tahap Persiapan Penelitian
Pertama peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan demensi kebermaknaan hidup sesuai dengan permasalahan yang dihadapi subjek. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, ditunjukan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara. Tahap persiapan selanjutnya adalah peneliti membuat pedoman observasi yang disusun berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan pencatatan langsung yang dilakukan pada saat peneliti melakukan observasi. Namun apabila tidak memungkinkan maka peneliti sesegera mungkin mencatatnya setelah wawancara selesai. Peneliti selanjutnya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Sebelum wawancara dilaksanakan peneliti bertanya kepada subjek tentang kesiapanya untuk diwawancarai. Setelah subjek bersedia untuk diwawancarai, peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara.
  1. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat. Setelah wawancara dilakukan, peneliti memindahakan hasil rekaman berdasrkan wawancara dalam bentuk tertulis. Selanjutnya peneliti melakukan  analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di akhir bab ini. setelah itu, peneliti membuat dinamika psikologis dan kesimpulan yang dilakukan, peneliti memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Informan yang penulis wawancarai adalah:
Tabel. 02 Narasumber Penelitian
Narasumber
Jabatan
Dr. Syuryadi Sabirin
Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku
Drs. H. Ramli Hasan
Kepala Divisi Regional Bulog Maluku
Abdullah Tuanaya
Sekertaris Dinas Pertanian Maluku
Ir. S. M Talla
Kepala Bidang Ketersediaan dan kerawanan Pangan Maluku
Drs. M. Siahalatua
Kepala Bidang Organisasi Kantor Gubernur Maluku
Ir. Melkias L. Frans
Ketua Komisi B  DPRD Maluku
Drs. Andreas. J. W. Taborat
Wakil Ketua Komisi B Maluku
Abraham M. M Malioy, SH
Anggota Badan Legislasi DPRD Maluku

b. Arsip/Dokumen
Arsip atau Dokumen mengenai berbagai informasi dan hal yang berkaitan dengan fokus penelitian merupakan sumber data yang penting dalam penelitian. Dokumen yang dimaksud dapat berupa dokumen tertulis gambar atau foto, film audio-visual, data statistik, tulisan ilmiah yang dapat memperkaya data yang dikumpulkan. Data-data ini didapat di Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, DPRD Maluku, dan Perpustakaan Daerah.
E. Teknik Analisis Data
            Strauss dan Corbin[21] mengungkapkan penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.
Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung mengg unakan analisis dengan pendekatan induktif. Penelitian kualitatif juga membutuhkan triangulasi yakni pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Analisis data dilakukan bersamaan atau hampir bersamaan dengan pengumpulan data. Langkah yang digunakan dalam analisis data adalah sebagai berikut : Reduksi Data, Sajian Data, dan Penyimpulan Data.

1.  Reduksi Data
Pada tahap ini dilakukan proses pengumpulan data mentah, dengan menggunakan alat-alat yang perlu seperti rekaman MP3, field note, serta observasi yang dilakukan penulis selama berada dilokasi penelitian. Pada tahap ini sekaligus dilakukan proses penyeleksian, penyederhanaan, pemfokuskan, dan pengabstraksian data dari field note dan transkrip hasil wawancara. Proses ini berlangsung selama penelitian dilakukan dengan membuat singkatan, kategorisasi, memusatkan tema, menentukan batas-batas permasalahan. Reduksi data sperti ini diperlukan sebagai analisis yang akan menyeleksi, mempertegas, membuat fokus dan membuang hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan.
Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh data hasil wawancara yang berupa rekaman MP3, catatan lapangan, dan pengamatan lainnya, peneliti melakukan transkrip data untuk mengubah data hasil wawancara, catatan lapangan dalam bentuk tulisan yang lebih teratur dan sistematis. Setelah seluruh data sudah dirubah dalam bentuk tertulis, peneliti membaca seluruh data tersebut dan mencari hal-hal yang perlu dicatat untuk proses selanjutnya yakni pengkategorisasian data agar data dapat diperoleh lebih sederhana sesuai dengan kebutuhan penelitian. Sampai disini diperoleh kesimpulan sementara berdasarkan data-data yang telah ada. Pada tahap selanjutnya, penulis melakukan triangulasi yakni check and recheck antara satu sumber data dengan sumber data yang lainnya. Apakah sumber data yang satu sesuai dengan data yang lainnya, hal ini dilakukan untuk meningkatkan validitas data.
2.  Sajian Data
Sajian data adalah suatu informasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat sajian data penulis dapat lebih memahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut. Sajian data diperoleh dari hasil interpretasi, usaha memahami, dan analisis data secara mendalam terhadap data yang telah direduksi, dikategorisasi, dan check and recheck antara saru sumber data dengan sumber yang lainnya. Sajian data dapat meliputi deskriftif, matriks dan table. Sajian data yang baik dan jelas sistematikanya akan mudah memahami dan mengerti.

3. Penyimpulan Data
Dari hasil pengumpulan data yang telah diperoleh peneliti menemukan berbagai hal-hal penting yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pada saat mengolah data peneliti sudah mendapat kesimpulan sementara, kesimpulan sementara yang masih berdasarkan data akan dipahami dan dikomentari oleh peneliti yang pada akhirnya akann mendeskripsikan atau menarik suatu kesimpulan akhir dari hasil penelitian yang telah diperoleh. Penelitian berakhir ketika peneliti sudah merasa bahwa data sudah jenuh dan setiap penambahan data baru hanya berarti ketumpang tindihan.









BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A.  Lintasan Sejarah Maluku
Maluku merupakan salah satu provinsi tertua dalam sejarah Indonesia Merdeka. Daerah ini dinyatakan sebagai provinsi bersama tujuh daerah lainnya, yaitu Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera, dan Sulawesi, hanya dua hari setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945. Seperti daerah lainnya di Indonesia, Maluku sebagai wilayah kepulauan juga memiliki sejarah yang panjang yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Indonesia secara keseluruhan. Meskipun di daerah Maluku tidak ditemukan fosil/ kerangka manusia purba, namun ada asumsi yang mengatakan bahwa di Maluku sudah pernah hidup manusia purba yang mempunyai kemuripan dengan manusia Homosapiens yang hidup sekitar 40.000 tahun SM di daratan Jawa dan di pulau – pulau lain di Nusantara. Sebenarnya juga ada manusia Australoid, yaitu suatu ras manusia yang mempunyai kemiripan dengan penghuni pertama Pulau Seram. Sebagai daerah yang cukup subur, Maluku tentu saja mengundang kedatangan kaum migran dari berbagai kawasan yang menimbulkan gelombang perpindahan dan menghasilkan percampuran perpindahan  dan menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama / asli dengan suku-suku pendatang sehingga melahirkan suku-suku baru.
Awal abad ke 7 pelaut-pelaut dari daratan Cina pada masa Dinasti Tang yang telah menyinggahi daerah-daerah di Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah. Namun mereka merahasiakan agar tidak diketahui oleh bangsa-bangsa lain dalam mencari rempah-rempah. Pada zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya di abad ke 12, kepulauan Maluku termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan itu. Pada abad ke 14 Kerajaan Majapahit mengambil alih kekuasaan maritim hampir keseluruhan Asia Tenggara termasuk Kepulauan Maluku. Para pendatang Eropa, seperti Portugis,  rvf65tb gyn hun jh nj nkj k nj nh huim jui,kikio,lo/.Spanyol, dan Belanda baru menemukan jalan ke Kepulauan Maluku pada abad ke 16. Masuknya agama Islam melalui pedagang – pedagang dari Aceh, Malaka, dan Gresik pada abad ke 14 dan abad ke 15 turut memperkenalkan bentuk pemerintahan yang lebih rapi dan teratur seperti pada Kesultanan Ternate, Tidore, serta Jailolo.
            Pada tahun 1512, bangsa Portugis yang telah menemukan jalan ke Maluku dan menjalin persahabatan dengan Kesultanan Ternate, diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikapoli dan Hitu Lama serta Mamala. Sembilan tahun kemudian Spanyol mulai menapakan kaki di Kepulauan Maluku dan mendirikan benteng Tidore. Pada tahun 1570, karena kalah perang dengan Kesultanan Ternate yang diperintah Sultan Baabullah, Portugis diusir dari Ternate dan pindah ke Ambon. Bangsa Belanda pun mulai mengincar Maluku dan membantu Hitu dalam perang melawan Portugis di Ambon dan pada akhirnya Portugis harus terpaksa menyerahkan benteng pertahanannya yang ada di Ambon kepada Belanda demikian juga dengan benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram. Sejak saat itu Belanda menguasai sebagian besar Kepulauan Maluku. Posisi Belanda makin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, sehingga Belanda praktis menjadi pemegang monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Guna memperkuat kedudukannya di Maluku, Belanda membentuk badan administrative yang disebut Governement van Amboina. Demikian pula dengan di Banda, Kei, Aru, Tanimbar, serta Teon-Nila-Serua yang berada di bawah pengawasan Governement van Banda. Sistem monopoli yang ditetapkan Belanda dalam perdagangan rempah-rempah lambat laun mengundang perlawanan rakyat Kepulauan Maluku terhadap Belanda. Pada tahun 1817 pecah perang terhadap Belanda yang lebih dikenal dengan perang Pattimura di mana rakyat Maluku bangkit melawan Belanda di bawah pimpinan Thomas Matulessy yang mendapat gelar Kapitan Pattimura. Pattimura di tangkap dan dihukum gantung di benteng  Fort Niew Victoria  Ambon. Memasuki abad ke 20 perlawanan terhadap penjajah bergeser ke perlawanan politik. Pengaruh Boedi Oetomo 1908 serta keterlibatan pemuda Maluku dalam sumpah pemuda 1928 membuktikan pemuda–pemuda Maluku yang tergabung dalam Jong Ambon juga berperan aktif dalam perjuangan untuk merdeka. Sebelum itu di tahun 1920 Alexander Jacob Patty mendirikan Organisasi Politik masyarakat Ambon di semarang yahng terang–terangan menentang Belanda. 1925 Jacob Patty di tangkap dan dibuang ke bengkulu dan kedudukannya di ganti oleh Mr. J. Latuharhary. Setelah proklamasi Provinsi Maluku masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 19 agustus 1945.
B.  Letak Geografis Maluku
Dengan ditetapkannya Undang –Undang RI No 46 Tahun 1999 tentang pembentukan pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, secara geografis Provinsi Maluku terletak antara 30- 80 3 Lintang Selatan dan 125045 - 1350 Bujur Timur dengan luas wilayah 712.479,69 Km2 terdiri dari 658.294,69 Km2 lautan dan 54.185 Km2 daratan.[22]
Melalui Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru, maka secara administrasi Provinsi Maluku terbagi atas tujuh Kabupaten dan satu Kota, yaitu Kabupaten Buru, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dan Kota Ambon. Secara geografis Provinsi Maluku berbatasan dengan :
Ø  Sebelah Utara     : Provinsi Maluku Utara
Ø  Sebelah Selatan : Negara Timor Leste dan Australia
Ø  Sebelah Timur     : Provinsi Papua
Ø                Sebelah Barat  : Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi   Tengah





