BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa adalah kunci pokok bagi kehidupan manusia di
atas dunia ini, karena dengan bahasa orang bisa berinteraksi dengan sesamanya
dan bahasa merupakan sumber daya bagi kehidupan bermasyarakat. Adapun bahasa
dapat digunakan apabila saling memahami atau saling mengerti erat hubungannya
dengan penggunaan sumber daya bahasa yang kita miliki. Kita dapat memahami
maksud dan tujuan orang lain berbahasa atau berbicara apabila kita mendengarkan
dengan baik apa yang dikatakan. Untuk itu keseragaman berbahasa sangatlah
penting, supaya komunikasi berjalan dengan lancar.
Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber
pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: “ Kami poetera dan poeteri
Indonesia mendjoengjoeng bahasa persatoean, bahasa indonesia: dan apada
Undang-Undang Dasar 1945 kita yang di dalamnya tecantum pasal khusus yang
menyatakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”.
Maka daripada itu bangsa Indonesia pada tahun 1945
menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang dituangkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945, dan sampai sekarang pemakaian bahasa Indonesia makin
meluas dan menyangkut berbagai bidang kehidupan.
Kita sebagai calon pendidik harus dapat memelihara
bahasa Indonesia ini, mengingat akan arti pentingya bahasa untuk mengarungi
kehidupan masa globalisasi, yang menuntut akan kecerdasan berbahasa, berbicara,
keterampilan menggunakan bahasa dan memegang teguh bahasa Indonesia, demi
memajukan bangsa ini, supaya bangasa kita tidak dipandang sebelah mata oleh
bangsa lain. Maka dari itu disini penulis akan mencoba menguraikan tentang
“Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.”
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan
masalahnya, yaitu:
1.
Apa pengantar terhadap kajian TBBI?
2.
Apa pengertian dari beberapa pengertian
dasar TBBBI?
3.
Apa yang dimaksud bunyi bahasa dan tata
bunyi?
C. Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan dalam penulisan makalah ini,
yaitu:
1.
Untuk mengetahui pengantar terhadap
kajian TBBI.
2.
Untuk mengetahui pengertian dari
beberapa pengertian dasar TBBBI.
3.
Untuk mengetahui seluk beluk tentang
bunyi bahasa dan tata bunyi.
D.
Sistematika
Penulisan
Pada
makalah ini, penyusun menjelaskan mengenai penerapan fonologi si sekolah dasar yang
dimulai dengan bab pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang, rumusan
masalah, prosedur , dan sistematika penulisan.
Bab
berikutnya yaitu bab dua, penyusun menguraikan secara rinci berdasarkan
data-data yang penyusun peroleh dari buku dan internet mengenai kajian teori
tentang pengantar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI), pengertian dasar
seputar TBBBI serta bunyi bahasa dan tata bahasa.
Bab
ketiga, merupakan bab kesimpulan
dan saran dalam makalah
ini. Pada bagian ini, penyusun menyimpulkan uraian
sebelumnya dan memberikan saran agar para pembaca khususnya para mahasiswa untuk lebih
memahami mengenai penerapan fonologi di sekolah dasar.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA DAN ANALISIS KURIKULUM
A.
Pengantar
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
1.
Kedudukan
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di
kawasan republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada
ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi : “Kami poetra dan poetri
Indonesia mendjoeng-djoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada
Undang-Undang Dasar 1945 kita yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang
menytakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Inedonesia”. Penting tidaknya suatu
bahasa dapat juga didasari patokan seperti jumlah penutur, luas penyebaran, dan
peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.
Patokan yang pertama, yakni jumlah penutur, maka
bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya mungkin tidak sebanyak
bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi jika pada jumlah itu ditambahkan penutur
dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamaatau
bahasa kedua, kedudukannya dalam deretan jumlah penutur berbagai bahasa di
Indonesia ada di peringkat pertama. Pertambahan itu disebabkan oleh berbagai
hal. Pertama arus pindah ke kota besar, seperti Jakarta. Kedua, perkawinan
antarsuku sering mendorong orang tua untuk berbahasa Indonesia dengan anaknya.
Hal itu terjadi jika kedua bahasa daerah yang dipakainya banyak perbedaannya.
Ketiga, yang bertalian dengan patokan kedua di atas, generasi muda golongan warga
Negara yang berketurunan asing ada yang tidak lagi merasa perlu menguasai
bahasa leluhurnya. Keempat, orang tua masa kini yang sama atau berbeda latar
budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk menjadikan anaknya penutur asli
bahasa Indonesia.
Patokan yang kedua, yakni luas penyebaran, jelas
menempatkan bahasa Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa kedua,
pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ke ujung timur dan dari
pucuk utara sa,pai ke batas selatan negeri kita. Sebagai bahasa asing, bahasa
Indonesia dipelajari di luar negeri
seperti
di Amerika Serikat, Australia, Belanda, Ceko, Cina, Filipina, India, Inggris,
Italia, Jepang, Jerman, Korea, Perancis, Rusia dan Selandia Baru.
Patokan yang ketiga, yakni peranannya sebgai sarana
ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia
telah benar-benar menjadi satu-satunya wahana dalam penyampaian ilmu
pengetahuan serta media untuk pengungkapan seni sastra dan udaya bagi semua
warga Indonesia dengan latar belakang serta bahasa daerah yang berbeda-beda.
Bahasa
Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih penting daripada bahasa daerah.
Kedudukan yang penting itu sekali-kali bukan karena mutunya sebagai bahasa,
bukan karena besar kecilnya jumlah kosakata atau keluwesan dalam tata
kalimatnya, dan bukan pula karena kemampuan daya ungkapnya.
2.
Ragam
Bahasa
Ragam
yang ditinjau dari sudut pandang penutur dapat diperinci menurut patokan
daerah, pendidikan, dan sikap penutur.
Ragam
daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Logat daerah bahasa
Indonesia yang sekarang kita kenal, berkat perhubungan yang lebih sempurna
lewat kapal, pesawat, mobil, radio, surat kabar, dan televise, agaknya tidak
akan berkembang menjadi bahasa tersendiri.
