BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Belakangan ini penelitian
tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena
pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran
keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai
di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang
mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan
fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam,
atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu
sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata
mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat dominan,
fiqih -- terutama fiqih abad pertengahan -- mewarnai dan memberi corak bagi
perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam
tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi
dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
1.2
Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar kita
khususnya para mahasiswa dapat memahami
dan mengerti tentang :
1.
pengertian mazhab,
2.
latar belakang munculnya
madzhab
3.
macam – macam madzhab dalam
fiqh
BAB II
PEMBAHSAN
2.1 Pengertian
Madzhab
Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti
jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik
konkrit maupun abstrak. [1]Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan
tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan
mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran
dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman
yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
a.
Titik Tolak atau Sejarah Pembentukan Madzhab
Sebagaimana
diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak
sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru.
Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan sesuatu masalah sulit dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas,
Qasim
Abdul Aziz Khomis menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf(perbedaan pendapat) di kalangan
sahabat ada tiga yakni : [2]
1.
Perbedaan para sahabat dalam
memahami nash-nash al-Qur’an
2.
Perbedaan para sahabat
disebabkan perbedaan riwayat
3.
Perbedaan para sahabat
disebabkan karena ra’yu.
Sementara Jalaluddin
Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia
berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah
prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada
zaman Rasulullah SAW.
Setelah
berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah
generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri
tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan
kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it
Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki
abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Dari mata
rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat,
tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. Dari sini pula
kita dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun
mazhab-mazhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab – Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali – seperti yang ada sekarang.
Dr.
Thaha Jabir Fayyadh al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul
sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang “Ahlu
Sunnah”, tetapi hanya delapan atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui
dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam
mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Sa’id bin Yasar al-Bashir (wafat 110 H.),
Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi (wafat 150 H.), Imam Auza’ie
Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said
bin Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin Sa’d (wafat 157 H.), Imam
Malik bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198
H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie (wafat 204 H.), dan Imam Ahmad bin
Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.) .
Muhammad
Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi
enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal
pertumbuhan fiqih, Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam
mazhab fiqih, dan yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih .
1. Periode
risalah.
Periode ini
dimulai sejak kerasulan Muhammad S.A.W. sampai wafatnya Nabi S.A.W. (11 H./632
M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan
Rasulullah S.A.W. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi S.A.W.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi S.A.W lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi S.A.W lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
2. Periode
al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini
dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad S.A.W sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan
memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada
periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi S.A.W., juga ditandai dengan
munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan
yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa
ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.),
ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan
hukum yang muncul di tengah masyarakat.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh.
Masa ini
dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini
merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam
Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa
al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan
Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang
berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode
keemasan.
Periode ini
dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode
sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam
Pertama. Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini
adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai
pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak
saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan
umum lainnya.
Dinasti
Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan
menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga
perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar.
Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan
ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang
semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya
dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam
Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Periode
keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul
fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah
al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir
ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang
muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul
fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan,
dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode
tahrir, takhrij, dan tarjih
Periode ini
dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang
dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan
ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas
pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat
ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil
ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga
mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh
yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka
anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab
(mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya).
Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara
mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap
satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab
imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk
menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh
yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing
mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan
buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad
terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini
sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan
talfiq.
6. Periode
kemunduran fiqh.
Masa ini
dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-
'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293.
Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh
yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah
perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa
ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab
fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa
berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam
mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal
yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja
hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga
ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa,
sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai
pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan
penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum
(kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam
menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan
penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun
ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, Muncul
ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah
ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang
berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu
dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka
transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi
tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang
berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan
utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak
mau melunasi utang tersebut.
Fatwa ini
dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan
Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya
menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir
periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi
pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti
Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang
berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.Semasa
Rasulullah s.a.w. hidup, beliau merupakan madrasah utama umat islam dalam
mempelajari segla urusan agama dan yang berhubungan dengan urusan agama dan
dunia. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah s.a.w. tidaklah terjadi
perselisihan, khilaf, baik dalam bidang pokok agama maupun dalam bidang cabang
– cabang agama.
Sesudah
Rasulullah s.a.w. wafat barulah timbul perselisihan dalam kalangan umat islam
di bidang ushul dan bidang furu’. Perselisihan yang terjadi dikalangan sahabat
ialah mengenai pendapat bahwa : “apakah Nabi benar – benar meninggal atau hanya
diangkat Allah saja” [3].