Gambar. 02 Peta Provinsi Maluku
Sumber Google.com

Kepulauan Maluku beriklim tropis dan iklim mozon dimana iklim inin sangat dipengaruhi oleh lautan yang luas dan berlangsung seirama dengan musim yang ada. Suhu rata – rata pada tahun 2010 sesuai data klimatologi hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika stasiun Meteorologi Pattimura Ambon, Tual dan Saumlaki masing – masing sebesar 27,4 C, 27,7 C dan 27,7 C. Suhu Minimum masing – masing sebesar 24,5 C, 24,5 C dan 24,9 C, sedangkan maksimum masing – masing sebesar 30,5 C, 31,4 C dan 31,2 C.
            Kelembaban nisbi udara sesuai pencatatan Stasiun Meteorologi Ambon rata – rata sebulan dalam tahun 2010 adalah 83% dimana terendah pada bulan Januari sebesar 72% dan tertinggi pada bulan Juli dan Agustus sebesar 87%. Sesuai pencatatan peralatan meteorologi Tual pada tahun yang sama rata – rata sebulan adalah 87% dimana terendah pada bulan Januari sebesar 85% dan tertinggi pada bulan April sebesar 90%. Sedangkan sesuai pencatatan peralatan Meteorologi Saumlaki pada tahun yang sama rata – rata sebulan 82% dimana terendah pada bulan Januari sebesar 77% dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 87%.
Tabel. 03 Jumlah Penduduk Maluku
Nama Kabupaten/Kota
Jumlah Penduduk
Kota Ambon
302. 526
Maluku Tengah
393.439
Buru
106.774
Buru Selatan
54.679
Seram Bagian Barat
166.154
Seram Bagian Timur
128.050
Kepulauan Aru
89.633
Kota Tual
68.523
Maluku Tenggara
127.106
Maluku Tenggara Barat
103.088
Maluku Barat Daya
70.831
                       BPS 2010, Maluku dalam Angka

Jumlah Penduduk Maluku pada tahun 2010 berjumlah 1.610.803 jiwa. Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh Kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku serta Pedagang Arab di pesisir Pulau Ambon dan sekitarnya sebelumnya. Tempat ibadah di Provinsi Maluku pada tahun 2010 adalah Mesjid 1.188 buah, Gereja 1.022 buah, Pura 10 buah dan Wihara 4 buah. Sedangkan Pemeluk agama Islam sebesar 50,03 persen, Kristen Protestan sebesar 39,04 persen, Kristen Katholik 10,06 persen, Hindu 0,20 persen dan Budha 0,03 persen dan lainnya 0,65.
C.  Pemerintahan Provinsi Maluku
Maluku merupakan salah satu provinsi tertua dalam sejarah Indonesia Merdeka. Daerah ini dinyatakan sebagai Provinsi bersama tujuh daerah lain, yaitu: Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera, dan Sulawesi, pada tanggal 19 Agustus 1945. Ibu Kota Provinsi Maluku adalah Kota Ambon dengan 10 Kabupaten.
Tabel. 04 Kabupaten/Kota di Maluku
Nama Kabupaten/Kota
Ibu Kota
Kota Ambon
-
Maluku Tengah
Masohi
Buru
Namlea
Buru Selatan
Namrole
Seram Bagian Barat
Piru
Seram Bagian Timur
Bula
Kepulauan Aru
Dobo
Kota Tual
-
Maluku Tenggara
Langgur
Maluku Tenggara Barat
Saumlaki
Maluku Barat Daya
Wonreli
                         Sumber: Biro Pemerintahan Sekretaris Daerah Maluku
Daerah Maluku yang ditetapkan sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama tujuh provinsi lain pada tanggal 19 agustus 1945 dipimpin oleh seorang Gubernur, yaitu Mr. J.J. Latuharhary.
Tabel. 05 Gubernur Maluku
Nama Gubernur
Periode
Mr. J.J. Latuharhary
1950 – 1955
M. Djosan
1955 – 1960
Muhammad Padang
1960 1965
G.J. Latumahina
1965 – 1968
Soemitro
1968 – 1973
Soemeru
1973 – 1975
Hasan Slamet
1975 – 1985
Sebastian Soekoso
1985 – 1993
M. Akib Latuconsina
1993 1998
Dr. M. Saleh Latuconsina
1998 2003
Brigjen TNI (Purn) Karel Albert Ralahalu
2003 – 2013
Sumber: Maluku dalam Angka 2010








Gambar. 03 Logo Pemerintahan Provinsi Maluku
Sumber. Google.com

Arti logo pemerintah Provinsi Maluku :
  1. Sagu, Padi, Cengkeh dan Kelapa, adalah lambang kehidupan.
  2. Mutiara, adalah lambang Kekayaan alam.
  3. Tombak, adalah lambang Ksatria.
  4. Gunung, adalah lambang Keperkasaan dan kekayaan alam yang melimpah.
  5. Motto Siwa Lima (Milik bersama), adalah Atas Dasar Siwa Lima, memupuk persatuan dan kesatuan untuk mencapai kesejahteraan bersama.
D. Pertanian Pangan di Maluku
Daya dukung lahan untuk pembangunan terutama yang sesuai bagi pembangunan pertanian adalah luas lahan yang  sesuai bagi pembangunan pertanian dan perkebunan berdasarkan persyaratan yang dikehendaki komoditas yang akan diusahakan. Ketersediaan sumberdaya lahan di Provinsi Maluku relatif terbatas, karena kondisi geografis wilayah yang mencirikan Provinsi Maluku sebagai daerah kepulauan, dengan luas laut yang lebih luas dari daratan.



Tabel. 06 Luas areal, produksi Padi di Maluku 2010
Komoditi/Kabupaten/Kota
Luas Areal Tanam
(Ha)
Luas Panen
(Ha)
Provitas
(Kw/Ha)
Produksi
(Ton)
PADI SAWAH

  • Maluku Tenggara Barat
  • Maluku Barat Daya
  • Maluku Tenggara
  • Maluku Tengah
  • Buru
  • Buru Selatan
  • Kepulauan Aru
  • Seram Bagian Barat
  • Seram Bagian Timur
  • Kota Ambon
  • Kota Tual
18,668

-
-
-
   5,017
10,377
-
-
   2,491
784
-
-


17,779

-
-
-
4,778
9,883
-
-
2,372
746
-
-
43.61

-
-
-
44.01
44.82
-
-
43.02
42.58
-
-
77,532

-
-
-
21,028
44,269
-
-
10,204
3,178
-
-
PADI LADANG

  • Maluku Tenggara Barat
  • Maluku Barat Daya
  • Maluku Tenggara
  • Maluku Tengah
  • Buru
  • Buru Selatan
  • Kepulauan Aru
  • Seram Bagian Barat
  • Seram Bagian Timur
  • Kota Ambon
  • Kota Tual
2,577