Logat
daerah yang paling kentra karena tata bunyinya yang mudah dikenali. Logat
Indonesia-Batak yang dilafalkan oleh putra Tapanuli dapat dikenali, misalnya,
karena tekanan kata yang amat jelas; logat Indonesia orang Bali karena
pelafalan bunyi /t/ dan /d/-nya.
Perbedaan kosakata dan variasi gramatikal tentu ada juga walaupun
mungkin kurang tampak. Ragam bahasa menurut pendidikan formal, yang bersilangan
ragam dialek, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan
formal dan yang tidak. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya,
sering tidak terdapat dalam ujaran orang yang tidak bersekolah atau hanya
berpendidikan rendah. Bentuk fadil, fakultas, film, fitnah, dan kompleks yang
dikenal di dalam ragam orang yang terpelajar, bervariasi dengan padil,
pakultas, pilem, pitnh, dan komplek dalam ragam orang yang tidak mujur dapat
menikmati pendidikan yang cukup di sekolah. Perbedaan kedua ragam itu juga
tampak pada tata bahasa. Kalimat Saya mau tulis itu surat ke pamanku cukup
jells maksudnya, tetapi bahasa yang apik menuntut agar bentuknya menjadi Saya
mau menulis surat itu kepada paman saya. Rangkaian kata Indonesia dapat disusun
menjadi kalimat Indonesia, tetapi tidak tiap kalimat Indonesia termasuk kalimat
yang apik. Badan pemerintahan, lembaga
perwakilan rakyat, badan kehakiman, pers, radio, televise, mimbar agama, dan
profesi ilmiah hendaknya menggunakan ragam bahasa orang berpendidikan yang
lazim digolongkan dan diterima sebagai ragam baku.
Ragam
bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang
masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap pemakai bahasa. Ragam ini yang
dapat disebut langgam atau gaya.pemilihannya bergantung pada sikap penutur
terhadaporang yang diajak berbicara atau terhadap pembacanya. Misalnya, gaya
bahasa kita jika kita memberikan laporan kepada atasan, atau jika kita memarahi
orang, membujuk anak, menulis surat kepada kekasih, atau mengobrol dengan
sahabat karib.
Ragam
bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat dirinci menjadi tiga macam : ragam dari
sudut pandang bidang atau pokok persoalan; ragam menurut sarannya; dan ragam
yang mengalami pencampuran.
Orang
yang ingin turut serta dalam bidang tertentu atau yang ingin membicarakan pokok
persoalan yang berkaitan dengan lingkungan itu harus memilih salah satu ragam
yang dikuasainya dan yang cocok dengan bidang atau pokok itu.
Ragam
bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan atau ujaran dan ragam
tulisan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perbedaan antara
ragam lisan dan ragam tulisan. Yang pertama berhubungan dengan suasana
peristiwanya. Jika kita menggunakan ragam tulisan, kita beranggapan bahwa orang
yang diajak berbahasa tidak ada di hadapan kita, sehingga perlu diperhatikan
fungsi gramatikal seperti subjek, predikat, dan objek dan hubungan di antara
fungsi itu masing-masing harus nyata. Sedangkan dalam ragam lisan karena
penutur bahasa berhadapan atau bersemuka, unsur
itu kadang-kadang dapat ditinggalkan.
Hal
yang kedua, yang membedakan ragam lisan dari ragam tulisan berkaitan dengan
beberapa upaya yang kita gunakan dalam ujaran, misalnya tinggi rendahnya dan
panjang pendeknya suara serta irama kalimat yang sulit dilambangkan dengan
ejaan dan tata tulis yang kita miliki. Misalnya, ujaran Darto tidak mengambil uangmu, yang disertai pola intonasi khusus
pada kata tidak, dalam tulisan
mungkin dapat berbentuk Bukan Darto yang
mengambil uangmu agar penegasannya sama tarafnya.
3.
Ciri Situasi Diglosia
Situasi diglosia dapat disaksikan di dalam
masyarakat bahasa jika dua ragam pokok bahasa yang masing-masing mungkin
memiliki berjenis subragam lagi dipakai secara berdampingan untuk fungsi
kemasyarakatan yang berbeda-beda. Ragam pokok yang satu, yang dapat dianggap
dilapiskan di atas ragam pokok yang lain merupakan sarana kepustakaan dan
kesusastraan yang muncul pada suatu masyarakt bahasa seperti halnya dengan
bahasa Melayu untuk Indonesia dan Malaysia. Ragam pokok yang kedua tumbuh dalam
berbagai rupa dialek rakyat. Ragam pokok yang pertama dapat disebut ragam
tinggi dan ragam pokok yang kedua dapat dinamai ragam rendah.
Di
dalam situasi diglosia terdapat tradisi yang mengutamakan studi gramatikal
tentang ragam yang tinggi. Situasi diglosia itu pulalah yang menjelaskan
mengapa setakat ini ada pernedaan yang cukup besar di antara pemakaian bahasa
Indonesia ragam tulisan di satu pihak dan ragam tlisan di pihak yang lain. Jika
penutur bahasa Indonesia dewasa ini berkata bahwa bahasa Indonesia termasuk
golongan bahasa yang mudah, agaknya ia merujuk ke ragam pokok yang rendah yang
dimahirinya. Jika ia berkata bahwa bahasa Indonesia itu sulit yang
dimaksudkannya agaknya ragam poko yang tinggi.
4.
Pembakuan
Bahasa
Dengan latar kerangka acuan kediglosiaan yang
diuraikan di atas, masalah pembakuan bahasa Indonesia memperoleh dimensi
tambahan yang hingga kini tidak sering dipersoalkan, atau yang memang dianggap
tidak perlu diperhitungkanbagi keberhasilan usaha pembakuan itu. Hal yang
sehubungan dengan itu yang perlu dibahas, misalnya ialah norma bahasa yang mana
yang berlaku untuk bahasa Indonesia baku dan golongan penutur mana yang dapat
dijadikan patokan bagi norma itu.
Patokan yang bersifat tunggal (salah satu dialek)
dan patokan yang majemuk (gabungan beberapa dialek) tidak perlu bertentangan.