Sedang dibidang amaliyah, perselisihan para sahabat ialah dalam hal
pemerintahan yaitu mengenai khlifah dan sekitar kaum yang murtad. Akan tetapi,
perselisihan – perselisihan yang timbul itu merupakan titik tolak bagi lahirnya
berbagai madzhab dikemudian hari.
Ada dua
golongan sahabat yang melakukan usaha
pemebntukan madzhab :
1.
Golongan para sahabat yang
berani membahas dan menganalisa, dan berani memberi fatwa baru tanpa ragu.
Golongan sahabat ini merupakan mereka yang ememahami,
mendalami di jiwa syari’at.
2.
Golongan para sahabat yang
tidak berani memberi fatwa – fatwa terhadap kejadian – kejadian yang baru.
Golongan para sahabat ini merupakan mereka yang
membatasi diri dalam petunjuk lafaz saja dan mereka hanya menyebut makna yang
lahir saja (jelas adanya).
- Faktor – factor yang menimbulkan madzhab
Secara umum
penyebab muncul adanya madzhab adalah disebabkan oleh tiga factor yang sangat
menentukan bagi perkembangan hukum Islam sesudah wafatnya Rasulullah yaitu:
- Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dll.
- Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, mereka berbaur dengan budaya, adat-istiadat, serta tradisi bangsa tersebut.
- Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam, membuat para Gubernur, Qadi, dan para Ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah baru yang dihadapi.
Pada masa
tabi’in, ijtihad sudah mempola dua bentuk yaitu yang lebih banyak menggunakan
ra’yu yang ditampilkan “Madrasah Kufah”, dan yang lebih banyak menggunakan
hadis atau sunnah yang ditampilkan “Madrasah Madinah”. Masing-masing madrasah
menghasilkan para mujtahid kenamaan.
Pada masa ini
para mujtahid lebih menyempurnakan lagi karya ijtihadnya antara lain dengan
cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip pokok dalam berijtihad yang kemudian
disebut “ushul”. Langkah dan metode yang mereka tempuh dalam berijtihad
melahirkan kaidah-kaidah umum yang dijadikan pedoman oleh generasi berkutnya
dalam mengembangkan pendapat pendahulunya. Dengan cara ini, setiap mujtahid
dapat menyusun pendapatnya secara sistematis, terinci, dan operasional yag
kemudian disebut “fiqh”. Mujtahid yang mengembangkan rumusan ilmu ushul dan
metode tersendiri disebut “mujtahid mandiri”.
Dalam
berijtihad, mereka langsung merujuk pada dalil syara’ dan menghasilkan temuan
orisinil. Karena antar para mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu
ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang mereka capai juga tidak terlalu
sama. Jalan yang ditempuh seorang mujtahid dengan menggunakan ilmu ushul dan
metode tertentu untuk menghasilkan suatau pendapat tentang hukum, kemudian
disebut ‘mazhab’ dan tokoh mujtahidnya dinamai ‘imam mazhab’.
2.2 Macam – macam madzhab
a. Imam Hanafi (Tahun 80 – 150 H.)- Mazhab Hanafi
Imam Abu
Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas dan istihsan.
Beliau mempergunakan qiyas dan istihsan apabila tidak memeperolah nash dalam
kitabullah, sunnaturrasul atau Idjma’. Hingga terciptalah Madzhab beliau atau
yang sering kita kenal dengan Madzhab Hanafi.
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu
Hanifah al-Nu’man bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah
pada masa Dinasti Umayyah . Semua literatur yang mengungkapkan kehidupan Abu
Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang ‘alim yang mengamalkan
ilmunya, zuhud, ‘abid, wara’, taqiy, khusyu’ dan tawadhu’.
Metode ushul
yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada ra’yun, setelah pada
Kitabullah dan As Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata
banyak menimbulkan protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya
belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia
jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama .
Imam Hanafi
disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan
kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya,
yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam
Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya .
