BAHASA ARAB SEBAGAI
AKAR BIAS GENDER
DALAM WACANA ISLAM
Bahasa
Arab mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan Muslim di berbagai
belahan dunia. Isma’il dan Lois Lamya al-Faruqi secara tepat menggambarkan
fenomena ini sebagai berikut:
Dewasa ini bahasa Arab merupakan
bahasa daerah sekitar 150 juta orang di Asia Barat dan Afrika Utara yang
merupakan dua puluh dua negara yang menjadi anggota Liga Negara-Negara Arab. Di
bawah pengaruh Islam, bahasa ini menentukan bahasa Persia, Turki, Urdu, Melayu, Hausa
dan Sawahili. Bahasa Arab menyumbang 40-60 persen kosakata untuk bahasa-bahasa
ini, dan kuat pengaruhnya pada tata bahasa, ilmu nahwu, dan kesustraannya.
Bahasa Arab merupakan bahasa religius satu milyar Muslim di seluruh dunia, yang
diucapkan dalam ibadah sehari-hari. Bahasa ini juga merupakan bahasa hukum
Islam, yang setidaknya dalam bidang status pribadi, mendominasi kehidupan semua
Muslim. Akhirnya inilah bahasa kebudayaan Islam yang diajarkan di beribu-ribu
sekolah di luar dunia Arab. Dari Sinegal sampai Filipina, bahasa Arab dipakai
sebagai bahasa pengajaran dan kesusastraan dan pemikiran di bidang sejarah,
etika, hukum dan fiqh, teologi, dan kajian kitab.1]
Didukung
dengan beberapa doktrin ajaran Islam, bahasa Arab terus mempengaruhi masyarakat
Muslim di berbagai tempat. Misalnya doktrin bahwa al-Qur’an harus ditulis dan
dibaca dalam bahasa aslinya (bahasa Arab). Terjemahan al-Qur’an dipandang
sebagai sesuatu di luar al-Qur’an itu sendiri. Hal ini berbeda dengan Injil di
mana ia justru harus diterjemahkan ke berbagai bahasa tanpa menyertakan teks
aslinya. Doktrin pendukung lainnya adalah berbagai ucapan ritual ibadah hanya
dianggap sah jika dilakukan dalam bahasa Arab. Tak pelak doktrin-doktrin
seperti ini telah memacu motivasi masyarakat Muslim untuk mempelajari dan
menguasai bahasa Arab sejak dini agar kelak menjadi Muslim yang baik. Al-Qur’an
bahkan tidak hanya dipelajari cara membacanya, tetapi juga dihafalkan kata
perkata secara utuh.
Bahasa
sangat erat kaitannya dengan kegiatan berpikir sehingga sistem bahasa yang
berbeda akan melahirkan pola pikir yang berbeda pula.[2]
Oleh karena itu pengaruh bahasa Arab pada berbagai bahasa masyarakat non Arab
berarti pula pengaruh dalam cara berpikir dan cara bersikap masyarakat Muslim
di seluruh dunia. Hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat Muslim untuk
memahami segala sesuatu yang Islami (sesuai dengan Islam) dengan Arabi (sesuai
dengan Arab). Menjadi Muslim yang menyeluruh (kaffah) seringkali
diekspresikan dengan menjadi orang Arab dengan berbagai artibutnya seperti
bergamis, bersorba, berjenggot, berjubah, berjilbab, bernama Arab, bermusik
padang pasir, dsb.
Sebagai
konvensi, bahasa merupakan kesepakatan sebuah masyarakat. Ia diwariskan secara
turun-menurun oleh generasi pemakainya. Demikian juga tradisi, pemikiran,
keyakinan maupun ajaran agama yang disimbolkannya. Melalui ajaran Islam, bahasa
Arab secara tidak langsung terus mempengaruhi masyarakat muslim dalam cara
pandang, berpikir dan bersikap secara turun temurun. Transformasi ini dilakukan
secara sistematis di madrasah, pesantren dan perguruan tinggi Islam melalui
buku-buku berbahasa Arab yang menjadi literatur utama.
