Bab
2
Landasan Teori
2.1 Konsep Sosiolinguistik
Menurut Nababan(1992:1-3), bahasa adalah salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk
lain. Ilmu yang mempelajari hakekat dan ciri-ciri dari bahasa ini disebut ilmu linguistik.
Kajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan
disebut sosiolinguistik. Istilah
sosiolinguistik jelas terdiri dari dua unsur kata yaitu: sosio- dan linguistik. Jadi arti linguistik adalah ilmu yang mempelajari
atau membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa ( fonem, morfem, kata, kalimat
) dan hubungan antara unsur-unsur itu ( struktur
), termasuk hakekat dan pembentukan unsur- unsur itu. Unsur sosio- adalah seakar dengan sosial, yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, dan fungsi-fungsi
kemasyarakatan. Jadi, sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa sosiolinguistik
mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan
bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan
( variasi ) yang terdapat
dalam bahasa yang berkaitan
dengan faktor-faktor kemasyarakatan ( sosial ). Dan salah satu topik umum dalam pembahasan sosiolinguistik
yang akan saya bahas adalah mengenai
penggunaan bahasa (etnografi berbahasa).
Sementara itu, Carol dalamSanada (1992:9) mendefinisikan bahwa yang
dimaksud dari sosiolinguistik adalah,
ないし
社会言語学とは、社会の中で生きる人間、乃至その集団との
かくげんご げんぞう
かかわりにおいて各言語現象あるいは言語運用をとらえよう
とする学問である。
Terjemahannya
adalah :
Sosiolinguistik adalah ilmu yang membahas fenomena bahasa
atau penggunaan bahasa
yang berkaitan dengan
kelompok atau manusia yang berada di dalam sebuah
masyarakat.
2.1.1 Etnografi Komunikasi
Pemakaian bahasa secara umum sangat dipengaruhi
oleh kehidupan masyarakat pengguna bahasa tersebut. Seperti
yang dijelaskan di atas, dalam
cabang ilmu bahasa, terdapat sebuah istilah yaitu sosiolinguistik, yang membahas mengenai hal ini. Hudson dalam Wardhaugh(2002:12) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi
bahasa
dalam keterkaitannya dengan masyarakat.
Di dalam studi bahasa yang berkaitan dengan masyarakat
ini, terdapat juga istilah Etnografi
komunikasi. Etnografi ( 民族誌)sendiri
menurut Hymes dalam Hashiuchi (1999:82) adalah
sebagai berikut,
Terjemahannya
adalah;
Etnografi
adalah istilah antropologi
budaya, beberapa tulisan /
catatan yang dituliskan berdasarkan pengamatan terhadap budaya bangsa ( masyarakat ) tertentu.
Sedangkan etnografi komunikasi menjabarkan
unsur-unsur yang mempengaruhi
hasil akhir yang ingin dicapai oleh sebuah percakapan. Hymes dalamHashiuchi (1999:83-84) kemudian menjelaskan bahwa ada delapan
faktor dalam etnografi komunikasi yang mempengaruhi hasil akhir sebuah percakapan.
Faktor-faktor tersebut
adalah sebagai berikut :
じょうきょうせってい
1. 状 況 設 定
( setting )atau latar belakang
adalah waktu dan
tempat dimana
percakapan tersebut
berlangsung.
さんかしゃ
2. 参加者
( participants ) atau peserta
adalah
orang-orang
yang
terlibat secara
aktif dalam percakapan tersebut.
もくてき
3. 目的
( ends ) atau hasil akhir adalah tujuan akhir yang ingin
dicapai oleh peserta dari percakapan
yang sedang berlangsung.
こういれんぞく
4. 行為連続
( act sequence ) atau urutan
kejadian adalah bentuk
asli
dan
isi
dari
percakapan
yang
sedang
berlangsung,
cara
percakapan
berlangsung,
dan
hubungan
dari
apa
yang
sedang
diperbincangkan
dengan topic
yang dibahas.
ひょうげんとくちょう
5. 表 現 特 徴
( key )atau cara mengacu kepada intonasi, sikap,
dan
jenis
percakapan
tersebut
seperti percakapan serius,
percakapan
ringan dan sebagainya.
ばいかい
6. 媒介
( instrumentalities ) atau media adalah media penyampaian
percakapan seperti lisan,
tulisan dan sebagainya.
そうごこうい
かいしゃく
きはん
hal-hal seperti besar kecilnya suara,
pandangan mata, dan sebagainya yang berkaitan dengan norma suatu masyarakat.
8. ジャンル ( genre ) atau jenis adalah bentuk pengungkapan
percakapan seperti puisi,
teka-teki, doa, kuliah, dan sebagainya.
