1. Pendahuluan
Pendidikan IPS sebagai salah satu
program pendidikan persekolahan mempunyai misi yang sangat esensial dan
strategis, yaitu membentuk, mengembangkan, dan melatih peserta didik menjadi
warga masyarakat, bangsa, dan negara yang mempunyai pengetahuan, pemahaman, dan
keterampilan yang komprehensif sehingga mampu menjalani kehidupan masyarakat
modern dan tataran kehidupan masyarakat global. Tujuan pembelajaran IPS tidak
semata-mata untuk menyiapkan peserta didik
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun yang lebih
penting adalah pembentukan dan pelatihan peserta didik untuk memiliki literasi
sosial dan budaya kebangsaan yang tinggi. Untuk itu, pembelajaran IPS di
sekolah seyogyanya mengacu pada format “keterpaduan dan kesejajaran” dengan
isu-isu sosial aktual yang ada dan berkembang di masyarakat, seperti; abrasi
moral kebangsaan, krisis kepercayaan, masalah hak azasi manusia, masalah
keadilan, pencemaran lingkungan, dan abrasi nilai-nilai budaya kebangsaan.
Banyak guru yang mendasarkan diri pada asumsi yang salah dalam
membelajarkan IPS. Mereka beranggapan bahwa IPS adalah pengetahuan yang dapat
ditransfer sedemikian rupa secara utuh dari kepala guru ke kepala peserta didik
dengan pola teks book oriented . Akibatnya, mungkin saja guru telah
merasa mengajar dengan baik, namun realitasnya peserta didik tidak belajar
secara optimal. Di samping itu, pola
pembelajaran yang demikian menyebabkan pembelajaran IPS “gersang” dan tercabut
dari akar budaya masyarakat yang merupakan sumber dari pembelajaran IPS itu
sendiri. Persoalan ini semakin komplreks, mengingat materi IPS pada jenjang
sekolah sangat luas dan abstrak. Padahal, secara psikologis, peserta didik
khususnya pada jenjang sekolah dasar masih berada pada tahap operasional
kongkrit.
Berdasarkan kajian terhadap masalah
di atas, maka penelitian ini difokuskan pada upaya pengembangan model
pembelajaran IPS dengan pendekatan sosial-budaya. Pemilihan model belajar berpendekatan sosial-budaya
adalah sebagai salah satu alternatif dalam memperbaiki kualitas proses dan
produk pembelajaran IPS di sekolah dasar didasari oleh rasional bahwa: (1)
model belajar berpendekatan sosial-budaya menawarkan sejumlah kemudahan dan
peluang kepada guru dalam meningkatkan motivasi dan keterlibatan belajar
peserta didik, sehingga model ini layak untuk dikembangkan untuk memperbaiki
kualitas proses dan produk pembelajaran IPS, (2) adanya rangkaian kegiatan
belajar dan tindakan langsung (action) dalam tahapan model belajar
berpendekatan sosial-budaya, dapat mengkondisikan peserta didik untuk belajar
secara optimal sambil melatih secara langsung kemampuan dan keterampilan yang
telah dipelajarinya di kelas, dan (3) model belajar berpendekatan sosial-budaya
memiliki nilai lebih dalam kaitannya dengan pengembangan dan peningkatan
pemahaman materi dan pelatihan keterampilan sosial peserta didik dalam latar
sosial yang nyata, yang selama ini aspek tersebut cenderung terabaikan dalam
pembelajaran IPS.
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, maka permasalahan penelitian yang dicari jawabannya melalui
penelitian ini adalah: bagaimanakah efektivitas
model belajar berpendekatan sosial-budaya dalam pembelajaran IPS di sekolah
dasar?.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukakan pada
sekolah dasar di Kabupaten Buleleng, dengan pelibatan 4 Kecamatan, yaitu:
Kecamatan Tejakula, Kecamatan Seririt, Kecamatan Buleleng, dan Kecamatan
Busungbiu. Penentuan sampel penelitian ini menggunakan teknik purpossive sampling. Jumlah sekolah dasar yang dijadikan sampel penelitian sebanyak 8 (delapan) buah, yang diambil dari
masing-masing kecamatan sebanyak 2 (dua)
sekolah dasar.
