SKRIPSI HUKUM PIDANA ANALISIS MENGENAI EKSISTENSI PIDANA MATI DI INDONESIA ( SUATU KAJIAN DARI PENGARUH PSIKOLOGIS BAGI TERPIDANA MATI).



B. Latar Belakang
Fictie ialah bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai suatu hal yang benar. Dengan perkataan lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.[2] Kata fictie itu biasanya dipakai orang, jika orang dengan sadar menerima sesuatu sebagai kebenaran, apa yang tidak benar. Fictie atau dusta yang demikian itu memegang peranan yang penting dalam hukum, dan sudah dipakai sejak dahulu.

Sebagai contoh, rakyat Romawi yang meninggal dalam tawanan dipandang meninggal sebagai budak dan menurut hukum Romawi, seorang budak tak dapat meninggalkan warisan yanjg sah. Dengan demikian maka surat wasiat yang dibuatnya sebelum ia ditawan menjadi tidak berlaku. Akan tetapi, lex cornelia (dari Sulla) menentukan bahwa bila seorang rakyat meninggal dalam tawanan perang ia seharusnya dianggap sebagai orang yang meninggal pada saat pengangkatannya, sehingga surat wasiatnya berlaku (fictio legis corneliae). Fictie tersebut yang pada mulanya hanya ditentukan untuk hukum waris kemudian dilakukan untuk segala hubungan hukum dari seorang tawanan. Rakyat Romawi yang tertangkap sebagai tawanan, yang kembali di negerinya sendiri tak pernah dianggap sebagai bekas tawanan perang. Bangsa Romawi memakai fictie sebagai alat teknik pertolongan untuk perkembangan hukum. Dalam hal tersebut, perkembangan hukum inggris memperlihatkan persamaan dengan hukum Romawi.[3]

Dalam hukum Indonesia, fiksi hukum juga diakui. Lihat pasal 3 KUH Perdata yang berbunyi “Anak yang berasal dari seorang perempuan yang hamil, dinyatakan sebagai telah lahir, sekadar kepentingannya menghendakinya. Jika ia dilahirkan mati, ia dianggap sebagai tidak pernah ada”. Fiksi-fiksi tersebut mempunyai sidat yang tak berbahaya. Bahkan lebih daripada itu, orang dapat mengatakan bahwa fiksi perundang-undangan itu bukanlah fiksi sebenarnya melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi.

Soal “Ignorare Legis est lata Culpa”. atau fiksi hukum yang berarti setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu Undang-Undang yang telah diundangkan[4] menarik untuk diperbincangkan. Jarang kita melihat fiksi hukum itu dalam konteks waktu dan dimana kelahirannya. fiksi yang kita bicarakan ini juga harus dilihat dalam konteks ke-Indonesiaan.

Dalam Sejarah Hukum di Eropa daratan, hukum itu lahir dari kontrak sosial, kontrak sosial adalah metamorfosa dari kontrak-kontrak ekonomi masyarakat merkantilis. jadi ia lahir dari ranahnya hukum privat. Baru abad 18 dengan gejala industrialisasi munculah Negara Modern. Negara modern mensyaratkan adanya generalitas dalam sistem hukum yang bersifat publik. Untuk memenuhi generalitas itulah semua orang yang berada dalam satu wilayah negara harus tunduk pada suatu hukum yang dibikin oleh bandan publik. hal itu memberi manfaat agar institusi publik menjadi kuat.
Lalu bagaimana kira-kira bila dibandingkan dengan konteks Indonesia? Pertama, soal geografis adalah pembeda yang paling tajam antara NKRI dengan Negara-negara Eropa daratan yang relatif kecil. Pembeda kedua adalah Identifikasi Sosial masyarakat yang beragam berdasarkan suku dan penerimaannya terhadap hukum negara.

Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah bagaimana proses legal making di ruang legislator. Misalnya, apakah pembuatan UU yang berkaitan dengan pertambangan melibatkan masyarakat adat atau aspirasi masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti Papua dst. Soal akses masyarakat terhadap pembentukan UU itu satu hal saja. hal lain yaitu bagaimana sosialisasi pemerintah terhadap UU yang telah diundangkan. Apakah dengan hanya perintah untuk ditempatkan dalam Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, Lembaran Daerah, dll, dapat menjamin masyarakat mengetahui adanya peraturan yang diundangkan tersebut.

Dalam prakteknya, banyak masyarakat yang tidak mengerti bahkan tidak mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang baru. Permasalahan timbul ketika banyak warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap aturan tersebut, karena ketidak tahuannya bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Luasnya daerah geografis negara Indonesia, buruknya akses masyarakat kepada pemerintahan, keterbelakangan wilayah, membuat tidak seluruh peraturan perundang-undangan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat hanya dengan perintah pencantuman ke dalam Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, dll. Ketidak mampuan pemerintah dan aparaturnya dalam mensosialisasikan peraturan-peraturan yang baru dibentuk dan baru diundangkan juga menjadi salah satu sebab ketidak tahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan. Seharusnya, sebelum mempergunakan fiksi hukum ini, pemerintah wajib melakukan sosialisasi secara maksimal, sehingga paling tidak, 85 % masyarakat dapat mengetahuinya dan kemudian mematuhi peraturan tersebut.

Jadi fiksi perundang-undangan itu sebenarnya bukanlah tidak dapat dibuang. Akan tetapi bahwa ia sering dipakai terutama dapat dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan yang singkat. Adakalanya juga pembentuk undang-undang memakai fiksi, padahal pemakaian fiksi itu dapat dihindarinya. Hukum yang tugasnya mengatur kehidupan masyarakat sebenarnya tidak boleh dijelmakan dalam peraturan-peraturan yang dalamperumusannya jelas bertentangan dengan kenyataan. Adalah kewajiban ajaran hukum untuk sebanyak mungkin mengeluarkan fiksi dari perundang-undangan, dengan kata lain, mempersiapkan peraturan-peraturan yang sederhana.

Sebenarnya pemakaian fiksi hukum dalam perundang-undangan dan dalam ajaran hukum menyebabkan kerugian yang besar. Pemakaian fiksi hukum tersebut mengakibatkan kebiasaan para ahli hukum memakai fiksi dengan tidak semestinya. Karena dalam Undang-undang dan dalam literatur yang bersifat ilmu pengetahuan hukum, ahli hukum seringkali mempergunakan fiksi. Akhirnya ahli hukum, karena terbiasa dengan penggunaan fiksi hukum tersebut, menjadi sangat lancar mempergunakannya. Itulah sebabnya, fiksi hukum memegang peranan juga dalam pengadilan dan terkadang memegang peran yang sangat berbahaya. Untuk hakim, fiksi adalah alat yang memikat, karena fiksi memberikan hakim kemampuan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkannya. Dengan fiksi, kita dapat menghitamkan yang putih maupun sebaliknya. Hal itu membahayakan dalam proses menemukan kebenaran dan keadilan. Misalnya dalam persangkaan. Persangkaan harus dipisahkan dari fiksi. Fiksi adalah ketidak benaran suatu ciptaan saja, persangkaan mungkin benar, mungkin tidak. Peranan yang penting yang dipegang oleh persangkaan ini tidak akan ditinjau lebih lanjut.

C. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang akan penulis bahas tidak meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidak jelasan pembahasan masalah maka penulis akan membatasi maslah yang akan di teliti, antara lain :
  1. Pengaruh letak domisili terhadap pengetahuan terhadap hukum yang berlaku.
  2. Eksistensi asas fictie hukum di masyarakat pedesaan dan perkotaaan
  3. Output dari asas fictie hukum untuk upaya penegakan hukum.
     