1,220
523
226
257
106
78
74
32
45
-
17
2,454

1,162
498
215
245
101
74
14
72
57
-
16
22.73

22.73
23.35
21.68
23.39
23.37
22.56
22.05
22.59
22.78
-
22.33
5,577

2,711
1,080
503
573
234
167
154
68
98
-
36
Sumber. Dinas Pertanian Maluku





Tabel. 07 Luas Areal dan Produksi Sagu 2011
Nama Kabupaten/Kota
Luas Areal (ha)
Persiapan Pohon ditebang (phn/thn)
Pohon masak ditebang
(phn/thn)
Maluku Tengah
5,004
315,094
185,306
Seram Bagian Barat
6,338
356,883
267,917
Seram Bagian Timur
36,075
2,065,125
1,542,375
Buru
1,312
78,336
52,864
Buru Selatan
1,287
76,260
52,440
Kepulauan Aru
1,130
72,540
40,460
Maluku Tenggara
Belum ada data
Belum ada data
Belum ada data
Maluku Tenggara Barat
Belum ada data
Belum ada data
Belum ada data
Kota Ambon
Belum ada data
Belum ada data
Belum ada data
Kota Tual
Belum ada data
Belum ada data
Belum ada data
Maluku Barat Daya
Belum ada data
Belum ada data
Belum ada data
Sumber: Dinas Pertanian Maluku dan BKP
Pada masa Revolusi Hijau dimana terjadi penyeragaman pangan ke beras, dimana beras menjadi komoditas pangan yang diutamakan Provinsi Maluku juga terkena imbasnya. Daerah Maluku yang merupakan daerah kepulauan “terkesan dipaksakan” untuk ditanami padi sehingga potensi lokal seperti sagu mulai terpinggirkan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Pulau Buru yang tadinya dijadikan sebagai tempat pengasingan tawanan X- Pengikut PKI berhasil dijadikan program pemerintah sebagai lumbung padi Provinsi Maluku. Namun jika dicermati produksi padi di Maluku kadang tidak mencukupi tingkat konsumsi beras masyarakat Maluku, sehingga harus mengimport beras dari daerah lain, padahal potensi lahan sagu di Maluku sangatlah besar. Pengabaian potensi lokal dan pemfokusan pangan ke beras sehingga data tentang lahan sagu serta produksi sagu kurang digali oleh pemerintah setempat padahal hampir setiap daerah di Maluku terdapat kawasan sagu yang tumbuh secara alamiah.
E.  Sejarah Politik Pangan di Indonesia
a.  Politik Pangan Kerajaan Mataram
            Sudah sejak lama beras digunakan sebagai komoditas politik. Catatan yang lengkap soal itu setidaknya diketahui sesama Kerajaan Mataram, abad ke-16 sampai 18. Para raja yang  berkuasa menyadari beras merupakan simbol stabilitas ekonomi dan politik. Jika terjadi masalah dengan produksi beras, pasti adapula masalah dengan kekuasaan. Sebaliknya, kerajaan dan raja akan di agung – agungkan bila masalah beras bisa di kendalikan.
            Secara parsial dan terpisah – pisah kita bisa meneliti berbagai aspek seperti politik beras dan politik pangan. Buku babad tanah jawi [23]yang digunakan untuk membahas politik beras Kerajaan Mataram yang diterbitkan berbahasa Indonesia oleh Yayasan Lontar.  Sejak awal berdiri kerajaan Mataram, beras telah menjadi komoditas politik. Keamanan pasokan beras merupakan salah satu sendi penyokong kekuasaan Ki Ajeng Pemanahan, pendiri kerajaan Mataram. Pada mulanya, Pemanahan mengalah mendapatkan tanah mataram yang disebutkan masih berwujud hutan ketika mendirikan mataram dibandingkan dengan daerah lain yang subur. Berkat kepemimpinan mataram bisa diubah menjadi kawasan pertanian. Mataram menjadi negeri yang makmur, banyak orang datang, sandang pangan murah, dan sawah berlimpah. Penguasa zaman dulu menggunakan beras sebagai indikator stabilitas ekonomi dan politik serta pencapaian kemakmuran. Sebaliknya, tanda-tanda keruntuhan sebuah rezim juga selalu terkait dengan morat-maritnya pasokan pangan.
            Serbuan pasukan Trunajaya dari Madura mengakibatkan Mataram porak-poranda. Raja Amangkurat I terpaksa mengungsi hingga wafat. Situasi ini ditandai dengan banyak Punggawa  kekurangan pangan. Ketika itu hujan belum turun sehingga pangan sangat kurang. Negeri Mataram menjadi Negeri yang amat menyedihkan.
            Persoalan beras juga menjadi persoalan kewibawaan karena tidak mampu menyediakan beras murah. Dalam  Babad Tanah Jawi  itu disebutkan sang raja dirundung kesusahan karena banyak prajurit kecil yang sakit demam. Raja memandang harga pangan yang mahal akan mengakibatkan ia dipandang hina oleh rakyatnya. Kalau situasi tidak pulih kerajaan akan dipandang rendah.
            Beras juga digunakan sebagai bagian dari strategi perang. Jauh sebelum Sultan Agung menyerbu Batavia, penaklukan sejumlah daerah oleh Mataram, seperti sejumlah kabupaten di wilayah timur, selalu memperhitungkan pasokan pangan oleh pasokan yang hendak menyerbu,. Disamping pengetahuan tentang jalan yang memadai. Pasukan rahasia selalu diminta mencari daerah yang rata, aman, dan beras murah sebelum mereka melakukan penyerbuan. Perhitungan tempat yang dijadikan penyangga pangan selalu dilakukan. Jepara salah satu contoh yang dijadikan tempat untuk penyangga pangan. Meski demikian, Mataram gagal melihat beras sebagai komoditas diplomasi. VOC bisa memanfaatkan beras untuk diplomasi. Ketika Pakubuana I hendak menguasai Kartasura, ia bersekutu dengan VOC. Kesalahan diplomasi Pakubuana I telah terjadi sejak awal ketika VOC meminta imbal jasa atas partisipasinya.dalam penyerbuan ke Kartasura. Politik beras dilakukan kerajaan Mataram semakin menyakinkan kita komoditas beras adalah strategis. Setiap penguasa tidak bisa mengabaikan komoditas ini selama makanan pokok kita adalah beras. Pelajaran dari Mataram adalah: pemerintahan yag kuat terlihat dari kedisiplinannya dalam mengelola komoditas pangan.
b.  Politik Pangan Era Soekarno
            Keputusan- keputusan dan pandangan hidup Presiden RI pertama Soekarno telah banyak digali. Salah satu yang belum banyak digali adalah pandangan dan keputusan Soekarno ketika menghadapi krisis pangan. Hal ini telah menjadi aktual  ketika dunia dan juga Indonesia tengah menghadapi krisis pangan. Buku berjudul “Di bawah Bendera Revolusi” yang ditulis oleh Soekarno mengisyaratkan kegelisahannya terhadap rakyat yang kesulitan pangan pada tahun 1932-1933. Soekarno juga memunculkan topik permasalahan pangan, salah satu topik yang sempat diperdebatkan adalah “mana jang lebih baik, beras atau djagung, dan mengapa?´  
            Soekarno menghadapi krisis pangan dengan bekerja sama dengan menghadapi masalah ekonomi. Pasukan Jepang menghadapi persoalan beras yang rumit sehingga meminta bantuan Soekarno untuk menyediakan beras. Soekarno berpikir lebih baik menyediakan beras kepada Jepang dengan begitu rakyat tidak mendapat siksa dari Jepang. Namujn kesulitan pangan muncul di mana – mana dan Jepang berusaha merampas beras dari rakyat sehingga hanya segelintir orang yang bisa memiliki beras. Kerwanan pangan yang terjadi membuat Soekarno menghimbau rakyat agar memproduksi pangan selain beras.
            Saudara-saudara kaum wanita, dalam waktu saudara-saudara jang teluang, kerdjakanlah seperti jang dikerdjakan Ibu Inggit dan saja sendiri. Tanamlah djagung. Di halaman muka saudara sendiri saudara dapat menanamnya djukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara,” [24]
            Pada masa berikutnya Soekarno mulai memikirkan masalah pangan secara politis. Sebuah dokumen rapat dari Dewan Penasehat Pemerintah untuk Pemerintah Militer Jepang di Hindia Belanda tertanggal 8 Januari 1945 “Sidang Kabinet Pertama” membahas kebijakan beras. Soekarno mulai mempelajari angka-angka produksi beras. Krisis pangan yang melanda tidak mendorong Soekarno membuat program bantuan. Keadaan tidak mengimpor beras dan memanfaatkan pangan pengganti memang memperlihatkan sebuah upaya untuk kemandirian pangan.
c.  Penyeragaman Pangan Ke Beras di era Orde Baru
            Orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto kebijakan pertanian merupakan kebijakan pokok setelah upaya pemulihan ekonomi. Kebijakan harga terutama komoditas pertanian menjadi konsentrasinya tertutama untuk mengendalikan harga setelah perekonomian morat-marit pasca tragedi 30 september 1965. Soeharto berkeyakinan stabilitas pangan merupakan fondasi bagi stabilitas politik. Langkah pertama ketika Soeharto berkuasa adalah meningkatkan produksi padi. Pada saat yang bersamaan di kalangan dunia pertanian tengah muncul upaya yang disebut Revolusi Hijau untuk menggenjot produksi pangan. Soeharto membuka investasi asing untuk meningkatkan produksi padi, memperkuat kebijakan pertanian dengan membuat kebijakan harga gabah. Pertanian menjadi program prioritas yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[25] Kebijakan pertanian pada masa awal kekuasaan Soeharto mengundang investasi asing untuk meningkatkan produksi padi melalui gerakan Revolusi Hijau cenderung membiarkan kekuatan asing mencengkram Indonesia dengan hutang luar negeri. Kebijakan pertanian yang berorientasi pada kebijakan pertanian padi pola jawa dinilai sangat merugikan karena dinilai mematikan diversifikasi pangan yang sangat dirasakan akibatnya. Tanah diluar Jawa yang sebenarnya tidak cocok untuk tanaman padi  dipaksa ditanami padi hingga potensi pangan lokal mati. Ketergantungan penduduk di daerah  yang bukan penghasil beras terhadap beras menjadi permasalahan yang berujung pada kerawanan pangan. Ketergantungan terhadap pangan beras dan kebutuhan beras yang tidak mencukupi memaksa pemerintah harus mengimpor beras.