Pada akhir
hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yang disampaikan dalam Kitab Al-Baar
Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman
beracun kepada imam Abu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid. Semoga
Allah memberikan rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada
beberapa penyebar fitnah yang tidak suka pada Abu Hanifah, memberi keterangan
palsu pada Al-Manshur, sehingga Al-Manshur melakukan pembunuhan itu, dan ada
sebuah riwayat shahih mengatakan bahwa ketika merasa kematiannya dekat, Abu
Hanifah bersujud hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud . Para ahli
sejarah bersepakat beliau meninggal pada bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70
tahun.
b. Imam Maliki
(Tahun 93 – 179 H.)- Mazhab Maliki
Nama
lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu
Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam
penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan
kepada 70 ahli fiqh Madinah .
Dalam sumber
lain menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin
Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al
Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani .
Malik bin
Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal Al-Qur’an
dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia dipandang ahli dalam berbagai
cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Karya-karya Imam Malik begitu
banyak, di antaranya yang paling populer adalah Al Muwatta’ yang berarti
‘kemudahan’ atau ‘kesederhanaan’. Keistimewaan Al-Muwatta’ adalah bahwa Imam
Malik merinci berbagai persoalan kaidah-kaidah fiqhiyah yang di ambil dari
hadits-hadits dan atsar.
Dalam madzhabnya Imam Malik mendahulukan kitabullah, sesudah itu beliau berpegang kepada As-sunnah, sesudah itu barulah ijma’ dan qiyas. Dalam hal ini Imam malik tidak memberi kepada qiyas kedudukan yang diberikan oleh abu Hanifah.
Dalam madzhabnya Imam Malik mendahulukan kitabullah, sesudah itu beliau berpegang kepada As-sunnah, sesudah itu barulah ijma’ dan qiyas. Dalam hal ini Imam malik tidak memberi kepada qiyas kedudukan yang diberikan oleh abu Hanifah.
- Imam Syafi’i (Tahun 150 – 204 H.)-mazhab Syafi’i
Ia bernama
Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saaib bin
‘Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan
kakek dari kakek Nabi .
Sebagian
besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah Ghazza, Syam
(Palestina) dari keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad
saw. pada kakeknya, Abdi Manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada
usia dua tahun ia dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah .
Pada umur
sekitar tujuh tahun Imam Syafi’i sudah menghafal Al-Qur’an, selain itu ia juga
banyak menghafal hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan
keilmuan yang sedemikian rupa , fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksinya.
Dengan kata lain, kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat
mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan mazhab fiqihnya.
Sejarah
hidupnya menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar terbukti
dengan munculnya dua kecendrungan dalam mazhab Syafi’i yang dikenal dengan qaul
qadim (mazhab lama) dan qaul jadid (mazhab baru).
Menurut para
ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak pada tahun 195
H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin
itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional
Irak.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di antaranya di muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama tiga tahun.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di antaranya di muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama tiga tahun.
Karakteristik
pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau
pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furu’iyah.
Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan
kematangan pemikiran Syafi’i.
Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir .
Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir .
- Imam Hambali ( Tahun 164 – 241 H.)-Madzhab Hambali
Nama lengkap
imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah
bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia
terlahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M . Ayahnya meninggal dunia
ketika Ahmad masih kecil, ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Ilmu yang
pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun,
beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang
terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal
umur 15 tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk
mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria).
Imam Ahmad
bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan
puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah,
Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah: Ismail bin Ja’far,
Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin
Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Asy-Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin
Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma’qil.
Umumnya ahli
hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga
ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah: Imam Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad,
Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad
bin Hambal, Keponakannya, Hambal bin Ishaq.sehingga madzhab Hambali pun ada.
Setelah
sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di
pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada
umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan
enam puluh ribu pelayat perempuan.
2.3 Dasar – Dasar Fiqh Empat Madzhab
a. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi
Abu Hanifah
memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara terperinci,
tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan
pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan
segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila
saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw.
maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada
fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu
Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabi’ien), maka saya berhak
pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Dari sini
kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah adalah
Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash
Al-Qur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka
hukum itu disebut “diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash tadi
menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-kaidah dasar
berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan hukum
disebut “melalui qiyas”.
Semua imam
sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang membedakan
dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya
terletak pada kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral
dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum. Termasuk
dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan, ‘urf (adat-kebiasaan),
teori kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu
Hanifah banyak menggunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan
hadits ahad. Tidak seperti imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu
nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka illat, hikmah dan
tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya .
Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang menyelami di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al-Qur’an dan Sunnah.
Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang menyelami di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al-Qur’an dan Sunnah.