Dewasa ini ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih. Yang satu
berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa sekolah dan yang
diajarkan kepada para siswanya. Yang lain ialah norma berdasarkan adat
pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan yang antara lain
dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda. Keduanya bertumpang tindih
karena di samping berbagi inti bersama ada norma yang berlaku di sekolah,
tetapi yang tidak diikuti oleh media massa dan sebaliknya.
5.
Bahasa
Baku
Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan
dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat
berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang memunculkan bentuk perasa dan perumus dengan taat asas harus dapat menghasilkan bentuk perajin dan perusak, bukan pengrajin
dan pengrusak.
Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaan-nya. Perwujudannya dalam
kalimat, paragraph, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan
penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal.
Baku atau standar berpraanggapan
adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses
penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa.
Itulah cirri ketiga ragam bahasa yang baku.
6.
Fungsi
Bahasa Baku
Bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga diantaranya
bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif :
(1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa
kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai
dialek bahasa itu. Dengan demikian bahasa baku mempersatukan mereka menjadi
satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang
seorang dengan seluruh mayarakat.
Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa
baku memperbedakan bahasa itu darfi bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa
baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang
bersangkutan.
Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha
orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat
pemerolehan bahasa baku sendiri.
Bahasa baku selanjutnya berfungsi
sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya morma dan kaidah
(yang dikodifikasi) yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi
betul tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan. Bhasa baku juga
menjadi kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak saja terbatas
pada bidang susastra, tetapi juga mencakup segala jenis pemakaian bahasa yang
menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam permainan kata,
iklan dan tajuk berita.
7.
Bahasa
Baik dan Benar
Jika bahasa
sudah baku dan standar, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan
pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan
umum dan yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa
kepada khalayak, maka dapat dengan lebih mudah dibuat pembedaan antara bahasa
yang benar dengan yang tidak. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang
dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar.
Orang yang mahir
menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun
jenisnya itu dianggap telah dapat berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam
yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa
itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai
sasarannya tidak selalu perlu beragam baku. Dalam tawar menawar di pasar,
misalnya pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan, atau
kecurigaan. Akan sangat ganjil bila dalam tawar menawar dengan tukang sayur
atau tukang becak kita memakai bahasa baku.
Sebaliknya, kita
mungkin berbahasa yang baik tapi tidak benar. Frasa seperti ini hari merupakan bahasa yang baik
sampai tahun 80-an di kalangan para makelar karcis bioskop, tetapi bentuk itu
tidak merupkan bahasa yang benar karena letak kedua kata dalam frasa ini
terbalik.
B.
Beberapa
Pengertian Dasar
1.
Pengertian
tentang Berbagai Bunyi
a.
Fonem,
Alofon, Grafem
Tiap
bahasa diwujudkan oleh bunyi. Karena itu, telaah bunyi di dalam tata bahasa
selalu mendasari telaah tulisan atau tata aksara yang tidak selalu dimiliki
bahasa manusia. Namun, bukan sembarang bunyi yang menjadi perhatian ahli
bahasa. Ia hanya menyelidiki bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang
berperan di dalam bahasa. Bunyi itu disebut bunyi bahasa. Di antara
bunyi-bunyi itu, ada yang sangat berbeda kedengarannya dan ada yang mirip
kedengarannya. Bunyi bahasa yang minimal membedakan bentuk dan makna kata
dinamakan fonem.
Dengan demikian, fonem /p/ dalam
bahasa Indonesia mempunyai dua variasi. Variasi suatu fonem yang tidak
membedakan arti kata dinamakan alofon.
Jika kita berbicara tentang fonem, kita berbicara tentang bunyi.
Sedangkan jika kita berbicara tentang grafem kita berbicara tentang huruf. Grafem dituliskan di antara
dua kurung siku < … >. Memang benar bahwa seringkali representasi
tertulis kedua konsep ini sama. Misalnya, untuk menyatakan benda yang dipakai
untuk duduk, kita menulis kata kursi dan mengucapkannya pun /kursi/ –
dari segi grafem ada lima satuan, dan dari segi fonem juga ada lima satuan.
Akan tetapi, hubungan satu-lawan-satu seperti itu tidak selalu kita temukan.
Grafem <e>, misalnya, dapat mewakili fonem /e/ seperti pada kata sore
dan fonem /e/ seperti pada kata besar. Sebaliknya, fonem /f/ bisa pula
dinyatakan dengan dua grafem yang berbeda, misalnya pada contoh berikut
b.
Gugus
dan Diftong
Pengertian
dasar mengenai gugus dan diftong adalah sama. Perbedaannya ialah bahwa gugus
berkaitan dengan konsonan, sedangkan diftong dengan vokal.
Gugus
adalah gabungan dua konsonan atau lebih yang termasuk dalam satu suku kata yang
sama. Jika gabungan konsonan seperti itu termasuk dalam dua suku kata, maka
gabungan itu tidak dapat dinamakan gugus. Jadi, /kl/ dan /kr/ dalam /klinik/
dan /pokrol/ adalah gugus karena /kl/ dan /kr/ masing-masing termasuk dalam
satu suku kata, yakni /kli-/ dan /-krol/. Memang benar bahwa kedua pasang bunyi
itu dapat berjejeran, tetapi kedua fonem pasangan itu termasuk suku kata yang
berbeda seperti terlihat pada kata /tam-pak/, /tim-pa/, /ar-ca/, dan
/per-ca-ya/.
Diftong
juga merupakan gabungan bunyi dalam satu suku kata, tetapi yang digabungkan
adalah vokal dengan /w/ atau /y/. Jadi, /aw/ pada /kalaw/ dan /banjaw/ (untuk
kata kalau dan bangau) adalah diftong, tetapi /au/ pada /mau/ dan
/bau/ (untuk kata mau dan bau) bukanlah diftong.
Fonem /aw/ pada kata kalau dan bangau termasuk
dalam satu suku kata, yakni masing-masing /ka-law/ dan /ba njaw/; fonem-fonem
/a/- /u/ pada kata mau dan bau masing-masing termasuk dalam dua
suku kata yang berbeda, yakni /ma-u/ dan /ba-u/.
c.
