BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab
ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah dan pokok
bahasan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan
skripsi.
A. Latar belakang masalah
Pendidikan adalah suatu usaha atau
kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud
mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga
formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Melalui sekolah, siswa belajar berbagai macam hal.
Dalam pendidikan formal, belajar
menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya positif sehingga pada tahap akhir
akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru. Hasil dari proses
belajar tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih
prestasi belajar yang memuaskan dibutuhkan proses belajar.
Proses
belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting, karena melalui belajar individu mengenal
lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya. Menurut
Irwanto (1997 :105) belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi
mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Dengan belajar, siswa dapat
mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
Belajar
akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui
sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu
juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan
selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil
belajar seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran
belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar.
Prestasi
belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996 :178) adalah:
Proses belajar di sekolah adalah
proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat
bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus
memiliki Intelligence Quotient
(IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan
memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar
yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi
adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk
mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai
keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar
mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi
belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai
kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif
rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah,
dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf
inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan
seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 :
44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan,
sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya
adalah kecerdasan emosional atau Emotional
Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi,
mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta
kemampuan bekerja sama.
Dalam
proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat
berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata
pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu
saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan
belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya
perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja,
melainkan juga perlu mengembangkan emotional
intelligence siswa .
Hasil
beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur
neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan
bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi
rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi
belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang
harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja
(Goleman,
2002 : 17).
Memang
harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan
mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti
pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena
yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi
rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi
belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat
memperkirakan prestasi belajar seseorang.
Kemunculan
istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin
dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman,
sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas.
Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa
penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting
dengan IQ (Goleman, 2002:44).
Menurut
Goleman (2002 : 512), kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and
its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,
motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut
Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis
tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu
kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit
mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan
rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering
menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ
tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat
sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah
percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung
putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang
yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi.
Pada penelitian ini, penulis
mengunakan sampel pada SMU Lab School Jakarta Timur, yang berada pada peringkat
16 se-DKI, berdasarkan nilai rata-rata nilai ulangan umum murni cawu 2 kelas II
tahun ajaran 2001/2002.
Dalam kaitan pentingnya kecerdasan
emosional pada diri siswa sebagai salah satu faktor penting untuk meraih
prestasi akademik, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis tertarik untuk
meneliti :”Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar pada
Siswa Kelas II SMU Lab School Jakarta
Timur”.
B. Rumusan masalah dan Pokok-pokok Bahasan
Bertitik
tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antarakecerdasan emosional dengan Prestasi belajar pada siswa kelas II SMU diJakarta?”
Pada
penelitian ini yang menjadi pokok-pokok bahasan adalah sebagai berikut:
1. Prestasi belajar
Prestasi belajar adalah hasil belajar
yang dicapai oleh seorang siswa dari kegiatan belajar mengajar dalam bidang
akademik di sekolah dalam jangka waktu tertentu.
2. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain,
serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan ke
arah yang positif.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa kelas II SMU Lab School
Jakarta Timur.
D. Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah :
1. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan bagi psikologi
pendidikan dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberi
gambaran mengenai hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.
2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan
dapat membantu memberikan informasi khususnya kepada para orang tua, konselor
sekolah dan guru dalam upaya membimbing dan memotivasi siswa remaja untuk
menggali kecerdasan emosional yang dimilikinya.
E. Sistematika Skripsi
Sistematika isi dan penulisan skripsi ini antara
lain :
Bab I :
Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah dan pokok-pokok bahasan,
tujuan dan manfaat dari penelitian serta sistematika skripsi
Bab II :
Tinjauan Pustaka
Berisi tentang pengertian belajar, pengertian prestasi
belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, pengertian emosi,
pengertian kecerdasan emosional, indikator kecerdasan emosional, hubungan
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar dan hipotesis.
Bab III :
Metodologi Penelitian
Berisi tentang identifikasi variabel penelitian,
definisi operasional, populasi dan
metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, metode analisis instrumen
serta metode analisis data.