Bahkan jika
ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang benar, ia menolak
untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri
sendiri tetapi berakar kuat pada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para
ahli hadits di Hijaz. Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu Zahrah,
membenarkan bahwa dalam masalah hukum seseorang yang berhubungan dengan
istrinya sebelum tawaf ziarah, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas,
seorang ulama ahli hadits Makkah, dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal
banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.
b. Dasar-dasar
Fiqih Mazhab Maliki
Seperti
halnya Imam Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah
yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini,
murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan
dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya.
Dari beberapa
isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha
Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah
menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash
literatur Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal
‘illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas,
tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’,
mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u man qablana. Al-Qurafidalam
bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut
: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat,
maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi,
seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu
ke dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi (rasio) .
c. Dasar-dasar
Fiqih Mazhab Syafi’i
Bagi Imam
Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan
satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti
qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode
merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman
integral Al-Qur’an dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari
pemikiran fiqih Syafi’ie. Menurut Syaafi’ie, kedudukan Sunnah, dalam banyak
hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Qur’an,
merinci yang global, mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum
tersendiri yang tidak ada di dalam Al-Qur’an.
Hipotesa
menarik lainnya dalam pemikiran metodologi Syafi’ie adalah pernyataannya,
“Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam
Al-Qur’an.” Untuk membuktikan hipotesanya itu, Syafi’ie menyebut empat cara
Al-Qur’an dalam menerangkan suatu hukum.
Pertama,
Al-Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti
nash-nash yang mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji, atau nash-nash yang
mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan yang lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Qur’an dal Nabi-lah yang menerangkan secara terinci. Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam Al-Qur’an. Bentuk penjelasan Al-Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al-Qur’an dalam masalah yang seperti ini, yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Qur’an dal Nabi-lah yang menerangkan secara terinci. Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam Al-Qur’an. Bentuk penjelasan Al-Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al-Qur’an dalam masalah yang seperti ini, yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis.
d. Dasar-dasar
Fiqih Mazhab Hambali
Sikapnya yang
tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran fikihnya. Para ulama
Hanabilah berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal dan
pemikiran-pemikiran fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu lima dasar
ushuliyah dan lima dasar lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar mazhab
Hambali aitu adalah : (1) Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan
nash ijma’, (2) fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad
memilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah; dan apabila tidak jelas,
dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara
khusus, (4) hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd
al-dara-i’, (8) istishab, (9) ibthal al ja’l, (10) maslahah mursalah.
Dari
dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam
Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia
lebih mendahulukan penggunaan qiyas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hasil ijtihad para imam mazhab itu setelah melalui
penyempurnan di tangan murid-muridnya, disusun secara sitematis sehingga
mengasilkan kitab-kitab fiqh mazhab. Ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqh itulah
yang diikuti para pengikutnya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan
jadi rujukan para hakim dalam menyelesaikan perkara. Kitabkitab fiqh
peninggalan imam mazhab ini merupakan salah satu faktor utama bagi kelangsungan
dan perkembangan pemikiran mazhab tersebut hingga sekarang.
Ringkasnya, pebedaan pendapat atau timbulnya mazhab itu telah ada dimasa sahabat, terus berkembang hingga masa tabi’in, kemudian meluas sesuai dengan makin berlipat gandanya “Peristiwa Baru” yang bermunculan. Mereka telah berhasil memberikan beragam jawaban terhadap masalah-masalah baru tersebut, malah ulama-ulama masa lampau itu telah melewati peristiwa-peristiwa yang terjadi, sehingga mereka telah sukses dalam menciptakan rumusan fiqh andaian.
DAFTAR PUSTAKA
·
Ash-Shiddieqy, Prof. M.T.
Hasbi. 1953. SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU FIQH. Yogyakarta: Untuk Kalangan
Sendiri
·
Syalthut, Prof. Dr. Mahmud. 2000. Fiqh Tujuh Madzhab . Bandung : Pustaka Setia
·
Ash-Shiddieqy, Prof. M.T.
Hasbi. 1968. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta : C.V. Mulya
·
http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/11/sejarah-empat-mazhab-fiqih.html
·
http://himawarief.blogspot.com/2009/12/latar-belakang.html
0 Response to "KUMPULAN MAKALAH PENGANTAR ILMU FIQH TENTANG PEMBENTUKAN MADZHAB-MADZHAB FIQH"
Posting Komentar