Fonotaktik
Dalam bahasa lisan, kata umumnya terdiri atas rentetan
bunyi: yang satu mengikuti yang lain. Bunyi-bunyi itu mewakili rangkaian fonem
serta alofonnya. Rangkaian fonem itu tidak bersifat acak, tetapi mengikuti
kaidah tertentu. Fonem yang satu dapat mengikuti fonem yang lain ditentukan
berdasarkan konvensi di antara para pemakai bahasa itu sendiri. Kaidah yang
mengatur penjejeran fonem dalam satu morfem dinamakan kaidah Fonotaktik.
2.
Pengertian
tentang Pembentukan
Kata
a.
Morfem,
Alomorf, dan (Kata) Dasar
Morfem adalah suatu bentuk bahasa yang tidak
mengandung bagian-bagian yang mirip dengan bentuk lain, baik bunyi maupun
maknanya. (Bloomfield, 1974: 6).
Morfem adalah unsur-unsur terkecil yang
memiliki makna dalam tutur suatu bahasa (Hookett dalam Sutawijaya, dkk.). Kalau
dihubungkan dengan konsep satuan gramatik, maka unsur yang dimaksud oleh
Hockett itu, tergolong ke dalam satuan gramatik yang paling kecil.
Morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk
untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk sebuah bentuk yang belum
diketahui statusnya (misal: {i} pada kenai); sedangkan alomorf adalah
nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui statusnya (misal [b¶r], [b¶],
[b¶l] adalah alomorf dari morfem ber-. Atau bias dikatakan bahwa anggota
satu morfem yang wujudnya berbeda, tetapi yang mempunyai fungsi dan makna yang
sama dinamakan alomorf. Dengan kata lain alomorf adalah perwujudan konkret (di
dalam penuturan) dari sebuah morfem. Jadi setiap morfem tentu mempunyai almorf,
entah satu, dua, atau enam buah. Bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari
morfem yang sama tersebut disebut alomorf.
Ada banyak ragam pembentukan kata dalam
Bahasa Indonesia. Sebagian besar kata dibentuk dengan cara menggabungkan
beberapa komponen yang berbeda. Untuk memahami cara pembentukan kata-kata
tersebut kita sebaiknya mengetahui lebih dahulu beberapa konsep dasar dan
istilah seperti yang dijelaskan di bawah ini. Untuk mempersingkat dan
memperjelas pembahasannya, kami menggunakan kata-kata yang tidak bersifat
gramatikal atau teknis untuk menjelaskan kata-kata tersebut sebanyak mungkin.
Kami tidak membahas tentang infiks (sisipan yang jarang digunakan), reduplikasi
dan kata-kata majemuk yang berafiks.
b.
Analogi
Pembentukan
kata pendaratan dan pertemuan dikaitkan dengan mendarat dan bertemu. Kesamaan
pola pembentukan berdasarkan contoh itu disebut analogi.
c.
Proses Morfofonemik
Proses
perubahan bentuk yang disyaratkan oleh jenis fonem atau morfem yang digabungkan
dinamakan proses morfofonemik.
d.
Afiks,
Prefiks, Sufiks, Infiks, dan Konfiks
Kata dasar (akar kata) = kata yang paling
sederhana yang belum memiliki imbuhan, juga dapat dikelompokkan sebagai bentuk
asal (tunggal) dan bentuk dasar (kompleks), tetapi perbedaan kedua bentuk ini
tidak dibahas di sini.
Afiks (imbuhan) = satuan terikat
(seperangkat huruf tertentu) yang apabila ditambahkan pada kata dasar akan
mengubah makna dan membentuk kata baru. Afiks tidak dapat berdiri sendiri dan
harus melekat pada satuan lain seperti kata dasar. Istilah afiks termasuk
prefiks, sufiks dan konfiks.
Prefiks (awalan) = afiks (imbuhan) yang
melekat di depan kata dasar untuk membentuk kata baru dengan arti yang berbeda.
Sufiks (akhiran) = afiks (imbuhan) yang
melekat di belakang kata dasar untuk membentuk kata baru dengan arti yang
berbeda.
Konfiks (sirkumfiks / simulfiks) = secara
simultan (bersamaan), satu afiks melekat di depan kata dasar dan satu afiks
melekat di belakang kata dasar yang bersama-sama mendukung satu fungsi.
Kata turunan (kata jadian) = kata baru yang
diturunkan dari kata dasar yang mendapat imbuhan.
Keluarga kata dasar = kelompok kata turunan yang
semuanya berasal dari satu kata dasar dan memiliki afiks yang berbeda.
e.
Afiks Homofon
Afiks
homofon: afiks yang wujud atau bunyinya sama, tetapi merupakan dua morfem atau
lebih yang berbeda, misalnya se- pada kata setiba, seratus, sebesar; Afiks
terbuka: afiks yang hasil penerapannya masih dapat memperoleh afiks lain; afiks
per- pada kata pergunakan merupakan afiks terbuka; Afiks tertutup: afiks yang
hasil penerapannya tidak dapat dibubuhi afiks lain: afiks di- pada kata
dimengerti merupakan afiks tertutup.
f.
Verba Transitif dan Taktransitif
Pengelompokan
verba menurut perilaku sintaksis ditentukan dari adanya nomina sebagai objek
dari kalimat aktif serta kemungkinan objek tersebut berfungsi sebagai subjek dalam
kalimat pasif (verba transitif dan taktransitif).
1)
Verba
transitif:
memerlukan nomina sebagai objek dalam kalimat aktif, dan objek tersebut juga
berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif.
a)
Verba
ekatransitif:
diikuti satu objek.
b)
Verba
dwitransitif:
diikuti dua nomina, satu sebagai objek dan satunya sebagai pelengkap.
c)
Verba
semitransitif:
objeknya boleh ada dan boleh tidak (manasuka/opsional).
2)
Verba
taktransitif:
tidak memiliki nomina di belakangnya yang dapat berfungsi sebagai subjek dalam
kalimat pasif.
a)
Verba
taktransitif tak berpelengkap
b)
Verba
taktransitif berpelengkap wajib
c)
Verba
taktransitif berpelengkap manasuka
d)
Verba
taktransitif berpreposisi
3.