Bab IV :
Laporan Penelitian
Berisi tentang laporan pelaksanaan penelitian yang
terdiri dari orientasi kancah penelitian, persiapan penelitian, pelaksanaan
penelitian serta analisis data penelitian.
Bab V :
Penutup
Berisi tentang
pembahasan hasil penelitian, kesimpulan dan saran dari peneliti.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan diuraikan lebih jauh
mengenai teori-teori yang menjelaskan mengenai pengertian belajar dan prestasi
belajar, fator-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, pengertian emosi dan
kecerdasan emosional, indikator kecerdasan emosional, keterkaitan kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar
A. Prestasi Belajar
1. Pengertian Belajar
Prestasi
belajar tidak dapat dipisahkan dari berbuatan belajar, karena belajar merupakan
suatu proses, sedangkan prestasi belajar adalah hasil dari proses pembelajaran
tersebut.
Bagi
seorang siswa belajar merupakan suatu kewajiban. Berhasil atau tidaknya seorang
siswa dalam pendidikan tergantung pada proses belajar yang dialami oleh siswa
tersebut.
Menurtut
Logan, dkk (1976) dalam Sia Tjundjing (2001:70) belajar dapat diartikan sebagai
perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan
latihan . Senada dengan hal tersebut, Winkel (1997:193) berpendapat bahwa
belajar pada manusia dapat dirumuskan sebagai suatu aktivitas mental atau psikis
yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat
relatif konstan dan berbekas.
Belajar tidak hanya dapat dilakukan di
sekolah saja, namun dapat dilakukan dimana-mana, seperti di rumah ataupun
dilingkungan masyarakat. Irwanto (1997:105) berpendapat bahwa belajar merupakan
proses perubahan dari belum mampu menjadi sudah mampu dan terjadi dalam jangka
waktu tertentu. Sedangkan menurut Mudzakir (1997:34) belajar adalah suatu usaha
atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan di dalam diri seseorang,
mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan,
keterampilan dan sebagainya.
Di dalam belajar, siswa mengalami
sendiri proses dari tidak tahu menjadi tahu, karena itu menurut Cronbach
(Sumadi Suryabrata,1998:231) :
“Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan
mengalami dan dalam mengalami itu
pelajar mempergunakan pancainderanya. Pancaindera tidak terbatas hanya
indera pengelihatan saja, tetapi juga berlaku bagi indera yang lain.”
Belajar dapat dikatakan berhasil jika
terjadi perubahan dalam diri siswa, namun tidak semua perubahan perilaku dapat
dikatakan belajar karena perubahan tingkah laku akibat belajar memiliki
ciri-ciri perwujudan yang khas (Muhibbidin Syah, 2000:116) antara lain :
a. Perubahan Intensional
Perubahan dalam proses berlajar adalah
karena pengalaman atau praktek yang dilakukan secara sengaja dan disadari. Pada
ciri ini siswa menyadari bahwa ada perubahan dalam dirinya, seperti penambahan
pengetahuan, kebiasaan dan keterampilan.
b. Perubahan Positif dan aktif
Positif berarti perubahan tersebut
baik dan bermanfaat bagi kehidupan serta sesuai dengan harapan karena
memperoleh sesuatu yang baru, yang lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan aktif
artinya perubahan tersebut terjadi karena adanya usaha dari siswa yang
bersangkutan.
c. Perubahan efektif dan fungsional
Perubahan dikatakan efektif apabila
membawa pengaruh dan manfaat tertentu bagi siswa. Sedangkan perubahan yang
fungsional artinya perubahan dalam diri siswa tersebut relatif menetap dan
apabila dibutuhkan perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan lagi.
Berdasarkan dari uraian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan siswa
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
secara sengaja, disadari dan perubahan tersebut relatif menetap serta membawa
pengaruh dan manfaat yang positif bagi siswa dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
2. Pengertian prestasi belajar
Untuk
mendapatkan suatu prestasi tidaklah semudah yang dibayangkan, karena memerlukan
perjuangan dan pengorbanan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi.
