PENDAHULUAN
Bidang ilmu Geografi pada dasarnya mempelajari
berbagai komponen fisik muka bumi, mahluk hidup (tumbuhan, hewan dan manusia)
di atas muka bumi, ditinjau dari persamaan dan perbedaan dalam perspektif
keruangan yang terbentuk akibat proses interaksi dan interrelasinya. Untuk
mempermudah mempelajarinya, berbagai persoalan keruangan (spatial problems)
dirumuskan dalam rangkaian pertanyaan : Apa jenis fenomenanya? Kapan
terjadinya? Di mana fenomena tersebut terjadi? Bagaimana dan kenapa fenomena
tersebut terjadi di daerah tersebut dan tidak terjadi di daerah lainnya?
Fenomena keruangan, atau fenomena
geografis, baik tentang aspek fisik maupun aspek non-fisik serta interaksi dan
interrelasi ke duanya, dalam proses belajar mengajar dapat dimulai dari yang
paling sederhana seperti lokasi sekolah, lokasi pasar, kantor kelurahan atau
kantor puskesmas, atau lokasi banjir, longsor, gempa bumi, dapat diungkap
melalui pertanyaan bagaimana dan kenapa “ada” di tempat tersebut sedang di
tempat lain tidak? Selanjutnya, adanya perbedaan kepadatan penduduk di wilayah
perdesaan dan wilayah perkotaan, adanya perubahan pola penggunaan tanah untuk
memenuhi kebutuhan hidup penduduk sebagai contoh adanya peranan manusia dalam
perubahan fisik muka bumi (mans role in changing the face of the earths).
Fenomena keruangan saat ini yang menjadi issue global seperti
konflik wilayah perbatasan antar Negara, terbentuknya ketimpangan ekonomi
Negara Negara di dunia (ada yang sangat kaya dan sangat miskin), dampak
perkembangan teknologi informasi yang bersifat “tanpa batas” (borderless)
sebagai tantangan geograf di seluruh dunia untuk merespon bahwa “the end of
Geography” adalah tidak terjadi. Interaksi
dan interrelasi
Sebagaimana bidang ilmu lain, ilmu
Geografi juga memiliki alat ukur keruangan seperti jarak antar dua tempat, baik
dalam satuan panjang, satuan nilai ekonomi dan satuan waktu, dan satuan luas
(biasanya diekspresikan dalam bidang datar) dalam hektar atau km2, hasil perhitungan
jumlah obyek, baik berdiri sendiri maupun dalam satuan luas (kepadatan) atau
dalam satuan ratio. Di samping disajikan dalam bentuk diagram, table atau
gambar profil, sarana penyajian informasi geografi paling efektif adalah dalam
bentuk peta karena sebuah peta dapat memberikan penjelasan fenomena geografis
dalam perspektif keruangan. Oleh karena keterbatasan media penyajian ruang muka
bumi ke dalam bidang datar maka sebuah peta mensyaratkan adanya skala peta.
Kita mengenal istilah skala kecil dan skala besar sesuai dengan tingkat
informasi yang akan dihasilkan. Semakin besar skala peta maka informasi atau
data yang dihasilkan semakin detil dan sebaliknya. Skala peta sangat tergantung
pada tujuan pengguna peta. Teknik membuat peta dipelajari dalam Kartografi
sebagai salah satu pelajaran inti dalam Geografi. Dengan adanya kemajuan
teknologi computer saat ini dikenal teknologi GIS atau Sistem Informasi
Geografi yang mampu menghasilkan sebuah peta relative secara lebih cepat dan
akurat. Teknologi GIS juga dapat digunakan sebagai alat bantu analisis
geografis.
Secara teoritis, dalam menelaah suatu
persoalan keruangan, Geografi memiliki tiga pendekatan utama yaitu (1) analisis
spasial, (2) analisis ekologis dan (3) analisis komplek regional sebagai gabungan
dari pendekatan (1) dan (2). Pendekatan ke tiga merupakan cara yang lebih tepat
digunakan untuk menelaah fenomena geografis yang memiliki tingkat kerumitan
tinggi karena banyaknya variable pengaruh dan dalam lingkup multi dimensi
(ekonomi, social, budaya, politik dan keamanan). Salah satu contoh adalah
telaah tentang pengembangan wilayah.
PENGEMBANGAN WILAYAH
Kegiatan pengembangan wilayah adalah suatu
kegiatan yang memiliki dua sifat yaitu sifat akademis dan sifat birokratis
dalam mengelola wilayah. Sifat akademis biasanya menggunakan istilah
“seyogyanya” dan sifat terapan biasanya menggunakan istilah “seharusnya”.