Adapun instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: (1) pedoman observasi, (2) kuisioner, (3) pedoman wawancara, (4) studi dokumentasi, (5) tes, dan (6) expert judment. Dalam penelitian ini, ada dua jenis data yang dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Untuk itu, tehnik analisisnya menggunakan teknik analisis parametrik dengan uji t, dan analisis data kualitatif untuk pemaknaan terhadap deskripsi data mengenai isu, logika, dan inferensinya.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Aktivitas Belajar dan Pemahaman Materi
Peserta Didik
Berdasarkan hasil pengembangan model
yang telah dilakukan, tampak bahwa kinerja peserta didik mengalami peningkatan
yang cukup berarti. Hal ini bisa dilihat dari aktivitas belajar dan pemahaman
materi yang dicapai. Dilihat dari aktivitas belajar peserta didik, tampak bahwa
pada uji coba pertama pada pertemuan tatap muka pertama, peserta didik belum
menunjukkan aktivitas belajar yang sebagaimana yang diinginkan. Mereka masih
terpola oleh aktivitas belajar yang selama ini dikembangkan oleh guru, yaitu
hanya mendengarkan dan mencatat apa yang diberikan oleh guru selama
berlangsungnya pembelajaran. Kondisi ini ditunjang oleh kinerja guru yang belum
mampu menstimuli peserta didik untuk terlibat secara optimal selama
berlangsungnya pembelajaran. Pada pertemuan pertama uji coba pertama ini, belum
tampak ada peserta didik yang berani mengangkat tangan untuk mengajukan
pertanyaan atau pun berpendapat mengenai isu-masalah sosial dan budaya yang
ditugaskan oleh guru untuk dibahas. Di samping itu, guru tampaknya juga terlalu
mendominasi pembelajaran, sehingga lupa memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk mengajukan pendapat atau pertanyaan selama berlangsungnya
pembelajaran.
Kondisi ini mulai berubah pada pertemuan tatap muka kedua, yakni
peserta didik sudah mulai berani mengemukakan pendapat dan mengajukan
pertanyaan kepada guru, baik mengenai materi yang dibelajarkan maupun mengenai
isu-masalah sosial dan budaya yang diangkat oleh guru pada pertemuan
sebelumnya. Aktivitas belajar peserta didik pada tatap muka kedua ini
menunjukkan peningkatan dibandingkaan dengan
pertemuan sebelumnya. Indikatornya
dapat dilihat dari semakin aktifnya peserta selama berlangsungnya
pembelajaran, walaupun tampak belum terbiasa dengan pola pembelajaran yang
dikembangkan oleh guru. Mereka telah memanfaatkan kesempatan yang diberikan
oleh guru untuk mengajukan pertanyaan maupun ide dan gagasannya mengenai isu
dan masalah sosial-budaya yang berkaitan dengan materi yang dikemukakan oleh
guru. Hal tersebut juga tampak ketika dilakukan penyajian hasil kerja dari
setiap tim kerja di muka kelas, yaakni mereka tampak dengan aktif mengajukan
pertanyaan dan pendapatnya mengenai hasil kerja tim yang menyajikan laporannya
di depan kelas.
Berdasarkan ilustrasi di atas, tampak bahwa pada pertemuan
ini, kemampuan peserta didik dalam mengungkapkan gagasan dan pendapatnya telah
menunjukkan perbaikan dan mencerminkan kemampuan mereka untuk merumuskan
hipotesis terhadap masalah yang telah dibahas secara klasikal. Peningkatan ini,
tampaknya banyak dikontribusi oleh layanan belajar yang diberikan oleh guru,
baik yang bersifat individual maupun klasikal yang disertai dengan pemberian
beberapa contoh tentang tata cara merumuskan sebuah hipotesis. Di samping itu,
aktivitas belajar dalam tim atau kelompok dari peserta didik juga
mengindikasikan terjadinya peningkatan yang dapat dilihat dari bagaimana mereka
terlibat secara aktif dan terbuka dalam kegiatan diskusi di dalam tim kerjanya
masing-masing selama berlangsungnya pembahasan secara kelompok yang dikembangkan
oleh guru. Kinerja yang ditunjukkan oleh peserta didik sebagaimana yang
tergambar di atas, sudah dipandang cukup sesuai dengan apa yang diharapkan
selama pengembangan model. Dilihat dari pemahaman materi peserta didik, tampak
bahwa dari 4 kali prates dan pasca tes yang dilakukan selama pengembangan
model, juga menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan antara hasil
prates dan pascates yang diperoleh oleh peserta didik, baik pada waktu uji coba
pertama maupun pada saat dilakukannya uji coba kedua. Adapun perbandingan
perolehan skor peserta didik pada uji coba pertama dan kedua dapat dilihat
dalam tabel berikut.