BAB V
HASIL PENELITIAN
A.   Implementasi Perda No 04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku
Ketergantungan pangan masyarakat Maluku terhadap beras sering kali membuat Provinsi Maluku harus bergantung pada daerah lain guna pemenuhan kebutuhan beras. Tingginya ketergantungan pada beras di daerah Maluku terjadi oleh karena politisasi beras pada masa Soeharto. Ketersediaan beras di gudang Bulog kerap di jadikan basis ketahanan pangan di level propinsi maupun kabupaten. Hal ini mengindikasikan pengutamaan beras sebagai indikator ekonomi nasional. Beras telah menjadi sumber pangan dominan di Indonesia.
Menurut Syuryadi Sabirin:
“Daerah ini masih kekurangan beras sebanyak 60 ribu ton per tahun, sementara produksi beras di Maluku baru mencapai 58.000 ton/tahun dan tidak mencukupi 1,6 juta penduduk di daerah ini, karena jumlah konsumsi beras mencapai 133.000 ton/tahun,”[26]

Hanya ada dua pulau saja yang bisa dikembangkan tanaman padi, yakni pulau buru dan Seram. Pulau lain tidak bisa dikembangkan menjadi lahan persawahan karena resistensinya sangat tinggi. Sehingga membuat Maluku harus menutupi kekurangan beras dengan mengimpor beras dari luar daerah, hal ini juga diungkapkan Ramli Hasan:
Jika maluku kekurangan beras maka biasanya kami ambil dari surabaya, sulsel, dan import.[27]
Pertumbuhan produksi relatif kecil khususnya beras dan belum mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan yang semakin meningkat. Adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Maluku walaupun masih relatif kecil merupakan ancaman dalam rangka pengembangan penyediaan pangan. Pergeseran pola konsumsi dari non beras ke beras karena akan dibutuhkan penyediaan yang semakin besar, sedangkan kapasitas produksi relaltif kecil. Seiring dengan otonomi daerah, maka setiap level daerah dapat menyusun strategi dan kebijakan ketahanan pangan yang paling sesuai dengan karakter wilayah dan ekologinya. Menurut Anggota Komite II DPD RI Etha Aisha Hentihu seperti yang dikutip Koran Harian Siwalima:
Maluku harus melihat fenomena ini sebagai peringatan keras sehingga langkah-langkah strategis segera di ambil guna mengurangi ketergantungan Maluku terhadap beras.”[28]
Kebijakan dan program pada dasarnya terdiri dari rencana kongkrit, guna mempercepat laju pengembangan daerah ini. Terkhususnya pada bidang ketahanan pangan yang mewujudkan ketahanan rumah tangga yang mandiri, berbasis pada kepulauan dan sumber daya lokal secara efektif dan berkelanjutan.
Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melaksanakan kembali diversifikasi pangan menuju produksi dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman, serta yang terpenting adalah berbasiskan sumberdaya lokal. Diversifikasi pangan akan mempunyai nilai manfaat yang besar apabila mampu menggali, mengembangkan dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber pangan lokal yang ada dengan tetap menjunjung tinggi hak atas pangan sebagai hak dasar manusia dan kearifan lokal. Sehingga harus segera dirumuskan langkah-langkah nyata tentang bagaimana memaksimalkan sumber pangan lokal ketimbang harus membeli beras diluar daerah, selain menghabiskan devisa, ini membahayakan perekonomian daerah karena tidak ada kemandirian pangan. Langkah-langkah srategis pembangunan ketahanan pangan kemudian ditindaklanjuti oleh langkah-langkah operasinal yaitu dengan melaksanakan program pulau mandiri pangan, dalam konsep ini pengembangan dilakukan pada setiap pulau-pulau kecil sehingga diharapkan masyarakat di setiap pulau kecil mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Seperti yang diungkapkan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu:
“untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada, maka Pemprov Maluku memiliki strategi pengembangan yaitu, percepatan diverifikasi pangan lokal.”[29]
Dari pemikiran inilah Pemerintah Provinsi Maluku untuk membentuk Badan Ketahanan Pangan Maluku dan kemudian dijadikan Perda No 04 tahun 2010 Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku (BKP) dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi ketahanan pangan. “Badan Ketahanan Pangan adalah merupakan unsur pendukung tugas Gubernur di bidang ketahanan pangan,[30] Badan Ketahanan Pangan mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang ketahanan pangan.”[31]
BKP awalnya berada di bawah pengawasan langsung Dinas Pertanian Maluku, yang dulunya hanyalah bidang ketahanan pangan. Namun oleh karena ketahanan pangan menjadi isu sentral maka bidang ketahanan pangan diberikan kemandirian guna melaksanakan tugas dalam pemenuhan pangan di Provinsi Maluku.  Menurut Ramli Hasan:
“bulog dan BKP saling bekerja sama dalam menciptakan ketahanan pangan, namun secara prosedural berbeda, bulog lebih kepada penyediaan logistik beras, dan menentukan  harga beras. Sedangkan BKP itu lebih mengutamankan ketahanan pangan berbasis lokal” [32]
BKP Maluku meskipun diberikan Kemandirian dalam pelaksanaan tugas penganekaragaman pangan namun sering kali melakukan fungsi kordinasi dengan dinas-dinas lain, seperti dinas pendidikan, dinas pertanian dan dinas kesehatan.





Gambar. 04 Struktur Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku
Sumber Badan Ketahanan Pangan
Badan Ketahanan Pangan Maluku mengemban misi dalam tahun 2010 - 2014, yaitu:
  1. Peningkatan kualitas pengkajian dan perumusan kebijakan pembangunan ketahanan pangan;
  2. Pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan masyarakat, daerah, dan nasional;
  3. Peningkatan koordinasi dalam perumusan kebijakan, dan pengembangan ketahanan pangan, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaannya.
Adapun tujuan BKP Maluku adalah Memberdayakan masyarakat agar mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang dikuasainya untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan, dengan cara:
  1. Meningkatkan ketersediaan dan cadangan pangan dengan mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya/dikuasainya secara berkelanjutan;
  2. Membangun kesiapan dalam mengantisipasi dan menanggulangi kerawanan pangan di Maluku;
  3. Mengembangkan sistem distribusi, harga dan akses pangan untuk turut serta memelihara stabilitas pasokan dan harga pangan bagi masyarakat Maluku;
  4. Mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi guna meningkatkan kualitas SDM dan penurunan konsumsi beras perkapita;
  5. Mengembangkan sistem penanganan keamanan pangan segar.
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan merupakan amanah dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal dan dijabarkan secara lebih rinci dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.  Sama halnya yang diungkapkan S.M. Talla:
 karena adanya kebijakan Mentri pertanian untuk penurunan konsumsi beras 1,5 per tahun dan kemudian peraturan presiden No 22 tahun 2009 tentang penganekaraman pangan, maka BKP pun mengemban tugas itu.”[33]
Sehingga sasaran makro BKP Maluku yang hendak dicapai dalam pemantapan ketahanan pangan Tahun 2010-2014, meliputi: 
  1. Makin berkurangnya jumlah penduduk rawan pangan minimal 1% setiap tahun;
  2. Menurunnya konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 1,5 % dan mengutamakan pangan lokal.
  3. Tercapainya peningkatan distribusi pangan yang mampu menjaga harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat.



Dari peta tersebut (dapat dilihat di lampiran) menggambarkan daerah-daerah yang memiliki tingkat masalah kerawanan pangan serius. Salah satu program pemerintah daerah adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan, kelaparan lebih kepada ketersediaan pangan bagi masyarakat. Selain karena  lahan pertanian di Maluku secara keseluruhan tidak cocok ditanami padi, distribusi pangan beras seringkali terkendala dengan medan letak geografis daerah Maluku yang merupakan daerah kepulauan. Hal senada juga di ungkapkan  Ramli Hasan:
Kalau tercapai penganekaragaman pangan, kita tidak perlu lagi mengambil beras dari daerah lain, karena ini juga sering memakan ongkos transportasi, apalagi Maluku daerah kepulauan dan jika cuaca tidak mendukung distribusi terhambat”[34]
BKP  perlu meminimalkan berbagai ancaman yang selalu dan akan muncul dalam pelaksanaan kegiatan kewaspadaan pangan adalah sebagai berikut :
a) Kerawanan pangan dan gizi biasanya terjadi pada masyarakat miskin yang tinggal di lingkungan yang kurang memadai. Kerawanan pangan di Maluku terdiri dari rawan pangan kronis dan rawan pangan transien. Rawan pangan kronis adalah keadaan kekurangan pangan yang berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu yang dapat disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Sedangkan rawan pangan transien adalah disebabkan oleh kondisi yang tidak terduga seperti terjadinya bencana alam.
b) Kondisi iklim yang tidak menentu mempengaruhi proses produksi, ketersediaan dan akses masyarakat terhadap pangan. Kondisi dimaksud adalah terbatasnya curah hujan, hari hujan, kekeringan dan juga bencana alam.
Raskin ( akronim dari beras miskin ) adalah sebuah program bantuan pangan bersyarat diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia berupa penjualan beras di bawah harga pasar kepada penerima tertentu. Penyaluran Raskin sudah dimulai sejak 1998. Krisis moneter tahun 1998 merupakan awal pelaksanaan Raskin yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Pada awalnya disebut program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi Raskin mulai tahun 2002, Raskin diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat.
Beberapa kendala dalam pelaksanaan Raskin selama ini terutama dalam pencapaian ketepatan indikator maupun ketersediaan anggaran. Sampai dengan saat ini, jumlah beras yang akan disalurkan baru ditetapkan setelah anggarannya tersedia. Selain itu ketetapan atas jumlah beras raskin yang disediakan juga tidak selalu dilakukan pada awal tahun, dan sering dilakukan perubahan di pertengahan tahun karena berbagai faktor. Hal ini akan menyulitkan dalam perencanaan penyiapan stoknya, perencanaan pendanaan dan perhitungan biaya-biayanya.  Pelaksanaan penyaluran Raskin seringkali dipolitisasi dan menjadi tempat korupsi, untuk kasus Maluku, korupsi Raskin yang terdeteksi terjadi di Seram Bagian Barat dan Tual. “Kerugian negara mencapai Rp 300 juta rupiah lebih, dimana masing-masing camat itu meraup sekitar 80 juta lebih,” tandas Kacabjari Piru, Marvie de Queljoe kepada Siwalima”[35] Kasus penyalahgunaan Raskin di SBB terdapat di empat kecamatan yang merupakan wilayah sasaran penyaluran yakni Kecamatan Inamoso, Kecamatan Elpaputih, Kecamatan Kairatu dan Kecamatan Amalatu. Empat kecamatan ini merupakan wilayah sasaran bantuan penerima subsidi Raskin tahun 2010 dari pemerintah. Sedangkan di Kota Tual korupsi penyimpangan beras raskin 3,4 milliar yang melibatkan tersangka mantan Kepala Gudang Dolog Tual.[36]
Daerah Maluku yang merupakan daerah kepulauan menjadi hambatan penyaluran Raskin ke pulau-pulau terpencil politisasi penyaluran raskin terjadi oleh karena adanya kepentingan politik untuk lebih fokus daerah pemilihan atau basis massa politik. Seperti yang diungkapkan Abraham Malioy:
Politik pangan akan selalu terkait dengan legislatif. Biasanya ada penolakan, karena bukan daerah politiknya, seakan-akan dipaksakan, biasanya dipakai sebagai ajang politik, kau menangkan saya, maka saya akan mendistribusi raskin”[37]
Penyaluran Raskin di Maluku juga terkendala dengan tunggakan hutang. Hingga 21 Nopember 2011, tercatat tunggakan raskin beberapa kabupaten dan kota di Maluku mencapai Rp 8 miliar. Tunggakan tersebut meliputi tahun 2008, 2009, 2010 dan 2011. Kepala Bidang Penyaluran Perum Bulog Divre Maluku, Tugio menjelaskan, dari 11 kabupaten dan kota yang ada di Maluku pada umumnya membayar tunggakan secara cicilan, bahkan ada kabupaten yang belum membayar sama sekali, karena itu kami belum salurkan ke daerah tersebut. Ini juga diungkapkan Ramli Hasan:
"Kami tidak berani untuk salurkan kepada kabupaten yang belum melunasi tunggakan, karena sistem yang digunakan Bulog saat ini yakni 'cash and carry' (uang dulu baru beras diberikan)”[38]
Jika hutang belum terbayarkan maka distribusi beras tidak akan dikirim, ketahanan pangan masyarakat terkena dampaknya, apalagi pola konsumsi pangan masih bergantung pada beras. “Banyak orang merasa rendah diri jika mengkonsumsi pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian, padahal pangan non beras ini juga memiliki nilai gizi yang tinggi jika diolah secara baik,” [39]