Bahasa sebagai Simbol
Sebagaimana
hakekat manusia yang terdiri dari dimensi lahir dan batin, bahasa pun demikian
halnya. Manusia disebut mahluk lahir karena ia memang tampak, dapat dikenali
dan diidentifikasi. Sebaliknya disebut makhluk batin, karena apa yang tampak
dari manusia hanyalah pencerminan belaka dari hakekat dirinya yang tersembunyi
(batin atau metafisik).[3]
Seperti juga hakekat kedirian manusia ini, bahasa manusia pun pada dasarnya
adalah simbol bagi dunia makna. Aliran mentalis mengatakan bahwa bahasa
merupakan ekspresi dari ide, perasaan dan keinginan [4]
Ferdinand
De Saussure lebih jauh mengembangkan unsur makna dan kata dalam bahasa melalui
teori tentang konsep dan imajinasi suara (the
concept and the sound image).[5]
Kata pohon misalnya, terdiri dari imajinasi suara kata "pohon" (signifier) dan konsep tentang pohon (signified). Sistem simbolik bahasa disandarkan
pada sistem kehidupan manusia. Karena itu kosa-kata sebuah bahasa di samping
mencerminkan kemampuan sebuah masyarakat dalam mengekspresikan pengalaman
hidupnya, juga secara umum mencerminkan pengetahuan, pandangan hidup, keyakinan
maupun pemikiran mereka. Bahasa Inggris mencerminkan keseluruhan perkembangan
politik, sosial dan sejarah budaya bangsa Inggris.[6]
Demikian pula dengan bahasa Jawa. Pembagian kata menjadi tiga tingkatan
menunjukkan adanya budaya patriakal yang sangat kental pada masyarakat
penuturnya. Pembagian jenis kata pada rendah (ngoko), menengah (madyo) dan atas
(inggil) mengacu pada adanya strata sosial masyarakat dalam budaya Jawa.
Sebagaimana
bahasa lainnya, bahasa Arab tersusun dalam sistem simbolik. Kosa kata yang
dipakai dalam bahasa adalah simbol bagi makna yang berada di baliknya.[7]
Ibarat kata adalah sebuah badan, maka makna adalah ruhnya.[8]
Karena itu sebuah kata hanya akan berfungsi sebagai simbol jika tidak
dipisahkan dari konsep maknanya. Kosa kata apapun tidak akan berfungsi sebagai
sebuah simbol bagi seseorang yang tidak mengetahui maknanya. Bahasa Arab yang
dipakai al-Qur'an misalnya, tidak akan berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan
ilahi bagi siapa pun yang tidak mengerti bahasa Arab. Karena itu betapapun
tingginya nilai sastra al-Qur'an, berhadapan dengan mereka, al-Qur'an tidak
dapat menyampaikan satu pesan pun.
Sistem
simbolik bahasa Arab yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab berarti
pula bahwa bahasa Arab sangat berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab.
Pamakaian bahasa Arab oleh al-Qur'an menunjukkan bahwa simbol bahasa al-Qur'an
sangat terkait pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan ini terlihat jelas pada
pemakaian kosa-kata bahasa Arab yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh
masyarakat Arab. Lebih jauh lagi, keterkaitan bahasa al-Qur'an dengan budaya
Arab ditunjukkan dalam transformasi pesan-pesan ilahi melalui budaya masyarakat
Arab.
Bias Gender dalam Bahasa Arab
Bahasa
Arab yang telah menjadi bahasa umat Islam ini mengandung bias gender yang
berpengaruh pada proses tekstualisasi firman Allah dalam bentuk al-Qur’an. Bias
tersebut tercermin dalam tata bahasa Arab seperti setiap nama (isim) dalam
bahasa Arab selalu berjenis kelamin (mudzakkar atau mu’annats), bisa secara
hakiki maupun majazi. Sebagaimana seseorang tidak bisa mengabaikan kelas sosial
ketika berbicara bahasa jawa, aturan di atas menyebabkan seseorang tidak bisa
menghindari klasifikasi laki-laki dan perempuan dalam berbahasa Arab karena
dalam bahasa ini tidak ada nama yang netral.