Penilaian
terhadap hasil belajar siswa untuk mengetahui sejauhmana ia telah mencapai
sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Seperti yang
dikatakan oleh Winkel (1997:168) bahwa proses belajar yang dialami oleh siswa
menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan dan pemahaman, dalam
bidang nilai, sikap dan keterampilan. Adanya perubahan tersebut tampak dalam
prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa terhadap pertanyaan, persoalan atau
tugas yang diberikan oleh guru. Melalui prestasi belajar siswa dapat mengetahui
kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.
Sedangkan
Marsun dan Martaniah dalam Sia Tjundjing (2000:71) berpendapat bahwa prestasi
belajar merupakan hasil kegiatan belajar, yaitu sejauh mana peserta didik
menguasai bahan pelajaran yang diajarkan, yang diikuti oleh munculnya perasaan
puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik. Hal ini berarti prestasi
belajar hanya bisa diketahui jika telah dilakukan penilaian terhadap hasil
belajar siswa.
Menurut
Poerwodarminto (Mila Ratnawati, 1996 : 206) yang dimaksud dengan prestasi
adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang.
Sedangkan prestasi belajar itu sendiri diartikan sebagai prestasi yang dicapai
oleh seorang siswa pada jangka waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor
sekolah.
Dari
beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar
merupakan hasil usaha belajar yang
dicapai seorang siswa berupa suatu kecakapan dari kegiatan belajar bidang
akademik di sekolah pada jangka waktu tertentu yang dicatat pada setiap akhir
semester di dalam buki laporan yang disebut rapor.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar.
Untuk
meraih prestasi belajar yang baik, banyak sekali faktor yang perlu
diperhatikan, karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit siswa yang mengalami
kegagalan. Kadang ada siswa yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi
dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi, tapi dalam kenyataannya prestasi
yang dihasilkan di bawah kemampuannya.
Untuk
meraih prestasi belajar yang baik banyak sekali faktor-faktor yang perlu
diperhatikan. Menurut Sumadi Suryabrata (1998 : 233) dan Shertzer dan
Stone (Winkle, 1997 : 591), secara garis besar faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar dan prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.:
a. Faktor internal
Merupakan faktor
yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat mempengaruhi prestasi belajar.
Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1).
Faktor fisiologis
Dalam hal ini,
faktor fisiologis yang dimaksud adalah faktor yang berhubungan dengan kesehatan
dan pancaindera
a) Kesehatan
badan
Untuk dapat
menempuh studi yang baik siswa perlu memperhatikan dan memelihara kesehatan
tubuhnya. Keadaan fisik yang lemah dapat menjadi penghalang bagi siswa dalam
menyelesaikan program studinya. Dalam upaya memelihara kesehatan fisiknya,
siswa perlu memperhatikan pola makan dan pola tidur, untuk memperlancar
metabolisme dalam tubuhnya. Selain itu, juga untuk memelihara kesehatan bahkan
juga dapat meningkatkan ketangkasan fisik dibutuhkan olahraga yang teratur.
b) Pancaindera
Berfungsinya pancaindera merupakan syarat
dapatnya belajar itu berlangsung dengan
baik. Dalam sistem pendidikan dewasa ini di antara pancaindera itu yang paling
memegang peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Hal ini penting, karena
sebagian besar hal-hal yang dipelajari oleh manusia dipelajari melalui penglihatan dan
pendengaran. Dengan demikian, seorang anak yang memiliki cacat fisik atau bahkan
cacat mental akan menghambat dirinya didalam menangkap pelajaran, sehingga pada
akhirnya akan mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah.