Dengan demikian, pendekatan geografi, dalam tulisan ini, dapat digunakan
dan dapat pula tidak digunakan dalam
kegiatan pengembangan wilayah tergantung kemauan politis pemegang kekuasaan.
Suatu pendekatan yang sudah dipilih dan diputuskan oleh pengambil keputusan
politis maka “harus” dilaksanakan oleh para pelaksana di lapangan dan “tidak
boleh” menggunakan yang lain. Produk politik seperti itu biasa disebut Undang
Undang atau berbagai peraturan lainnya. Tulisan ini mencoba melakukan elaborasi
sistim pembangunan yang berlaku saat ini dengan menggunakan pendekatan
geografi.
Berbeda dengan sistim pembangunan pada era
orde baru yang bertitik tolak dari GBHN yang berisi garis besar rencana
pembangunan yang ditetapkan oleh MPR,
sistim pembangunan pada era reformasi saat ini bertolak dari Program
Pembangunan Nasional (Propenas) yang berisi rencana pembangunan (lima tahun)
yang disusun oleh Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan setelah
mendapatkan persetujuan dari DPR. Saat ini, pemerintah (pemerintah pusat) dan
pemerintah daerah, dalam melaksanakan pembangunan mengacu pada UU nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atau dikenal dengan UU Otonomi Daerah
sebagai amandemen dari UU nomor 22 dan 25 tahun 1999. Di samping itu berbagai
UU lainnya seperti UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU nomor 25 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, UU nomor 2 tahun 1992 tentang Rencana Tata Ruang, UU
nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan UU lainnya yang telah
mendapatkan persetujuan DPR-RI digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan
pembangunan.
Namun demikian
pada prakteknya sistim pembangunan saat ini tidak berbeda dengan masa yang lalu
karena masih menggunakan istilah pembangunan sektoral dan pembangunan daerah. Bidang
pembangunan dijabarkan dalam sector, program dan proyek pembangunan. Proyek
merupakan jenjang terrendah dari hirarki istilah dalam pembangunan dan pada
tahap ini pelaksanaannya membutuhkan “dana” dan “tanah”. Dan dapat dimengerti,
hasil pelaksanaan dari proyek pembangunan tahap inilah yang akan merubah
kualitas lingkungan hidup, apakah semakin baik atau sebaliknya malah banyak
menimbulkan masalah baru bagi masyarakat.
Konsepsi pembangunan wilayah pada dasarnya
adalah pembangunan proyek proyek berdasarkan hasil analisa data spasial (Sandy
dalam Kartono, 1989). Karena yang disajikan adalah fakta spasial maka
ketersediaan peta menjadi mutlak diperlukan. Karena keseluruhan proyek berada
di tingkat kabupaten/kota maka pemerintah kabupaten/kota mutlak perlu
menyiapkan peta peta fakta wilayah dalam tema tema yang lengkap. Dalam lingkup
pekerjaan inilah antara lain dituntut peran aktif para ahli geografi.
Pengwilayahan
data spasial untuk menetapkan proyek pembangunan disebut wilayah subyektif,
sedang wilayah yang ditetapkan untuk suatu bidang kehidupan sebagai tujuan
pembangunan (penetapan wilayah pembangunan) disebut wilayah obyektif.
Implementasi wilayah pembangunan pada umumnya tidak sesuai dengan aspirasi
masyarakat.
Produk akhir dari analisis data spasial
disebut “wilayah geografik” sedang cakupan ruang muka bumi yang dianalisis
disebut “area/geomer/daerah”.
Saat ini semakin dapat dirasakan bahwa
perkembangan suatu daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh daerah
sekitarnya mulai dari daerah tetangga sampai daerah yang lebih jauh jaraknya
bahkan pengaruh dari bagian bumi lainnya. Dampak globalisasi telah membuktikan
hal itu. Oleh karena itu, wilayah sebagai system spasial dalam lingkup kegiatan
pengembangan wilayah merupakan subsistem spasial dalam lingkup yang lebih luas.
Sebuah kabupaten/kota, dalam kegiatan pengembangan wilayah, di samping
menganalisis data spasial kabupaten/kota yang bersangkutan, juga perlu memperhatikan paling tidak bagaimana
perkembangan daerah sekitarnya (interregional planning). Sebuah kabupaten/kota
tidak dapat hidup sendiri dan oleh karena itu perlu mengadakan kerja sama
dengan daerah tetangganya.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, suatu
proyek pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota sebagai unit
terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait dengan jenisnya dan
dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap berikutnya adalah
menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek tersebut akan
dilaksanakan. Ada
beberapa cara untuk menetapkan proyek pembangunan. Cara penetapan proyek
biasanya dilakukan, pada tahap awal, melalui suatu kajian akademis antara lain
berdasarkan pendekatan geografi, pendekatan ekonomi dan lainnya.
