A. PENDAHULUAN
Salah satu ciri khas filsafat dewasa ini
adalah perhatiannya kepada bahasa. Tentu saja, bahasa bukan merupakan tema baru
dalam filsafat. Minat untuk masalah-masalah yang menyangkut bahasa telihat
sepanjang sejarah filsafat, sudah sejak permulaannya di Yunani. Namun demikian,
perhatian filosofis untuk bahasa itu belum pernah begitu umum, begitu luas dan
begitu mendalam seperti dalam abad ke-20. Dikatakan pula bahwa pada zaman ini
bahasa memainkan peranan yang dapat dibandingkan dengan being (ada)
dalam filsafat klasik dulu. Karena terdapat kemiripan tertentu, yaitu keduanya
bersifat universal. Hanya saja being adalah universal dari sudut
objektif: “ada” meliputi segala sesuatu; apa saja merupakan being.
Sedangkan bahasa adalah universal dari sudut subjektif: bahasa meliputi segala
sesuatu yang dikatakan dan diungkapkan.; makna atau arti hanya timbul dalam
hubungan dengan bahasa. Bahasa adalah tema yang dominan dalam filsafat
Eropa kontinental maupun filsafat Inggris dan Amerika. Di mana-mana dapat kita
saksikan the linguistic turn; di mana-mana refleksi filosofis berbalik
kepada bahasa. Dan tidak sedikit aliran mengambil bahasa sebagai pokok
pembicaraan yang hampir eksklusif, seperti misalnya hermeneutika,
strukturalisme, semiotika, dan filsafat analitis.
|
Hermeneutika adalah kata yang sering
didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Hermeneutik Baru muncul
sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan Eropa, yang menyatakan
bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang.
Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter hermeneutis dari
pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat (atau harus
bersifat) “hermeneutis”.
Sesungguhnya istilah hermeneutika ini
bukanlah sebuah kata baku, baik dalam filsafat maupun penelitian sastra; dan
bahkan dalam bidang teologi penggunaan term ini sering muncul dalam makna yang
sempit yang berbeda dengan penggunaan secara luas dalam “Hermeneutika Baru”
teologis kontemporer.
Hermeneutika selalu berpusat pada fungsi
penafsiran teks.5 Meski terjadi perubahan
dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan
seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad
20) tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi pemikiran
agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran filsafat
hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika filosofis dan turunannya dalam
teori-teori kritik sastra dan semantik telah merintis jalan bagi tantangan
serius yang membentur metode klasik dan pengetahuan agama.
Metode hermeneutika lahir dalam ruang
lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya
opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar
dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam
menanganinya.
Para filosof hermeneutika adalah mereka yang
sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang batas tertentu dari segala
fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu yang ada di alam ini
sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu membedakan dua kondisi ini
satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan dua macam fenomena: ilmu dan
pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan epistemologi, sedangkan masalah
pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika. Sehingga dengan demikian, baik
epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang berdampingan.
B. ASAL USUL DAN DEFINISI HERMENEUTIKA
Sebelum kita mendefinisikan filsafat
hermeneutika, kita akan mengetahui terlebih dahulu asal-mula kata hermeneutika.
Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama
tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi. Sebenarnya
dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia
yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa
untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah
konsep hermeneutic kemudian digunakan.
Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni
menginterpretasikan sebuah teks.
Hermes diyakini oleh Manichaeisme sebagai
Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang diyakini sebagai anak dewa Zeus dan
Maia bertugas menyampaikan dan menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung
Olympus ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Hermes mempunyai kaki bersayap
dan dikenal dengan Mercurius dalam bahasa Latin. Menurut Abed al-Jabiri dalam
bukunya Takwīn al-‘Aql al-‘Ârabi, dalam mitologi Mesir kuno, Hermes/Thoth
adalah sekretaris Tuhan atau orisin Tuhan yang telah menulis disiplin
kedokteran, sihir, astrologi dan geometri.
Hermes yang dikenal oleh orang Arab sebagai Idris as, disebut Enoch oleh orang
Yahudi. Baik Idris as, Hermes, Thoth, dan
Enoch adalah merupakan orang yang sama.