Sebagai pemakai bahasa Arab, teks al-Qur’an
juga mengikuti ketentuan ini sehingga Allah sebagai Dzat yang tidak berjenis
kelamin pun mempunyai nama yang berjenis kelamin, yaitu mudzakkar (laki-laki)
sehingga memakai kata kerja laki-laki (fiil mudzakkar), sebagaimana
ditunjukkan oleh ayat berikut ini:
إِنَّ
رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ
بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ(3)
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas
`Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at
kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu,
maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
Ketentuan
lain dalam tata bahasa Arab yang mengandung bias gender adalah isim muannats
(nama untuk perempuan) cukup dibentuk hanya dengan cara menambahkan satu huruf (ta’ marbuthoh)
pada nama atau isim yang telah ada bagi laki-laki, seperti kata ustadzah
(guru perempuan) yang dibentuk dari kata ustadz (guru laki-laki), muslimah dari
muslim dll.. Tata bahasa ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab terhadap
eksistensi perempuan sebagai bagian (sangat kecil?) dari eksistensi laki-laki.
Pengaruh
cara pandang yang mengabaikan eksistensi perempuan ini dalam al-Qur’an dapat
dilihat pada ayat tentang wudlu sebagai berikut:
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (al-Maidah/5:6)
Ayat
tersebut sangat jelas sedang berbicara hanya pada laki-laki karena ayat
tersebut secara jelas pula menyebutkan menyentuh perempuan (dengan segala
konotasinya) sebagai hal yang menyebabkan batalnya “kesucian” laki-laki. Tidak
ada satu ulama fiqh pun yang mengambil kesimpulan dari ayat di atas bahwasanya
perempuan menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu. Jadi, eksistensi
perempuan pada ayat di atas tidak ada dan ketentuan untuk perempuan pun cukup
diturunkan dari ketentuan laki-laki.
Tata
bahasa Arab lainnya yang mengandung bias gender adalah kata benda plural
(jama’) untuk sekelompok perempuan adalah kata plural laki-laki (jama
mudazkkar) meskipun di dalamnya hanya ditemukan satu orang laki-laki. Satu grup
perempuan, baik berjumlah seribu, sejuta, semilyar, bahkan lebih, akan
menggunakan kata ganti jama mudzakkar (laki-laki) hanya karena adanya
satu orang laki-laki di antara lautan perempuan tersebut. Hal ini mencerminkan
cara pandang masyarakat Arab bahwa satu kehadiran laki-laki lebih penting
daripada keberadaan banyak perempuan, berarapa pun jumlahnya.[9]
Sebagai
pemakai bahasa Arab, al-Qur'an juga mengikuti ketentuan ini sehingga dalam
menyampaikan sebuah pesan yang ditujukan kepada umat secara umum, baik
laki-laki atau perempuan, al-Qur'an menggunakan jenis kata laki-laki. Beberapa
contoh ayat dapat disebutkan di sini:
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. 2:183).
Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. 2:110)
Makulinitas
ayat-ayat di atas terletak pada penggunaan kata-kata yang dicetak miring. Kata
ganti orang kum (kalian), kata
sambung alladhina (orang-orang yang),
kata kerja aamanuu, tattaquun, aqiimuu, aatuu, tuqoddimuu,
tajiduu (beriman, bertakwa, dirikanlah, tunaikanlah, usahakan, kerjakan).
Kata-kata ini dalam bentuk perempuannya (muannatsnya) adalah kunna, allaatii, aamanna, tattaqna, aqimna,
aatina, tuqoddimna, tajidna. Sekalipun menggunakan kata bentuk mudzakkar,
ayat ini jelas ditujukan kepada seluruh kaum muslim termasuk yang perempuan.
Jika tidak, maka ayat-ayat di atas tidak dapat dijadikan landasan bagi
kewajiban shalat dan zakat bagi perempuan.
Meskipun
perempuan telah terwakili dengan penyebutan laki-laki, tetapi pada beberapa
kesempatan ayat al-Qur'an menggunakan gaya
bahasa di mana eksistensi perempuan tidak lebur oleh kehadiran laki-laki.