Pengertian
tentang Kalimat
Tiap kata
dalam kalimat mempunyai tiga klasifikasi, yaitu berdasarkan (1) Kategori
sintaksis, (2) fungsi sintaksis, dan (3) peran semantisnya.
a.
Kategori sintaksis
Dalam
bahasa indonesia kita memiliki empat kategori sintaksis utama (1) verba atau
kata kerja (2) nomina atau kata benda (3) adjektiva atau kata sifat (4)
adverbial atau kata keterangan.
b.
Fungsi sintaksis
Setiap
kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang mengaitkannya dengan kata
atau frasa lain yag ada dalam kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaksis,
artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaksis
utama dalam bahasa adalah predikat, subjek, objek, pelengkap dan keterangan.
Disamping itu ada fungsi atributif (yang menerangkan), koordinatif (yang
menggabungkan secara setara), subordinatif (yang menggabungkan secara
bertingkat).
c.
Macam Ragam kalimat
Kalimat
tunggal adalah kalimat yang proposisinya satu dan karena itu predikatnya pun
satu, satu karena merupakan predikat majemuk.
Kalimat
majemuk adalah kalimat yang terdiri atas lebih dari satu proposisi sehingga
mempunyai paling tidak dua predikat yang tidak dapat dijadikan suatu kesatuan.
Kalimat
majemuk bertingkat adalah satu merupakan induk, sedangkan yang lain keterangan
tambahan.
4.
Pengertian
tentang Wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang
berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat
itu.
Kohesi dan koherensi adalah dua unsur yang menyebabkan
sekelompok kalimat membentuk kesatuan makna. Kohesi merujuk pada keterkaitan
antar proposisi yang secara eksplisit diungkapkan oleh kalimat-kalimat yang
digunakan. Koherensi mengaitkan mengaitkan dua proposisi atau lebih, tetapi
keterkaitan di antara proposisi-proposisi tersebut tidak secara eksplisit
dinyatakan dalam kalimat-kalimat yang dipakai.
Deiksis adalah gejala semantis yang terdapat
pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan
memperhitungkan situasi pembicaraan.
Anafora adalah peranti dalam bahasa untuk
membuat rujuk silang dengan hal atau kata yang telah dinyatakan sebelumnya.
Katafora adalah rujuk silang terhadap
anteseden yang ada dibelakangnya.
Pengacuan dan/atau referensi adalah hubungan antara satuan bahasa dan maujud
yang meliputi benda atau hal yang
terdapat di dunia yang diacu oleh satuan bahasa itu.
Konstruksi Endosentrik adalah frasa yang salah satu
konsituennya dapat dianggap yang paling penting. Konstituen itu yang disebut
inti, dapat mewakili seluruh kontruksi endosentrik dan menentukan perilaku
sintaksis dan/ atau semantik frasa itu di dalam kalimat.
Konstruksi Eksosentris tidak mempunyai konstituen inti
karena tidak ada konstituen yang dapat mewakili seluruh kontruksi itu.
C.
Bunyi
Bahasa dan Tata Bunyi
1.
Beberapa
Pengetian Tentang Bunyi Bahasa
Getaran udara yang masuk ke telinga dapat berupa
bunyi atau suara. Bunyi sebagai getar udara dapat pula merupakan hasil yang
dibuat oleh alat ucap manusia seperti pita suara, lidah, dan bibir. Bunyi
bahasa yang dibuat oleh manusia untuk mengungkapkan sesuatu. Bunyi bahasa dapat
terwujud dalam nyanyian atau tuturan.
a.
Bunyi
yang Dihasilkan oleh Alat Ucap
Dalam penbentukan bunyi bahasa ada tiga faktor utama
yang terlibat, yakni sumber tenaga, alat ucap yang menimbulkan getaran, dan
rongga pengubah getaran. Bunyi-bunyi bahasa Indonesia diuraikan berdasarkan
cara bunyi-bunyi tersebut dihasilkan oleh alat ucap.
b.
Vokal
dan Konsonan
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus
udara dalam saluran udara, bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua kelompok
yakni vokal dan konsonan.
Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak
mengalami hambatan. Bunyi vokal dalam bahasa Indonesia berjumlah enam, yakni
[a], [i], [u], [é], [o], dan [e] (Marsono dalam Novi Resmini, 2006: 33). Vokal
ini dibentuk berdasarkan pada posisi bibir, tinggi rendahnya lidah, dan maju
mundurnya lidah.
Konsonan adalah bunyi bahasa yang dibentuk dengan
menghambat arus udara pada sebagian alat ucap. Bunyi konsonan dalam bahasa
Indonesia berjumlah 20 buah, yakni [p], [b], [m], [f], [v], [t], [d], [n], [l],
[r], [c], [j], [s], [k], [g], [x], [h], [z], [η/ng], dan [ñ/ny] (Resmini, 2006:
60). Konsonan dibentuk berdasarkan cara artikulasi atau tempat artikulasi;
strukturnya; dan bergetarnya pita suara.
c.
Diftong
Diftong adalah dua buah vokal yang berdiri bersama
dan pada saat diucapkan berubah kualitasnya. Perbedaan vokal dengan diftong
adalah terletak pada cara hembusan napasnya.
d.
Gugus
Konsonan
Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau
lebih yang tergolong dalam satu suku yang sama. Bunyi [pr] pada kata praktek merupakan gugus konsonan karena
berada pada satu suku kata, prak-tek.
Namun tidak semua deret konsonan membentuk gugus konsonan seperti pt pada kata cipta merupakan bukan gugusan konsonan karena pt berada pada suku kata yang berbeda, cip-ta.
e.
Fonem
dan Grafem
Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan
bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi
untuk membedakan makna.
Fonem dalam bahasa mempunyai beberapa macaam lafal
yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Contoh fonem adalah
pasangan minumal dari beberapa kata seperti pagi-bagi,
tua-dua, pola-pula, dan pita-peta. Bunyi [p] dan [b] dalam
contoh pagi-bagi adalah dua fonem.
Fonem harus dapat dibedakan dari grafem. Fonem merujuk pada bunyi
bahasa, sedangkan grafem merujuk pada huruf atau gabungan huruf sebagai satuan
pelambang fonem dalam sistem ejaan.