2) Faktor psikologis
Ada banyak faktor
psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa, antara lain adalah :
a) Intelligensi
Pada umumnya, prestasi
belajar yang ditampilkan siswa mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat
kecerdasan yang dimiliki siswa. Menurut Binet (Winkle,1997 :529) hakikat
inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan,
untuk mengadakan suatu penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk
menilai keadaan diri secara kritis dan objektif. Taraf inteligensi ini sangat mempengaruhi
prestasi belajar seorang siswa, di mana siswa yang memiliki taraf inteligensi
tinggi mempunyai peluang lebih besar untuk mencapai prestasi belajar yang lebih
tinggi. Sebaliknya, siswa yang memiliki taraf inteligensi yang rendah
diperkirakan juga akan memiliki prestasi belajar yang rendah. Namun bukanlah
suatu yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah memiliki
prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya .
b) Sikap
Sikap yang pasif,
rendah diri dan kurang percaya diri dapat merupakan faktor yang menghambat
siswa dalam menampilkan prestasi belajarnya. Menurut Sarlito Wirawan (1997:233)
sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap
hal-hal tertentu. Sikap siswa yang positif terhadap mata pelajaran di sekolah
merupakan langkah awal yang baik dalam proses belajar mengajar di sekolah.
c) Motivasi
Menurut Irwanto(1997 : 193) motivasi adalah penggerak perilaku. Motivasi belajar adalah
pendorong seseorang untuk belajar. Motivasi timbul karena adanya keinginan atau
kebutuhan-kebutuhan dalam diri seseorang. Seseorang berhasil dalam belajar
karena ia ingin belajar. Sedangkan menurut Winkle (1991 : 39) motivasi belajar
adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan
belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan
arah pada kegiatan belajar itu; maka tujuan yang dikehendaki oleh siswa
tercapai. Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non
intelektual. Peranannya yang khas ialah dalam hal gairah atau semangat belajar,
siswa yang termotivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan
kegiatan belajar.
b. Faktor eksternal
Selain
faktor-faktor yang ada dalam diri siswa, ada hal-hal lain diluar diri yang
dapat mempengaruhi prestasi belajar yang akan diraih, antara lain adalah :
1). Faktor lingkungan keluarga
a) Sosial ekonomi keluarga
Dengan sosial
ekonomi yang memadai, seseorang lebih berkesempatan mendapatkan fasilitas
belajar yang lebih baik, mulai dari buku, alat tulis hingga pemilihan sekolah
b). Pendidikan
orang tua
Orang tua yang
telah menempuh jenjang pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan dan
memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, dibandingkan dengan yang
mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah.
c). Perhatian orang
tua dan suasana hubungan antara anggota keluarga
Dukungan dari
keluarga merupakan suatu pemacu semangat berpretasi bagi seseorang. Dukungan
dalam hal ini bisa secara langsung, berupa pujian atau nasihat; maupun secara
tidak langsung, seperti hubugan keluarga yang harmonis.
2).
Faktor lingkungan sekolah
a). Sarana dan
prasarana
Kelengkapanfasilitas sekolah, seperti papan tulis, OHP akan membantu kelancaran proses belajar mengajar di
sekolah; selain bentuk ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar sekolah
juga dapat mempengaruhi proses belajar mengajar
b). Kompetensi guru dan siswa
Kualitas guru dan
siswa sangat penting dalam meraih prestasi, kelengkapan sarana dan prasarana
tanpa disertai kinerja yang baik dari para penggunanya akan sia-sia belaka.
Bila seorang siswa merasa kebutuhannya untuk berprestasi dengan baik di sekolah
terpenuhi, misalnya dengan tersedianya fasilitas dan tenaga pendidik yang
berkualitas , yang dapat memenihi rasa ingintahuannya, hubungan dengan guru dan
teman-temannya berlangsung harmonis, maka siswa akan memperoleh iklim belajar
yang menyenangkan. Dengan demikian, ia akan terdorong untuk terus-menerus
meningkatkan prestasi belajarnya.
c). Kurikulum dan metode mengajar
Hal ini meliputi
materi dan bagaimana cara memberikan materi tersebut kepada siswa. Metrode
pembelajaran yang lebih interaktif sangat diperlukan untuk menumbuhkan minat
dan peran serta siswa dalam kegiatan pembelajaran. Sarlito Wirawan (1994:122)
mengatakan bahwa faktor yang paling penting adalah faktor guru. Jika guru
mengajar dengan arif bijaksana, tegas, memiliki disiplin tinggi, luwes dan
mampu membuat siswa menjadi senang akan pelajaran, maka prestasi belajar siswa
akan cenderung tinggi, palingtidak siswa tersebut tidak bosan dalam mengikuti
pelajaran.