Dapat kita lihat bahwa beberapa faktor yang telah diuraikan di atas sangat mempengaruhi penggunaan bahasa, pembatasan pemakaian bahasa gender, waktu pemakaian, dan situasi pemakainya dapat diteliti lebih lanjut dengan
memahami dan menelaah
budaya serta pemikiran kaum muda Jepang.
2.1.2 Teori
Danjo atau Gender.
Danjo merupakanbahasa Jepang yang terbentuk dari dua huruf kanji yaitu
kanji yang menunjukkan arti pria ( 男) dan kanji yang menunjukkan arti wanita
(女). Dalam ilmu sosolinguistik, terdapat
istilah gender yang mengacu pada
perbedaan penggunaan bahasa
yang dilihat dari faktor jenis kelamin pemakai
bahasa tersebut (pria atau wanita). Berbagai pengamat bahasa telah menyatakan bahwa terdapat
perbedaan penggunaan bahasa oleh pria dan wanita dalam
berbagai masyarakat di dunia. Salah satu teori sehubungan
dengan hal ini dikemukakan oleh Trudgill
dalam
Sudjianto (1999:113) yang
mengatakan bahwa pemakaian bahasa, selain dipengaruhi faktor golongan sosial, perbedaan suku bangsa, wilayah penuturnya, dan sebagainya, dipengaruhi juga oleh perbedaan jenis kelamin. Oleh sebab itu, bagaimana perbedaan
bahasa berdasarkan jenis kelamin itu berkembang
tidak
dapat
dijelaskan
dengan
metode yang sama yang menjelaskan
dialek berdasarkan golongan sosial, suku bangsa, wilayah penuturnya, dan sebagainya. Brend dalam Wardhaugh (2003:319) mengatakan bahwa dalam
penelitiannya akan penggunaan gramatikal bahasa inggris,
ia menemukan bahwa wanita lebih cenderung
untuk menggunakan bahasa formal
dan bahasa sopan dibandingkan dengan pria. Hal yang serupa
terjadi dalam bahasa Jepang.
Nakao dalam Sudjianto
(2004:208) menyimpulkan bahwa, ”wanita Jepang memakai bahasa yang lebih hormat atau
lebih halus daripada pria”. Perbedaan
pria dengan wanita dalam bahasa Jepang
tercermin juga dalam aspek pengucapan atau pelafalan ( termasuk aksen dan
intonasi ). Sebagaimana pengamatan Nakao dalam Sudjianto ( 2004:208 ), di
dalam bahasa Jepang wanita
sering menghilangkan bunyi silabel [i] dan [ra] seperti kata ’iyadawa’ [yadawa] dan kata ’wakaranai’ [wakannai]. Pengamatan
lain juga dilakukan oleh Osamu yang mengatakan
bahwa perbedaan antara danseigo dan joseigo terlihat juga dalam
nada suara. Suara wanita
naik dan turun dalam jarak yang lebih besar daripada pria pada saat mengungkapkan
perasaannya ( Sudjianto 2004:208).
Dalam sumber lain disebutkan bahwa sampai sekarang pun
kata-kata yang mempertahankan kedudukan yang jelas sebagai danseigo dan joseigo masih ada. Katoo dalam Sudjianto
( 2004:209 ) menyebutkan beberapa fenomena yang sangat mencolok yang dapat kita amati adalah :
1. Dalam kelompok shuujoshi, partikel-partikel seperti zo pada
kalimat ’Yaru zo’ atau partikel ze dalam ’Dekakeru ze’ dipakai oleh pria,
sedangkan
partikel wa dalam kalimat ’suteki da wa’ atau
partikel noyo pada
kalimat ’Ii noyo’ dipakai oleh wanita.
2. Dalam kelompok pronomina persona yang dipakai pada percakapan dalam hubungan akrab pada suasana santai, kata ore, boku, dan omae dipakai oleh pria, sedangkan kata atashi dipakai oleh wanita.
3. Dalam kelompok interjeksi, kata yoo, yo’, dan che’ dipakai oleh pria, sedangkan kata maa dipakai oleh wanita.
Beberapa aspek-aspek
yang menjadi penanda ragam bahasa wanita adalah
pemakaian shuujoshi ( bunmatsu hyoogen ) dan aspek leksikal
( pemakaian pronomina persona dan pemakaian
interjeksi ). Sedangkan aspek pemakaian huruf dan aspek pengucapan atau pelafalan tidak mencerminkan perbedaan
bahasa pria dan bahasa wanita.