Tabel 01. Perbandingan Perolehan Skor Peserta Didik Pada Uji
Coba Pertama Dan Kedua
Variabel
|
Mean
|
Std.
|
Nilai t
|
Sign.
|
¨
Pra-tes 01
¨
Pasca-tes 01
|
4,037
7,401
|
1,374
1,067
|
38,462
|
0,0001
|
¨
Pra-tes 02
¨
Pasca-tes 02
|
3,744
7,593
|
1,163
1,081
|
31,548
|
0,0001
|
¨
Pra-tes 03
¨
Pasca-tes 03
|
4,072
7,906
|
1,224
0,818
|
32,585
|
0,0001
|
¨
Pra-tes 04
¨
Pasca-tes 04
|
4,224
7,824
|
1,105
0,938
|
37,638
|
0,0001
|
Berdasarkan
tabel di atas, dapat kita lihat bahwa nilai t hitung untuk keempat kali tes
yang telah dilakukan yaitu: 38,462; 31,548;
32,585; 37,638 adalah signifikan
dengan ยต=0,0001.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara
skor prates dengan skor pascates (a = 0,0001).
Hal ini berarti bahwa perolehan skor pascates peserta didik lebih tinggi dari
perolehan skor prates, sehingga perbedaan tersebut merupakan implikasi dari
kegiatan pembelajaran yang telah dikembangkan oleh guru. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh guru telah mengakibatkan
terjadinya perubahan pemahaman pada diri peserta didik terhadap materi yang
diajarkan. Untuk mengetahui lebih jauh tentang perbedaan mean skor pascates antara
kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen, maka dilakukan uji statistik yaitu
uji t, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 02. Perbedaan Mean Skor Pascates Antara Kelompok
Kontrol Dengan Kelompok Eksperimen
Variabel
|
Mean
|
Std.
|
Nilai t
|
Sign.
|
|
¨
Pasca-tes 01
|
KE
KK
|
7,401
6,707
|
1,067
1,316
|
24,513
|
0,0001
|
¨
Pasca-tes 02
|
KE
KK
|
7,593
6,718
|
1,081
1,245
|
52,294
|
0,0001
|
¨
Pasca-tes 03
|
KE
KK
|
7,906
6,244
|
0,818
0,844
|
71,667
|
0,0001
|
¨
Pasca-tes 04
|
KE
KK
|
7,824
6,409
|
0,938
1,311
|
47,381
|
0,0001
|
Berdasarkan
tabel di atas, dapat kita lihat bahwa nilai t hitung dari perbandingan antara
pascates kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yaitu: 24,513; 52,294;
71,667; 47,381 adalah signifikan dengan ยต=0,0001.
Dengan demikian, hasil tersebut menunjukkan signifikansi perbedaan antara hasil
pascates kelompok eksperimen (KE) dengan kelompk kontrol (KK) yaitu a
= 0,0001. Berdasarkan hasil analisis ini, maka dapat disimpulkan bahwa
perolehan skor pascates untuk kelompok eksperimen lebih baik dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Artinya model pembelajaran yang digunakan pada
eksperimen memberikan hasil yang lebih baik terhadap pemahaman materi peserta
didik, dibandingkan dengan model pembelajaran yang digunakan pada kelompok
kontrol. Berdasarkan gambaran mengenai kinerja peserta didik selama
berlangsungnya pengembangan model, dapat disimpulkan bahwa kinerja peserta
didik menunjukkan adanya peningkatan, baik dilihat dari aktivitas belajar
maupun pemahaman mereka terhadap materi yang diajarkan. Perbedaan skor kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol ini mungkin masih dipengaruhi pemberian pretest.
3.2 Literasi Sosial-Budaya Peserta Didik
Sebelum dan sesudah dilakukan
pengembangan model, kepada peserta didik diberikan tes literasi sosial-budaya
yang berkaitan dengan materi yang
dibelajarkan, yaitu mengenai sumber daya alam. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui efektivitas dari pengembangan model belajar berpendekatan
sosial-budaya terhadap tingkat literasi sosial-budaya peserta didik berkaitan
dengan materi pembelajaran. Berdasarkan hasil prates dan pascates literasi
sosial-budaya pada tahap pengembangan model ini, tampak bahwa terjadi
peningkatan literasi sosial-budaya peserta didik yang berkaitan dengan materi
yang diajarkan, yaitu tentang sumber daya alam. Adapun perbandingan perolehan
rerata skor prates dan pascates literasi sosial-budaya tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut.