 Dampak penguatan ketahanan pangan berbasis lokal, sangat baik, karena dapat meningkatkan potensi lokal sebagai bahan konsumsi pangan, Bulog akan terbantu oleh karena tidak terlalu banyak menyediakan beras, dan konsumsi pangan masyarakat bisa beralih ke pangan lokal selain menghabiskan devisa, ini membahayakan perekonomian daerah karena tidak ada kemandirian. Pemerintah daerah dalam hal ini BKP harus memaksimalkan sumber pangan lokal ketimbang harus membeli beras diluar daerah. Menurut Melkias L. Frans :
“Kita harus mandiri pangan dengan pangan lokal kita, pada waktu-waktu tertentu akses beras ke pulau-pulau susah, dan jika masih bergantung pada beras, dan apa kita harus menunggu sampai beras itu datang, itu konyol.” [40]
Hal senada juga diungkapkan Abdulah Tuanaya:
“ketersediaan lahan untuk pangan lokal seharusnya dapat diberdayakan, dan itu merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Daerah. Jika masyarakat belum melihat kearah itu, namun pemerintah seharusnya dapat lebih jeli melihat persoalan tersebut. Sebab, sebetulnya, hal itu merupakan sebuah persoalan yang besar.”[41]
Sebenarnya jika dicermati yang sering terjadi di Maluku bukanlah rawan pangan jika melihat ketersedian pangan lokal yang ada, melainkan krisis beras, karena rata-rata pangan masih selalu diidentikan dengan ketersediaan beras dan pola konsumsi beras tinggi dan ketika beras tidak tersedia rawan pangan “semu” itu terjadi. Krisis beras terjadi diakibatkan cuaca buruk sehingga mengakibatkan sulitnya akses transportasi untuk menyalurkan beras ke beberapa kabupaten yang hanya bisa didatangi dengan kapal laut. Seperti yang diungkapkan S.M Talla:[42]
"Biasanya krisis beras di beberapa daerah di Maluku terjadi sekitar Desember-Februari karena cuaca buruk yang mengakibatkan gelombang tinggi dan angin kencang, sehingga kapal yang biasanya menyalurkan beras tidak melewati jalur biasanya
Kondisi inilah yang membuat BKP mulai memetakan daerah pangan sesuai potensi pangan lokal di tiap-tiap daerah. Maluku Tengah, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Kepulauan Aru, Buru Selatan, Maluku Barat Daya diupayakan memaksimalkan sagu sebagai pangan lokal, sedangkan Maluku Tenggara dan Kota Tual memaksimalkan konsumsi singkong. Mengantisipasi adanya krisis beras, BKP Maluku telah menyediakan Rp 6 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan untuk menggalakkan program pengembangan pulau mandiri pangan berbasis makanan pokok lokal orang Maluku. Seperti yang dikatakan Syuryadi Sabirin:
“anggaran tersebut untuk menggalakkan sagu, serta pangan lokal lainnya jagung dan umbi-umbian sesuai potensi, karakteristik dan luas lahan di masing - masing kabupaten/kota,"[43]
BKP pun memanfaatkan 10 persen dari total Dana Alokasi Khusus (DAK) Departemen Pertanian (Deptan) sebesar Rp33,2 miliar untuk membangun lumbung pangan di sembilan kabupaten di Maluku. Diversifikasi pangan ini sengaja dilakukan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras minimal 1,5 persen per tahun. Dalam konteks penyediaan pasokan, diversifikasi adalah salah satu cara adaptasi yang efektif untuk mengurangi risiko produksi akibat perubahan iklim dan kondusif untuk mendukung perkembangan industri pengolahan berbasis sumberdaya lokal. Pada sisi konsumsi, diversifikasi pangan memperluas spektrum pilihan pangan dan kondusif untuk mendukung terwujudanya pola pangan harapan. Pendek kata, diversifikasi pangan dapat mendukung stabilitas ketahanan pangan sehingga dapat dipandang sebagai salah satu pilar pemantapan ketahanan pangan. Oleh karena itu akselerasi diversifikasi pangan sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 22 Tahun 2009 harus dapat diwujudkan.
Badan Ketahanan Pangan Maluku diminta melakukan sosialisasi untuk mengubah pola konsumsi masyarakat dari ketergantungan pada beras aneka pangan lokal. Badan Ketahanan Pangan Maluku pun mengusulkan untuk mengubah Raskin Menjadi Pangkin (Pangan Miskin). pangkin sudah mencakup semua, baik beras maupun umbi-umbian. BKP mencoba melihat kembali kearifan lokal dalam bidang pangan, sehingga tidak ada lagi desa rawan pangan jika konsumsi lokal bisa dimanfaatkan. Seperti yang diungkapkan Syuryadi Sabirin:
“Kalau raskin kita mengikuti pola konsumsi jawa, orang kontinental,sedangkan kita kepulauan yg sering diisolasi. Maka maluku yang mengusulkan pangkin, struktur maluku secara keseluruhan tidak cocok untuk persawahan.”[44]
Kebijakan pangan miskin, karena BKP ingin menciptakan ketahananan pangan lokal dan disversifikasi pangan. Secara karakterisktik wilayah kebanyakan maluku lebih cocok ditanami sagu ketimbang beras. Divesifikasi pangan salah satunya pangan lokal, bagaimana mengamankan pangan agar tidak terjadi kerawanan pangan, baik ketersediaan maupun distribusinya.
Pangkin diprogramkan menggantikan Raskin dengan memanfaatkan bahan pangan lokal. Program Pangkin itu merupakan hasil dari seminar yang diselenggarakan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan thema "Membangun Sinergi Sistem Penguatan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Pangan di Daerah Kepulauan Indonesia Timur" di Ambon pada 19 Juli 2011. Dengan keputusan Kementerian Pertanian yang menetapkan Maluku menjadi proyek percontohan pangan untuk orang miskin (Pangkin) pada 2012.
Pihak Kementan masih terus melakukan kajian terkait kemungkinan pemberian beras untuk rakyat miskin (raskin) menjadi program pangan untuk rakyat miskin (pangkin). kajian akan dilakukan dibeberapa derah yang selama ini memiliki budaya mengkonsumsi non beras. Dan pada daerah tersebut, nantinya warga miskin yang selama ini mendapat jatah raskin akan diberikan pangan sesuai dengan jenis pangan lokal pada masing-masing daerah. Andreas Taborat mengatakan:
“hasil pangan lokal seperti umbi-umbian, jagung dan sagu juga memiliki nilai gizi yang tidak kalah dengan beras, sehingga berbagai program diversifikasi pangan lokal yang dikembangkan Badan Ketahanan Pangan (BKP) harus gencar disosialisasikan,"[45]
Sementara permasalahan di daerah ini menyangkut ketahanan pangan adalah pemikiran masyarakat yang selalu tergantung pada beras, dan mengkonsumsi umbi-umbian, jagung dan sagu, statusnya lebih rendah dari makan nasi. Tahap awal pangkin tidak seluruhnya diberikan dalam bentuk pangan lokal, seperti, sagu, jagung dan lainnya, namun sebagian masih diberikan dalam bentuk beras.  BKP akan bekerja sama dengan Bulog dalam mendesain program pangkin, Perum Bulog yang nantinya mendesain kantongnya agar Pangkin terawat sebagaimana Raskin. Taborat mengatakan, “Sehingga komisi B dalam penentuan anggaran belanja daerah tahun lebih fokus untuk mendorong BKP melakukan perubahan pola pikir masyarakat agar tidak terlalu bergantung kepada beras.”
Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan konsumsi pangan semakin tinggi hal ini tidak dapat diharapkan bila suatu daerah atau negara hanya memiliki satu sumber pangan utama seperti beras dikarenakan banyaknya areal persawahan yang dialihfungsikan menjadi areal pemukiman dan industri yang berdampak pada menurunnya produksi beras sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat akan semakin sulit dan harga beras semakin tinggi.
Program Pangkin yang dirumuskan sebagai suatu kebijakan pangan berbasis lokal dengan tujuan mengurangi ketergantungan Maluku terhadap beras, akan efektif jika pemerintah daerah juga memperhatikan dan melestarikan potensi lokal tersebut dalam hal ini sagu. Kecocokan lahan di Maluku dengan siklus tumbuh tanaman sagu belum dimaksimalkan potensinya.
BKP juga mengadakan program Desa Mandiri Pangan, Lumbung Pangan Desa dan Pengembanan Pulau Mandiri Pangan. Dengan program ini ketahanan pangan masyarakat diharapkan terjaga.