1. Pemakaian
Shuujoshi ( Bunmatsu Hyoogen )
Ciri-ciri ragam bahasa wanita yang sangat mencolok
dalam bahasa Jepang dapat kita perhatikan
dalam pemakaian shuujoshi. Shuujoshi adalah partikel ( joshi ) yang dipakai pada akhir kalimat atau
pada akhir bagian kalimat untuk menyatakan
ekspresi pembicara, larangan, pertanyaan
atau keragu-raguan, harapan atau
permintaan, penegasan, perintah dan
sebagainya. Partikel-partikel yang termasuk kelompok
shuujoshi adalah ka, kashira, ke/kke, nee, no,
wa, ze, zo, na, naa, yo, tomo, sa,
dan ne.
1.1.
Partikel Kashira Dalam Pemakaian Shuujoshi
Partikel kashira pada
umumnya dipakai dalam ragam bahasa wanita.
Partikel ini sama dengan partikel ka yang
berfungsi menyatakan
kalimat tanya. Salah satu penggunaan partikel
kashira dalam kalimat :
2)
Sensei wa mada kashira.
Partikel
kashira dapat dipakai pada akhir kalimat
negatif untuk menyatakan harapan atau keinginan pembicara.
1)
Dare ka yatte kurenai
kashira.
2)
Dare ka kite kurenai
kashira.
Dari beberapa contoh kalimat di atas, dapat diketahui
bahwa partikel kashira dipakai
setelah nomina, adjektiva-i
dan adjektiva-na secara langsung atau terlebih
dahulu ditambah desu, dan dapat dipakai
setelah verba bentuk kamus, bentuk
masu, bentuk lampau da bentuk
negatif. Selain itu partikel
kashira dapat dipakai setelah kata-kata tanya seperti dou, itsu, doko, dare dan sebagainya. Walaupun
ada penutur pria yang mengucapkan
partikel kashira, namun
jumlahnya sangat terbatas. Mereka lebih
sering
menggunakan partikel yang
menunjukkan
pertanyaan yang lebih tegas seperti kai, dai, kane, kana atau
darooka daripada memakai partikel kashira.
1.2
Partikel Wa, Wayo, Ne Dalam Pemakaian Shuujoshi
Partikel wa dipakai pada bagian akhir kalimat ragam lisan. Partikel
wa sering dipakai dalam ragam
bahasa wanita untuk melemahlembutkan bahasa
yang diucapkan.
Hal
ini
sebagai
salah
satu
cara
untuk
menunjukkan feminitas penuturnya. Oleh karena itu, partikel wa jarang diucapkan
oleh pria, sebagai gantinya
mereka sering menggunakan partikel zo atau ze yang menunjukkan kekuatan atau ketegasan penuturnya.
1.3 Partikel No,
Noyo, None Dalam Pemakaian Shuujoshi
Partikel noyo berasal
dari dua buah partikel yaitu partikel no dan yo.
Begitu juga partikel none yang berasal dari partikel no ditambah partikel
ne. Partikel no dipakai untuk menyatakan
keputusan atau ketegasan pembicara misalnya pada kalimat :
1)
Mou ii no.
2)
iie, chigau no.
Tetapi apabila
terbatas pada pemakaian
partikel no seperti pada kalimat di atas, tidak tampak ciri-ciri
ragam bahasa wanita, karena penutur pria
pun (
terutama anak-anak ) sering mengucapkan partikel no.
Partikel no pada akhir kalimat tanya dapat diucapkan baik oleh pria maupun wanita. Sedangkan partikel
no pada akhir bagian kalimat berita merupakan
kekhasan ragam bahasa wanita. Sehingga penutur pria tidak akan
mengucapkan kalimat berikut
ini :
1)
Watashi, furuutsu ga daisuki desu no.
2)
Migotona oniwa desu nonee.
2. Aspek Leksikal
Ciri-ciri ragam bahasa
wanita dapat dilihat juga dari
pemakaian kosakata. Sebab terdapat
kata-kata yang tingkat
kekerapan pemakaiannya sangat tinggi
dilakukan wanita. Bahkan terdapat kosakata
yang
menunjukkan bahwa penuturnya adalah seorang wanita.
Kosakata yang dimaksud dapat dilihat dalam pemakaian pronomina persona pertama dan pemakaian interjeksi.
1. Pemakaian
Pronomina Persona
Dalam bahasa Jepang terdapat berbagai
macam pronomina
persona yang dipakai secara
berbeda-beda berdasarkan siapa penuturnya, siapa lawan bicaranya, situasi, atau kapan pembicaraan itu terjadi. Dalam kelompok pronomina persona pertama dipakai kata watakushi, watashi,
atashi, boku, ore, washi, jibun, dan ware. Watashi
termasuk ragam standar dan netral yang biasa dipakai
baik oleh pria maupun wanita untuk menunjukkan diri sendiri. Watashi dapat dipakai oleh atasan
terhadap bawahan, atau sebaliknya,
dipakai oleh bawahan terhadap atasan. Sebagai kata yang lebih halus daripada watashi adalah watakushi yang juga dipakai secara netral baik oleh pria maupun wanita.