D.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas mengenai Analisa psikologis terhadap eksistensi pidana mati di Indonesia bagi terpidana mati ,  maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh letak domisili mesyarakat terhadap hukum yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana Eksistensi dan apakah asas fictie hukum berlaku di masyarakat pedesaan dan perkotaan di Indonesia?
3. Sejauh mana output yang diharapkan dari asas fictie hukum untuk penegakan hukum di Indonesia?.
Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
1.    Tujuan penulisan
Secara umum tujuan penulisan adalah untuk medalami  berbagai aspek tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah. Secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.    Untuk mengetahui  pengaruh psikologis yang ditimbulkan pidana mati terhadap terpidana mati dan masyarakat di Indonesia.
b.    Untuk mengetahui bagaimana eksistensi dan apakah pidana mati masih perlu untuk dipertahankan dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
c.    Untuk mengetagui sejauh mana urgensi pidana mati dalam memberi efek jera bagi pelanggar hukum berat dan mencegah pelanggaran HAM yang lebih parah.
2.    Manfaat penulisan
Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:
a.    Manfaat Teoritis
Secara teoritis penulisan ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan  khususnya bagi pengembangan teori ilmu hukum pidana terutama mengenai eksistensi dan dampak psikologis dari pidana mati di Indonesia. Selain itu dengan adanya tulisan ini penulis berharap dapat menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah dengan memberikan kontribusi pemikiran bagi penerapan pidana mati di Indonesia.
b.    Manfaat Praktis
Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi pembaca terutama bagi pembentuk hukum khususnya pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sampai sekarang masih dalam Rancangan KUHP dan praktisi hukum, pejabat atau instansi terkait dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut terhadap pelaksanaan atau pun pemberlakuan pidana mati untuk mengantisipasi suatu tindak pidana terutama tindak pidana yang dapat memberikan dampak yang besar bagi masyarakat. Penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat mengetahui dam memberikan tanggapan terhadap perlu atau tidaknya pidana mati di Indonesia dalam rangka mengurangi tindak pidana lain.



E.     Tinjauan Pustaka
1.1  Pengertian pidana dan pidana mati
Istilah “ hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional  yang mempunyai arti yang luas dan dapat berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cuklup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari seperti di bidang moral, agama dan lain sebagainya.
Oleh karena itu dipergunakan istilah “pidana” yang merupakan istilah yang lebih khusus dan dianggap lebih tepat bila dibandingkan dengan istilah “hukuman”. Untuk itu diperlukan pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.
Pidana berasal dari kata straf (Belanda). Pidana lebih tepat didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai  akibat hukum (sanksi) bagianya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalamhukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (stafbaar feit).
Untuk memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat atau defenisi dari para sarjana sebagai berikut :