Seperti yang diungkapkan S. M  Talla :
“program tersebut sudah berjalan cukup baik. Program Pulau Mandiri Pangan didanai APBD sedang dua program lainnya didanai APBN. Untuk Kota Ambon yang dinilai paling berhasil untuk program Desa Mandiri Pangan yaitu Desa Latuhalat”[46]
Desa Mandiri Pangan diprogramkan untuk desa yang tingkat kemiskinannya minimal 30 persen, sebagaimana survei tim Badan Ketahanan Pangan. Desa yang tergolong miskin, diberikan bantuan dana stimulus Rp 100 juta. Dana tersebut dikelola secara ekonomis untuk menambah income masyarakat. Sedang program Lumbung Pangan Desa, untuk mempersiapkan stok pangan dari bahan lokal. S. M Talla juga mengungkapkan:
“Contohnya beras, pasokannya terbatas, padahal ada sumber pangan lokal seperti sagu, singkong, dan jagung. Maka kita intervensi dengan peralatan pengolah untuk memperpanjang usia simpan bahan tersebut”[47]
Baik Desa Mandiri Pangan maupun Lumbung Pangan Desa diprogramkan selain menjamin ketersediaan pangan di masyarakat juga untuk perputaran ekonomi. Sementara Pulau Mandiri Pangan, sasarannya pulau-pulau kecil di Maluku. Ini khusus untuk mengantisipasi kerawawan pangan jika cuaca dan musim yang berakibat terhambatnya pasokan bahan makanan melalui transportasi laut.
B.   Faktor Faktor Penunjang dan Penghambat BKP dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan berbasis Lokal di Maluku
Dalam mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam akan gagal.
Berdasarkan teori implementasi faktor pendukung implementasi kebijakan harus didukung dan diterima oleh masyarakat, apabila anggota masyarakat mengikuti dan mentaati sebuah kebijakan maka sebuah implementasi kebijakan akan berjalan sesuai tujuan yang telah ditetapkan tanpa ada hambatan-hambatan yang mengakibatkan sebuah kebijakan tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
a.    Faktor Pendukung
Faktor pendukung adalah faktor penentu keberhasilan suatu kebijakan. Dalam konteks ketahanan pangan lokal di Maluku yang menjadi kekuatan BKP dalam menjalankan program kerja sebagai berikut:
    1. Potensi Sagu sebagai Sumber daya Pangan Lokal
Jika dicermati daerah Maluku memiliki Potensi pangan lokal yang mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Maluku. Ketahanan pangan dapat terjadi jika kondisi kondusif dalam mengembangkan penanganan permasalahan pangan, baik di tingkat nasional (makro) maupun daerah (mikro). Ketahanan pangan harus bertumpu pada sumber daya lokal sehingga mampu menghindarkan ketergantungan pada impor.
Sagu berpotensi menjadi cadangan pangan di Maluku karena memiliki nilai karbohidrat yang cukup tinggi dibanding beras. Sagu sebagai pangan lokal sumber karbohidrat ini perlu dikembangkan karena Maluku mempunyai potensi sagu cukup besar Maluku sejak dahulu dikenal sebagai daerah penghasil sagu harus diperkuat kembali, karena ke depan persoalan pangan menjadi masalah yang sangat riskan. Seperti yang diungkapkan Ramli Hasan:
"Salah satu tantangan yang dihadapi saat ini adalah perubahan iklim, karena itu kita tidak bisa mengandalkan sepenuhnya beras menjadi pangan pokok untuk dikonsumsi,"[48]
Apabila kita lihat dari jumlahnya pangan lokal sagu maka stok yang ada cukup untuk mengimbangi beras. Tetapi masyarakat hanya melihat beras sebagai satu-satunya bahan pangan. Maluku saat ini memiliki sekitar 3,1 juta pohon sagu yang tersebar di tujuh Kabupaten dan Kota dengan tingkat produktivitas rata-rata 25 ton per hektar per tahun, Ini yang perlu disosialisasi untuk tidak bergantung pada beras. Seperti yang diungkapkan Syuryadi Sabirin:
“Secara makro jika kita mengacu pada potensi sumber daya alam yang ada, sebenarnya kita surplus, tetapi secara mikro justru defisit karena potensi yang ada tidak digarap secara maksimal,” [49]
Tanaman sagu yang tumbuh di Maluku tumbuh secara alami tanpa ada penanganan serius dalam hal budidaya. Kerumitan ini bertambah pada saat data yang dibutuhkan juga tidak mudah untuk didapat atau dihitung. Kebanyakan petani atau pelaku usaha industri sagu tidak mengeluarkan output yang berarti untuk bisa memanen sagu. Sagu masih dipandang sebagai tanaman hutan dan tumbuh secara alamiah. Seperti yang diungkapkan Andreas Taborat:
“Padahal, ketersediaan lahan di Maluku untuk itu cukup besar, akan tetapi ketergantungan terlihat jelas, karena proses pemaksimalan pemanfaatan lahan belum dapat dilakukan secara baik.” [50]
Sebagai sumber pangan, sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternative pengganti beras..  Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per hektar, jauh melebihi produksi pati beras atau jagung yang masing-masing hanya 6 ton dan 5.5 ton per hektar. Sagu tidak hanya menghasilkan pati terbesar, tetapi juga menghasilkan pati sepanjang tahun.  Setiap batang menghasilkan sekitar 200 kg tepung sagu basah per tahun. Aneka produk pangan lokal daerah sebenarnya memiliki kadar gizi yang lebih tinggi dari beras sehingga pola pikir seperti ini sudah harus diubah, dan BKP sebagai institusi yang menangani persoalan ini memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan sosialisasi.
2.    Kelembagaan BKP
Otonomi daerah memberikan otoritas kepada pemerintah setempat untuk menggali kembali bahan pangan selain beras seperti sagu kelembagaan local yang  berbeperan besar dalam ketahanan pangan desa dan tumah tangga perlu digali kembali seperti lumbung desa, lumbung rumah tangga , lumbung hidup dan sebagainya.  Kebijakan tentang pangan tidak lagi tergantung pada pemerintah pusat, namun lebih kepada inisiatif daerah untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan konteks kebutuhan daerahnya. Sehingga upaya kreatif dari masing-masing daerah untuk menggali kembali potensi sumberdaya lokal harus dilakukan. Harapan ini tentulah tidak salah, karena politik pangan yang sentralistik  melalui tangan Bulog tidak mampu menjamin ketersediaan bahan pangan. Selanjutnya alternative diversifikasi pangan oleh daerah sangat mungkin dilakukan oleh masing – masing daerah tanpa harus melakukan penyeragaman dengan daerah lain. Namun apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan daerah dengan menggali potensi sumberdaya lokal menjadi kebijakan daerah tersebut. Demi menjaminkan kontrol terhadap ketersediaan pangan  dibutuhkan lembaga yang berkompoten. Sejatinya, untuk melakukan pengontrolan maka diperlukan Badan Ketahanan Pangan (BKP). Pemerintah tidak bisa berharap fungsi normalisasi stok pangan  hanya kepada bulog dan dinas pertanian semata.
Hadirnya BKP memungkinkan untuk bisa menakar keberhasilan swasembada pangan berbasis pangan lokal. BKP mengemban fungsi pengkajian, penyiapan perumusan kebijakan, pengembangan, pemantauan dan pemantapan ketersediaan pangan serta mencegah dan menanggulangi kerawanan pangan, melakukan pengkajian hingga penyiapan perumusan kebijakan, pengembangan, pemantauan dan pemantapan distribusi pangan, hingga pemantapan konsumsi dan keamanan pangan. Seperti yang diungkapkan Syuryadi Sabirin:
“Jangan dilihat bahwa stok pangan masih terkontrol, lantas urgenitas pembentukan BKP disepelekan. Pembentukan BKP adalah penting dalam rangka mengantisipasi timbulnya kerawanan pangan pada waktu-waktu kedepan ”[51]
BKP awalnya berada di bawah pengawasan langsung Dinas Pertanian Maluku, yang dulunya hanyalah bidang ketahanan pangan. Namun oleh karena ketahanan pangan menjadi isu sentral maka bidang ketahanan pangan diberikan kemandirian guna melaksanakan tugas dalam pemenuhan pangan di Provinsi Maluku.  Menurut Ramli Hasan:
“bulog dan BKP saling bekerja sama dalam menciptakan ketahanan pangan, namun secara prosedural berbeda, bulog lebih kepada penyediaan logistik beras, dan menentukan  harga beras. Sedangkan BKP itu lebih mengutamankan ketahanan pangan berbasis lokal” [52]
Semua satuan organisasi dilingkungan BKP dalam melaksanakan tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, simplikasi dan sinkronisasi baik dalam lingkungan masing-masing maupun antar satuan organisasi dilingkungan Provinsi Maluku sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Penyusunan BKP dalam suatu organisasi adalah dalam rangka efisiensi, efektifitas kelancaran dan peningkatan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat. Seperti yang diungkapkan  Syuryadi Sabirin:
“kami adalah lembaga yang membantu gubernur dalam pelaksanaan teknis ketahanan pangan, kami bekerja secara fungsi mandiri guna menciptakan ketahanan pangan tapi kordinasi dengan lembaga lain itu perlu dilakukan, dan yang paling sering adalah dinas pertanian”[53]
BKP Maluku meskipun diberikan Kemandirian dalam pelaksanaan tugas penganekaragaman pangan namun sering kali melakukan fungsi kordinasi dengan dinas-dinas lain, seperti dinas pendidikan, dinas pertanian dan dinas kesehatan.  Menurut S.M Talla:
“memang tidak dapat dipungkiri kinerja BKP belum maksimal, karena aparat yang terbatas, letak geografis, keterbatasan dana operasional, namun kendala yang paling sulit adalah merubah pola konsumsi masyarakat yang sudah terpatok dengan beras.”[54]
Dalam hal ini perlu dilakukan penyuluhan secara terpadu dan koordinasi pemecahan masalah ketersediaan pangan yang melibatkan semua stakeholders. Pemantapan sistem ketahanan pangan terus digalakkan pada berbagai level mulai tingkat nasional, regional sampai dengan tingkat rumah tangga yang dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi sehingga dapat meminimalkan kekurangan pangan dan mengakseskan pangan masyarakat ke pangan lokal.
Keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki serta jumlah dana yang harus dikeluarkan, sehingga program yang disusun berjalan belum maksimal, kondisi geografis Maluku sering menjadi penghambat gerak BKP dalam melakukan sosialisasi.
b.    Faktor penghambat
Faktor penghambat adalah faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan implementasi, sehingga seringkali membuat suatu implementasi tidak dapat mencapai tujuannya. Dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan lokal BKP mengalami hambatan yang akan diuraikan lebih lanjut
1.    Pola konsumsi yang tergantung pada beras
Pada masa orde baru pemerintah  menganut paradigma kebijakan pangan yakni ketahanan pangan. Dalam praktiknya, pemerintah menerjemahkan ketahanan pangan sebatas ketersediaan beras dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Di masa Orde baru, pemerintah mewujudkan paradigma ini lewat kebijakan penyeragaman sistem pertanian dan pangan secara nasional.  Kebijakan penyeragaman pangan menimbulkan berbagai bias.  Pangan diarahkan pada satu jenis pangan saja, yaitu beras. Padahal sistem pangan berbagai komunitas masyarakat lokal di Indonesia  mempunyai keanekaragaman yang sangat tinggi.  Penyeragaman pangan ini telah menyingkirkan sistem pangan lokal yang biasa dipraktikkan oleh masyarakat setempat sejak dulu.  Dukungan politik untuk pengembangan berbagai jenis pangan lokal lainnya tidak dilakukanParadigma ini pun terbangun sampai sekarang dan sulit untuk dihilangkan, masyarakat Maluku masih mengandalkan beras sebagai komunitas pangan utama, sedangkan pangan lokal sebagai konsumsi pelengkap. Seperti yang diungkapkan Talla :
“karena penyeragaman pangan ke beras, pola konsumsi pangan orang Maluku yang dulunya sagu sebagai makanan pokok sekarang berubah ke beras, orang Maluku dikatakan makan jika mengkonsumsi nasi[55]
Kekeliruan kebijakan pembangunan pertanian dan kebijakan pangan pada  satu komoditas pangan membuahkan ketidak-berdaulatan rakyat atas pangan sehingga makin lemahnya akses masyarakat lokal terhadap pangan atau sumber-sumber produktif untuk menghasilkan pangan.  Hal ini tercermin dari hilangnya kemampuan masyarakat dalam kemandirian untuk memproduksi pangan serta mengkomsums pangan lokal yang dimilikinya.  Akibatnya, sistem pangan lokal yang khas digantikan oleh sistem pangan dari luar yang berorientasi pasar dengan beras sebagai komoditi utama. Akibatnya, masyarakat semakin tergantung pada pasokan pangan dari luar. Karena tidak ada kontrol komunitas atas pangannya sendiri, berbagai potensi sumber daya alam serta potensi sosial-ekonomi-budaya lokal tidak bisa dimanfaatkan secara optimal.  
Walaupun potensi sagu yang dimiliki Maluku sangat besar dan dapat dijumpai di setiap daerah, namun untuk merubah pola konsumsi pangan masyarakat mendapat kendala oleh karena masyarakat Maluku sudah terbangun sejak orde baru bahwa makanan pokok secara universal di Indonesia adalah sagu.  Sagu hanya dijadikan sebagai makanan pendamping. Kurangnya inovasi terhadap pangan sagu membuat masyarakat mulai meninggalkan sagu terlebih khusus di daerah perkotaan
Kebijakan raskin dirubah menjadi pangkin, dari sisi sumber daya, BKP seharusnya mampu memaksimalkan potensi sagu sebagai pangan lokal, namun kurangnya perhatian pemerintah terhadap lahan sagu, sehingga banyak lahan sagu yang dialih fungsikan. Luas lahan, dan produksi sagu di beberapa daerah belum terdata secara sistematis (lihat tabel 07). Secara kuantitatif sampai sekarang masih dirasakan sulit mengingat terbatasnya data dan tidak kontinyunya pengambilan data mengenai sagu dan sekitarnya. Bahkan BPS pun belum begitu tertarik untuk memasukkan data sagu sebagai data yang mesti diambil secara periodik setiap tahun. Potensi pangan lokal yang dimiliki belum dikembangkan secara maksimal, karena harga belum memberikan keuntungan yang layak bagi produsen dan pengolahan serta konsumsi pangan lokal belum berkembang.
Program pangan miskin yang akan diterapkan di Maluku sebenarnya baik untuk mengurangi ketergantungan pada beras, namun jika dilihat ini pangan lokal dalam hal tempat penyimpanan akan cepat rusak bila dibandingkan beras. Permasalahan menonjol dalam penanganan sagu antara lain, dijumpai data  luas areal dan potensi produksi yang sangat beragam, sehingga menyulitkan dalam perencanaan industrialisasi sagu dan prediksi pengembangan untuk masa mendatang. Pemanfaatan dan nilai tambah sagu pada tingkat petani masih sangat terbatas, produk yang dihasilkan bermutu rendah dan penanganannya kurang efisien. Potensi sagu di tingkat petani saat ini belum optimal pemanfaatannya, hal ini ditandai dengan : 1) banyak tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen dan akhirnya rusak. 2) pemanfaatan potensi sagu masih rendah, pemanfaatan potensi sagu hanya terbatas pada skala petani/industri kecil dengan cara pengolahan manual karena tidak tersedia alat pengolahan sagu yang memadai secara lokal dan 4) masalah pemasaran. Sebaliknya eksploitasi sagu yang dilakukan industri skala menengah-besar, kurang  memperhatikan keseimbangan produksi, akibatnya terjadi degradasi pertumbuhan sagu, yang pemulihannya membutuhkan waktu cukup lama sekitar 5 – 7 tahun. Jika kerusakan ini dibiarkan berlangsung terus, maka secara langsung akan mengganggu ketersediaan sumber pangan karbohidrat bagi masyarakat sekitar areal sagu yang dieksploitasi.
Keanekaragaman hayati sebagai penopang keseimbangan ekosistem yang menjadi sumber penopang keragaman pangan telah hilang oleh sistem penyeragaman pangan ke beras. Hilangnya keanekaragaman hayati di lahan pertanian lantaran hanya mengandalkan beras sebagai tumpuan ketahanan pangan sangatlah beresiko bagi kehidupan masyarakat. Dengan keberagaman tanaman, persediaan pangan dapat terjaga sehingga bila sewaktu-waktu terjadi kegagalan panen masyarakat  tidak kesulitan untuk memperoleh sumber pangan pengganti dan tidak perlu mengimpor dari daerah lain.
2.    Alih Fungsi Lahan Sagu
BKP dalam mewujudkan ketahanan pangan melihat adanya peluang sagu sebagai pangan lokal memiliki potensi, namun alih fungsi lahan oleh karena modernisasi pembangunan mekipun karakteristik sagu cocok dengan geografis Maluku, lambat laun akan hilang oleh karena ketidaktersedianya lahan pertanian. Di Maluku, sagu merupakan tumbuhan hutan yang tidak dibudidayakan. Sebagai makanan pokok masyarakat Maluku, pohon sagu dari tahun ke tahun semakin berkurang, baik karena hasil panen secara eksploitatif maupun karena alih fungsi lahan untuk usaha lainnya bahkan untuk keperluan pembangunan lainnya. Melkias L. Frans mengatakan:
"Karena Maluku memiliki lahan yang luas, maka harus menjadi catatan Pemerintah Daerah, bahwa selama ini pemanfaatan lahan dan kepedulian pemerintah sepertinya terlewatkan dan tidak terngiang, dan ada indikasi pura-pura tidak tahu, padahal itu ada di depan mata bahwa ini menandakan bahwa kita tidak mandiri.[56]
Disamping itu hutan sagu yang merupakan salah satu sumbedaya alam yang menghasilkan berbagai unsur untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat sudah mulai langkah disebabkan telah terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat dan ketergantungan masyarakat pada sumber pangan berupa beras serta alihfungsi lahan hutan menjadi perkebunan masyarakat dan pemukiman menyebabkan hutan sagu mengalami penurunan ketersediaan di alam misalnya banyaknya program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan mengalihkan hutan sagu di Maluku menjadi pemukiman masyarakat.
 BKP sebagai pembuat dan pelaksanaan kebijakan teknis pangan pun mengusulkan agar dibuat Peraturan Daerah pelestarian kawasan sagu, ini pun didukung oleh anggota legislative Maluku. Salah satunya Abraham Malioy: “banyak hutan sagu yang dikomersialkan menjadi daerah perumahan. Kalau ada perda sagu, maka lahan sagu tidak bisa diganggu gugat.”[57] Komisi B DPRD Maluku juga mendorong berbagai proses itu, sehingga kemandirian masyarakat dalam hal pangan dapat segera terpenuhi dan tak bergantung lagi dari daerah lain seperti saat ini.
"Pemprov harus mengambil kebijakan melestarikan makanan pokok dan khas orang Maluku ini sebagai salah satu stok pangan pengganti beras, agar pohon sagu terlindungi dan tidak punah tergilas roda pembangunan yang semakin pesat di daerah ini,"[58]
Pengelolaan hutan sagu merupakan suatu upaya sistematis dan terpadu baik dalam perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum, terhadap kelestarian hutan sagu sebagai sumber daya alam dengan tidak merubah fungsi hutan sagu secara ekologinya. Syuryadi Sabirin mengatakan:
“namun kita tidak bisa jalan tanpa ada petunjuk, paling tidak ada kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam perda dan kami mengangap ini sangat penting, sehingga kita harus membuat perda tersebut,”
Pelestarian terhadap tanaman sagu sangatlah penting karena sangat bermanfaat terhadap masyarakat, oleh karena itu dibuat konsep, dan diajukan kepada pihak dewan untuk dibicarakan. Ranperda ini bukan saja berjalan mulus, tapi ada pertentangan dalam pembahasan dan sempat tertahan karena Provinsi Maluku pasca rekonsiliasi konflik lebih fokus pada sisi pembangunan infrastruktur baik itu perumahan dan hotel, karena ingin mengembalikan citra Pariwisata Maluku. Sehingga harus terjadi alih fungsi lahan. Seperti yang diungkapkan Syuryadi Sabirin:  “Memang ada sedikit perbedaan, tapi akhirnya disepakati, agar tercipta balance, baik pangan maupun pariwisata”. Usulan kebijakan dari BKP tentang pelestrian sagu pun akhirnya disahkan  dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku No. 10 Tahun 2011 tentang pengelolaan dan pelestarian sagu. Dengan adanya perda tersebut diharapkan dapat menjadi pegangan hukum bagi Pemerintah Maluku (BKP) dalam mengambil setiap kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan pelestarian pangan lokal.
Peraturan Daerah No 10 Tahun 2011 tentang pengelolaan dan pelestarian  sagu sebenarnya terlambat, jika dilihat Maluku sebagai potensi sagu, perda perlindungan sagu justru sudah dikeluarkan pemerintah daerah Papua satu tahun sebelumnya. Jaminan atas hak setiap komunitas masyarakat di tingkat lokal untuk menentukan sendiri kebijakan produksi, distribusi, dan konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masing-masing komunitas.  Sebenarnya  masyarakat lokal yang lebih tahu dan lebih mampu memecahkan persoalan pangan mereka. Dalam membuat kebijakan pangan, pemerintah harus mengikutsertakan berbagai unsur masyarakat lokal secara representatif.