Sosok Hermes ini oleh Sayyed Hossein Nasr
kerap diasosiasikan sebagai Nabi Idris as. Menurut legenda yang beredar bahwa
pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukang tenun. Jika profesi tukang tenun
dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran dewa Hermes, ternyata terdapat
korelasi positif. Kata kerja “memintal” dalam bahasa latin adalah tegree,
sedang produknya disebut textus atau text, memang merupakan
isu sentral dalam kajian hermeneutika. Bagi Nabi Idris as atau Dewa Hermes,
persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang
memakai “bahasa langit” agar bisa dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa
“bumi”. Di sini barangkali terkandung makna metaforis tukang pintal, yakni
memintal atau merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar nantinya
pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia.
Hermeneutika (Indonesia), hermeneutics
(Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa punya makna menafsirkan.
Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika berasal dari bahasa
Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan dan memelusuri” pesan
dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur,
dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar
atau pembaca.
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah
Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata benda hermēneia
(interpretasi).1Al-Farabi
mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan). Kata Yunani hermeios mengacu
kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien
dan kata benda hermēneia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa
Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi
transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang
dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.
Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode hermeneutika.
Dengan menelusuri akar kata paling awal
dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan “hermeneutis”
mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses
ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam
proses.
Mediasi dan proses membawa pesan “agar
dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga bentuk
makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia dalam penggunaan
aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein,
yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2)
menjelaskan; (3) menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk
kata kerja bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga
makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.
Sebagai turunan dari simbol dewa,
hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah
kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan
menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain,
hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan
interpretasi terhadap sebuah teks.
Dalam Webster’s Third New International
Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi tentang prinsip-prinsip
metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang
prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.” Setidaknya ada tiga bidang yang
sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra.
Persoalan utama hermeneutika terletak pada
pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan
penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan
pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis,
hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.
Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini
menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami
dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini
adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika filosofis.
Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar
dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah
bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini
bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis
menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya.
C. LATAR BELAKANG MUNCULNYA FILSAFAT HERMENEUTIKA
Werner G. Jeanrond menyebutkan tiga kondisi
penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu ilmu
atau teori interpretasi: Pertama kondisi masyarakat yang terpengaruh
oleh pemikiran Yunani. Kedua kondisi
masyarakat Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab “suci” agama
mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk intepretasi untuk itu. Ketiga
kondisi masyarakat Eropa di zaman Pencerahan (Enlightenment)
berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika
keluar konteks keagamaan.
1. Dari mitologi Yunani ke teologi Kristen
Konsep hermeneutika yang digunakan dari nama
Hermes ini resminya digunakan untuk kebutuhan kultural bagi menentukan makna,
peran dan fungsi teks-teks kesusasteraan yang berasal dari masyarakat Yunani
kuno, khususnya epik-epik karya Homer.
Meskipun interpretasi hermeneutis telah
dipraktekkan dalam tradisi Yunani, namun istilah hermeneutike baru
pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) Politikos, Epinomis,
Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato dengan
jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” yang tidak
terbatas pada pernyataan, tapi meliputi bahasa secara umum, penterjemahan,
interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika. Sedangkan dalam Timaeus Plato
menghubungkan hermeneutika dengan pemegang otoritas kebenaran, yaitu bahwa
kebenaran hanya dapat dipahami oleh “nabi”. Nabi disini maksudnya adalah
mediator antara para dewa dengan manusia.
Dalam menghadapi problema terjadinya krisis
otoritas di kalangan penyair dalam memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat
divine, misalnya masyarakat Yunani menyelesaikan dengan konsep rational
logos.
Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan
hermeneutika sebagai ilmu intepretasi alegoris, yaitu metode memahami teks
dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal.
Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi alegoris terhadap mitologi, Stoic
menerapkan doktrin inner logos dan outer logos (inner
word and outer word). Metode alegoris kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh
Philo of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai
Bapak metode alegoris. Metode yang juga disebut typology itu intinya
mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks
atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk sesuatu
di luar teks. Metode hermeneutika alegoris ini kemudian ditransmisikan ke dalam
pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen (sekitar 185-254 M) telah berhasil
menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode ini.
Namun, metode alegoris yang berpusat di
Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang membela metode literal (grammatical)
yang berpusat di Antioch. Pertentangan antara kelompok Alexandria dan Antioch
mereprentasikan pertentangan metode interpretasi simbolik dan literal. Yang
pertama berada dibawah pengaruh hermeneutika Plato sedangkan yang kedua berada
dibawah bayang-bayang hermeneutika Aristotle.