3).
Faktor lingkungan masyarakat
a). Sosial budaya
Pandangan
masyarakat tentang pentingnya pendidikan akan mempengaruhi kesungguhan pendidik
dan peserta didik. Masyarakat yang masih memandang rendah pendidikan akan
enggan mengirimkan anaknya ke sekolah dan cenderung memandang rendah pekerjaan
guru/pengajar
b). Partisipasi terhadap pendidikan
Bila semua pihak
telah berpartisipasi dan mendukung kegiatan pendidikan, mulai dari pemerintah
(berupa kebijakan dan anggaran) sampai pada masyarakat bawah, setiap orang akan
lebih menghargai dan berusaha memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
4. Pengukuran prestasi belajar
Dalam
dunia pendidikan, menilai merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat
ditinggalkan. Menilai merupakan salah satu proses belajar dan mengajar. Di
Indonesia, kegiatan menilai prestasi belajar bidang akademik di sekolah-sekolah
dicatat dalam sebuah buku laporan yang disebut rapor. Dalam rapor dapat
diketahui sejauhmana prestasi belajar seorang siswa, apakah siswa tersebut
berhasil atau gagal dalam suatu mata pelajaran. Didukung oleh pendapat Sumadi
Suryabrata (1998 : 296) bahwa rapor merupakan perumusan terakhir yang diberikan
oleh guru mengenai kemajuan atau hasil belajar murid-muridnya selama masa
tertentu.
SyaifuddinAzwar (1998 :11) menyebutkan bahwa ada beberapa fungsi penilaian dalam
pendidikan, yaitu :
a.
Penilaian berfungsi selektif (fungsi sumatif)
Fungsi penilaian ini merupakan
pengukuran akhir dalam suatu program dan hasilnya dipakai untuk menentukan
apakah siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak dalam program pendidikan
tersebut. Dengan kata lain penilaian berfungsi untuk membantu guru mengadakan
seleksi terhadap beberapa siswa, misalnya :
1). Memilih siswa yang akan diterima
di sekolah
2) Memilih siswa untuk dapat naik
kelas
b.
Penilaian berfungsi diagnostik
Fungsi penilaian ini selain untuk mengetahui hasil yang dicapai siswa juga
mengetahui kelemahan siswa sehingga dengan adanya penilaian, maka guru dapat
mengetahui kelemahan dan kelebihan masing-masing siswa. Jika guru dapat
mendeteksi kelemahan siswa, maka kelemahan tersebut dapat segera diperbaiki.
c.
Penilaian berfungsi sebagai penempatan (placement)
Setiap siswa memiliki kemampuan berbeda satu sama lain. Penilaian dilakukan
untuk mengetahui di mana seharusnya siswa tersebut ditempatkan sesuai dengan
kemampuannya yang telah diperlihatkannya pada prestasi belajar yang telah
dicapainya. Sebagai contoh penggunaan nilai rapor SMU kelas II menentukan
jurusan studi di kelas III.
d.
Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan (fungsi formatif)
Penilaian berfungsi untuk mengetahui sejauh mana suatu program dapat
diterapkan. Sebagai contoh adalah raport di setiap semester di sekolah-sekolah
tingkat dasar dan menegah dapat dipakai untuk mengetahui apakah program
pendidikan yang telah diterapkan berhasil diterapkan atau tidak pada siswa tersebut.
Raport biasanya menggambil nilai
dari angka 1 sampai dengan 10, terutama pada siswa SD sampai SMU, tetaapi dalam
kenyataan nilai terendah dalam rapor yaitu 4 dan nilai tertinggi 9. Nilai-nilai
di bawah 5 berarti tidak baik atau buruk, sedangkan nilai-nilai di atas 5
berarti cukup baik, baik dan sangat baik.