Tabel 03. Perbandingan Perolehan Rerata Skor Prates Dan
Pascates Literasi Sosial-Budaya
Variabel
|
Mean
|
Std.
|
Nilai t
|
Sign.
|
¨
Pra-tes 01
¨
Pasca-tes 01
|
4,037
7,401
|
1,374
1,067
|
38,462
|
0,0001
|
¨
Pra-tes 02
¨
Pasca-tes 02
|
3,744
7,593
|
1,163
1,081
|
31,548
|
0,0001
|
¨
Pra-tes 03
¨
Pasca-tes 03
|
4,072
7,906
|
1,224
0,818
|
32,585
|
0,0001
|
¨
Pra-tes 04
¨
Pasca-tes 04
|
4,224
7,824
|
1,105
0,938
|
37,638
|
0,0001
|
Berdasarkan
tabel di atas, dapat kita lihat bahwa nilai t hitung untuk keempat kali tes
yang telah dilakukan yaitu: 38,462; 31,548; 32,585; 37,638 adalah signifikan
dengan ยต=0,0001.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa: (1) Kurikulum IPS Sekolah Dasar Tahun 1994
yang diberlakukan saat ini, memungkinkan dikembangkannya model belajar
berpendekatan sosial-budaya dalam pembelajaran IPS, (2) Dilihat dari perspektif
model belajar berpendekatan sosial-budaya, Kurikulum IPS Sekolah Dasar yang ada
saat ini sudah ada beberapa formulasi
tujuan pembelajaran umum (TPU) yang mengarah pada tercapainya literasi
sosial-budaya peserta didik, (3) Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
kurikulum IPS Sekolah Dasar Tahun 1994 yang diberlakukan saat ini, memungkinkan
dikembangkannya model belajar berpendekatan sosial-budaya dalam pembelajaran
IPS. Untuk mengetahui lebih jauh tentang perbedaan mean skor pascates antara
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, maka dilakukan uji statistik yaitu
uji t, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 04. Perbedaan Mean Skor Pascates Antara Kelompok
Eksperimen Dengan Kelompok Kontrol,
Variabel
|
Mean
|
Std.
|
Nilai t
|
Sign.
|
|
¨
Pasca-tes 01
|
KE
KK
|
7,401
6,707
|
1,067
1,316
|
24,513
|
0,0001
|
¨
Pasca-tes 02
|
KE
KK
|
7,593
6,718
|
1,081
1,245
|
52,294
|
0,0001
|
¨
Pasca-tes 03
|
KE
KK
|
7,906
6,244
|
0,818
0,844
|
71,667
|
0,0001
|
¨
Pasca-tes 04
|
KE
KK
|
7,824
6,409
|
0,938
1,311
|
47,381
|
0,0001
|
Berdasarkan
tabel di atas, dapat kita lihat bahwa nilai t hitung dari perbandingan antara
pascates kelompok eksperimen KE dan kelompok kontrol KK yaitu: 24,513; 52,294;
71,667; 47,381 adalah signifikan dengan ยต=0,0001.
Dengan demikian, hasil tersebut menunjukkan signifikansi perbedaan antara hasil
pascates kelompok KE dengan kelompok KK yaitu a = 0,0001.
Perbedaan skor kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ini mungkin masih
dipengaruhi pemberian pretest.
3.3 Pembahasan Hasil Penelitian
Model belajar berpendekatan
sosial-budaya yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah kontrol model
teoritis yang direkomendasikan oleh NCSS (1996:117). Model belajar
berpendekatan sosial-budaya ini pada awalnya dikembangkan dalam pembelajaran
bidang eksakta, dengan penekanan pada kemampuan peserta didik dalam memahami
materi ajar dan peningkatan literasi sosial-budaya peserta didik sebagai warga
negara yang potensial. Model belajar berpendekatan sosial-budaya hasil
pengembangan terdiri dari 5 (lima) tahap atau langkah.