Dari pertentangan antara dua konsep
hermeneutika Alexandria dan Antioch ini seorang teolog dan filosof Kristen
St.Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil jalan tengah. Ia lalu memberi makna
baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik (teori
tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya
distorsi bacaan alegoris teks Bible yang cenderung arbitrer, dan juga dari
literalisme yang terlalu simplistik.
Perkembangan pemikiran hermeneutika dalam
teologi Kristen terjadi pada abad pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas
(1225-1274). Kemunculannya yang didahului oleh transmisi karya-karya Aristotle
ke dalam milieu pemikiran Islam mengindikasikan kuatnya pengaruh pemikiran
Aristotle dan Aristotelian Muslim khususnya al-Farabi (870-950), Ibn Sina
(980-1037) dan Ibn Rushd (1126-1198). Dalam karyanya Summa Theologia ia
menunjukkan kecenderungan filsafat naturalistic Aristotle yang juga
bertentangan dengan kecenderungan Neo-Platonis St.Augustine. Ia mengatakan
bahwa “pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh
para teolog adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak merujuk
kepada hermeneutika Aristotle dalam Peri Hermenias nya. Tujuannya
adalah untuk menyusun teologi Kristen agar memenuhi standar formulasi ilmiah
dan sekaligus merupakan penolakannya terhadap interpretasi alegoris.
Di awal abad pertengahan, hermeneutika masih
berada dalam sangkar teologi Kristen tapi masih berada dibawah pengaruh
pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Ketika teks Bible sendiri mulai digugat
dan dan otoritas gereja mulai goyah pengaruh pandangan hidup ilmiah dan
rasional Barat (scientific and rational worldview) mulai muncul
membawa hermeneutika kepada makna baru yaitu filosofis.
2. Dari teologi dogmatis kepada spirit rasionalisme
Bagaimanapun resistensi para teolog Kristen
terhadap perkembangan sains yang dipengaruhi oleh pandangan hidup ilmiah Barat,
hermeneutika terus menjadi diskursus yang menarik kalangan teolog Kristen masa
itu. Pertanyaan hermeneutika yang diangkat pun bergeser menjadi bagaimana
menangkap realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti Bible dan bagaimana
menterjemahkan realitas tersebut ke dalam bahasa yang dipahami oleh manusia
modern. Yang selalu dimuculkan adalah masalah adanya gap antara bahasa modern
dan bahasa teks Bible, dan cara penulis-penulis Bible berfikir tentang diri
mereka dan cara berfikir masyarakat Kristen modern.
Dunia teks akhirnya dianggap sebagai
representasi dari dunia mitos dan masyarakat modern dianggap mewakili dunia
ilmiah. Hermeneutika kini membahas bagaimana kejadian dan kata-kata masa lampau
menjadi berarti dan relevan bagi eksistensi manusia tanpa menghilangkan esensi
pesannya.
Bel pertama untuk pemakaian hermeneutika
sebagai the art of interpretation dapat ditemui dalam karya
J.C.Dannheucer yang berjudul Hermeneutica Sacra Sive Methodus exponendarum
Sacrarum litterarum, (Sacred Method or the Method of Explanation of Sacred
Literature), terbit pada tahun 1654. Di situ hermeneutika
sudah mulai dibedakan dari exegesis sebagai metodologi interpretasi.
Meskipun pengertiannya tetap sama tapi obyeknya diperluas kepada non-Biblical
literature.
Benedictus de Spinoza (1632-1677)
dalam karyanya tahun 1670 berjudul Tractatus theologico-politicus (Risalah
tentang politik teologi) menyatakan bahwa “standar eksegesis untuk Bible
hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua”.
Perlahan-lahan hermeneutika dalam pengertian baru ini diterima sebagai
alat penafsiran (exgesis) Kitab Suci, dan juga menjadi pengantar disiliplin
ilmu interpretasi.
Tanda-tanda beralihnya diskursus
hermeneutika dari teologi yang dogmatis kepada semangat rasionalisme sudah
mulai nampak sejak terjadinya gerakan Reformasi Protestan pada abad ke-16.
Mulai abad ini hermeneutika mengalami perkembangan dan memeperoleh perhatian
yang lebih akademis dan serius ketika kalangan ilmuwan gereja di Eropa terlibat
diskusi dan debat mengenai otentisitas Bibel dan mereka ingin memperoleh
kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel yang dalam
berbagai hal dianggap bertentangan.