 
BAB VI
PENUTUP
A.     Kesimpulan
1.    Implementasi Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang Badan Ketahanan Pangan Maluku terhadap ketahanan pangan lokal
Penyeragaman konsumsi pangan ke beras pada masa orde baru telah membuat ketergantungan masyarakat terhadap beras. Kondisi ini sangat mengawatirkan bagi ketahanan pangan suatu Negara yang hanya bergantung pada satu macam bahan pangan saja. Apalagi bagi daerah-daerah yang secara geografis tidak dapat di tumbuhi tanaman padi. pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.” Politik pangan adalah kebijakan politik yang diarahkan guna terciptanya pemenuhan pangan bagi masyarakat dalam konteks Negara. Pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Salah satu upaya agar mengurangi ketergantungan tehadap beras dan kerawanan pangan, maka pemerintah melakukan diversifikasi pangan dengan mengembangkan dan mengkonsumsi pangan lokal yang merupakan potensi daerah masing-masing.
Dalam mewujudkan ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan terhadap beras. Pemerintah Daerah Maluku membentuk Badan Ketahanan Pangan yang berguna untuk membuat serta menjalankan kebijakan pangan di Maluku, BKP bekerja sama dengan Bulog dalam menyediakan bahan pangan masyarakat. Jika Bulog lebih kepada penyediaan dan pengaturan harga beras, BKP berupaya menciptakan ketahanan pangan, dengan memanfaatkan potensi pangan lokal. BKP sebagai lembaga yang membantu Gubernur dalam masalah pangan.
Berdasarkan data yang dipaparkan maka teori kebijakan sangat relevan untuk menganalisis implementasi peraturan daerah No 04 tahun 2010 tentang tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku terhadap ketahanan pangan lokal. Menurut Carl Friedrich kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Politik pangan adalah kebijakan politik yang diarahkan guna terciptanya pemenuhan pangan bagi masyarakat. Peraturan daerah tentang Badan Ketahanan Pangan adalah sebuah kebijakan yang diusulkan oleh pemerintah dengan tujuan mewujudkan ketahanan pangan di Maluku. Perda ini dibuat sebagai landasan hukum BKP dalam membuat serta melaksanakan kebijakan teknis membantu Gubernur dalam hal pemenuhan pangan. Tujuan pembentukan BKP juga untuk merealisasikan peraturan presiden dalam percepatan diversivikasi pangan lokal. Keberhasilan suatu kebijakan dapat diukur dari proses dan pencapaian hasil akhir, jika hasilnya baik maka tujuan yang diinginkan terlaksana, namun jika hasilnya negatif maka tidak sesuai dengan diharapkan, ini diakibatkan oleh faktor kendala yang dialami pada saat proses kebijakan berjalan.  Menurut Teori implementasi kebijakan Van Meter dan Horn, terdapat variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yakni: Standar dan sasaran kebijakan, Sumberdaya, Hubungan antar organisasi, Disposisi Implementator, serta kondisi sosial, politik dan ekonomi.
Jika dianalisis sesuai variabel implementasi kebijakan, sasaran dari pembentukan BKP adalah mempercepat diversifikasi berbasis lokal hingga tercipta kemandirian pangan. Program yang dibuat oleh BKP sebenarnya dapat diukur dan dapat diwujudkan karena apa yang diinginkan dalam program benar-benar ada dalam lingkungan masyarakat.