Misalnya ayat berikut ini:
Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyu, laki-laki dan perempuan yang sedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar. (al-Ahzab, 33:35).
Bahasa
Arab sesungguhnya bukan satu-satunya bahasa yang mengenal perbedaan gender.
Bahasa Inggris mempunyai kata ganti she
untuk perempuan dan he untuk
laki-laki. Seperti juga dalam
bahasa Arab, dominasi pria atas perempuan dalam masyarakat Inggris tercermin
dalam istilah-istilah umum yang menggunakan kata laki-laki, contoh chairman dan spokesman. Ketika kesadaran persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan muncul di kalangan masyarakat pengguna bahasa Inggris, maka muncul
pula kesadaran yang berbeda dalam berbahasa. Misalnya penggunaan kata he or she untuk menghindari penggunaan he secara berlebihan, dan perubahan
istilah-istilah maskulin semacam chairman
dan spokesman menjadi kata yang lebih
netral seperti chairperson dan spokesperson.
Kesadaran semacam ini tidak ditemukan dalam diskursus Arab.[10]
Tata-bahasa Arab yang mengandung bias gender ini
merefleksikan budaya dan sikap masyarakat Arab terhadap perempuan. Pada masa
turunnya al-Quir’an, kehadiran anak perempuan dapat mengancam kehormatan sebuah
keluarga Arab sehingga penguburan bayi perempuan hidup-hidup juga ditempuh
untuk menutupi malu.[11] Penguburan ini
ditempuh karena masyarakat belum mengenal aborsi. Nilai perempuan tak lebih
dari barang yang dapat dijual dan diwariskan.[12] Di samping
itu, laki-laki dapat mengawini perempuan dalam jumlah tak terbatas pada saat
yang sama, menceraikan mereka, merujuk lagi kapan saja dan berapa kalipun
laki-laki menghendaki.[13] Tak jarang
perempuan dipandang seperti syaitan yang harus dijauhi.[14]
Mewaspadai Bias Gender dalam Wacana Agama
Meskipun kebenaran dan kebaikan yang disampaikan oleh
al-Qur'an bersifat universal dan abadi akan tetapi proses verbalisasinya
berkaitan erat dengan kondisi masyarakat Arab pada masa turunnya. Dalam nada
yang lebih berani Ibnu Khaldun mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa Arab dan disesuaikan dengan gaya
retorika mereka agar dapat dipahami.[15] Rekaman dialog
antara ayat-ayat al-Qur’an dengan masyarakat Arab terutama yang berkaitan erat
dengan persoalan personal mereka adalah indikasi kuat bagi adanya relevansi
proses pembahasaan kebenaran mutlak Al-Qur’an dengan kondisi lokal bangsa Arab
pada masa turunnya.
Namun
demikian mayoritas Muslim memiliki kesadaran bahwa al-Qur’an (teks al-Qur’an)
sama azali dan abadinya dengan Allah sehingga lahir kecenderungan untuk
memahaminya secara tekstual. Keyakinan ini memunculkan problem serius karena
teks-teks al-Qur’an adalah rekaman atas perubahan sosial yang berlangsung
selama 23 tahun masa kerasulan Muhammad Saw. Oleh karena itu pendekatan
tekstual akan mengesankan adanya ayat-ayat yng kontradiktif antara satu dengan
lainnya. Problem ini oleh ulama diatasi antara lain melalui konsep naskh,
yaitu menghapus atau menunda (hingga waktu tak tentu) beberapa ayat dengan
memprioritaskan ayat lain untuk diberlakukan. Konsep ini mengisyaratkan bahwa
teks al-Qur’an tidak bisa diterapkan secara serentak dan menyeluruh: sesuatu
yang bertentangan dengan doktrin keabadian teks al-Qur’an.
