AKUNTANSI SYARI’AH
Pendahuluan
Dari
sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu yang mencoba mengkonversi bukti
dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai
transaksi dan dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan
seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Kaidah Akuntansi dalam
konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum
yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan
dipergunakan sebagai aturan oleh seorang akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam
pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi
pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Menurut
Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”,
Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum
kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi
Islam ada konsep Akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang
berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia dan Akuntansi Islam sesuai dengan
kecenderungan manusia yaitu hanief yang menuntut agar perusahaan juga
memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di
akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan
Allah SWT. Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat
semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah
sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double
entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai
buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13
yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau
menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan
memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan
demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”,
mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat
mengada-ada.
Namun
apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah
munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan
terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para
Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk
perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak
pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri
pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk
menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas
keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini
sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah
Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi,
dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh
kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada
awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya………”
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah,
bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran
telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca
Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Tak lupa saya mengucapkan
terima kasih kepada dosen saya tercinta Bpk. Aminul Fajri SE, Akt yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk membahas topik yang menarik ini.
Analisis dan Pembahasan
1.
Dasar Hukum Akuntansi Syari’ah
Dasar
hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma
(kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf
(adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah
Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah
Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan
norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi
sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
2.
Sekilas Tentang Akuntansi Syari’ah
Dari
sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba
mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran
atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account,
perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan
laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan
dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran
dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam
hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah
Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan
timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah
kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran
dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba
perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan
adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari
bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah
manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa
saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya,
sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk
itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan
beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari
dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
Dalam
Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang
dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus
menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam
Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
3.
Persamaan Akuntansi Syari’ah dengan Akuntansi Konvensional
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan
Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
a. Prinsip
pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
b. Prinsip
penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan
keuangan;
c. Prinsip
pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
d. Prinsip
kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
e. Prinsip
perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost
(biaya);
f. Prinsip
kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
g. Prinsip
keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
4.
Perbedaan Akuntansi Syari’ah dengan
Akuntansi Konvensional
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah,
dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada
hal-hal sebagai berikut:
a. Para ahli akuntansi modern berbeda
pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok,
dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum
ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan
nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi
kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang
kontinuitas;
b. Modal dalam konsep akuntansi konvensional
terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang
beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok
dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock),
selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
c. Dalam konsep Islam, mata uang seperti
emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari
segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan
nilai atau harga, atau sebagai sumber harga atau nilai;
d.
Konsep konvensional
mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian
dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan
konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau
harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan
untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
e.
Konsep konvensional menerapkan
prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga
uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba
dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan
yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang
haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat
yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak
boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
f.
Konsep konvensional menerapkan
prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep
Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan
pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan
tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak
boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
5.
Praktek Akuntansi Pemerintahan Islam
→ Pada zaman Rasulullah SAW cikal bakal
akuntansi dimulai dari fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuannya dan
penunjukkan orang-orang yang kompeten (Zaid, 2000);
→ Pemerintahan Rasulullah SAW memiliki 42
pejabat yang digaji, terspesialisasi dalam peran dan tugas tersendiri(Hawary,
1988);
→ Perkembangan pemerintahan Islam hingga
Timur Tengah, Afrika, dan Asia di zaman Umar bin Khatab, telah meningkatkan
penerimaan dan pengeluaran negara;
→ Para sahabat merekomendasikan perlunya
pencatatan untuk pertanggungjawaban penerimaaan dan pengeluaran negara;
→ Umar bin Khatab mendirikan lembaga yang
bernama Diwan (dawwana = tulisan);
→ Reliabilitas laporan keuangan pemerintahan
dikembangkan oleh Umar bin Abdul Aziz (681-720M) dengan kewajiban mengeluarkan
bukti penerimaan uang (Imam, 1951);
→ Al Waleed bin Abdul Malik (705-715M)
mengenalkan catatan dan register yang terjilid dan tidak terpisah seperti
sebelumnya (Lasheen, 1973);
→ Evolusi perkembangan pengelolaan buku
akuntansi mencapai tingkat tertinggi pada masa Daulah Abbasiah;
→ Akuntansi diklasifikasikan pada beberapa
spesialisasi seperti Akuntansi peternakan, Akuntansi pertanian, Akuntansi
perbendaharaan, Akuntansi konstruksi, Akuntansi mata uang, dan pemeriksaan buku
/ auditing (Al-Kalkashandy, 1913);
→ Sistem pembukuan menggunakan model buku
besar, meliputi :
a. Jaridah Al-Kharaj (menyerupai receivabale subsidiary ledger),
menunjukkan utang individu atas zakat tanah, hasil pertanian, serta utang hewan
ternak dan cicilan. Utang individu dicatat di satu kolom dan cicilan pembayaran
di kolom yang lain (Lasheen, 1973);
b. Jaridah Annafakat (Jurnal Pengeluaran);
c. Jaridah Al Mal (Jurnal Dana), mencatat
penerimaan dan pengeluaran dana zakat;
d. Jaridah Al Musadareen, mencatat penerimaan
denda / sita dari individu yang tidak sesuai syariah, termasuk korupsi.
→ Laporan Akuntansi yang berupa :
a. Al-Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan
pengeluaran yang dibuat setiap bulan (Bin Jafar, 1981);
b. Al Khitmah Al Jame’ah, laporan keuangan
komprehensif gabungan antara income
statement dan balance sheet
(pendapatan, pengeluaran, surplus / defisit, belanja untuk aset lancar maupun
aset tetap), dilaporkan pada akhir tahun;
→ Dalam perhitungan dan penerimaan zakat. Utang
zakat diklasifikasikan pada laporan keuangan dalam 3(tiga) kategori yaitu collectable debts, doubtful debts, dan uncollectable debts (Al-Khawarizmi,
1984).
Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan,
bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai
kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari
sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang
Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran,
pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu
kejadian atau peristiwa.
Selain
dari itu melalui uraian di atas dapat kita ketahui bersama, bahwa konsep
Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan
bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh
pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai
ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah
dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)
Akhir kata
saya mohon maaf yang sebesar-sebesarnya bila dalam penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan, wabillahi
taufik wal hidayah wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Referensi
-
Departemen
Agama Republik Indonesia. 1989. Al Qur’an
dan Terjemahannya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an. Jakarta.
-
Triyuwono,
Iwan dan Moh. As’udi. 2001. Akuntansi
Syari’ah : Memformulasikan Konsep Laba dalam Konteks Metafora Zakat. Salemba
Empat. Jakarta.
0 Response to "CONTOH MAKALAH AKUNTANSI SYARIAH TERBARU DAN TERLENGKAP"
Posting Komentar