A.
Pendahuluan
Memasuki abadke 21 ini Indonesia dihadapkan pada masalah yang rumit seperti masalah
reformasi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, masalah krisis yang
berkepanjangan dan hingga saat ini belum tuntas, masalah kebijakan makro
pemerintah tentang sistem pemerintahan otonomi daerah yang memberdayakan
masyarakat. Kita juga menghadapi perubahan-perubahan besar dan amat
fundamental dilingkungan global. Perubahan lingkungan strategis pada tataran
global tersebut tercermin pada pembentukan forum-forum seperti GATT, WTO, dan APEC, NAFTA dan AFTA, IMG-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA, dan SOSEKMALINDO yang
merupakan usaha untuk menyongsong perdagangan bebas dimana pasti akan
berlangsung tingkat persaingan yang amat ketat. Suatu perubahan regulasi
yang semula monopoli (monopoly) menjadi persaingan bebas (freecompetition). Demikian pula, terjadi pada pasar yang pada awalnya
berorientasi pada produk (product oriented) beralih pada orientasi pasar
(market driven), serta dari proteksi (protection) berpindah menjadi
pasar bebas (free market ).
Untuk itu perlu mengantisipasi keadaan
ini dengan memperkuat kemampuan bersaing diberbagai bidang dengan pengembangan
Sumber Daya Manusia. Sayangnya SDM kita saat ini memprihatinkan, menurut UNDP.
Indonesia menempati peringkat 109 dari 174, peringkat daya saing ke 46 yang
paling bawah di kawasan Asia Tenggara, Singapura ke-2, Malaysia ke-27.
Phillipina ke 32, dan Tailand ke 34, dan termasuk negara yang paling korup
didunia.(Indra Jati Sidi, 2000). Menurut Survei Human Development Index
sebagaimana diungkapkan oleh Yutata Hadi Andoyo Direktur Direktorat
Peguruan Tinggi Swasta Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, kualitas SDM
Indonesia saat ini menduduki peringkat ke 105. Untuk ilustrasi , perangkat SDM
di kawasan Asia Tenggara yaitu Singapura menduduki peringkat 25, Brunei 26,
Malaysia 56, Thailand 57 dan Pilipina 77. (Jawa Post, 11 Juli 2000).
Dalam upaya peningkatan SDM, peranan
pendidikan cukup menonjol. Oleh karena itu sangat penting bagi pembangunan nasional
untuk memfokuskan peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu akan
diperoleh pada sekolah yang bermutu, dan sekolah yang bermutu akan
menghasilkan SDM yang bermutu pula.
Sementara itu rendahnya mutu SDM
signifikan dengan rendahnya mutu pendidikan tinggi, sebagaimana data yang
dipaparkan oleh Dr Ibrahim Musa MA, Dosen FKIP Universitas Terbuka sesuai
survey Asia Week, mengungkap rendahnya peringkat universitas terbaik di tanah
air diantara universitas-universitas terbaik di Asia Pasifik. Dari 77
universitas yang disurvey, empat universitas terbaik dalam standar Indonesia
menempati urutan bawah, UI peringkat ke-61, UGM ke-68, Undip ke-73, dan Unair
ke-75 (Republika, 22/4/02).
Berkaitan dengan mutu, Joseph. M.
Juran yang pikiran-pikirannya begitu terkenal dan berpengaruh di Jepang
sehingga pada tahun 1981 dia dianugerahi Order of the Sacred Treasure
oleh Kaisar Jepang, mengemukakan bahwa 85% dari masalah-masalah mutu terletak
pada manajemen (pengelolaan), oleh sebab itu sejak dini manajemen haruslah
dilaksanakan seefektif dan seefisien mungkin. (M. Jusuf Hanafiah
dkk, 1994:101). Salah satu bentuk manajemen yang berhasil dimanfaatkan dalam
dunia industri dan bisa diadaptasi dalam dunia pendidikan adalah TQM (totalquality management) pada sistem pendidikan yang sering disebut sebagai: TotalQuality Management in Education (TQME).
B.