a.       Sudarto.
Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
b.      Roeslan Saleh.
Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud nestapa yang dengan sengaja ditimpahkan negara pada pembuat delik itu.
c.       Fitzgerald.
Punisment is the authoritative infliction of suffering for an offence.
d.      Ted Honderich.
“Punishment is an authority’s infliction of penalty (something involving defrivation or distress) on an offender for an offence”. Pidana adalah suatu pengenaan pidana yang dijatuhkan oleh seorang penguasa (berupa kerugian atau penderitaan) kepada pelaku tindak pidana.
e.       Sir Ruper t Cross
Punisment means “The infliction of pain by the  state on someone who has been convicted of anoffence”. Pidana berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan.
f.       Burton M. Leiser.
A punisment is a harm inflicted by a person in a position of authority upon another who is judged to have violated a rule or a law.
g.      H.L.A. Hart.
Punisment must :
1)      Involve pain or other consequences normally considered unpleasant; (mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi yang lain yang tidak menyenangkan);
2)      Be for an actual or supposed offender for his offence; (dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana);
3)      Be for an offence against legal rules; (dikenakan berhubungan suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum);
4)      Be intentionally administered by human beings other that the offender; (dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana);
5)      Be imposed and administered by an authority constituted by a legal system against with the offence is committed. (dijatuhkan dan dilaksanakan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut).
h.      Alf Ross.
 Punishment is that social responce which :
1)      Occurs where there is violation of a legal rule; (terjadi hubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum);
2)      Is imposed and carried out by autthorised. Person on behalf of the legal order to which  the violated rule belongs; (dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasasehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;
3)      Involves suffering or at least other consequences normally considered unpleasant; (mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan);
4)      Expresses disapproval of the violator. (menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar).
i.        Di dalam “Black’s Law Dictionary” dinyatakan bahwa “punisment” adalah: “any fine, penalty or confinement inflicted upon a person by authority of the law and the judgement and sentence of a court, for some crime or offence commited by him, or of his omission of a duty enjoined by law”.
Dari beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :
a.              Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b.             Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang);
c.              Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang;
Ketiga unsur tersebut, pada umumnya terlihat dari defenisi-defenisi di atas, kecuali Alf Ross yang menambahkan secara tegas dan eksplisit bahwa pidana itu harus juga merupakan pernyataan pencelaan terhadap diri si pelaku.
Jadi pidana mati adalah pidana (reaksi atas delik atau nestapa)  berupa kematian yang diputuskan dan dilaksanakan oleh negara karena perbuatan yang telah dilakukan orang itu yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam aturan hukum pidana tertentu. Pidana mati adalah suatu kegiatan bernegara yang sah karena diatur dalam hukum positif. Sedangkan kematian mempunyai kata dasar mati yang maksudnya adalah hilangnya nyawa seseorang atau tidak hidup lagi.
Sudarto, juga mengemukakan bahwa dalam memandang maslah pemberian pidana mempunyai dua arti :
a.       Dalam arti umum, ialah yang menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang menetapkan sanksi hukum pidana (hukum pidana in abstractor);
b.      Dalam arti konkrit ialah yang menyangkut bergabai badan atau jawaban yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan sanksi  pidana itu.
Pemberian pidana dalam arti umum itu merupakan bidang dari pembentukan undang-undang karena asas legalitas, yaitu singkatnya berbunyi : nullum delictum nulla poena, sine praevia lege (poenal).
Wujud-wujud penderitaan yang dapat  dijatuhkan oleh negara telah ditetapkan dan diatur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara menjatuhkannya secara dimana dan bagaiman cara menjalankannya. Mengenai wujud jenis penderitaan itu dimuat dalam Pasal 10 KUHP. Tetapi batas-batas berat ringannya dalam menjatuhkan penderitaan tersebut dimuat dalam rumusan mengenai masing-masing larangan dalam hukum pidana yang bersangkutan. Jadi negara tidak dapat dengan bebas memilih jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 KUHP tersebut. Hal ini berkaitan dengan fungsi hukum pidana sebagai pembatas kekuasaan negara dalam arti perlindungan hukum bagi warga dari tindakan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi menegakkan hukum pidana.
1.2     Sejarah pidana mati di Indonesia  
Sebelum penjajah datang ke Indonesia terutama bangsa Belanda, Indonesia telah mempunyai hukum yang mengatur tata kehidupan manusia, yaitu hukum adat. Begitu juga dengan pengaturan pemberian pidana terhadap pelaku kejahatan, dahulu dipergunakan hukum pidana adat. Dalam hukum pidana adat yang berlaku di Indonesia dari Aceh sampai Irian juga mengenal pidana mati jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia.
Pidana mati yang tercantum dalam KUHP merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, diamana hukum pidana peninggalan Belanda tersebut aslinya masih dalam bahasa Bealanda yaitu “Wetboek van Strafrecht (WvS)” yang dinyatakan berlaku di Indonesia oleh pemerintah Belanda pada  tanggal 1 Januari 1918 berdasarkan Staadblad 1915 No. 732. Namun setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, WvS tersebut masih diberlakukan bagi seluruh wilayah Republik Indonesia meskipun dengan beberapa perubahan. Begitu juga dengan ancaman pidana mati yang terdapat dalam KUHP tersebut belum dicabut walaupun KUHP sendiri telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. Sebelum berlakunya WvS di Indonesia, yang berlaku adalah hukum pidana adat. Pidana mati dengan eksekusi yang kejam telah dikenal dalam hukum adat dibeberapa daerah tertentu di Indonesia.
Di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Di Gayo seorang pembunuh dan penghianat dapat saja ditembak mati. Di Batak, jika pembunuh tidak membayar uang salah maka pidana mati dapat segera dilaksanakan. Demukian pula bila seseorang melanggar perintah perkawinan yang eksogami. Kalau di Minangkabau tidak jauh berbeda dengan di Batak, menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal hukum membelas bahwa seorang pembunuh juga dapat dibunuh. Sedangkan di Cerebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali pidana matijuga diancamkan bagi pelaku kaein sumban. Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah, kalau yang bersalah tidak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang. Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati. Sedangkan di Lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan menantu dsb) dan berzinah dengan istri orang lain.
Jadi, sebelum Belanda datang ke Indonesia untuk menjajah dan menerapkan hukumnya, Indonesia terlebih dahuku telah mengenal pemberian pidana mati terhadap pelaku kejahatan. Hal ini terbukti dalam perundang-undangan Majapahit pun pidana mati sudah dikenal. Slamet Mulyana menulis bahwa dalam perundang-undangan Majapahit tidak dikenal pidana penjara dan kurungan, yang dikenal ialah:
a.          Pidana pokok
1)      Pidana mati
2)      Pidana potong anggota badan yang bersalah
3)      Pidana denda
4)      Ganti kerugian atau Panglicawa atau Patukucawa
b.         Pidana tambahan
1)      Tebusan
2)      Penyitaan
3)      Patibajambi (pembeli obat)
Tindakan pidana yang diancam dengan pidana  mati adalah pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang yang bersalah kepada raja, perbuatan-perbuatan perusuhan yaitu pencurian, membegal, menculik, mengawinkan wanita larangan, meracuni dan menenung. Akan tetapi setelah Kitab Undang-undang Hukum Pidana diberlakukan untuk Indonesia, maka hakim pidana pada pengadilan negara tidak dapat melaksanakan eksekusi pidana mati seperti eksekusi pidana mato dalam hukum pidana adat.
1.  Teori- teori pemidanaan
Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan sebagai hukuman. Jadi pemidanaan dapat diartikan dengan penghukuman. Kalau orang mendengar kata “hukuman”, biasanya yang dimaksud adalah penderitaan yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum pidana. Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama apabila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan dimasyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasannya.
Dalam pandangan masyarakat, orang yang pernah dikenakan pidana seolah-olah mendapatkan cap, bahwa orang tersebut dipandang sebagai orang yang jahat, yang tidak baik atau orang yang tercela. Sudarto mengemukakan :
“Pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan akibatnya berupa ‘cap’ oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat ‘jahat’. Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut ‘stigma’. Jadi orang tersebut mendapatkan stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup”
Untuk dapat memahami secara luas tentang teori-teori pemidanaan maka terlebih dahulu harus mengkaitkannya dengan aliran-aliran di dalam hukum pidana yakni aliran klasik, aliran positif dan aliran neo klasik.
a.                   Aliran klasik
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa (ancient regime) pada abad ke-18 di Perancis dan Inggris, yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitik beratkan pada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Dengan orientasi pada perbuatan yang dilakukan, aliran ini menghendaki pidana yang dijatuhkan itu seimbang dengan perbuatan tersebut. Secara ekstrim dapat dikatakan, bahwa aliran klasik dalam pemberian pidana lebih melihat ke belakang.
Dengan pandangannya yang indeterministis mengenai kebebasan kehendak manusia aliran ini menitik-beratkan kepada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Hukum pidana yang dikehendaki ialah hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht). Perbuatan disini diartikan secara abstrak dan dilihat secara yuridis belaka terlepas dari orang yang melakukannya. Jadi, aliran ini mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku.
Aliran ini pada awalnya sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaannya. Dikenallah pada waktu itu sistem pidana yang ditetapkan secara pasti (definite sentence) yang sangat kaku (rigid), seperti terlihat pada The French Penal Code 1791. Peranan hakim dalam menentukan kesalahan seseorang sangat dikurangi dan pidana yang ditentukan oleh undang-undang tidak mengenal sistem peringanan dan pemberatan yang didasarkan atas faktor-faktor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukan terdahuku atas keadaan-keadaan khusus dari perbuatan yang dilakukan. Jadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Prancis ini tidak membolehkan individulisasi di dalam penerapan pidana.
Aliran klasik ini berpijak pada tiga tiang yaitu :
1)        Asas legalitas yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang.
2)        Asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena  kealpaan.
3)        Asas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler, yang berisi bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan.
Dua tokoh utama aliran klasik adalah Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. Cesare Beccaria lahir di Italia pada tanggal 15 Maret 1738 dengan karyanya yang sangat terkenal yaitu Dei Delicti e Delle Pene tahun 1764 yang diterbitkan untuk pertama kali di Inggris pada tahun 1767 dengan judul On Crimes and Punishment. Filsafat yang mempengaruhi Cesare Beccaria secara kuat ialah mengeni kebebasan berkehendak. Sumbangan pikiran dari Cesare Beccaria yang menjadi dasar perubahan praktik-praktik hukum pidana dengan doktrin “pidana harus sesuai dengan kejahatan”. Ide inilah yang menjadi tema essensiil dari aliran klasik. Cesare Beccaria tidak yakin terhadap pidana yang berat dan kejam. Alasan utama dari penjatuhan pidana adalah untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk mencegah orang melakukan kejahatan.
Tokoh lain aliran klasik adalah Jeremy Bentham (1748-1832). Ia adalah seorang filsuf dari Inggris yang terlatih dalam hukum tetapi tidak pernah peraktik hukum. Ia diklasifikasikan sebagai penganut utilatarian hedonist. Diantara ide-idenya yang hebat adalah anjurannya bahwa “kebaikan terbesar harus untuk jumlah rakyat yang terbesar” (the greatest good must go to the greatest number). Salah satu teorinya yang sangat penting ialah mengenai “felific calculus”, yaitu bahwa manusia merupakan ciptaan/mahluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu, suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat daripada kesenangan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Hal ini merupakan sumber pemikiran yang menyatakan bahwa pidana harus cocok dengan kejahatan sebagaimana juga ditegaskan oleh Beccaria.
Jeremy Bentham adalah seorang pemikir yang melihat kejahatan secara abstrak. Ia gagal melihat penjahat sebagai manusia, sebagai suatu hal yang hidup, kompleks, kepribadian yang beraneka ragam. Seperti Cesare Beccaria, ia melawan status quo dan berjuang dengan sengit untuk pembaharuan hukum pidana. Ia melihat suatu prinsip etika baru mengenai kontrol sosial, yaitu suatu metode pengecekan perbuatan manusia menurut prinsip etika yang baru. Prinsip itu ia sebut “Utilitarianism” yang menyatakan suatu perbuatan tidaklah dinilai oleh hal-hal yang mutlak (keadilan, kebenaran) yang irasional, tetapi oleh suatu sistem yang dapat diuji atau diukur. Namun sayangnya Bentham tidak menjelaskan lebih lanjut dasar teoritis dari prinsip tersebut diukur, dan juga tidak menjelaskan bagaimana prinsip tersebut diukur secara empiris.
Bentham juga yakin dengan doktrin “kebebasan”, walaupun dia mengisyaratkan kearah teori mengenai perbuatan yang terpola (the theory of learned behaviour) sebagai  penjelasan mengenai tindak kriminal. Bentham mengemukakan bahwa tujuan-tujuan dari pidana adalah:
1)   Mencegah semua pelanggaran (toprevent all offenses);
2)   Mencegah pelanggaran yang paling jahat (to prevent the worst offences);
3)   Menekan kejahatan (to keep down mischief);
4)   Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya (to act the least expense).
b.         Aliran positif
Aliran  ini tumbuh pada abad ke-19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat tindak pidana dan menghendaki adanya individualisme dari pidana, artinya dalam pemidanaan harus memperhatikan sifat-sifat dan keadaan pembuat tindak pidana. Aliran ini sering disebut aliran positif dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh ia masih dapat diperbaiki. Dengan orientasi demikian maka aliran ini sering dikatakan mempunyai orientasi ke masa depan. 
            Aliran ini berpendapat bahwa perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata, terlepas dari orang yang melakukannya, tetapi harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataan perbuatan seseorang itu dipengaruhi watak pribadinya, faktor-faktor biologis atau faktor lingkungan kemasyarakatannya. Jadi aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme untuk menggantikan doktrin kebebasan bertindak.
            Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana berdasarkan kejahatan harus digantikan dengan sifat berbahayanya si pelaku tindak pidana (etat dangereux). Bentuk pertanggungjawaban terhadap si pembuat lebih bersifat tindak perlindungan masyarakat. Jika tetap digunakan istilah pidana, maka menurut aliran ini pidana tetap harus diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi si pelaku tindak pidana. Di samping meratakan jalan untuk filsafat individualisasi, aliran moderen juga mempelopori pembinaaan ilmiah terhadap tindak pidana, yang didasarkan atas penemuan-penemuan baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.