Berpijak pada kerangka model teoritis dan model definitif hasil
pengembangan, maka pembahasan dalam konteks ini, akan difokuskan pada tahap
demi tahap dari model belajar berpendekatan sosial-budaya itu sendiri dalam
kaitannya dengan fokus penelitian. Esensi dari klarifikasi isu dan identifikasi
konsep pada tahap ini adalah memfasilitasi keterkaitan antara konsep dan isu
atau masalah yang telah dimiliki oleh peserta didik dengan informasi baru yang
hendak diajarkan. Upaya penggalian konsep awal dalam konteks ini sangat penting
untuk mengkondisikan kesiapan belajar peserta didik (Bodner, 1960; Hasan,
1996). Rangkaian kegiatan pada tahap ini (klarifikasi) pada dasarnya
dimaksudkan untuk menggetarkan memori peserta didik agar mereka memiliki
kesiapan belajar yang memadai (Winecoff, 1988; Kosasih, 1994). Sementara Yager
(1994: 1992) menyatakan bahwa dalam pembelajaran dengan pendekatan sosial-budaya
pada dasarnya dimaksudkan untuk menstimuli peserta didik untuk terlibat dan
memahami masalah sedini mungkin. Berdasarkan rangkaian kegiatan pembelajaran
pada tahap inisiasi, dapat disimpulkan bahwa: (1) peserta didik lebih mudah
dalam memahami isu atau masalah sosial-budaya aktual yang berkaitan dengan
materi yang akan diajarkan, (2) peserta didik termotivasi untuk mengungkapkan
pemahaman mereka terhadap materi yang akan diajarkan, sehingga tumbuhnya
situasi baru bagi peserta didik untuk memperoleh informasi atau pemahaman yang
baru dan lebih komprehensif, (3) kemudahan peserta didik dalam memahami isu
atau masalah sosial-budaya aktual di masyarakat yang berkaitan dengan materi
distimulasi oleh upaya guru memberikan contoh-contoh isu atau masalah yang dekat
dengan lingkungan peserta didik, (4) peserta didik tampak antusias dalam
menjawab dan mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan isu atau masalah
sosial-budaya yang diketengahkan oleh guru. Hal ini berkaitan dengan apa yang
dikedepankan oleh Pedersob (1996) dan Solomon (1996), bahwa dimensi proses
dalam pembelajaran dengan model berpendekatan sosial-budaya telah tampak sejak
awal pembelajaran, karena iklim pembelajaran dalam model ini sangat positif
dalam memfasilitasi unjuk kerja peserta didik secara optimal, dan (5)
terjadinya peningkatan kinerja guru, yakni guru lebih banyak berposisi sebagai
fasilitator dan mediator pembelajaran (perbandingan dengan temuan penelitian
prasurvai). Melalui pengkajian terhadap masalah-masalah sosial-budaya yang membutuhkan
pendekatan interdisipliner, peserta didik secara almiah dan terstruktur dapat
meningkatkan literasi sosial-budayanya sekaligus melakukan refleksi terhadap
nilai dirinya berkaitan dengan masalah yang dibahas (Waterworth, 2000:201).
Pola pembelajaran yang dikembangkan pada tahap ini, jika dilihat
dari kebutuhan belajar peserta didik, tampaknya keseluruhan aktivitas
pembelajaran diarahkan pada kepuasan belajar peserta didik, dengan fasilitasi
guru sebagai pelaksana pembelajaran. Berdasarkan realitas ini, tampak bahwa
model belajar berpendekatan sosial-budaya bukan saja memaksimalkan peran serta
atau keterlibatan peserta didik selama pembelajaran, tetapi secara signifikan
telah meningkatkan kinerja guru dalam keseluruhan aspek kemampuan dan
keterampilan melakukan pembelajaran. Dalam konteks penelitian ini, penggunaan
modul, gambar, kliping dan bagan konsep yang dikembangkan oleh guru selama
berlangsungnya pembelajaran sangat membantu peserta didik dalam memahami
konsep-konsep utama materi, dan isu atau masalah sosial-budaya aktual yang ada
di lingkungan masyarakatnya. Melalui kegiatan pemecahan masalah sosial-budaya
secara langsung dalam kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
konsep-generalisasi yang telah dipelajarinya, akan mengeliminir sikap negatif peserta
didik terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh guru (McComas, 1993:63). Dengan
demikian, temuan penelitian ini tampaknya cukup efektif dalam meningkatkan
motivasi dan budaya belajar peserta didik terhadap IPS sebagai salah satu mata
pelajaran yang selama ini dipandang kurang bermanfaat dan membosankan, baik
oleh peseta didik maupun masyarakat luas.