Tanda ini bertambah jelas pada periode
Pencerahan (Enlightenment) pada abad berikutnya. Memasuki abad ke 18,
hermeneutika mulai dirasakan sabagai teman sekaligus tantangan bagi ilmu
sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan
menggugat metode dan konsep ilmu sosial. Pada pertengahan abad ini di Eropa
bangkit sebuah apresiasi tentang karya-karya seni klasik, hermeneutika sebagai
metode penafsiran menjadi sangat penting peranannya. Karena sebuah karya seni
merupakan contoh perwujudan paling riil dari sebuah jalinan yang unik antara
sang pencipta, proses pensiptaan dan karya cipta.
Perkembangan makna hermeneutika dari sekedar
pengantar ilmu interpretasi menuju kepada metodologi pemahaman, dilontarkan
oleh seorang pakar filololgi Friedriech Ast (1778-1841). Dalam bukunya Grundlinien
der Grammatik Hermenutik und Kritik (Elements of Grammar, Hermeneutic
and Criticism) Ast membagi pemahaman terhadap teks menjadi 3 tingkatan: 1)
pemahaman historis, yakni pemahaman berdasarkan pada perbandingan teks dengan
teks yang lain. 2) pemahaman ketata-bahasaan, yaitu merujuk kepada pemahaman
makna kata pada teks, dan 3) pemahaman spiritual, yakni pemahaman yang merujuk
kepada semangat, wawasan, mentalitas dan pandangan hidup pengarang, tapi
terlepas dari konotasi teologis ataupun psikologis.
Pada tingkat ini pergeseran diskursus
hermeneutika dari teologi ke filsafat masih berkutat pada perubahan fungsi
hermeneutika dari teori interpretasi teks Bibel secara rasional menjadi pemahaman
segala teks selain Bibel. Disini hermeneutika berkembang dalam milieu yang
didominasi oleh para teolog yang telah bersentuhan dengan pemikiran filsafat
Barat.
3. Dari teologi Protestan kepada filsafat
Abad ke 18 dianggap sebagai awal periode
berlakunya proyek modernitas, yaitu pemikiran rasional yang menjanjikan
pembebasan (liberasi) dari irrasionalitas mitologi, agama dan khurafat. Ketika
gerakan desakralisasi atau dalam bahasa Weber ‘disenchantment’ terjadi
di Barat, ilmu diletakkan dalam posisi berlawanan dengan agama yang dianggap
penyebab kemunduran.
Pada abad ke-17 dan 18 pendekatan kritis
terhadap Bibel (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang merupakan bagian dari
hermeneutika teologis telah berkembang. Studi kritis perjanjian lama telah menekankan
kepada struktur atau bahasa teks sebagai cara untuk memahami isi. Studi in juga
menyandarkan pada bukti internal teks sebagai dasar diskusi mengenai integritas
dan pengarang teks, kemudian mencari situasi sosiologis dan historis sebagai
konteks untuk memahami asal-mula dan penggunaan materi. Studi kritis Perjanjian
Baru melahirkan banyak teks-teks tandingan terhadap textus receptus
edisi Erasmus. Studi tersebut menyatakan bahwa Kalam Tuhan (Word of God)
dan Kitab Suci (Holy Scripture) tidak identik, bagian-bagian dari
Bibel bukanlah inspirasi dan tidak dapat diterima secara otoritatif. Di dalam milieu pemikiran inilah makna
hermeneutika berubah menjadi metodologi filsafat.
D. PERKEMBANGAN FILSAFAT HERMENEUTIKA DAN PARA TOKOHNYA
Terdapat sejumlah tokoh yang memberi
sumbangan dalam perkembangan filsafat hermeneutika, di antaranya adalah:
1. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834).
Schleiermacher, seorang Protestan dan pernah
menjadi Rektor di Universitas Berlin pada tahun 1815-1816, digelar sebagai “the
founder of General Hermeneutics.” Gelar tersebut diberikan karena
pemikirannya dianggap telah memberi nuansa baru dalam teori penafsiran. Materi kuliahnya “universal
hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan berpangaruh terhadap pemikiran
Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai filosof Jerman pertama yang terus
menerus memikirkan persoalan-persoalan hermeneutika. Karena itu ia dianggap
sebagai Bapak Hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan Liberal. Schleiemecher menandai lahirnya
hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis
Bibel, melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fondasi bagi semua
ragam interpretasi teks.
Schleiermacher mengadakan reorientasi
paradigma dari “makna” teks kepada “pemahaman” teks. Rasionalitas modern
seperti dianut oleh mazhab Protestantisme telah mengubah makna literal Bible
yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai “makna historis”
menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk kepada masa silam.
Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan kehadirannya di masa kini
menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang merespon kejadian masa lalu
harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah lebih baik jika teks masa
silam itu dienyahkan karena realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu?
Schleiermacher menjadikan persoalan
hermeneutis sebagai persoalan universal dan mengajukan teori pemahaman yang
filosofis untuk mengatasinya. Ia merubah makan hermeneutika dari sekedar kajian
teks Bibel menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Dalam pandangan
Schleiermacher, tradisi hermeneutika filologis dan hermeneutika teologis bisa
berinteraksi, yang membuka kemungkinan untuk mengembangkan teori umum mengenai
pemahaman dan penafsiran. Paul Ricoeur berpendapat hermeneutika lahir dengan
usaha untuk menaikkan penafsiran Bibel dan filologis ke tingkat ilmiah, yang
tidak terbatas kepada metode yang khusus. Dengan mensubordinasikan
kaidah-kaidah dalam tafsir Bibel dan filologis kepada problem penafsiran yang
umum, maka teori penafsiran Schleiermacher disebut juga dengan hermeneutika
universal (universal hermeneutics).
Schleirmacher telah menumbuhkan asas seni
pemahaman teks; pemahaman yang selalu terkait mengikuti perkembangan dari
setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang lain. Jarak pemisah antara zaman
produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian sedemikian meluas dan membentang,
sehingga diperlukan ilmu yang mencegah kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu,
Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman teks yang terbatas pada dua aspek
utama yaitu: aspek kebahasaan (penafsiran tata bahasa) dan aspek kemampuan
menembus karakter psikis pengarang (penafsiran psikologi). Kedua aspek itu
saling melengkapi satu dengan lainnya.
Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh mungkin
memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa
yang dipahami oleh si pengarang (merekonstruksi pikiran pengarang). Tugas
itulah yang kemudian dikenal dengan “Hermeneutical Circle”.
Jadi, bukan saja setiap unit, tata bahasa
harus dipahami dalam konteks keseluruhan ucapan, tetapi ucapan juga harus
dipahami dari konteks keseluruhan mental pengarang (the part whole
principle). Jika tugas tersebut dilakukan oleh seorang interpreter maka
Schleirmacher menyimpulkan sesorang penafsir akan bisa memahami teks sebaik
atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri, dan memahami pengarang
teks tersebut lebih baik daripada pengarang sendiri.
2. Wilhelm Dilthey (1833-1911)
Wilhelm adalah penulis biografi
Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar pada akhir abad
ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan
sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang
memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Wilhelm Dilthey adalah seorang
filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman.
Bagi filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu
sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan
yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada
peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup
di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut intepreter harus memiliki
kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada
sisi psikologis Schleiermacher.
Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey
berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis. Namun
karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya ia hentikan. Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa
setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam
pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab ia tidak
mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang.
Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat hermeneutika menjadi suatu disiplin
ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dan mengembangkannya
menjadi metode-metode dan aturan-aturan yang menentukan obyektifitas dan
validitas setiap ilmu. Bagi Dilthey hermeneutika universal memerlukan
prinsip-prinsip epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Menurutnya, dalam tindakan pemahaman
historis, yang harus berperan adalah pengetahuan pribadi mengenai apa yang
dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis Crituque of Pure Reason, ia
mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of Historical Reason.
Wilhelm Dilthey mengawalinya dengan
memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin: ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora.
Yang pertama menjadikan alam sebagai obyek penelitiannya, yang kedua manusia.
Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di luar subyek, ia diposisikan sebagai
sesuatu yang datang kepada subyek, sebaliknya karena obyek ilmu
sosial-humaniora berada di dalam subyek itu sendiri, keduanya seolah tak
terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini menurut Dilthey bukan
obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek pengetahuan, yakni “sikapnya”
terhadap obyek. Dengan demikian, perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut
bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara epistemologis, Dilthey
menganggap disiplin ilmu alam menggunakan penjelasan (Erklaren), yakni
menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan menggunakan teori. Sebab,
pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora
mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk menemukan makna
obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan
pemahaman teoritis. Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari
ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga,
hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi
sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi
dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong
lahirnya teks.
Dilthey menjadihan hermeneutika sebagai
komponen utama bagi fondasi ilmu humaniora (Geistesswissenchaften).
Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam
segala disiplin ilmu humaniora. Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori
hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa.