Contoh, kata hangus
dari segi fonem terdiri dari /h/, /a/, / η /, /u/, /s/ sedangkan grafemnya terdiri dari
<h>, <a>, <ng>, <u>, dan <s>.
f.
Fonem
Segmental dan Suprasegmental
Fonem vokal dan konsonan merupakan fonem segmental
karena dapat diruas-ruas. Fonem tersebut biasanya terwujud bersama-sama dengan
ciri suprasegmental seperti tekanan, jangka dan nada. Di samping ketiga ciri
itu, pada untaian terdengar pula ciri suprasegmental lain, yakni intonasi dan
ritme.
g.
Suku
Kata
Suku
kata adalah bagian kata yang diucapkan dalam satu
hembusan napas dan biasanya terdiri dari beberapa fonem. Beberapa contoh suku
kata adalah sebagai berikut.
Pergi → per-gi
Ambil → am-bil
8.
Bunyi
Bahasa dan Tata Bunyi Bahasa Indonesia
a.
Vokal
dalam Bahasa Indonesia
Fonem
vokal dalam bahasa Indonesia berjumlah enam, yakni [a], [i], [u], [é], [o], dan
[e] (Marsono dalam Novi Resmini, 2006: 33). Bagan 2.1 memperlihatkan keenam
vokal berdasarkan parameter tinggi-rendah, dan depan-belakang lidah.
Tinggi i u
Sedang é e o
Rendah a
Fonem
/i/ adalah fonem tinggi-depan dengan kedua bibir agak terentang ke samping. Fonem
/u/ merupakan vokal tinggi tetapi meninggi di belakang lidah. Vokal diucapkan
dengan kedua bibir agak maju dan sedikit membundar.
Fonem
/é/ dibuat dengan daun lidah dinaikkan tetapi agak lebih rendah dari fonem/i/. Vokal
sedang-depan diiringi dengan bentuk bibir yang netral, artinya tidak terentang
dan juga tidak membundar.
Bentuk
bibir untuk /o/ kurang bundar jika dibandingkan dengan /u/. Lain halnya dengan
/é/, dan /o/, fonem /e/ adalah vokal sedang-tengah. Bagian lidah yang agak
dinaikkan adalah bagian tengah dan bentuk bibir netral.
Satu-satunya
vokal rendah dalam bahasa Indonesia adalah /a/ dan merupakan vokal tengah.
Vokal /a/ diucapkan dengan bagian tengah lidah agak merata dan mulut terbuka
lebar.
1)
Diftong
Dalam
bahasa Indonesia terdapat tiga buah diftong yakni /ay/, /aw/, dan /oy/ yang
masing-masingnya ditulis: ai, au, dan
oi. Diftong merupakan deret dua vokal
yang tidak dapat dipisahkan.
Diftong :
amboi am-boi
santai san-tai
harimau ha-ri-mau
Deret vokal biasa : dia di-a
soal so-al
kue ku-e
2)
Cara
Penulisan Vokal Bahasa Indonesia
Penulisan
vokal bahasa Indonesia berkenaan dengan fonem vokal itu sendiri adalah sebagai
berikut.
a)
Fonem /a/ ditulis dengan huruf a sehingga fonem selalu ditulis dengan
huruf itu.
b)
Fonem /e/ dan /é/ diwakili oleh huruf e.
c)
Fonem /u/ diwakili oleh huruf u
d) Fonem
/i/ diwakili oleh huruf i
e)
Fonem /o/ diwakili oleh huruf o
Sedangkan
untuk penulisan diftong /ay/, /aw/, dan /oy/ masing-masing ditulis dengan huruf
ai, au, dan oi.
b.
Konsonan
dalam Bahasa Indonesia
Pembentukan konsonan didasarkan pada empat faktor,
yakni daerah srtikulasi, cara artikulasi, keadaan pita suara, dan jalan
keluarnya udara. Berikut ini klasifikasi konsonan tersebut:
1)
Berdasarkan
daerah artikulasi : konsonan bilabial, labio dental, apikodental,
apikoalveolar, palatal, velar, glotal, dan laringal;
2)
Berdasarkan cara
artikulasi : konsonan hambat, frikatif, getar, lateral, nasal, dan semi-vokal;
3)
Berdasarkan
keadaan pita suara : konsonan bersuara dan konsonan tak bersuara;
4)
Berdasarkan
jalan keluarnya udara : konsonan oral dan konsonan nasal.
Berikut
ini penjelasan cara-cara pembentukan konsonan.
1)
Konsonan
Hambatan Letup Bilabial
Konsonan
ini terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah bibir bawahdan
artikulator pasifnya bibir atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [p, b].
Gambar 1 Artikulasi Hambatan Letup Bilabial [p, b]
Keterangan:
a)
Langit-langit lunak beserta anak tekak
dinaikkan. Bibir bawah menekan rapat pada bibir atas, sehingga udara yang
dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat.
b)
Bibir bawah yang menekan rapat pada
bibir atas secara tiba-tiba dilepaskan. Maka terjadilah letupan udara yang
keluar dari rongga mulut.
2)
Konsonan
Hambatan Letup Apiko-Dental
Konsonan ini
terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator
pasifnya gigi atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [t, d].
Gambar 2 Artikulasi Hambatan Letup Apiko-Dental [t, d]
Keterangan:
a)
Langit-langit lunak beserta anak tekak
dinaikkan. Ujung lidah menekan padagigi atas bagian dalam, sehingga udara yang
dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat.
b)
Ujung lidah yang menekan rapatpada gigi
atas itu secara tiba-tiba dilepaskan. Maka terjadilah letupan udara yang keluar
dari rongga mulut.
3)
Konsonan
Hambatan Letup Medio-Palatal
Konsonan ini
terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah tengah lidah dan artikulator
pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan adalah [c, j].
Gambar 3 Artikulasi Hambatan Letup Medio-Palatal [c,
j]
Keterangan:
a)
Tengah lidah menekan rapat pada
langit-langit lunak.
b)
Langit-langit lunak beserta anak
tekaknya dinaikkan sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat
untuk beberapa saat.
c)
Secara tiba-tiba tengah lidah yang
merapat kemudian dilepaskan maka terjadilah letupan udara sehingga udara yang
keluar dari mulut.