4. Penutup
Berdasarkan permasalahan pokok dan
hasil serta pembahasan terhadap hasil penelitian sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, maka dapat diformulasikan beberapa simpulan sebagai berikut:
(1) prosedur pembelajaran dengan model belajar berpendekatan sosial-budaya
memberikan keleluasaan yang optimal bagi peserta didik untuk berimprovisasi
selama berlangsungnya pembelajaran sehingga dapat menciptakan iklim dan
aktivitas belajar yang kondusif; (2)
dilihat dari efektivitas model belajar berpendekatan sosial-budaya
terhadap peningkatan pemahaman materi IPS oleh peserta didik, tampak bahwa
pemahaman peserta didik terhadap materi yang diajarkan memperlihatkan grafik
yang meningkat, dan pada tahap uji coba model, hasil tes evaluasi yang
dilakukan menunjukkan bahwa rerata skor evaluasi belajar peserta didik yang
dibelajarkan dengan model belajar berpendekatan sosial-budaya lebih tinggi
daripada skor rerata peserta didik yang dibelajarkan dengan model belajar
konvensional; dan (3) terjadi peningkatan literasi sosial-budaya peserta didik
yang berkaitan dengan materi yang dibelajarkan dalam pembelajaran IPS
berpendekatan sosial-budaya.
Berlandaskan pada simpulan penelitian yang merupakan hasil kajian, analisis, evaluasi, dan refleksi terhadap keseluruhan temuan penelitian dan dengan mempertimbangkan karakteristik serta keunggulan komparatif yang dimiliki oleh model belajar berpendekatan sosial-budaya, maka dapat diformulasikan sejumlah prinsip berkaitan dengan efektivitas model dalam konteks instruksional terprogram sebagai rekomendasi dari penelitian pengembangan ini. Khususnya kepada Departemen Pendidikan Nasional beserta jajarannya, agar dapat membantu dalam mensosialisasikan produk dari penelitian ini sebagai salah satu upaya terprogram dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar melalui penggunaan produk penelitian ini yang telah teruji secara empiris-edukasi. Sosialisasi tersebut bisa dilakukan melalui program in-service training maupun service training, serta pemanfaatan gugus-gugus guru yang telah terbentuk di masing-masing kecamatan, sehingga dimensi-dimensi dari produk penelitian ini dapat dikaji dan didesiminasikan secara lebih efektif dan meluas. Dengan demikian, kekhawatiran dan kesulitan guru dalam mengembangkan dan menerapkan model belajar berpendekatan sosial-budaya sebagai sebuah langkah inovatif dalam pembelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar dapat dieliminir dan dicarikan alternatifnya dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang terarah dan terprogram.
DAFTAR PUSTAKA
Andi H. Nasution. 1991. Kurikulum Pendidikan Dasar dan Struktur
Pendidikan Dasar Lanjutan. Surabaya: Gema Kliping Service.
Banks, James A. &
Ambrose A. Clegg, Jr. 1985. Teaching Strategies for the Social Studies.
NY: Longman, Inc.
Beyer, Barry K. 1989. Teaching Thinking in Social Studies.
Revished Edition. Columbia: Charles E Merril Pub. Co.
Dedikbud. 1994. Kurikulum
Pendidikan Dasar: GBPP IPS-SD. Jakarta: Depdikbud.
Djahiri, Kosasih. 1994. Profil
Guru IPS Masa Depan. (Makalah). Disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan
di Jakarta tahun 1994.
Hackett, J. Edward. 1999. Science
and Social Studies Program. (Online) Available at http://wwehackettw.@nsf.gov
Hasan, Hamid. 1996. Inovasi
dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung: PPS IKIP Bandung.
National Council of the
Social Studies. 2000. Guidelines for Teaching About
Science/Technology/Society in Social Studies: Education for Citizenship in the
21st Century. (On line). Available at http://www.uow.edu.au/sts/
ncss/pubs/00nvt.html.
Savage, Tom V. and David G.
Armstrong. 1996. Effective Teaching in
Elementary Social Studies. Third Edition. New Jersey Prentice-Hall Inc.
Stahl, Robert J. 1994. Cooperative Learning in social Studies: Hand Book for Teachers. USA: Kane
Publishing Service, inc.
Yager, A. Robert. 1996. To
Start an STS Course in K-12 Setting. Bulletin of Science, Technology &
Society. Vol. 6, Number 2 & 3.
0 Response to "DOWNLOAD MAKALAH IPS PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN IPS SEKOLAH DASAR BERWAWASAN SOSIAL DAN BUDAYA (STUDI PEMBELAJARAN IPS UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SOSIAL-BUDAYA SISWA SEKOLAH DASAR) "
Posting Komentar