Konsep Manajemen Peningkatan Mutu Pada Industri Modern
Manajemen
sekolah seyogyanya memahami pula perkembangan manajemen sistem industri modern,
sehingga mampu mendesain, menerapkan, mengendalikan, dan meningkatkan kinerja
sistem pendidikan yang memenuhi kebutuhan manajemen sistem industri
modern. Hal ini dimaksudkan agar setiap lulusan dari sekolah mampu dan cepat
beradaptasi dengan kebutuhan sistem industri modern. Dengan demikian sebelum
membahas tentang sistem pendidikan di sekolah, perlu diketahui tentang konsep
dasar sistem industri modern yang akan dipergunakan sebagai landasan utama
untuk membahas penerapan TQME pada sistem pendidikan modern di
Indonesia.
Total
quality manajement
merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk
memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas
produk, jasa, tenaga kerja, proses dan lingkungannya. (Fandi, 1995 dalam M.N
Nasution, 2001:28). Untuk mencapai usaha tersebut digunakan sepuluh
unsur utama TQM, yaitu fokus pada pelanggan, obsesi terhadap qualities,
pendekatan ilmiah, komitmen jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan
kerkesinambungan, pendidikan dan latihan, kebebasan terkendali, kesatuan
tujuan, dan ketertiban serta pemberdayaan karyawan. (Goetsch dan Davis, 1994
dalam M.N. Nasution, 2000:29-30). Ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu :
kepuasan pelanggan, respek terhadap setiap orang, manajemen berdasarkan fakta,
dan perbaikan berkesinambungan (Hensler dan Brunnel dalam M.N Nasution,
2001:33-34).
Pada dasarnya
proses industri harus dipandang sebagai suatu peningkatan terus-menerus (continuous
industrial process improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak
adanya ide-ide untuk menghasilkan suatu produk, pengembangan produk, proses
produksi, sampai distribusi kepada konsumen. Seterusnya, berdasarkan informasi
sebagai umpan-balik yang dikumpulkan dari pengguna produk (pelanggan) itu dapat
dikembangkan ide-ide kreatif untuk menciptakan produk baru atau memperbaiki
produk lama beserta proses produksi yang ada saat ini. (Vincent
Gaspersz,2000:1)
Agar peningkatan proses industri dapat
berjalan secara konsisten, maka dibutuhkan manajemen sistem industri, yang pada
umumnya akan dikelola oleh lulusan perguruan tinggi. Konsep sistem industri dan
manajemen sistem industri ditunjukkan dalam Gambar 1. Dari Gambar 1 tampak
bahwa manajemen sistem industri terdiri dari dua konsep, yaitu: (1) konsep
manajemen dan (2) konsep sistem industri. Suatu sistem industri mengkonversi input
yang berasal dari pemasok menjadi output untuk digunakan oleh pelanggan,
sedangkan manajemen sistem industri memproses informasi yang berasal dari
sistem industri, pelanggan, dan lingkungan melalui proses manajemen untuk
menjadi keputusan atau tindakan manajemen guna meningkatkan efektivitas dan
efisiensi sistem industri.
Berdasarkan konsep manajemen sistem industri modern di
atas, maka setiap lulusan perguruan tinggi yang akan bekerja dalam sistem
industri harus memiliki kemampuan solusi masalah-masalah industri yang
berkaitan dengan bidang ilmu yang dikuasainya berdasarkan informasi yang
relevan agar menghasilkan keputusan dan tindakan untuk meningkatkan kinerja
sistem industri tersebut. (Vincent Gaspersz,2000:1)
C. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Ada tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu
: kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational
production function atau input-input analisis yang tidak consisten;
2) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik; 3) peran serta
masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat
minim (Husaini Usman, 2002).
Berdasarkan penyebab tersebut dan dengan adanya era
otonomi daerah yang sedang berjalan maka kebijakan strategis yang diambil
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu
pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah (school based management) dimana sekolah
diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara
keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (communitybased education) di mana terjadi interaksi yang positif antara sekolah
dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning center; dan (3)
Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan
menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia
yang diberdayakan. Selain itu pada tanggal 2 Mei 2002, bertepatan hari
pendidikan nasional, pemerintah telah mengumumkan suatu gerakan nasional untuk
peningkatan mutu pendidikan, sekaligus menghantar perluasan pendekatan BroadBase Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar
untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap
siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi
pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab
dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru
dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup
yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia
akhirat
Untuk merealisasikan kebijakan diatas maka sekolah perlu
melakukan manajemen peningkatan mutu. Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) ini
merupakan suatu model yang dikembangkan di dunia pendidikan, seperti yang telah
berjalan di Sidney, Australia yang mencakup : a) School Review, b) Quality
Assurance, dan c) Quality Control, dipadukan dengan model yang dikembangkan
di Pittsburg, Amerika Serikat oleh Donald Adams, dkk. Dan model peningkatan
mutu sekolah dasar yang dikembvangkan oleh Sukamto, dkk. Dari IKIP Yogyakarta
(Hand Out, Pelatihan calon Kepala Sekolah).