            Pendekatan yang dilakukan oleh ketiga tokoh utama aliran positif yakni Cesare Lamborso, Raffaele Gorofalo dan Enrico Ferri berbeda satu sama lain. Walaupun demikian mereka setuju bahwa tekanan di dalam memperbaiki kejahatan harus diberikan kepada pembinaan ilmiah terhadap pelaku tindak pidana, dan tidak terhadap pidana yang dikenakan kepada mereka.
Lamborso menolak doktrin “kebebasan berkehendak” dari aliran klasik. Sekalipun Lamborso dengan jelas memberikan tekanan pada penyebab kejahatan yang bersifat biologis, namun tidak melupakan sama sekali sebab-sebab yang bersifat sosiologis. Dia menyatakan bahwa pidana yang kejam dimasa lalu tidak memberikan pemecahan terhadap pencegahan terhadap pencegahan terhadap  kejahatan dan alirannnya merupakan strategi baru di dalam melawan kejahatan yang didasarkan atas etiologi dan sifat-sifat alamiahnya. Lamborso percaya bahwa setiap penjahat mempunyai kebutuhan yang berbeda, sehingga merupakan kebodohan untuk menerapkan pidana yang sama bagi tiap orang yang melakukan kejahatan. Dengan ini kelihatan bahwa Lamborso adalah penganjur pertama dari apa yang dinamakan pidana yang tidak ditetapkan secara pasti oleh pengadilan (the indeterminate sentence). Lamborso juga tidak setuju dengan adanya pidana jangka pendek, karena hanya akan memperkenalkan penjahat yang satu dengan yang lain dan tidak memberikan kesempatan guna rehabilitasi. Dia sangat setuju dengan pidana yang ditangguhkan atau sistem “probation” yang dipandang sukses di Amerika Serikat.
Tokoh kedua aliran ini adalah Raffaele Garofalo (1852-1943). Seperti tokoh yang lainnya Garofalo menolak aliran klasik, termasuk apa yang dinamakan defenisi hukum dari kejahatan, dan doktrin kebebasan berkehendak.
Garofalo menyatakan, bahwa defenisi hukum dari kejahatan hanya merupakan klasifikasi yang dilakukan oleh pembuat undang-undang terhadap tipe-tipe perilaku tertentu. Untuk menerangkan mengapa orang-orang berbuat jahat, ia mengusulkan suatu konsep yang dinamakan konsep kejahatan natural. Selanjutnya dia menyatakan bahwa natural crime merupakan pengertian yang paling jelas untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan dan ditekan melalui sarana berupa pidana.
Tokoh ketiga aliran positif adalah Anrico Ferri (1856-1929). Tiga tahun setelah menyelesaikan pelajarannya ia kembali ke almamaternya di Bologna sebagai seorang guru besar hukum pidana. Pada tahun 1880, sebelum ia mencapai umur 29 tahun, ia memberikan kuliah tentang horisan baru di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana. Kuliah ini kemudian menjadi dasar bukunya yang terkenal yaitu criminal sociology. Dia menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan menuju kejahatan, tetapi bilamana ia hidup di lingkungan hidup yang baik ia akan hidup terus sampai akhir hayatnya tanpa melanggar hukum pidana ataupun hukum moral. Ia juga menolak doktrin indeterminisme dari aliran klasik, sebab psikologi telah membuktikan bahwa perilaku seseorang merupakan hasil interaksi antara personalitas dan lingkungan seseorang. Ferri percaya bahwa kejahatan terutama dihasilkan oleh tipe masyarakat dari mana kejahatan tersebut datang. Ia mengemukakan suatu dalil yang disebut hukum kejenuhan penjahat (law of criminal saturation), yang di dalam lingkungan sosial tertentu dengan kondisi individual dan fisik tertentu sejumlah kejahatan tertentu dapat dilakukan.
Sehubungan denagn dalil tersebut, Ferri mengemukakan bahwa untuk mencapai akar-akar kriminalitas peranan hygiene sosial sangat besar. Hal ini mengharuskan pembuat undang-undang untuk selalu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, moral, administrasi dan politik di dalam tugasnya sehari-hari. Kejahatan dalam ini hanya dapat diatasi dengan mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat.
Setelah perang dunia ke II aliran modern ini berkembang menjadi Aliran/ Gerakan Perlindungan masyarakat, dan setelah diadakannya The Second International Social Defence Congress tahun 1949, aliran ini terpecah menjadi dua konsepsi, yaitu konsepsi radikal dengan tokohnya Filipo Gramitika dan konsepsi moderat dengan tokohnya Marc Ancel.
Menurut Gramatika, hukum perlindungan masyarakat (law of social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada. Tujuan utama hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatanya. Hukum perlindungan masyarakat mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti-sosial. Dengan demikian mengenai tindak pidana, penjahat dan pidana.
Sementara konsepsi moderat yang dipelopori Marc Ancel dengan gerakannya defence sociale nouvelle (New Social Devence) atau perlindungan, masyarakat baru ingin mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Konsepsi atau pemikiran yang dikemukakan oleh gerakan perlindungan masyarakat baru ini adalah:
1)             Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.
2)             Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and social problem) yang tidak dapat begitu saja dipaksakan untuk dimasukkan dalam perundangan.
3)             Kebijakan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan pergerakan utama dan proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban pribadi ini menekan pada kewajiban moral ke arah timbulnya moralitas sosial.
c.    Aliran neo-klasik
Disamping beberapa aliran tersebut diatas, perlu dikemukakan disini adanya suatu aliran yang berasal dari lairan klasik yaitu aliran neo-klasik (Neoclassical School). Sebagaimana aliaaran klasik, aliran ini pun bertolak dari pandangan indeterminisme atau kebebasan berkehendak. Menurut aliran ini, pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu. Untuk itu aliran ini merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui apa yang dinamakan asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circunstances).
Aliran neo-klasik mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual pelaku tindak pidana. Sistem pidana yang dirumuskan secara pasti (defenite sentence) ditinggalkan dan diganti dengan sistem indefinite sentence. Mengenai karakteristik daripada aliran neo-klasik, kiranya dapat dikemukakan ciri-ciri yang disusun oleh Vernon Fox sebagai berikut :
1)      Modifikasi (perubahan) dari “doctrine of will”, yang dapat dipengaruhi patologi, ketidakmampuan, penyakit gila, atau lain-lain keadaan.
2)      Diterimanya berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating circumstanses) baik fisikal, lingkungan maupun mental.
3)      Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban pidana guna menetapkan peringann pidana dengan pertanggungjawabanb sebagian di dalam hal-hal yang khusus, misalnya gila, di bawah umur, dan keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu terjadinya kejahataan.
4)      Diperkenankan masuknya kesaksian ahli (expert testionary) untuk menentukan derajat pertanggungjawaban.
Selanjutnya dibahwa ini akan dibahas prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan oleh teori-teori pemidanaan.
a.    Teori retributif atau teori pembalasan
Teori ini mengatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori ini dalam tujuan pemidanaan didasarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally justifed” (pembenaran secra moral), karena pelaku kejahatan layak untuk menerimanya atas kejahtannya. Asumsi yang penting terhadap pemebnaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggungjawab moral dan kesalahan hukum si pelaku.
Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Penjatuhan pidana tidak dilihat akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari penjatuhan pidana tersebut, tidak memperhatikan masa depan baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat. Menjalankan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2 arah, yaitu :
1)        Ditujuhkan pada penjahatnya (sudut sibyektif dari pembalasan)
2)        Ditujuhkan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalngan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).
Menurut Johanes Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisty the claims of justice) sedangkan pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law sebagai berikut”:
“...pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/ kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan.
Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam  pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”.
Hegel memandang bahwa pemidanaan merupakan hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauan sendiri. Sedangkan Nigel Walker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi dua macam, yaitu teori retributif murni dan teori retributif tidak murni. Retributivist yang murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Sedangkan Retributivist  tidak murni dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu ;
1)      Retributivist terbatas (the limitating retributivist), yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku.
2)      Retribituvist yang distribusi (retribution in distribution), yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembelasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah.
Berdasarkan pembagian aliran retributif tersebut, maka hanya retributivist murni yang mengemukakan dasar pembenaran dijatuhkannya pidana. Oleh karena itu golongan ini disebut juga “punisher” atau penganut teori pemidanaan. Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham retributif yang tidak murni lebih dekat dengan paham yang non retributive. Kebanyakan KUHP disusun berdasarkan paham non-retributive yang the limiting retributivist yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut.
b.         Teori relatif atau teori tujuan
Teori tujuan memberikan dasar pemikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, tujuan pokoknya adalah mempertahankan ketertiban masyarakat (the handing der maatchappelijke order). Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence).
Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana itu mempunyai 3 macam sifat, yaitu :
1)   Bersifat menakut-nakuti (afschrikking);
2)   Bersifat memperbaiki (verbetering/ reclasering);
3)   Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).
       Sedangkan sifat pecegahannya dari teori ini ada 2 macam, yaitu :
1)   Pencegahan umum (general preventie)
Menurut teori pencegahan umum ini ialah pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat, agar umum tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Yang dapat digolongkan ke dalam teori pencegahan umum ini dalah teori dari Anselm Von Feuerbach mengenai psychologischezwang yang berbunyi: apabila setiap orang mengerti dan tahu, bahwa melanggar peraturan hukum itu diancam dengan pidana, maka orang itu mengerti dan tahu  juga akan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan. Dengan demikian tercegahlah bagi setiap orang untuk berniat jahat. Sehingga di dalam jiwa orang masing-masing telah mendapat tekanan atas ancaman pidana.
2)        Pencegahan khusus (speciale preventie)
Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Van Bemmelen menyatakan, meraka yang beranggapan bahwa pidana ialah pemebenaran yang terpenting dari pidana itu sendiri, bertolak dari pendapat bahwa manusia (pelaku suatu tindak pidana) dikemudian hari akan menahan diri supaya jangan berbuat seperti itu lagi, karena ia mengalami (belajar) bahwa perbuatannya menimbulkan penderitaan. Jadi pidana akan berfungsi mendidik dan memperbaiki. Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat prevensi khusus yaitu pemidanaan harus memuat suatu anasir menakutkan supaya si pelaku tidak melakukan niat buruk, pemidanaan juga harus memuat suatu anasir yang memperbaiki bagi terpidana yang nanti memerlukan suatu reclassering, pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan bagi penjahat yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi, dan tujuan satu-satunya dari pemidanaan ialah mempertahankan tata tertib hukum.
c.              Teori gabungan
         Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan daan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan ini adalah menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan tersebut dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu :
1)   Teori gabungan yang menggabungkan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankan tata tertib masyarakat. Pompe berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabiila bermanfaat bagi pertahanan tat tertib (hukum) masyarakat.
2)   Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tat tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. Menurut  Simons, dasar primer pidana adalah pencegahan umum, dasar sekundernya adalah pencegahan khusus. Maksud pidana terutama adalah ditujuhkan pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya dalam undang-undang, yang apabila hal ini tidak cukup kuat dan tidak efektif dalam hal menakut-nakuti, memperbaiki dan membuat tidak berdayanya penjahat. Dalam hal ini harus diingat bahwa pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan atau berdasarkan atas hukum dari masyarakat.
d.             Teori Social Defence
         Social defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah Perang Dunia II dengan tokoh terkenalnya Fillipo Gramatika, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Perkembangan selanjutnya, pandangan social defence terpecah menjadi dua aliran (setelah Kongres Ke-2 tahun 1949), yaitu aliran yang radikal (ekstrim) dan aliran yang moderat (reformis).
         Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica yang salah satu tulisannya berjudul “The fight against punisment”. Gramatica berpendapat bahwa hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang yang tujuannya adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Pandangan ini menghendaki penghapusan hukum pidana (obilisionisme), karena pemidanaan dirasakan kurang manusiawi, oleh karena itu harus digantikan dengan hukum kerja sosial.
         Sedangkan pandangan moderat dipertahankan Marc Ancel yang menanamkan alirannya sebagai “Defence Social Nouvelle” atau “New Social Defence” atau “Perlindungan Sosial Baru”. Tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana, perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri, dan dalam menggunakan hukum pidana pandangan ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.
e.              Teori Restoratif Justice
            Ahli kriminologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya mengemukakan bahwa deafenisi restorative justice adalah :
“restorative justice is a process where by all the parties with  stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future” (restirative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan). Restorative justice bersifat merekatkan peradilan pidana dengan konteks sosialnya yang menekankan daripada mengisolasinya secara tertutup.
Bazemore dan Walgrave mendefenisikan restorative justice sebagai tindakan untuk menegakkan keadilan dengan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan akibat suatu tindak pidana. (“Restorative justice is very action that is primarily oriented toward doing justice by repairing the harm that has been caused by a criem”). Teori ini berasal dari tradisi common law dan tort law yang mengharuskan semua yang bersalah untuk dihukum. Hukuman menurut teori ini termasuk pelayanan masyarakat, ganti rugi dan bentuk lain dari hukuman penjara yang membiarkan terpidana untuk tetap aktif dalam masyarakat.
Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di negara canada. Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyususn  usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim. Program ini menganggap pelaku akan mendapatkan keuntungan dan manfaat dari tahanan ini dan korban juga akan mendapatkan perhatian dan manfaat secara khusus sehingga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Dari pelaksanaan program tersebut diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagai korban dan pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradilan tradisional.