Supremasi
teks atas spirit atau ruhnya ini mengandung potensi besar bagi munculnya tafsir
agama yang bias. Ayat tentang waris misalnya, pada saat turunnya mengandung
spirit pemberdayaan perempuan secara ekonomi. Mereka yang tadinya diwariskan,
lalu berubah menjadi mampu mewarisi atau memperoleh warisan dan akhirnya mampu
pula mewariskan atau memberikan warisan. Dari transformasi ini dapat ditangkap
bahwa bagian anak perempuan separo dari laki-laki mengandung tekanan pesan
bahwa separo adalah jumlah minimal yang bisa diterima perempuan. Pada ayat yang
sama bahkan disebutkan bahwa bagian perempuan (ibu) adalah sama dengan
laki-laki (ayah):
….Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak….(an-Nisa/4:11)
Pendekatan
tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’an mesti diwaspadai karena mempunyai
kecenderungan mengabaikan spirit pemberdayaan pada seluruh ayat-ayat yang
berkaitan dengan gender. Muhammad Abduh mensinyalir sebagian besar kata-kata
al-Qur’an telah berubah kandungan maknanya bahkan pada masa dekat setelah
turunnya.[16]
Perubahan makna ini dapat terjadi dalam bentuk pemahaman terhadap al-Qur’an
yang bertentangan dengan spirit awalnya.
Jika
al-Qur’an yang diyakini tidak bermasalah dalam otentisitasnya saja sudah
mengandung potensi lahirnya wacana agama yang bias gender, maka dapat
diperkirakan seberapa besar potensi teks-teks religius lainnya seperti hadis,
tafsir, fiqih , dll. dalam melahirkan wacana agama yang bias. Berbeda dengan
teks al-Qur’an, hadis dapat bermasalah dari segi periwayatan maupun redaksinya
(sanad dan matan). Oleh karena itu viliditas hadis bertingkat; shahih,
hasan, dloif dan maudlu’ (palsu). Tingkatan hadis yang paling tinggi adalah
hadis yang secara sanad maupun matannya tidak mengandung cacat.
Hadis yang
mengandung bias gender sangat mudah ditemukan. Beberapa contoh dapat disebutkan
di sini:
Di antara haknya adalah andaikata di antara dua hidung suami
mengalir darah dan nanah lalu istrinya menjilati dengan lidahnya, ia belum
memenuhi hak suaminya. Seandainya manusia itu boleh bersujud kepada manusia,
niscaya aku perintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. (HR. al-Hakim).[17]
Hadis ini dikutip Imam Nawawi dalam kitab Uqud
ad-Dulujain. Hingga kini, kitab tersebut masih dianggap sebagai rujukan
utama di beberapa pesantren di Indonesia.
Hasil penelitian Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menunjukkan bahwa kualtitas
sanad hadis tersebut dloif (lemah) karena terdapat perawi yang bermasalah,
yaitu Sulayman bin Dawud dan al-Qasim. Imam Nawawi juga mengutip tiga hadis di
bawah ini:
Jika seorang istri menghabiskan malam dengan meninggalkan tempat
tidur suaminya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi. (HR. Bukhari Muslim).
Andaikata seorang wanita
menghabiskan waktu malamnya untuk shalat, siang harinya untuk puasa, lalu
suaminya memanggilnya ke tempat tidur sedangkan istri menundanya sesaat, maka
kelak pada hari kiamat ia akan diseret dengan rantai dan belenggu, berkumpul
dengan setan-setan hingga sampai di tempat yang serendah-rendahnya.
Bahwasanya wanita itu tidak
dapat memenuhi hak Allah sebelum memenuhi hak-hak suaminya. Seumpama suami
minta pada istrinya sementara istri sedang berada di atas punggung onta, maka
ia tidak boleh menolak dirinya. (HR. Ath-Thabarani)[18]
Hadis-hadis
di atas dan semacamnya pada umumnya bermasalah dalam sanad dan seluruhnya
bermasalah dari segi matan. Khalid M. Abu el Fadl menyebutkan tiga hal sebagai
sebab tidak validnya hadis-hadis tersebut menurut matan, yaitu bertentangan
dengan kedaulatan Tuhan dan Kehendak-Tuhan yang bersifat mutlak, tidak selaras
dengan diskursus al-Qur’an tentang kehidupan pernikahan, dan tidak sejalan
dengan keseluruhan riwayat yang menggambarkan perilaku Nabi terhadap
istri-istrinya.[19]
Beberapa
faktor pendukung lain dalam lahirnya wacana agama yang bias adalah fakta bahwa
perumusan ajaran agama sejak awal didominasi oleh bangsa Arab, sebuah bangsa
yang memiliki pra asumsi bias dalam memandang perempuan. Hingga kini wacana
Agama masih berkiblat ke negeri Arab, sehingga tidak hanya relasi yang tidak
imbang antara laki-laki dan perempuan yang mereka tanamkan dalam kesadaran
masyarakat Muslim di seluruh dunia, tetapi juga relasi tidak seimbang antara
Muslim dan non Muslim berdasarkan pengalaman pahit yang merteka alami hingga
kini di tanah Arab.