Watashi dalam ragam bahasa wanita
sering diucapkan atashi.
Selain itu, dalam kelompok pronomina persona pertama ada kata atakushi yang memiliki
makna dan cara pemakaian
yang sama dengan atashi sebagai ragam
bahasa wanita.
Boku dan ore termasuk dalam ragam bahasa pria yang dipakai
pada situasi tidak resmi terhadap
orang yang sederajat, teman sebaya yang
akrab, atau terhadap bawahan. Kedua kata ini jarang dipakai terhadap
atasan. Bahkan pemakaian kata ore terkesan kasar yang menunjukkan penuturnya yang keras. Kata ware memiliki makna yang lebih kuat
daripada watakushi, watashi,
boku, dan ore. Kata ware sering dipakai
oleh
penutur
pria
dalam
bentuk
jamak wareware.
Kata
washi
pun
dipakai hanya oleh pria. Pemakaian kata washi menunjukkan
kesombongan, keangkuhan, atau kecongkakan
penuturnya. Sedangkan pronomina persona pertama jibun
memiliki makna yang sama dengan ware yang biasa dipakai
oleh penutur pria.
Lalu sebagai pronomina
persona kedua dipakai kata anata,
kimi, omae, anta dan kisama. Anata
dipakai terhadap orang yang sederajat
dengan pembicara atau terhadap bawahan.
Anata lebih halus daripada
kimi, omae dan kisama. Dalam percakapan sehari-hari anata kadang-
kadang diucapkan anta. Kimi hampir sama dengan omae dan kisama,
dipakai terhadap orang yang sederajat dengan pembicara, dengan teman akrab yang sebaya, atau terhadap bawahan.
Pemakaian kata kimi bisa
menunjukkan keakraban antara pembicara
dan lawan bicara. Kata omae terkesan sangat kasar. Namun dalam suasana
akrab pemakaian
omae tidak terasa kasar,
bahkan dapat menunjukkan suasana
akrab. Berbeda dengan kimi dan omae, kisama
lebih sering dipakai pada saat pembicara marah untuk menunjukkan cacian atau makian terhadap
lawan bicara.
Sedangkan
pada pronomina persona ketiga terdapat kata kare untuk pria
dan kanojo untuk wanita. Kedua
kata ini bersifat netral, bisa dipakai oleh pria maupun wanita. Kedua kata ini jarang dipakai terhadap
orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih tinggi kedudukannya
daripada pembicara. Selain kare dan kanojo, dalam kelompok pronomina persona
ano yatsu. Pronomina
persona ketiga aitsu sangat kasar karena
mengandung makna merendahkan
orang yang dibicarakan. Dengan alasan ini aitsu tidak
dipakai untuk menunjukkan orang yang pantas dihormati.
2. Pemakaian Interjeksi
Pemakaian kosakatayang menunjukkan perbedaan pria dan wanita
dalam bahasa Jepang dapat dilihat juga dari pemakaian
interjeksi. Sebagaimana dikemukakan Osamu
Mizutani
dan
Nobuko
Mizutani
dalam Sudjianto (1999:145) bahwa untuk menyatakan
keterkejutan mereka pada saat melihat seseorang yang tidak terduga-duga, pria akan mengatakan ’Yaa’ atau ’Yaa, korewa korewa’, sementara wanita akan mengatakan
’Maa’ atau ’Araa’ ( Maa dan araa tidak
pernah digunakan oleh pria
).
Menurut Tsuruko dalam
Sudjianto (1999:145) interjeksi ’Maa’ dipakai dalam ragam lisan, tidak dipakai
dalam ragam tulisan. Kata ini muncul dalam
ragam bahasa wanita, tidak dipakai oleh
pria. Maa dipakai pada saat pembicara merasa terkejut atau pada saat merasa kagum,
misalnya pada kalimat :
1)
Maa,
odoroita.
2) Maa,
subarashii.
3) Sore
wa maa, yokatta desu ne.
Sedangkan interjeksi ’Ara’ menurut Haruhiko
dalam Sudjianto (1999:145) merupakan kata yang muncul pada waktu merasa terkejut, merasa terkesan, atau pada saat merasa keragu-raguan.
3.
Pemakaian Keigo
( ragam bahasa hormat )
Kesulitan dalam mempelajari
bahasa Jepang adalah karena adanya ragam bahasa
hormat. Tsukuro dalam Sudjianto ( 1999:146-147)
menjelaskan lebih lanjut mengenai hal ini bahwa kesulitan dalam menggunakan bahasa hormat dalam bahasa Jepang dapat terbayangkan
hanya dengan melihat contoh pemakaian
kata yang berarti ”makan”. Kata makan dalam bahasa Indonesia dipakai oleh siapa saja, di mana, dan kapan saja. Tetapi dalam bahasa Jepang terdapat beberapa kata yang menunjukkan aktifitas makan yang berbeda-beda
berdasarkan pembicara, lawan bicara dan orang yang dibicarakan, serta tempat
dan situasi pembicaraan seperti
pada kalimat-kalimat berikut.