4)
Konsonan
Hambatan Letup Dorso-Velar
Konsonan
ini terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah pangkal lidah dan
artikulator pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan adalah [k, g].
Gambar 4 Artikulasi Hambatan Letup Dorso-Velar [k, g]
Keterangan:
a)
Pangkal lidah menekan rapat pada langit-langit
lunak. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara yang
dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat.
b)
Secara tiba-tiba pangkal lidah yang
merapat kemudian dilepaskan maka terjadilah letupan udara sehingga udara yang
keluar dari mulut.
5)
Konsonan
Nasal Bilabial
Konsonan ini
terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator
pasifnya bibir atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [m].
Gambar 5 Artikulasi Nasal Bilabial [m]
Keterangan:
a)
Bibir bawah menewkan rapat pada bibir
atas. Oleh karena itu, udara keluar dari rongga hidung, bukan rongga mulut.
b)
Pita suara ikut bergetar.
6)
Konsonan
Nasal Apiko-Alveolar
Konsonan ini
terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator
pasifnya gusi bagian belakang. Bunyi yang dihasilkan adalah [n].
Gambar 6 Artikulasi Nasal Apiko-Aveolar [n]
Keterangan:
a)
Ujung lidah ditekankan pada gusi bagian
belakang. Udara keluar melalui rongga hidung.
b)
Pita suara bergetar.
7)
Konsonan
Nasal Medio-Palatal
Konsonan ini terjadi bila penghambat artikulator
aktifnya adalah pangkal lidah dan artikulator pasifnya langit-langit keras.
Bunyi yang dihasilkan adalah [ñ/ny].
Gambar 7 Artikulasi Nasal Medio-Palatal [ñ/ny]
Keterangan:
a)
Pangkal lidah ditekankan pada
langit-langit keras. Oleh karena itu, udara keluar dari rongga hidung, bukan
rongga mulut.
b)
Pita suara ikut bergetar.
8)
Konsonan
Nasal Dorso-Velar
Konsonan ini
terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah pangkal lidah dan
artikulator pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan adalah [η/ng].
Gambar 8 Artikulasi Nasal Dorso-Velar [η/ng]
Keterangan:
a)
Pangkal lidah ditekankan pada
langit-langit lunak. Oleh karena itu, udara keluar dari rongga hidung, bukan
rongga mulut.
b)
Pita suara ikut bergetar.
9)
Konsonan
Lateral
Konsonan ini
dibentuk dengan menutup arus udara di tengah rongga mulut sehingga udara keluar
melalui kedua sisi atau satu sisi saja. Bunyi yang dihasilkan adalah [l].
Gambar 9 Artikulasi Konsonan Leteral [l]
Keterangan:
a)
Ujung lidah dan kedua sisi daun lidah
menyentuh rapat pada gusi bagian belakang sehingga arus udara melalui tengah
mulut terhalang.
b)
Udara keluar melalui kedua (salah satu)
sisi lidah yang tidak bersentuhan dengan langit-langit.
c)
Pita suara bergetar.
10)
Konsonan
Gesekan Labio-Dental
Konsonan ini
terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya gigi
atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [f, v].
Gambar 10 Artikulasi Konsonan Gesekan Labio-Dental [f,
v]
Keterangan:
a)
Udara tidak keluar melalui rongga hidung
dan terpaksa keluar lewat mulut.
b)
Bibir bawah ditekankan pada gigi atas.
Dengan demikian penyempitan jalan arus udara terjadi. Oleh karena itu, udara
keluar secara bergeser melalui sela-sela bibir dengan gigi dan melalui lubang-lubang
di antara gigi.
11)
Konsonan
Gesekan Lamino-Alveolar
Konsonan ini
terjadi bila artikulator aktifnya adalah daun lidah dan artikulator pasifnya gusi
bagian belakang. Bunyi yang dihasilkan adalah [s, z].
Gambar 11 Artikulasi Konsonan Gesekan
Lamino-Alveolar [s, z]
Keterangan:
a)
Udara tidak keluar melalui rongga hidung
dan terpaksa keluar lewat mulut.
b)
Daun lidah dan ujung lidah ditekankan
pada gusi bagian belakang. Dengan demikian penyempitan jalan arus udara
terjadi. Oleh karena itu, udara keluar secara bergeser.
c)
Gigi atas dan gigi bawah dirapatkan.
Mulut tidak terbuka lebar.
12)
Konsonan
Gesekan Dorso-Velar
Konsonan ini
terjadi bila artikulator aktifnya adalah pangkal lidah dan artikulator pasifnya
langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan adalah [x].
Gambar 12 Artikulasi Konsonan Gesekan Dorso-Velar [x]
Keterangan:
a)
Udara tidak keluar melalui rongga hidung
dan terpaksa keluar lewat mulut.
b)
Pangkal lidah ditekankan pada
langit-langit lunak. Dengan demikian penyempitan jalan arus udara terjadi. Oleh
karena itu, udara keluar secara bergeser.
c)
Pita suara tidak ikut bergetar.
13)
Konsonan
Gesekan Apiko-Alveolar
Konsonan ini
terjadi bila artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya gusi
bagian belakang. Bunyi yang dihasilkan adalah [r].
Gambar 13 Artikulasi Konsonan Gesekan Apiko-Alveolar
[r]
Keterangan:
a)
Udara tidak keluar melalui rongga hidung
dan terpaksa keluar lewat mulut.
b)
Lidah membentuk lengkungan dengan ujung
lidah merapat kemudian merenggang (melepas) secara berkali-kali pada gusi
bagian belakang sehingga menyebabkan jalannya udara bergetar.
14)
Konsonan
Hambatan Laringal
Bunyi yang
dihasilkan adalah [h].
Gambar 14 Artikulasi Hambatan Laringal [h]
Keterangan:
a)
Udara dihembuskan ke luar ketika glotis digeserkan.
Posisi glotis membuka tetapi lebih sempit.
b)
Pita suara tidak turut bergetar.
15)
Semi-Vokal
Bilabial
Konsonan
ini terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator
pasifnya bibir atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [w].