2.        Pengertian Psikologis dan Gangguan Psikologis

2.1  Sejarah Psikologi

Psikologi adalah kajian tentang pikiran, seiring dengan aspek-aspek pikiran seperti persepsi, kognisi, emosi, dan perilaku. Dalam beberapa cara, psikologis sudah menkjadi wilaya tersendiri sejak akhir 1800-an, ketika tokoh seperti Wilhelm Wundt, William James, dan Sigmund Freud memisahkannya dari beragam disiplin induk semisal biologi, filsafat, dan kedokteran. Tetapi, dalam beberapa cara lain, psikologi sudah seumuran dengan manusia dalam mendiskusikan manusia itu sendiri.
Kini, psikologi berupaya untuk menjadi sebuah ilmu. Ilmu adalah usaha untuk mengkaji sebuah subjek dengan kemampuan eksplisit untuk berpikir selogis mungkin dan berpijak sekuat mungkin pada fakta-fakta empiris secara manusiawi. Ilmu-ilmu lain, kimia, fisika, biologi dan seterunya telah meraih keberhasilan sangat besar dengan cara ini.
Ditinjau dari segi bahasa, perkataan psikologi berasal dari perkataan psyche yang diartikan jiwa dan perkataan logos yang berarti ilmu dan ilmu pengetahuan. Karena itu perkataan psikologi sering diartikan atau diterjemahkan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa atau disingkat dengan ilmu jiwa.
Psikologi sebagai suatu ilmu, psikologi juga mempunyai tugas-tugas atau fungsi-fungsi tertentu seperti ilmu-ilmu pada uumnya. Adapun tugas psikologi ialah:
1)      Mengadakan deskripsi, yaitu tugas untuk menggambarkan secara jelas hal-hal yang dipersoalkan atau dibicarakan.
2)      Menerangkan, yaitu tugas untuk menerangkan keadaan atau kondisi-kondisi yang mendasari terjadi peristiwa-peristiwa tersebut.
3)      Menyusun teori, yaitu tugas mencari dan merumuskan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hubungan antara peristiwa satu dengan peristiwa lain atau kondisi satu dengan yang lain.
4)      Prediksi, yaitu tugas untuk membuat ramalan (prediksi) atau estimasi mengenai hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi atau gejala-gejala yang akan muncul.
5)      Pengendalian, yaitu  tugas untuk mengendalikan atau mengatur peristiwa-peristiwa atau gejala.
Menurut Wundt (Lih. Devidoff, 1981) psikologi merupakan ilmu tentang kesadaran manusia (the science of human consciousness). Para ahli psikologi akan mempelajari proses-proses elementer dari kesadaran manusia itu. Dari batasan ini dapat dikemukakan bahwa keadaan jiwa direfleksikan dalam kesadaran manusia. Unsur kesadaran merupakan hal yang dipelajari dalam psikologi itu.
Di samping itu Woodworth dan Marquis (1957) mengajukan pendapat bahwa yang dimaksud dengan psikologi itu merupakan ilmu tentang aktivitas-aktivitas individu. Secara lengkap dikemukakan :