(
Dia orang yang banyak makan )
2.
Hirugohan o tabemashoo. ( mari kita makan siang ! )
3.
Osaki ni gohan oitadakimashita. ( Saya sudah makan duluan
)
4.
Doozo gohan o agatte irasshatte kudasai.
( Silahkan makan ! )
5.
Nani o meshiagarimasu ka.
( Mau makan apa ? )
Dengan melihat berbagai contoh kalimat di atas dapat diketahui
bahwa setidaknya ada lima kata yang berarti
makan yaitu ku’u ( kalimat 1 ), taberu
( kalimat 2 ), itadaku ( kalimat 3 ), agaru (
kalimat 4 ), dan meshiagaru
( kalimat 5 ). Ruang lingkup pemakaian
kata ku’u sangat sempit. Kata yang
menunjukkan aktifitas pembicara,
lawan bicara, dan orang yang dibicarakan ini hanya
dipakai dalam hubungan
teman yang sangat
akrab atau terhadap
orang yang lebih muda usianya
atau lebih rendah kedudukannya. Pemakaian kata ku’u
juga terbatas pada penutur
pria pada situasi yang tidak
formal. Kata taberu lebih halus dan lebih luas sehingga dapat
digunakan oleh baik wanita ataupun
pria.
Shigetoshi dalam Sudjianto ( 1999:148 ) menjelaskan
bahwa keigo adalah ungkapan-ungkapan yang diucapkan untuk menyatakan ’penghormatan-
penghinaan, keakraban-kerenggangan’ berdasarkan hubungan manusia
dengan lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Selain
itu, Toshio dalam
Sudjianto ( 1999:149
)memaparkan parameter yang menentukan keigo adalah sebagai
berikut.
1. Usia ( tua
atau muda, senior atau yunior )
2.
Status ( atasan atau bawahan, guru
atau murid )
3.
Jenis kelamin (
pria atau wanita, wanita lebih banyak
menggunakan keigo
)
4.
Keakraban ( orang dalam atau orang luar )
5.
Gaya bahasa ( bahasa
sehari-hari, ceramah, perkuliahan )
6.
Pribadi atau umum ( rapat,
upacara, atau jenis kegiatan
)
7. Pendidikan ( orang
yang berpendidikan lebih banyak
menggunakan keigo
) Dalam ragam
bahasa
hormat, terdapat tiga jenis.
Yang
pertama adalah
sonkeigo
yang biasanya dipakai bagi segala sesuatu yang berhubungan
dengan atasan sebagai orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya. Masao dalam Sudjianto ( 1999:150 ) menjelaskan
bahwa Sonkeigo merupakan
cara bertutur kata yang secara langsung menyatakan
hormat terhadap lawan bicara. Selain itu, jenis yang kedua adalah kenjoogo yang merupakan cara bertutur kata yang menyatakan
rasa hormat terhadap lawan bicara dengan cara merendahkan
diri sendiri. Jenis yang terakhir
adalah teineigo yang merupakan
cara bertutur kata dengan sopan santun yang dipakai oleh pembicara dengan saling menghormati atau
menghargai perasaan
masing-masing. Beberapa ahli
bahasa Jepang misalnya Noriko dalam Shakai Gengogaku Gairon ( 1992:144 ) menyimpulkan
bahwa wanita Jepang memakai bahasa yang lebih hormat atau
lebih halus daripada pria.
Wardhaugh (2002:324) menyebutkan tiga alasan perbedaan penggunaan bahasa antara pria dan wanita.
Yang pertama adalah
karena pria dan wanita secara biologis memang berbeda dan hal ini mempengaruhi
pemakaian bahasa. Wanita secara psikologis cenderung saling berusaha
mendukung satu sama lain dan kurang
kompetitif, sedangkan pria cenderung untuk mandiri dan kompetitif. Alasan kedua adalah karena hubungan sosial dilihat dalam bentuk hierarki kekuasaan, bahwa biasanya kaum pria mempunyai posisi
yang lebih kuat atau di atas dibandingkan
dengan wanita. Oleh karena itu, pria cenderung menggunakan bahasa
yang lebih kuat, menginterupsi,
dan menuntut. Alasan yang terakhir,
yang mendukung alasan nomor dua yaitu bahwa pria dan wanita hidup dan belajar dalam lingkungan
yang menuntut mereka untuk berperan layaknya pria dan wanita. Ketiga hal inilah yang menurut Wardhaugh (2002:324) memiliki andil dalam terjadinya perbedaan pemakaian bahasa antara
kaum pria dan wanita.