Beberapa Upaya
Beberapa langkah
yang bisa ditempuh untuk menghindari bias gender dalam wacana agama adalah
sebagai berikut:
1.
mewaspadai pengaruh budaya dan
bahasa Arab dalam wacana agama.
2.
membuat wacana agama yang
mendukung keadilan gender lebih popular daripada wacana agama yang mengandung
bias.
3.
Berperan aktif dan kritis dalam
memproduksi wacana agama menurut perspektif perempuan.
4.
Menyuguhkan konteks teks dan
konteks pembaca dalam memproduksi wacana agama.
5.
Menjadikan spirit keadilan
sebagai payung dalam memproduksi dan memahami wacana agama.
Sebagaimana
bahasa pada umumnya, bahasa Arab harus dipandang sebagai alat komunikasi. Alat
ini sangat penting artinya dalam menyampaikan pesan. Namun demikian, pentingnya
alat tidak kan
pernah melampaui pentingnya tujuan dalam sebuah komunikasi, yaitu sampaiknya
pesan. Sebagai simbol, bahasa Arab mempunyai peranan penting dalam menyampaikan
pesan ilahi melalui al-Qur’an. Namun demikian, pentingnya simbol tidak akan
pernah melampaui pentingnya hal yang disimbolkan. Oleh karena itu, bahasa Arab
penting untuk dipelajari dalam memahami ajaran agama, namun bahasa Arab tetap
harus diwaspadai karakternya yang sangat bias agar ajaran agama tidak justru
digunakan sebagai alat diskriminasi terhadap perempuan atas nama agama.
DAFTAR LITERATUR
Albert C. Baugh dan Thomas Cable, A History of The English Language, Englewood Cliffs:
Prentice Hall Inc., 1978.
Al-Quzwaini, Al-Idloh fi Ulum
il-Balaghah, Beirut:
Dar al-Jail, 1993.
At-Tabari, Jamiul Bayan, Kairo: 1957-1969Ibnu Haldun, Muqaddimah, Beyrut: Darul Fikir, tt
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah
Baru Relasi Suami-Istri, Yogyakarta: LKiS,
2001
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan:
Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta:
LKiS, 2001.
Ismail R.
Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, penerjemah Ilyas
Hasan, Bandung: Mizan, 2003.
Khaled M. Abou el Fadl, Atas Nama Tuhan: dari
Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Penerjemah R. Cecep Lukman Hakim,
Jakarta: Serambi, 2004.
Leonard Bloomfield, Language, London: George Allen and Unwin Ltd., 1970.
Masdar Farid Mas'udi, Agama Keadilan, Jakarta: P3M, 1993.
Muhammad Abduh, Al-Manar, Kairo: Darul Manar, 1367, Jilid.
I
Muhammad bin Iyas, Badaiz Zuhur fi Waqaid Duhur, Beirut: Maktabah
Saqafiyyah, tt.
Nasr Hamid Abu Zaid, Women in the Discourse of Crisis, The
Legal Research and Resource center for Human Right pages. (LRRC). Cairo, Egypt.
Roger Trigg, Understanding Social Science, Oxford:
Basic Blackwell, 1985.
0 Response to "CONTOH MAKALAH BAHASA ARAB SEBAGAI AKAR BIAS GENDER DALAM WACANA ISLAM"
Posting Komentar