Psychology can be defined as the science of the activities of the individual. The word “activity” is used here in very broad sense. It includes not only motor activities like walking and speaking, but also cognitive (knowledge getting) activities like seeing, hearing, remembering and thingking, and emotional activities like laughing and crying, and feeling or sad (Woodworth and Marquis, 1957 : 30).

Dari apa yang dikemukakan oleh Woodworth dan Marquis tersebut jelas memberikan gambaran bahwa psikologi itu mempelajari aktivitas-aktivitas individu, pengertian aktivitas dalam arti yang luas, digunakan pengertian kesadaran, maka pada Woodworth dan Marquis digunakan aktivitas-aktivitas. Namun keduanya baik kesadaran maupun aktivitas-aktivitas, hal tersebut menggambarkan tentang refleksi dari kehidupan kejiwaan.

2.2  Perilaku Manusia
Seperti yang telah dipaparkan, bahwa psikologi merupakan ilmu tentang perilaku, dengan pengertian bahwa perilaku atau aktivitas-aktivitas itu merupakan manifestasi kehidupan psikis. Telah dikemukakan oleh para ahli, bahwa yang diteliti atau dipelajari dalam psikologi ini baik perilaku manusia. Dengan demikian maka dalam psikologi itu fokusnya adalah manusia. Banyak penelitian yang dilakukan pada hewan, yang hasilnya kemudian diarahkan pada manusia, khususnya penelitian-penelitian yang eksperimental.
a.    Jenis perilaku
Perilaku pada manusia dapat dibedakan antara perilaku yang refleksif dan perilaku yang non-refleksif. Perilaku yang refleksif merupakn perilaku yang terjadi atas reaksi secara spontan terhadap stimulasi yang menginai organisme tersebut. Misalny reaksi kedip mmata bila kena sinar; gerak lutut bila kena sentuhan palu; menarik jari bila jari kena api dan sebagainya. Reaksi atau perilairinya, secara otomatis. Stimulasi yang diterima oleh organisme atau individu tidak sampai ke pusat sususnan syaraf atau otak sebagai pusat kesadaran, sebagai pusat pengendali dari perilaku manusia. Dalam perilaku yang refleksif respon langsung timbul begitu menerima stimulus. Dengan kata lain begitu stimulus diterima oleh reseptor, begitu langsung respon timbul melalui afektor, tanpa mmelalui pusat kesadaran atau otak.
Lain halnya dengan perilaku yang non-refleksif. Perilaku ini dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran tau otak. Dalam kaitan ini stimulasi setelah diterima oleh reseptor kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat syaraf, pusat kesadaran, baru kemudian terjadi respon melalui afektor. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat kesadaran ini yang disebut proses psikologis. Perilaku atau aktivitas atas dasar proses psikologis inilah yang disebut aktivitas psikologis atau perilaku psikologis (Branca, 1964).
Pada perilaku manusia, perilaku psikologis inilah yang dominan, merupakan perilaku yang banyak pada diri manusia, di samping adnya perilakub refleksif. Perilaku refleksif pada dasaranya tidak dapat dikendalikan. Hal tersebut karena perilaku refleksif merupakan perilaku yang alami, bukan perilaku yang dibentuk. Hal tersebut akan lain apabila dilihat perilaku yang non-refleksif. Perilaku ini merupakan perilaku yang dibentuk, dapat dikendalikan, karena itu dapat berubah dari waktu ke waktu, sebagai hasil proses belajar. Di samping perilaku manusia dapat dikendalaikan atau terkendali, yang berarti bahwa perilaku manusia juga merupakan perilaku yang terintegrasi (integrated), yang berarti bahwa keseluruhan keadaan individu atau manusia itu terlibat dalam perilaku yang bersangkutan, bukan bagian demi bagian. Karena begitu kompleksnya perilaku manusia itu, maka psikologi ingin memehami perilaku tersebut.
b.        Pembentukan perilaku
Seperti yang telah dipaparkan di depan bahwa perilaku manusia sebagian terbesar ialah berupa perilaku yang dibentuk, perilaku yang dipelajari. Berkaitan dengan hal tersebut maka salah satu persoalan ialah bagaimana cara membentuk perilaku itu sesuai dengan yang diharapkan.
1)        Cara pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan

Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut. Misal anak dibiasakan bangun pagi, atau menggosok gigi sebelum tidur, mengucapkan terima kasih bila diberi sesuatu oleh orang lain, membiasakan diri untuk datang tidak terlambat di sekolah dan sebagainya.
2)        Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)
Di samping pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan, pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insigth. Misalnya datang kuliah jangan sampai terlambat, karena hal tersebut dapat mengganggu teman-tema yang lain. Bila naik motor harus pakai helm, karena helm tersebut untuk keamanan diri, dan masih banyak lagi contoh untuk menggambarkan hal tersebut. Cara ini berdasarkan atas teori belajar kognitif, yaituu belajar dengan disertai adanya pengertian. Bila dalam eksperimen Thorndike dalam belajar yang dipentingkan adalah soal latihan, maka dalam eksperimen Kohler dalam belajar yang penting adalah pengertian atau insight.



3)   Pembentukan perilaku dengan menggunakan model
Di samping cara-cara pembentukan perilaku seperti tersebut di atas, pembentukan perilaku masih dapat ditempuh dengan menggunakan  model atau contoh. Kalau orang bicara bahwa orang tua sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan yang dipimpinnya, hal tersebut menunjukkan pembentukan perilaku dengan menggunakan model. Pemimpin dijadikan model atau contoh oleh yang dipimpinnya. Cara ini didasarkan atas teori belajar sosial (social learning theory) atau observational learning theory yang dikemukakan oleh Bandura (1977).