Melihat penjelasan di atas, kita dapat menarik simpulan bahwa terdapat
perbedaan penggunaan bahasa oleh pria dan wanita, contohnya
dalam bahasa Jepang. Akan tetapi, hal ini tidak menjamin bahwa setiap
kaum wanita jepang selalu menggunakan
bahasa wanita dan kaum pria Jepang selalu menggunakan bahasa pria .
Sanada (1992:17) menjelaskan
bahwa
modifikasi atau perubahan
dalam
bahasa memiliki hubungan dengan perbedaan usia. Variabel sosial yang berkaitan
dengan perubahan dalam bahasa
ada bermacam-macam tetapi,
di dalamnya pun,
perbedaan usia merupakan
satu variable yang terpenting.
Selain perbedaan usia, tampaknya perbedaan
gender juga mempengaruhi
perubahan dalam penggunaan bahasa di kalangan
masyarakat tertentu, dan khususnya di antara kaum muda Jepang.
Menurut David dan Ridings (2005:78) komunikasi
pria, secara alamiah lebih seperti proses laporan
yaitu
mengenai
pertukaran fakta dan informasi (Tannen,1994), referensi kategori ( preisler,1987), dan contoh kuantitatif ( Mulac et al.,1998 ), di mana para pria menggunakan komunikasi dengan kurang kondusif
terhadap dukungan emosional. Herring (1996a), yang mempelajari
komunitas virtual akademik, menemukan bahwa pesan dari wanita cenderung lebih bersifat
mendukung orang lain, ketika pria cenderung
lebih kritis dan berlawanan.
Martin dalam Wardhaugh
( 2002:279 ) mendeskripsikan orang Jepang sebagai
orang yang sangat sopan. Mereka juga mengatakan bahwa
ada empat faktor dasar yang
mempengaruhi pemakaian bahasa sopan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor
kelompok (dekat atau tidaknya hubungan para pemakai
bahasa), posisi/jabatan sosial, perbedaan usia, dan
perbedaan
jenis
kelamin.
Keempat
faktor
yang
dijelaskan oleh Martin dalam Wardhaugh ( 2002:279
) ini jelas terlihat
dalam munculnya bahasa gender.
2.2
Teori Budaya pop
Storey (2003) mengungkapkan bahwa budaya merupakan
perkembangan intelektual, spiritual, estetis; pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu;dan, karya
dan
praktik
intelektual,
terutama
aktivitas
artistic. Dengan demikian,
ruang lingkup budaya dapat meliputi aktivitas
seni. Sastra, pendidikan, hiburan, olahraga, organisasi, wilayah,
orientasi
seksual,
politik, etnis dan upacara/ritus
religiusnya, serta aktivitas artistic
budaya pop, seperti puisi, novel,
balet, opera, dan lukisan.
Kata pertama yang dibahas dalam budaya pop adalah populer. William memaknai istilah populer sebagai berikut : banyak disukai
orang, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang (Storey, 2003:10). Sedangkan definisi budaya pop, dapat diterangkan sebagai
berikut :
1. Budaya pop merupakan
budaya yang menyenangkan dan disukai banyak orang.(popnya budaya
populer menjadi sebuah prasyarat).
2. Definisi
kedua
budaya
pop
adalah
budaya
sub
standar,
yaitu
kategori
residual (sisa) untuk mengakomodasi
praktek budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Budaya tinggi merupakan
kreasi hasil kreatifitas individu, berkualitas, bernilai
luhur, terhormat dan dimiliki oleh golongan
elit, seperti seniman, kaum intelektual
dan kritikus yang menilai tinggi
rendahnya karya budaya.
3. Budaya pop merupakan budaya
massa.
4. Budaya pop berasal dari pemikiran post moderisme.
2.2.1
Kogyaru
Salah satu
subkultur dari budaya pop di Jepang adalah munculnya
kelompok remaja Jepang yang biasa dikenal
sebagai kogyaru. Istilah
kogyaru berasal dari kata
ko dan gyaru, kō (高) yang disingkat
dari kata kō
kō (高校) yang dalam bahasa
Inggris yang berarti gadis.
Istilah kogyaru yang ditemukan dalam artikel-artikel dan majalah berupa kogal, sedangkan
dalam pelafalan lisan di Jepang disebut kogyaru (
Deni, 2005:15 ).
Istilah
kogyaru ini biasa
digunakanuntuk menggambarkan
citra dari gadis SMU
yang mengenakan sailorfuku atau seragam pelaut,
sepatu hitam dan kaus
kaki panjang dan longgar
yang berwarna putih. Namun kini definisi tersebut
mengalami pergeseran. Maka sebuah artikel
yang berjudul Kogal
( 2005) mennjelaskan bahwa dewasa ini sejumlah artikel menuliskan kata ko「子」yang berarti kecil dan gyaru
( girl ) yang berarti
kekasih atau gadis yang bila diterjemahkan kogyaru berarti “kekasih kecil” atau “gadis kecil”. Selain itu, Kamei dalam Deni ( 2005:15 ) menjelaskan mengenai keberadaan gyaru.