2.    Faktor pendukung dan penghambat Badan Ketahanan Pangan
a.    Faktor pendukung
Dalam pelaksanaannya BKP memiliki faktor pendukung dalam menciptakan ketahanan pangan berbasis lokal di Maluku. Potensi pangan lokal sagu yang banyak tumbuh di daerah Maluku dapat dijadikan sebagai pengganti pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Secara kelembagaan BKP yang dulunya hanya menjadi divisi pada Dinas Pertanian sekarang terpisah dan diberikan kemandirian menjadi lembaga yang membantu Gubernur membuat dan melaksanakan kebijakan teknis ketahanan pangan.
b.    Faktor Penghambat
Namun tidak dapat dipungkiri dalam pelaksanaanya juga BKP mengalami hambatan dalam mengubah pola ketergantungan Masyarakat terhadap beras. Masyarakat Maluku masih bergantung pada beras oleh karena politik penyeragaman pangan zaman orde baru, dan mengesampingkan sagu yang dulu adalah pangan pokok orang Maluku. Alih fungsi hutan sagu menjadi pemukiman, dan terlambatnya disahkan Peraturan daerah tentang pelestarian hutan sagu  dinilai sebagai penghambat. Secara kelembagaan kurangnya sumber daya Manusia (aparatur BKP) dan minimnya dana ditambah lagi dengan letak geografis Maluku yang merupakan daerah kepulauan menjadi penghambat kinerja BKP dalam melakukan sosialisasi ke masyarakat.  Terlepas  dari kekurangan yang terjadi pada saat pelaksanaan, BKP telah melakukan sedikit perbaikan dalam mewujudkan diversifikasi pangan di Maluku, walaupun belum maksimal tapi secara bertahap akan ada perbaikan menuju hasil yang diharapkan. BKP Provinsi Maluku baru dua tahun terbentuk, dan untuk mengembalikan pola konsumsi masyarakat yang selama 32 tahun mengandalkan konsumsi pangan beras ke pangan lokal harus membutuhkan partisipasi dari setiap masyarakat Maluku untuk mendukung kebijakan dalam hal kemandirian pangan.

B.    Saran
Adapun saran penulis agar tercipta diversifikasi pangan lokal di Maluku :
1.    BKP sebagai lembaga yang membantu Gubernur dalam membuat dan melaksanakan kebijakan pangan di Maluku harus lebih mensosialisasikan konsumsi  pangan lokal bukan saja bagi masyarakat miskin, tapi semua elemen masyarakat tanpa terkecuali. Penguatan internal birokrasi BKP (sumber daya manusia) harus bisa menjalankan program ketahanan pangan yang efektif dan efisien. Kordinasi BKP, Bulog dan Dinas Pertanian harus saling mendukung dalam mengatasi kerawanan pangan.
2.     Pangan lokal harus dikemas secara inovatif dan modern agar memiliki daya tarik sehingga masyarakat lebih tertarik mengkonsumsi pangan lokal.
3.    Data kuantitatif lahan dan produksi pangan lokal terutama sagu hendaknya di update 1 tahun sekali sebagai bahan perbandingan informasi terhadap ancaman alif fungsi lahan.
4.    Peraturan Daerah No 10 tahun 2011 tentang pelestarian dan pengelolaan sagu harus dijadikan alat hukum yang tegas guna melindungi sagu sebagai pangan lokal masyarakat Maluku








DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana
Amang, B., M.H. Sawit. 1999. Kebijkan Beras dan Pangan Nasional. Bogor:
       IPB Press.
Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Terj, Nuktaf Arfawie Kurde, Imam Safe’I dan Noorhaidi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Bustaful, Arifin. 2005. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan. Jakarta: Rajawali Press
Dunn, William. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
George, Susan. 2007. Pangan “ dari penindasan sampai ketahanan pangan”. Yogyakarta: INSIST
Gunawan, Faisal. 2003. Strategi Diversifikasi Pangan. Jakarta: Prisma
Haryanto. 1988. Sagu dan Pemanfaatanya. BPPT
INSIST. 2008. Politik Pangan: perlu perubahan paradigma. Yogyakarta: INSIST
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian kwalitatif dan kwantitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: DIA FISIP UI
Jhamtani, Hira. 2008. Lumbung Pangan ”Menata Ulang Kebijakan Pangan.Yogyakarta: INSIST
Raharjo, Dawam. 2003. Politik Pangan dan Industri Pangan di Indonesia. Jakarta: Prisma
Soekarto. 1999. Prospek Pengembangan Sagu sebagai Pangan di Indonesia. LIPI
Syafie, Inu Kencana. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Pustaka RekaCipta
Wahab, Solichin Abdul. 1997, Analisa Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara
Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik, Intermedia Jakarta.
Wijayanti,dkk. 2003. Pengembangangara Pengelolaan Sagu di Sulawesi Tenggara dan Maluku. Bogor: IPB
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo Yogyakarta.
Undang-Undang:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.

0 Response to "SKRIPSI ILMU POLITIK POLITIK PANGAN DI MALUKU"

Posting Komentar

wdcfawqafwef

BACKLINK OTOMATIS GRATIS JURAGAN.