Kareteristik merupakan sesuatu yang menjadi ciri khas seseorang dalam mencerap, merasa, meyakini, atau bertindak. Ketika kita tanpa sengaja menggambarkan seseorang, kita menggunakan istilah-istilah kareteristik ini. Misalnya, saya adalah seorang yang introvert, penggugup, sangat dekat dengan keluarga, sering mengalami depresi, dan juga sangat cerdas. Mempunyai citra humor yang bagus, suka bahasa, sangat suka mmakan enak, tidak menyukai semua olahraga, dan sedikit obsesif.
Para psikologi, khususnya personologi, sangat tertarik dengan persoalan kareteristik ini. Mereka sangat tertarik dalam menemukan kareteristik mana yang luas dan mungkin berbasis genetik, yang bisa jadi k  dan mudah berubah.
2.3.  Gangguan kepribadian
Ada beberapa teori yang membahas tentang gangguan kepribadian yaitu:
a. Teori Neurosis Bio-Sosial
Neurosis erujuk pada serangkaian masalah psikologis yang melibatkan pengalaman yang berdampak negatif secara berkepanjangan dalam bentuk kecemasan, kesedihan atau depresi, marah, cepat marah, kekacauan ental, penghargaan-diri yang rendah, dan lain sebagainya; gejala-gejala perilaku, seperti penghindaran karena fobia, waspada, tindakan-tindakan impulsif dan kompulsif, kelesuhan, dan seterusnya; asalah-asalah kognitif, seperti berbagai pikiran tidak menyenangkan atau mengganggu, pengulangan pikiran dan obsesi, fantasi yang menjadi kebiasaan, negativitas dan sinise, dan lain-lain. Secara interpersonal, neurosis meliputi ketergantungan, agresivitas, perfeksionisme, isolasi terbelah, perilaku-perilaku yang secara sosiokultural tidak tepat, dan lain-lain.
Umumnya, neurosis ditandai dengan rendahnya keapuan untuk beradaptasi dengan lingkungan, yakni tidak mampu mengubah berbagai  pola hidup kita, serta tidak mampu mengembangkan kepribadiaan yang lebih kaya, lebih kompleks, dan lebih memuaskan.
Poin pertama yang harus dicatat adalah kondisi-kondisi psikologis yang mempengaruhi, yang sebagian besar bersifat turun-temurun. Yang paling jelas adalah sifat-sifat (karakteristik) tempramen yang disebut sebagai instabilitas emosional. Karakteristik lain bisa juga berkontribusi, seperti kehati-hatian yang sangat tinggi atau rendah. Mungkin juga sifat-sifat bawaan, ketika secara ekstrem menjadikan orang itu kemungkinan lebih mengembangkan masalah-masalah neurotis.
Poin kedua adalah budaya seseorang, asuhan, pendidikan, dan pembelajaran yang ia dapatkan, umumnya bisa menyiapkan seseorang untuk menghadapi tekanan-tekanan hidup dan bisa juga tidak. Faktor-faktor ini mungkin bisa mengesampingkan kondisi-kondisi psikologis yang dapat mempengaruhi atau memperburuknya.
Poin ketiga menyangkut pemicu ketegangan (stressor) dalam kehidupan seseorang yang menyebabkan beragam gejala neurosis emosional, behavioral, dan kognitif. Bergabai pemicu ini bisa dipahami sebagai situasi-situasi yang tidak pasti atau kacau, yang biasanya melibatkan hubungan-hubungan interpersonal, yang melampaui kapasitas seseorang yang dipelajari dan/atau diwariskan, dalam mengatasi situasi-situasi tersebut.
Ketika kita mengalami kejadian yang membuat stres dan kecemasan berulang, kita mulai mengembangkan pola-pola perilaku dan kognisi yang dirancang untuk menghindarkan atau sebaliknya meredahkan masalah, seperti kewaspadaan, perilaku melarikan diri, dan pemikiran defesif. Ini semua bisa berubah menjadi sekumpulan sikap yang pada dasarnya menghasilkan rasa cemas, marah, sedih, dan lain sebagainya.
b.        Gangguan kecemasaan
Gangguan kecemasan merupakan gangguan mental yang paling umum atau sering terjadi. Gangguan itu encakup sekumpulan kondisi yang menetapkan kecemasan ekstrem atau patologis sebagai gangguan suasana hati atau emosi yang bersifat prinsipil. Kecemasan, yang bisa dipahami sebagai padanan patologis dari ketakutan normal, tampil melalui gangguan suasana hati, dan juga pada pikiran, perilaku, dan aktivitas psikologis.
1)        Serangan Panik dan Gangguan Panik
Serangan panik adalah periode tersendiri dari ketakutan yang intens atau ketidakmampuan atau ketidaknyamanan yang dikaitkan dengan sejumlah gejala somatis dan kognitif (DSM-IV).gejala-gejala ini meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar, nafas terengah-engah, perasaan tercekik atau terjepit, sakit dada, mual atau perut mual, pusing atau berkunang-kunang, perasaan geli, dan wajah yang memerah. Serangan itu lazimnya muncul secara mendadak, yang bertambah hinggah mencapai intensitas maksimum dalam 10 hingga 15 menit. Banyak orang mengatakan takut mati, “gila”,atau kehilangan kontrol emosi dan perilaku. Pengalaman-pengalaman itu umumnya membangkitkan keinginan kuat untuk melarikan diri atau meninggalkan tempat di mana serangan bermula dan, ketika dihubungkan dengan sakit dada atau nafas terengah-engah, kerap kali berakibat pada mencari pertolongan dari ruang gawat darurat rumahsakit atau tipe pertolongan darurat lainnya. Kendati demikian, serangan jantung berlangsung lebih dari 30 menit.
Gangguan panik pada perempuan umumnya terjadi dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki (American Psychiatric Association, 1998). Usia yang paling sering mengalami serangan adalah antara remaja akhir hingga paro baya, dengan serangan yang relatif tidak biasa setelah usia 50.
2)        Agorafobia
Istilah kono agorafobia diterjemahkan dari bahasa Yunani yang berarti takut akan pasar yang terbuaka. Agorafobia saat ini digambarkan sebagai kecemasaan mendalam dan parah tentang keberadaan dalam suatu situasi di mana untuk melarikan diri dari situasi tersebut teras sulit. Hal ini biasanya terjadi saat sendirian di luar rumah, berpergian dengan mobil, bis, atau pesawat, atau berada di wilaya yang hiruk-pikuk (DSM-IV).
Banyak spesialis kesehatan mental yang mengembangkan agorafobia setelah serangan ganggguan panik (American Psychiatric Association,1998). Agorafobia sangat dipahami sebagai akibat perilaku yang merugikan dari serangan panik berulang dan berikutnya kecemasan, keasyikan, serta penghindaran (Barlow, 1988).
Agorafobia terjadi sekitar dua kali lebih umum pada perempuan ketimbang laki-laki (Magee et al., 1996).
3)        Fobia-fobia spesifik
Kondisi umum ini dicirikan dengan ketakutan nyata terhadap objek atau situasi tetentu (DSM-IV). Penyingkapan objek fobia, baik dalam kehidupan nyata maupun lewat imajinasi atau video, selalu mendatangkan kecemasan intens, yang bisa jadi disertai sebuah serangan panik ( yang terkait secara situasional). Orng dewasa umumnya menyadari bahwa ketakutan intens ini tidak rasional.
Kendati demikian, mereka lazimnya menghindari stimulus yang menyebabkan fobia atau mempertahankan pnyingkapan dengan kesulitan yang besar. Fobia khusus yang paling umum eliputi stimulasi situasi menakutkan berikut : binatang (terutaa ular, hewan pengerat, burung, dan ajing; serangga (terutama laba-laba dan lebah atau kecoa); ketinggian;elevator; terbang; mengendarai mobil; ait; petir; dab darah atau jarum suntik.
4)        Gangguan stres pasca-traumatik dan akut
Gangguan stres akut mengacu pada kecemasan dan gangguan perilaku yang berkembang dalam bulan pertama setelah penyingkapan trauma ekstrem. Umumnya, gejala gangguan stres akut bermula selama atau sesaat setelah trauma. Kejadian traumatik ekstrem tersebut mencakup perkosaan atau penyerangan fisik parah lainnya, pengalaman hapir mati dalam kecelakaan, menyaksikan pembunuhan, dan pertempuran. Gejala disosiasi (pemisahan diri), yang mencerminkan keberjarakan yang dirasakan antara pikiran dan keadaan emosional atau bahkan tubuh, merupakan ciri-ciri yang kritis. Disosiasi juga dicirikan dengan  pemahaman dunia sebagai tempat yang tidak nyata atau bagaikan mimpi dan bisa dipadukan dengan memori buruk mengenai kejadian-kejadian spesifik, yang  dalam bentuk parahnya dikenal sebagai amnesia disosiatif. Ciri lain dari gangguan stres akut meluputi gejala-gejala kecemasan umum dan super-waspada, penghindaran terhadap trauma, dan mengingat kembali suatu kejadian melalui kilas balik, mimpi atau pemikiran berulang atau gambaran visual secara mendalam dan intrusif.
Karena sifat dasar gangguan stres pasca traumatik lebih berlarut-larut (relatif terhadap gangguan stres akut), sejumlah perubahan termaksud penghargaan diri yang menurun, hilangnya kepercayaan diri yang berlarut-larut perihal orang-orang atau masyarakat, keputusan, pemahaman akan dirusak secara permanen, dan kesaulitan-kesulitan dalam hubungan yang telah terjalin sebelumnya, lazimnya selalu diperhatikan. Penyalahgunaan bahan kimia kerap terjadi, terutama alkohol, mariyuana, dan obat bius yang bersifat menenangkan atau menghipnotis.
c.    Gangguan suasana hati.
Dalam satu tahun, sekitar 7 persen orang Amerika menderita gangguan suasana  hati, seperangkat gangguan mental yang sangat dikenal dengan depresi atau mania. Gangguan suasana hati ini berada di luar batas-batas fluktuasi normal yang berkisar mulai dari kesedihan hingga kegembiraan. Semua ini memiliki dampak potensial yang berat bagi ketidakwarasan dan kematian.
1)   Depresi berat
Gejala-gejala utama gangguan depresi berat adalah suasana hati yang tertekan dan hilangnya minat atau kesenangan. Gejala-gejala lainnya sangat beragam. Isalnya, insomnia dan berkurangnya berat badan dipandang sebagai tanda-tanda klasik, sekalipun banyak pasien depresi makin bertambah berat badannya dan tidur berlebihan.
Gejala depresi berat lainnya, seperti anhedonia (ketidakmampuan utuk merasakan kesenangan), putus asa, dan hilangnya reaktivitas suasana hati (kemampuan merasakan sebuah peningkatan suasana hati dalam merespon sesuatu yang positif) sangat jarang menyertai kesedihan “normal”.. pikiran-pikiran bunuh diri dan gejala-gejala psikotik seperti delusi atau halisunasi sesungguhnya selalui mmenandai sebuah kondisi patologis.
2)   Gangguan bipolar.
Gangguan bipolar adalah sebuah gangguan suasana hati kabuhan yang menggambarkan satu atau lebih peristiwa mania atau gabungan antara mania dan depresi (DSM-IV; Goodwin & Jamison 1990). Gangguan bipolar berbeda dengan gangguan depresi berat, dikarenakan riwayat peristiwa maniak atau hipomaniak ( yang lebih ringan dan tidak psikotik) yang dialami.
F.     Metode Penelitian
1.    Jenis dan sifat penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan jenis penelitian hukum untuk perkara In-Concrito. Diman penulis mencari fakta-fakta yang akurat dan valid tentang sebuah peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini juga dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertul;is dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan perundang-undang yang berhubungan dengan ppenulisan  skripsi ini. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriftif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat  teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.
2.    Data dan sumber data
Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibagi atas 3 kelompok besar, yaitu :
a.    Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari beberapa  peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
b.    Bahan hukum sekunder diperoleh penulis dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007, keterangan, kajian, analisis tentang hukum positif seperti skripsi, makalah seminar,dll.
c.    Bahan hukum tertier yang dipergunakan penulis sebagai bahan yang mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Indonesia,Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum.
3.    Metode pengumpulan data
Alat-alat pengumpulan data, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview (Soekanto, 2007 : 50). Berdasar pendekatan yang dipergunakan dalam memperoleh data, maka alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah :
a.         Studi kepustakaan dan dokumen
            Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan ( library research ) yaitu dengan melakukan penelitina terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan pidana mati, psikologi, pendapat sarjanah, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.
b.         Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara) (Nazir, 1988 : 234).
Wawancara dipergunakan dengan tujuan-tujuan sebagai berikut :
1.    Memperoleh data mengenai persepsi manusia
2.    Mendapatkan data mengenai kepercayaan manusia
3.    Mengumpulkan data mengenai perasaan dan motivasi seseorang (atau mungkin kelompok manusia)
4.    Memperoleh data mengenai antisipasi ataupun orientasi ke masa depan dari manusia
5.    Memperoleh informasi mengenai perilaku pada masa lampau
6.    Mendapatkan data mengenai perilaku yang sifatnya sangat pribadi atau sensitif (Soekanto, 2007 : 67).