ギャルは1970年代当時、ニューファションに身を包んだ女性の総称か
ら始まる。1990年にコギャルと言う言葉で呼ばれることが多かったが、 現在では単にギャルと呼ぶ、コギャルファションをした20代前半の女性 を言う。
Terjemahannya
adalah :
Istilah Gyaru muncul pada tahun
1970 sebagai fashion baru
bagi gadis remaja. Walaupun
pada tahun 1990 istilah kogyaru mulai banyak disebut, saat ini pengucapannya
disederhanakan menjadi gyaru dan pada pertengahan abad 20
disebut fashion kogyaru
oleh remaja putri.
Kogyaru tidak jauh berbeda
dari gadis remaja pada umumnya. Tetapi jika dilihat dari penampilannya, kogyaru sedikit mencolok dengan selera yang unik dalam fashion, musik dan aktifitas sosial. Di luar seragam sekolah
mereka dapat dikenali dengan fashion trendy seperti
sepatu boot ( Atsuzoko ), rok pendek,
make up yang berlebihan,
pewarnaan rambut ( Chapatsu ), kulit gelap buatan, desain aksesoris, tas mahal dan handphone yang mencolok serta berkumpul di sekitar
stasiun, tempat-tempat karoke, toko makanan frenchies, dan departemen store
(Kogal,2005).
Dalam artikel Gals Lifestyle, About Japan (2008), pusat kebudayaan dan
aktivitas kogyaru ini bisa ditemukan di
sekitar distrik Shibuya, Ikebukuro,
atau di sekitar Harajuku, tempat mereka bisa menemukan
karoke murah, fastfood, barang-
barang bermerek dan keramaian.
Mereka biasanya berbelanja, berkumpul, dan menghabiskan uang mereka di
pusat Fashion ini,
khususnya departemen store yang bernama Shibuya 109 ( ichimarukyu ) yang terletak
di Shibuya. Departemen store
ini sangat populer di kalangan anak-anak muda terutama
yang berumur belasan tahun, dan dikenal
juga sebagai asal dari cabang kebudayaan
kogyaru. Namun, sepanjang musim panas, aktivitas para kogyaru ini jarang ditemukan disana,
karena mereka lebih suka menghabiskan
musim
panas dengan berjemur di pantai. Nur dalam
Deni ( 2005:17-18 ) mengatakan bahwa kogyaru
dikenal sebagai siswi SMU yang
tidak menyukai sekolah, tidak disiplin, menyenangi kebebasan, melanggar
peraturan sekolah,
seperti mewarnai
rambut, memendekkan rok, menindik
badan
mereka dan juga bolos sekolah untuk bekerja. Namun, hal ini tidak mengartikan bahwa mereka memiliki
latar belakang keluarga
yang buruk atau ekonomi
keluarga yang tidak mencukupi. Banyak di antara
mereka yang juga berasal
dari keluarga yang mampu dan terhormat di masyarakat.
Demikianlah
kogyaru lahir dari budaya pop dan sebagai salah satu produk atau
hasil dari budaya pop yang muncul
sebagai sub budaya Jepang yang unik dan modern.
2.3 Konsep Uchi dan Soto
Salah satu faktor
yang berperan dalam tingkat kesopanan bahasa Jepang adalah orang Jepang sangat memegang prinsip
hubungan yang ditandai
oleh uchi dan soto.
Kedua istilah ini sudah tidak asing bagi para pemelajar bahasa
Jepang karena sudah menjadi bagian dari lingkungan
kehidupan orang Jepang. Uchi merupakan
sebuah istilah yang digunakan
untuk menunjuk pada lingkungan
kelompok seseorang itu sendiri. Misalnya
anggota keluarga, orang-orang yang menjadi anggota dari
lingkungan kerjanya atau sekolahnya maupun organisasinya. Sedangkan mengenai
istilah soto merupakan
kebalikan dari uchi yang
menunjuk pada lingkungan luar selain kelompoknya sendiri.
Inoue dalam Andriani
( 2006:18 ) menjelaskan konsep uchi dan
soto secara umum sebagai
berikut.
準拠集団としての「世間」を区別する規準は、「ウチ」と
「ソト」の観念である。私たちはふつう、生活空間をウチと
ソトにわけてとらえている。自分がぞくしている範囲がウチ
であり、それ以外が、ソトである。
Terjemahannya
adalah :
Basis standar dalam membedakan
masyarakat dunia sebagai kelompok dasar
adalah konsep uchi dan soto. Kita biasanya memila unsur-unsur kehidupan menjadi uchi dan soto. Ruang lingkup dimana terdapat
diri kita adalah uchi, dan ruang lingkup di
luar itu disebut
soto.