Pendekatan geografi dilakukan melalui
tahapan penetapan masalah, pengumpulan data dan analisis data mulai dari
kegiatan penyaringan, pengelompokan, klasifikasi data, kegiatan pengwilayahan,
korelasi dan analogi. Oleh karena adanya keragaman berbagai masalah yang
dihadapi masyarakat, berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah dan skala waktu
pelaksanaan, disusun skala prioritas proyek.
Hasil korelasi
secara spasial (tumpang tindih atau overlay peta wilayah) dapat ditunjukan
masalah apa sebagai prioritas proyek dan di mana lokasi proyek tersebut
dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, pendekatan geografi tidaklah sesederhana
itu.
Beberapa cara lain untuk menetapkan proyek
pembangunan dapat disebutkan antara lain dengan menerapkan teori Economic Base,
Multiplier Effect yang berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori
lokasi,(Location Theory), teori pusat (Central Place Theory) dan penerapan
teori Kutub Pengembanngan (Growth Pole Theory). .
- Teori Lokasi. Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3) keuntungan tertinggi.
- Teory Pusat Pelayanan. Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001).
- Teori Kutub Pertumbuhan. Berbeda dengan Christaller yang berlatar belakang ahli Geografi, teori Kutub Pertumbuhan diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan konsep ekonomi seperti konsep Industri Penggerak (leading industry), konsep Polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect).
Beberapa
kelemahan penerapan cara cara di atas dalam penetapan proyek pembangunan
dihadapkan pada factor politis pengambil kebijakan di tingkat kabupaten/kota
utamanya pada era otonomi daerah saat ini, factor ketersediaan dana dan bidang
tanah tempat dilaksanakannya proyek tersebut. Pada akhirnya dapat disimpulkan
bahwa pendekatan geografi menjadi factor kunci dalam kegiatan penetapan proyek
pembangunan berdasarkan penetapan prioritas secara tepat.
PENUTUP
Pendekatan geografi dalam pengembangan
wilayah paling tidak menggabungkan dua hal yang berbeda dalam substansi
analisis yaitu domain akademik dan domain birokratik. Pendekatan geografi yang
telah diuraikan di atas adalah suatu pendekatan akademis yang bersifat logis
dan rasional karena obyek terapannya dalam konteks ruang muka bumi yang karena
sifatnya disebut wilayah. Oleh karena itu peta menjadi instrument dasar, baik
pada tahap awal maupun akhir dari kegiatan pengembangan wilayah.
Secara sederhana, karena contoh
pengembangan wilayahnya di Indonesia, usaha untuk memperoleh hasil/manfaat yang
lebih baik dari kegiatan pengembangan atau pembangunan suatu “wilayah” selalu
berorientasi pada kehendak pemegang kedaulatan atas wilayah yang dimaksud yaitu
rakyat yang diekspresikan dalam perangkat UU. Karena pada dasarnya kegiatan
pengembangan wilayah diarahkan untuk sebesar besarnya kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat, lahir dan batin, argument dari sudut pandang ekonomi,
social budaya dan keamanan tidak dapat diabaikan dalam pengembangan wilayah.
Para
peserta pelatihan diharapkan dapat menularkan esensi tulisan ini kepada para
murid sekolah, dengan cara sederhana sesuai tingkat sekolahnya, dengan
menggunakan kata kunci : location, place dan space, sebagai alat bantu
menjelaskan berbagai fenomena geografis dalam perspektif keruangan.
BAHAN BACAAN
Haggett, 2001;
“Geography. A Global Synthesis”. Pearson Education Ltd, Prentice Hall,NY.
Sandy, IM dalam Kartono, 1989; “ Esensi Pembangunan Wilayah dan
Penggunaan Tanah Berencana” Departemen Geografi FMIPA-UI Jakarta.
Undang Undang
Otonomi Daerah, 2005,Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Geografi
Regional, 2005; Kumpulan Bahan Kuliah Program Pasca sarjana Ilmu Geografi
Departemen Geografi FMIPA-UI .
0 Response to "DOWNLOAD MAKALAH GEOGRAFI PENDEKATAN GEOGRAFI DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH"
Posting Komentar