3. Martin Heidegger (1889-1976)
Latar belakang intelektualitas Heidegger
berada dibawah pengaruh fisika, metafisika dan etika Aristotle yang di
interpretasikan oleh Husserl dengan metode fenomenologinya. Pendiri
fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan sekaligus kawan yang paling dihormati
dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa
fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari
prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat
epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara
fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu
sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang
lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara
Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum
keberadaan. Heidegger tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif,
melainkan pada akhirnya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan
subjek. Bagi Heidegger, realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan
diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri.
Heidegger mengembangkan hermeneutika sebagai
interpretasi yang berdimensi ontologis. Dalam pandangan Heidegger, pemahaman (verstehen)
bukanlah sebuah metode. Menurutnya pemahaman lebih dari sekedar metode.
Sebabnya pemahaman telah wujud terlebih dahulu (pre-reflective
understanding) sebelum merefleksikan sesuatu. Heidegger menamakan
pra-pemahaman tersebut sebagai Dasein, yang secara harfiah berarti
disana-wujud.
Apa yang ditulis Heidegger sebagai
hermeneutika tidak bisa dipahami dalam pengertian pemahaman yang subjektif.
Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode pengungkapan realitas. Hermeneutika
adalah hakikat keberadaan manusia yang menyingkap selubung Ada (Sein).
Ia tidak berada dalam pengertian subjek-objek, di mana pemahaman tentang objek
berangkat dari persepsi kategoris dalam diri subjek. Subjek tidak memahami
sejauh objek tidak mengungkapkan diri. Subjek tergantung kepada pengungkapan
objek. Dan sebetulnya term subjek dan objek di sini tidak tepat, sebab Dasein
adalah seinde yang memiliki kemampuan yang lain. Dikatakan Dasein
karena cara beradanya berbeda dengan benda-benda lain (seinde) yang
ada begitu saja. Dasein berarti mengada di sana. Terdapat nuansa
aktifitas dari Dasein. Dasein adalah satu-satunya seinde
yang secara ontologis mampu keluar dari dirinya sendiri (Existenz)
guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seinde lainnya.
Sekalipun Heidegger masih tidak
mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau berpikir dan yang
diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa dipisahkan sama
sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi digunakan dalam
pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi anutan kesadaran.
Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang menunjukkan
dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis karena ia
merupakan hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi) adalah Dasein
itu sendiri. Berpikir, dalam pengertian Heidegger, bukan menggambarkan,
bukan memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, melainkan
bertanya dan meminta keterangan, mendengarkan dengan penuh rasa hormat suara
Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada.
Heidegger menghubungkan kajian tentang makna
kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan
grammar, ia memerlukan pemahaman terhadap kehidupan, situasi pengarang dan
audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam karyanya Being and Time. Dasein (suatu
keberadaan atau eksistensi yang berhubungan dengan orang dan obyek) itu sendiri
sudah merupakan pemahaman, dan interpretasi yang essensial dan terus menerus.
Martin Heidegger mencoba memahami teks
dengan metode eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu “ketegangan” dan
“tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak ada.
Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi antara wujud
transendent dan horisontal. Semakin dalam kesadaran manusia terhadap
eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu,
teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait dengan suatu
peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi
wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami
suatu teks.
Heidegger mencoba memberikan pengertian lain
kepada bahasa dan tidak hanya berkutat pada pengertian bahasa sebagai alat
komunikasi saja. Bahasa merupakan artikulasi eksistensial pemahaman. Bahasa
kemudian juga bermakna ontologis. Antara keberadaan, kemunculan, dan bahasa,
saling mengandalkan. Bersama pikiran, bahasa adalah juga ciri keberadaan
manusia. Dalam bahasa, Ada mengejawantah. Oleh karenanya, interpretasi
merupakan kegiatan membantu terlaksananya peristiwa bahasa, karena teks
mempunyai fungsi hermeneutik sebagai tempat pengejawantahan Ada itu sendiri.
Hermeneutika Heidegger telah mengubah
konteks dan konsepsi lama tentang hermeneutika yang berpusat pada analisa
filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek,
klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat
hermeneutika pada tataran ontologis.
4. Hans-Georg Gadamer (1900-1998)
Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah
persoalan ontologis. Ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab
baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat
ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui
metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan.
Dan ini disebut filsafat praktis.
Gadamer melontarkan konsep “pengalaman” historis dan dialektis, di mana
pengetahuan bukan merupakan bias persepsi semata tetapi merupakan kejadian,
peristiwa, perjumpaan.
Gadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi
dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman
individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan
wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas
eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan
eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku
(pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis,
karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan
wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita
lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga
melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika
memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada
kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu ada.
Dia umpamakan pemahaman manusia sebagai
interpretasi-teks. Dalam proses memahami teks selalu didahului oleh
pra-pemahaman sang pembaca dan kepentingannya untuk berpatisipasi dalam makna
teks. Kita mendekati teks selalu dengan seperangkat pertanyaan atau dengan
potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon ekspektasi inilah kita
memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh realitas sejarah.
Hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi teks sesuai dengan
konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut dengan effective
historical consciousness yang struktur utamanya adalah bahasa.
Menurut Gadamer, pemahaman bukanlah salah
satu daya psikologis yang dimiliki manusia, namun pemahaman adalah kita. Oleh
sebab itu, ilmu tanpa pra-duga adalah tidak terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic
circle, jika kita berusaha keluar dari lingkaran tersebut. Menurut
Gadamer, ketika kita berusaha memahami sebuah teks kita akan berhadapan dengan
koherensi relatif dari ruang lingkup makna. Jadi, sebenarnya ada dua metode
yang perlu dihindari ketika memahami sesuatu. Pertama, sikap reduktif ketika
dengan seenaknya memasukkan konsep kita sendiri dengan berlebih-lebihan
ke dalam ruang lingkup budaya, sehingga menafikan kekhususan maknanya; kedua,
sikap self-effacement ketika kita menafikan kepentingan kita sendiri
dengan berusaha masuk ke dalam kacamata orang lain. Kedua metode tersebut tidak
menyelesaikan persoalan ilmu yang objektif karena masih terjerat dengan
dikotomisasi antara subjek atau objek, padahal kondisi primordial kita
melampaui hubungan antara subjek dan objek.
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya
dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap
“situasi hermeneutik”. Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi
kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks. Kedua, situasi hermeneutika ini
kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi
pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat
dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar
pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan
antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus
dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa
diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki
horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang
akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh
Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan
“makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi
bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap
pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja ketika
hendak membaca sebuah teks.
5. Jurgen Habermas (1929- )
Habermas sebagai penggagas hermeneutika
kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem
hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan
teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman, melainkan
sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan
pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan
dalam ranah yang harus dicurigai.
Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena
itu, ia harus selalu dicurigai.
Bagi Habermas pemahaman didahului oleh
kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial (social
interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest)
sang interpereter.
6. Paul Richour (1913-2005)
Paul Richour mendefinisikan hermeneutika
yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan
sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak
dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek
interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam
mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra.
Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki multi makna
(multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna
permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih
dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di
bawah kandungan yang nampak.
Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur
adalah bahwa begitu makna obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang
pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin.
Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview)
pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya.65 Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu
penafsiran teks atau teori tafsir.
7. Muhammed Arkoun
Setelah membahas pemikiran tokoh-tokoh di
atas, ada baiknya untuk membahas pemikiran Muhammed Arkoun yang telah
mengadopsi teori-teori hermeneutika ketika menafsirkan Alquran.
Adalah Muhammed Arkoun, pemikir
reformatif-dekonstruktif sekaligus intelektual wilayah ‘tak terpikirkan’ (al-la
mufakkar fih/L’impensê/unthikable) yang lahir pada 1 Februari 1928 di
Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi
dosen di Universitas Sorbone Paris. Corak konstruksi pemikiran epistemik Arkoun
sangat terlihat dipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis. Metode
historisisme yang dijadikan pisau bedah analisis Arkoun adalah formulasi
ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis
Perancis.
Kritik epistemik nalar Islam dan analisis
dekonstruktif merupakan harga mati bagi Akoun guna mencapai kebangkitan kembali
peradaban Islam yang sampai kini masih terkapar dalam hegemoni ortodoksi dan
dogmatisme. Kerja ilmiah ini digarap oleh Arkoun dengan cara mengkritik secara
dekonstruktif terhadap mekanisme-mekanisme berpikir konvensional yang telah
memproduk sistem-sistem teologis dan keyakinan-keyakinan yang amat varian dan,
sebagai langkah kedua, kemudian merekonstruksi pondasi-pondasi epistemiknya.
Muhammed Arkoun berpendapat bahwa Mushaf
Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan
“tak terfikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.