Mengenai konsep uchi dan soto ini
tidak hanya dapat dilihat dalam sikap atau tingkah laku masyarakat Jepang sehari-hari, hal ini juga tercermin dalam
penggunaan bahasa Jepang. Jika
berbicara
dengan
orang
yang
mempunyai hubungan yang kurang dekat ( soto
no hito ), maka orang Jepang akan meninggikan
atau menghormati orang yang menjadi lawan bicaranya dengan menggunakan bahasa formal dan sopan. Hirabayashi dan Hama ( 1992:3 ) menjelaskan penggunaan bahasa Jepang yang terkait dengan konsep uchi dan soto sebagai
berikut.
「内」の人間(家族、自分の会社の人、自分の属するグルー プの人など)が、「外」の人間(親しくない人、他人、他会 社の人、他グループの人など)と話し合ったり、その人たち
を話題にするとき、自分を含む「内」の人間に対しては謙譲 語、「外」の人に対しては尊敬語を使う。
Terjemahannya
adalah :
Ketika berbicara
dengan orang dalam ( keluarga, orang perusahaan yang sama, orang-orang
dalam kelompok yang dekat kita ) dan orang
luar ( orang yang tidak dekat,
orang lain, orang dari perusahaan
lain, orang-orang yang berasal dari
kelompok luar ), untuk
menjadikan orang-orang tersebut
( bahasa perendahan ) ketika membicarakan orang dalam, dan
sonkeigo ( bahasa hormat )
ketika membicarakan orang luar.
Oleh karena hal itulah pemakaian
bahasa sopan atau bahasa formal umumnya tidak
digunakan dalam lingkup orang yang mempunyai
hubungan dekat atau orang dalam ( uchi
no hito ).
2.3.1 Konsep Honne dan
Tatemae
Salah satu cara untuk membedakan antara uchi dan soto yang lebih jelas terlihat dari berbagai hal tingkah laku atau kebiasaan dari suatu masyarakat
itu sendiri, misalnya apakah mereka sedang berada di dalam atau
di luar rumah. Jika dibuat dalam bahasa yang lebih mudah, perbedaan
ini dibedakan menjadi apa yang disebut honne dan tatemae. Dalam bukunya, Sudjianto menjelaskan
bahwa honne adalah sikap, cara, atau bentuk pengungkapan sesuatu yang benar keluar
dari dalam lubuk hati sang pembicara. Dalam honne terdapat kesesuaian antara
pikiran atau perasaan dengan ungkapan yang diucapkan. Jadi, di dalam honne sedikitpun tidak terkandung prinsip basa-basi
atau pura-pura dimana sesuatu
hal sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya (2001:27). Istilah honne sering dipertentangkan dengan
pasangannya yaitu tatemae. Tatemae sendiri merupakan
sikap, cara atau bentuk
pengungkapan sesuatu yang tidak sesuai dengan pikiran, perasaan,
atau hati nurani sang penutur. Sebaliknya dari honne, tatemae cenderung mengandung prinsip
basa- basi atau berpura-pura dimana sesuatu hal sangat berbeda dengan kenyataan
yang sebenarnya. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga keteraturan
manusia dengan rukun dan harmonis
( Sudjianto,2001:109). Selain itu, Rokusaburo dalam Astriani ( 2005:34 ) mengatakan makna tatemae sebagai berikut.
たてまえは人間が社会生活をいたなむうえに非常に必要大切
なもの
Tejemahannya
adalah :
Tatemae sangat diperlukan untuk menjaga kehidupan bermasyarakat.
Selain mengungkapkan
bahwa tatemae adalah komponen yang penting dalam kehidupan bermasyarakat, Rokusaburo juga mengungkapkan bahwa tatemae di
bagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. 人間の理想として掲げられるもの
(
Tatemae adalah untuk menjaga idealisme manusia )
2. お互い犯し犯されることなく共存共栄の実をあげるために
(
Tidak saling memaksakan kehendak, hidup bersama berbuat baik secara
timbal balik )
(
Syarat untuk mencapai satu harapan atau tujuan tertentu )
Kedua istilah ini sering dipertentangkan
dalam hal tingkah laku maupun cara berbicara antara penutur maupun petutur dalam masyarakat
Jepang. Baik honne maupun tatemae dilakukan dengan memperhatikan siapa yang dihadapi, di mana,
dan kapan interaksi tersebut
terjadi.
0 Response to "CONTOH REVISI SKRIPSI BAHASA JEPANG LENGKAP"
Posting Komentar