Gambar 15 Artikulasi Semi-Vokal Bilabial [w]
Keterangan:
a)
Udara tidak keluar melalui mulut.
b)
Bibir bawah dibentangkan dan didekatkan
pad bibir atas tetapi tidak sampai rapat.
c)
Posisi kedua bibir hampir sama dengan
pembentukan vokal [u]. Perbedaannya [w] kedua bibir agak terbentang.
16)
Semi-Vokal
Medio-Palatal
Konsonan
ini terjadi bila artikulator aktifnya adalah tengah lidah dan artikulator
pasifnya langit-langit keras. Bunyi yang dihasilkan adalah [y].
Gambar 16 Artikulasi Semi-Vokal Medio-Palatal [y]
Keterangan:
a)
Udara tidak keluar melalui rongga hidung
tetapi keluar melalui mulut.
b)
Tengah lidah naik mendekati
langit-langit keras tetapi tidak sampai rapat.
1)
Struktur
Suku Kata, Kata, dan Gugus Konsonan
Kata
dalam bahasa Indonesia terdiri atas satu suku kata atau lebih misalkan ban, bantu, membantu, memperbantukan.
Betapapun panjangnya suatu kata, wujud suku yang membentuknya mempunyai
struktur dan kaidah pembentukan yang sederhana. Berikut adalah sebelas macam
pola suku kata yaitu sebagai berikut.
a)
V a-mal, tu-a
b)
VK ar-ti, ber-il-mu
c)
KV pa-sar, ka-il
d) KVK pak-sa,
pe-san
e)
KVKK teks-til, mo-dern
f)
KVKKK krops
g)
KKV slo-gan, kon-tra
h)
KKVK trak-tor, kon-trak
i)
KKKV stra-te-gi, stra-ta
j)
KKKVK struk-tur
k)
KKVKK kom-pleks
2)
Pemenggalan
Kata
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemenggalan kata. Pemenggalan kata
merujuk pada kata sebagai satuan tulisan, sedangkan penyukuan kata berkaitan
pada kata sebagai satuan bunyi bahasa. Pemenggalan tidak selau berpedoman pada
lafal kata.Berikut ini contoh pemenggalan kata.
Kata
|
Benar
|
Salah
|
sabuk
|
sa-buk
|
sab-uk
|
berarti
|
ber-arti
|
be-rarti
|
berar-ti
|
||
kebanyakan
|
ke-banyakan
|
kebanya-kan
|
kebanyak-an
|
||
dengan
|
de-ngan
|
deng-an
|
bendungan
|
bendung-an
|
bendu-ngan
|
ben-dungan
|
c.
Ciri
Suprasegmental dalam Bahasa Indonesia
1)
Peranan
Ciri Suprasegmental
Fonem vokal dan
konsonan merupakan fonem segmental karena dapat diruas-ruas. Fonem tersebut
biasanya terwujud bersama-sama dengan ciri suprasegmental seperti tekanan,
jangka dan nada. Di samping ketiga ciri itu, pada untaian terdengar pula ciri
suprasegmental lain, yakni intonasi dan ritme.
a)
Jangka, yaitu panjang pendeknya
bunyi yang diucapkan. Tanda […]
b)
Tekanan, yaitu penonjolan suku
kata dengan memperpanjang pengucapan, meninggikan nada dan memperbesar
intensitas tenaga dalam pengucapan suku kata tersebut.
c)
Jeda atau sendi, yaitu ciri
berhentinya pengucapan bunyi.
d)
Intonasi, adalah ciri
suprasegmental yang berhubungan dengan naik turunnya nada dalam pelafalan
kalimat.
e)
Ritme, adalah cirri
suprasegmental yang br\erhubungan dengan pola pemberian tekanan pada kata dalam
kalimat.
Pada tataran kata, tekanan, jangka, dan nada dalam
bahasa Indonesia tidak membedakan makna. Namun, pelafalan kata yang menyimpang
dalam hal tekanan, dan nada akan terasa janggal.
2)
Intonasi
dan Ritme
Harus
dapatlah dibedakan antara pengertian intonasi dan pengertian ritme. Ritme
adalah cepat lambatnya untaian tuturan yang ada dalam suatu bahasa. Sedangkan intonasi
merupakan urutan pengubahan nada dalam untaian tuturan yang ada dalam suatu
bahasa.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di
kawasan republik kita. Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari
patokan seperti jumlah penutur, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana
ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya. Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan
yang lebih penting daripada bahasa daerah. Kedudukan yang penting itu sekali-kali
bukan karena mutunya sebagai bahasa, bukan karena besar kecilnya jumlah
kosakata atau keluwesan dalam tata kalimatnya, dan bukan pula karena kemampuan
daya ungkapnya.
Beberapa pengertian dasar berkenaan dengnTBBI adalah
pengertian yang meliputi pengertian tentang beberapa bunyi, pengertian tentang
pembentukan kata, pengertian tentang kalimat, dan pengertian tentang wacana.
Getaran udara yang masuk ke telinga dapat berupa
bunyi atau suara. Bunyi sebagai getar udara dapat pula merupakan hasil yang dibuat
oleh alat ucap manusia seperti pita suara, lidah, dan bibir. Bunyi bahasa yang
dibuat oleh manusia untuk mengungkapkan sesuatu. Bunyi bahasa dapat terwujud
dalam nyanyian atau tuturan.
B.
SARAN
Adapun saran yang dapat penyusun
sampaikan yaitu kita sebagai calon pendidik, harus selalu menggali potensi yang
ada pada diri kita. Cara menggali potensi dapat dilakukan salah satunya dengan
cara mempelajari makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat untuk
kita ke depannya. Amiinn.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Alwi, dkk. (2003). Tata Bahasa Baku
bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Misdan, Undang. (1980).
Bahasa Indonesia Pelajaran Bahasa II.
Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan
Muchlisoh, dkk. (1992).
Pendidikan Bahasa Indonesia 3.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Resmini, Novi. 2006. Kebahasaan (Fonologi, Morfologi, dan
Semantik). Bandung: UPI PRESS.
0 Response to "KUMPULAN MAKALAH BAHASA INDONESIA TATA BAHASA BAKU BAHASA INDONESIA"
Posting Komentar