Ia mengusulkan supaya membudayakan pemikiran liberal (free thinking).
Ia mencapai pemikiran liberal dengan dekonstruksi. Baginya, dekonstruksi adalah
sebuah ijtihad yang akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah
pemahaman yang lebih baik tentang Alquran. Jika masalah-masalah yang selama ini
ditabukan dan dilarang dan semua itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika
didekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus terbuka.
Menurutnya pendekatan historitas, meskipun
berasal dari Barat, tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja.Tetapi
pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan
tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan
konteks historis, yang akan menantang segala bentuk pensaklaran dan penafsiran
transenden yang dibuat teolog tradisional.
Arkoun dalam mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi
pada teori Hermeneutika.
E. PENUTUP/KESIMPULAN
Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang
diasosikan dengan Dewa Hermes terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien
dan hermēneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan
bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu: to say, to explain, dan
to translate atau to interpret.
Setidaknya ada enam definisi tentang hermeneuitika
modern yang juga menandai sejarah perkembangan hermeneutika itu sendiri.
1.
Hermeneutika sebagai teori
eksegesis Bibel.
2.
Hermeneutika sebagai metode
filologis.
3.
Hermeneutika sebagai ilmu
pemahaman linguistik. Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan
lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bibel, melainkan
prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fundasi bagi semua ragam interpretasi
teks (Hermeneutika Umum).
4.
Hermeneutika sebagai fundasi
metodologi geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey menjadi figur utama
pada perkembangan herneutika tahap ini. Ia melihat bahwa hermeneutika adalah
inti disiplin yang dapat berlaku bagi geisteswissenschaften, yakni
semua pemahaman yang mefokuskan pada seni, aksi, dan tulisan manusia.
5.
Hermeneutika sebagai
fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Pada titik inilah
hermeneutika memasuki wilayah ontologis. Hermeneutika menjadi instrumen pengejawantahan
Sang Ada (Being). Melalui Dasein yang menginterpretasi,
segala Yang Ada mewujudkan diri. Konsepsi Heidegger ini pada akhirnya
dilanjutkan oleh Gadamer yang menitik beratkan pada linguistik.
6.
Hermeneutika sebagai sistem
interpretasi: menemukan makna versus ikonaklasme. Titik balik kreatif
dilakukan oleh Paul Ricour yang mendefinisikan hermeneutika dengan mengacu
kembali pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distinktif dan sentral
dalam hermeneutika.
7.
Muhammed Arkoun mengadopsi
teori hermeneutika dalam tafsir Alquran, dengan melakukan kritik secara
dekonstruktif lalu melakukan rekonstruksi.
|
Armas, Adnin. Dampak Hermeneutika
Schleiermacher dan Dilthey terhadap Studi Al-Qurán. Jurnal Islamia, Vol.
III, No. 3, 2008.
----------, Filsafat Hermeneutika Menggugat
Metode Tafsir al-Qurán, dalam
Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM Cabang Kairo.
Bertens, K. Panorama Filsafat Modern.
Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju, 2005.
E. Palmer, Richard. Hermeneutics Interpretation
Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer diterjemahkan
oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan judul Hermeneutika; Teori Baru
Mengenai Interpretasi. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama;
Sebuah Kajian Hermeneutik. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996.
Salahuddin, Henry. Studi Analitis Kritis
Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam Blog pada WordPress.com.
Sumarna, Cecep, Revolusi Peradaban, Mencari
Tuhan dalam Batang Tubuh Ilmu, Bandung: Mulia Press, 2008, Cet. Ke-1
Zarkasyi, Hamid Fahmy. Hermeneutika Sebagai
Produk Pandangan Hidup. Dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam
Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006.
Dari Website Internet:
Audifax,HermeneutikadanSemiotika,www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif.
Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2009
http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika/Studi Hermeneutika dan Penerapannya.
http://idhimakalah.wordpress.com/2007/11/22/hermeneutika-ontologi-eksistensial-heidegger. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2009
http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2007/10/peta-kritik-nalar-islam-arkoun-dari.html. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2009
http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2008/09/kritik-proyek-kritik-nalar-arab-abed-al.html. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2009
|
http://peperonity.com/go/sites/mview/assunnah.karya.indo1/15293598/Hermeneutika dan Bahayanya. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 200
0 Response to "CONTOH MAKALAH FILSAFAT FILSAFAT HERMENEUTIKA: STUDI TENTANG FILSAFAT BAHASA DAN PARA TOKOHNYA"
Posting Komentar