G.    Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi, maka secara garis bear sistematikanya dibagi menjadi tiga kelompok :
Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan, prakata, sari, daftar isi, table daftar, serta daftar lampiran.
Bagian isi skripsi terdiri atas :
Bab I Pendahuluan
Diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika skripsi.
Bab II Landasan Teori
Membahas landasan dan konsep-konsep serta teori-teori yang dijadikan landasan dalam penelitian.
Bab III Metode Penelitian
Membahas tentang metode pendekatan dan spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data, observasi dan metode penyajian data.
Bab IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Berisi hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian.
Bab V Kesimpulan Dan Saran
Berisi kesimpulan dari hasil penelitian, saran kepada pihak yang terkait.
Bagian akhir skripsi, berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran.




DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Boeree , C. George (2008), General Psychology: Psikologi Kepribadian, Persepsi, Kognisi, Emosi, & Perilaku. Penerbit Prismasophie: Yogyakarta.
Chaplin, J.P. (2005), Kamus Lengkap Psikologi. Penerbit PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Chazawi, Adami (2002), Pelajaran Hukum Pidana Bagian Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Krahe Barbara (2005),  The Psyhology of Aggresion, Penerbit Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Masyhar , Ali (2009), Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Sebuah Kritik Atas Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia. Penerbit Mandar Maju : Bandung.
Muladi (2004), Lembaga Pidana Bersyarat. Penerbit Alumni : Bnadung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005), Teori-teori dan Kebijakan Pidana Penerbit PT. Alumni : Bandung.
Mulyadi, Mahmud (2008), Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy  dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. Pustaka Bangsa Press : Medan.
Moeljatno (2003), KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara: Jakarta.
Prakoso, Djoko dan Nurwachid (1985), Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini. Ghalia Indonesia : Jakarta.
Purnomo, Bambang (1985), Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia : Jakarta.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 ( Uji Materil Undang-undang No.22 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana narkotika Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Saleh, Roeslan (1983), stelse Pidana Indonesia. Aksara baru : Jakarta.
Samidja (1991), Pengantar Hukum Indonesia. Amrico : Bandung.
Sudarto (1986), Hukum Dan Hukum Pidana . Penerbit Alumni; Bandung.
Tongat (2004), Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang : Malang.
Walgito Bimo (2003), Pengantar Psikologi Umum. Penerbit Andi : Yogyakarta.

Peraturan Perundang-undangan :
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( Hasil Amandemen).
Undang-undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana Psikotropika
Undang-undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana Narkotika.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang  Hak Asasi Manusia.
 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang  Pengadilan Hak Asasi Manusia
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang No. 15Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Konsep Kitab Undang-undang Hukum Pidana  Tahun 2005.

Situs/ website
http://abolishment.blogspot.com/2008/03/tinjauan-agama-hindu-atas hukuman-mati.html : Tinjauan Agama Hindu Atas Hukuman Mati,
http://cahpucuk.multiply.com/journal/item/1 : Makalah Dinamika Hak Asasi Manusia,
http://fatahila.blogspot.com/2008/09/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia.html : Pro Kontra Pidana Mati,
http://www.reformasikuhp.org/opini/wp-content/uploads/2008/05/mengenai-hukuman-mati.pdf : Catatan Atas Penggunaan Pidana Mati Di Indonesia 

0 Response to "SKRIPSI HUKUM PIDANA ANALISIS MENGENAI EKSISTENSI PIDANA MATI DI INDONESIA ( SUATU KAJIAN DARI PENGARUH PSIKOLOGIS BAGI TERPIDANA MATI)."

Posting Komentar

wdcfawqafwef

BACKLINK OTOMATIS GRATIS JURAGAN.