Dalam penelitian ini pengukuran
prestasi belajar menggunakan penilaian sebagai pengukur keberhasilan (fungsi
formatif), yaitu nilai-nilai raport pada akhir masa semester I.
B. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian emosi
Kataemosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh.
Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak
dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu
perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan
untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar
dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan
suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih
mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan
fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting
dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam
arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia.
(Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam
emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire(hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan
Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu :
fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan
beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu
:
a. Amarah :
beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis,
mengasihi diri, putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir,
was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas,
riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan,
persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan,
kasih
f. Terkejut :
terkesiap, terkejut
g. Jengkel :
hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu :
malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa
semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi
berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau
bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics
pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup
yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan
kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan;
nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu
dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi.
Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan
mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 :
xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65)
orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi
mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan
melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan
emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang
di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek)
yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus,
baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
2. Pengertian kecerdasan emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama
kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard
University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan
kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan
kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai :
“himpunan bagian dari kecerdasan
sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan
kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini
untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).
Kecerdasan emosional sangat
dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap
saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak
sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan
keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara
dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ
tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
Sebuah
model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun
1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional
sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
Gardner
dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53)
mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting
untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang
lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial,
kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan
oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi
terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang
lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja
bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah
kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut
adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu
pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk
menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan
bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan
dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang
lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan
diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan
kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya
untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan
kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57)memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan
sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu.
Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali
emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang
lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang
lain.
Menurut
Goleman (2002 : 512), kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and
its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,
motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa
untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan
(kerjasama) dengan orang lain.
3. Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59)
menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang
kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut
menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
a.
Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan
suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi
menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan
emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah
waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang
waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh
emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan
salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah
menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan
individu dalam menangani perasaan agar
dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam
diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan
kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan
intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 :77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri,
melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang
menekan.
c.
Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan
dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk
menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai
perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan
keyakinan diri.
d.
Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang
lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk
mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang.
Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal
sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain
sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan
dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih
populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki,
ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau
mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman,
2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki
kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu
mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan
untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina
Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan
merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan
keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam
berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.
Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami
keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam
keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang
berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang
lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang
menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah
tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk
positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana
kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang
dilakukannya.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip
dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional
C. Keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa SMU
Di tengah
semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang
wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak
berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.
Banyak usaha
yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang
terbaik seperti mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas positif,
namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai
keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut
adalah kecerdasan emosional. Karena
kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk
menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan.
Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan
mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan
orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang
berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan
memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat
menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin
yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan
memiliki pikiran yang jernih.
Sebuah
laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan
bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang
siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran
emosional dan sosial : yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan
bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu,
mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta
mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua
siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki
satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan
apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti
kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002:273).
PenelitianWalter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford
menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan
hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten,
lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta memiliki gairah belajar yang
lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes
SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu menunda dorongan hatinya (dalam
Goleman, 2002 : 81).
Individu
yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih
terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit,
lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan
orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di
sekolah lebih baik (Gottman, 2001:xvii).
Keterampilan
dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan
proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar
pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila anak diajarkan keterampilan dasar
kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih cerdas, penuh pengertian,
mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan
permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses
disekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung
dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks
yang tidak aman (Gottman, 2001 : 250).
Dari uraian di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting
yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih
prestasi belajar yang lebih baik di sekolah..
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritik di atas,
maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Hipotesis alternatif (Ha) : “Ada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan Prestasi belajar”
2. Hipotesis nihil (Ho) : “Tidak ada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan Prestasi belajar”
NB : INGIN BAB 3 ,4 DAN 5 SILAHKAN REQUEST DIKOLOM KOMENTAR. DAN TINGGALKAN ALAMAT E-MAILNYA...
0 Response to "SKRIPSI PSIKOLOGI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA KELAS II SMU LAB SCHOOL JAKARTA TIMUR"
Posting Komentar