Manajemen peningkatan mutu sekolah adalah suatu metode
peningkatan mutu yang bertumpu pada sekolah itu sendiri, mengaplikasikan
sekumpulan teknik, mendasarkan pada ketersediaan data kuantitatif &
kualitatif, dan pemberdayaan semua komponen sekolah untuk secara
berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasi sekolah guna
memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Dalam Peningkatan Mutu yang
selanjutnya disingtkat MPM, terkandung upaya a) mengendalikan proses yang
berlangsung di sekolah baik kurikuler maupun administrasi, b) melibatkan proses
diagnose dan proses tindakan untuk menindak lanjuti diagnose, c) memerlukan
partisipasi semua fihak : Kepala sekolah, guru, staf administrasi, siswa, orang
tua dan pakar.
Berdasarkan pengertian di atas dapat difahami bahwa Manajemen
Peningkatan Mutu memiliki prinsip :
1. Peningkatan mutu harus
dilaksanakan di sekolah
2. Peningkatan mutu hanya
dapat dilaksanakan dengan adanya kepemimpinan yang baik
3. Peningkatan mutu harus
didasarkan pada data dan fakta baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif
4. Peningkatan mutu harus
memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di sekolah
5. Peningkatan mutu memiliki
tujuan bahwa sekolah dapat memberikan kepuasan kepada siswa, orang tua dan
masyarakat. (Hand out, pelatihan calon kepala sekolah :2000)
Adapun
penyusunan program peningkatan mutu dengan mengaplikasikan empat teknik : a) school
review, b) benchmarking, c) quality assurance, dan d) quality
control. Berdasarkan Panduan Manajemen Sekolah (2000:200-202)
dijelaskan sebagai berikut :
a. School
review
Suatu proses dimana
seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga
profesional (ahli) untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah, serta
mutu lulusan.
School review dilakukan untuk menjawab
pertanyaan berikut :
1. Apakah yang
dicapai sekolah sudah sesuai dengan harapan orang tua
siswa dan siswa sendiri ?
2. Bagaimana prestasi
siswa ?
3. Faktor apakah yang
menghambat upaya untuk meningkatkan mutu ?
4. Apakah
faktor-faktor pendukung yang dimiliki sekolah ?
School
review
akan menghasilkan rumusan tentang kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan dan
prestasi siswa, serta rekomendasi untuk pengembangan program tahun mendatang.
b.
Benchmarking :
Suatu kegiatan
untuk menetapkan standar dan target yang akan dicapai dalam suatu periode
tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok
ataupun lembaga.
Tiga
pertanyaan mendasar yang akan dijawab oleh benchmarking adalah :
1. Seberapa baik kondisi kita?
2. Harus menjadi seberapa
baik?
3. Bagaimana cara untuk
mencapai yang baik tersebut?
Langkah-langkah
yang dilaksanakan adalah :
1. Tentukan fokus
2. Tentukan aspek/variabel
atau indikator
3. Tentukan standar
4. Tentukan gap (kesenjangan)
yang terjadi.
5. Bandingkan standar dengan
kita
6. Rencanakan target untuk mencapai
standar
7. Rumuskan cara-cara program
untuk mencapai target
c. Quality
assurance
Suatu teknik untuk
menentukan bahwa proses pendidikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya.
Dengan teknik ini akan dapat dideteksi adanya penyimpangan yang terjadi pada
proses. Teknik menekankan pada monitoring yang berkesinambungan, dan melembaga,
menjadi subsistem sekolah.
Quality
assurance
akan menghasilkan informasi, yang :
1. Merupakan umpan balik bagi
sekolah
2. Memberikan jaminan bagi
orang tua siswa bahwa sekolah senantiasa memberikan pelayanan terbaik bagi
siswa.
Untuk melaksanakan quality
assurance menurut Bahrul Hayat dalam hand out pelatihan Calon kepala
sekolah (2000:6), maka sekolah harus :
1. Menekankan pada kualitas
hasil belajar
2. Hasil kerja siswa dimonitor
secara terus menerus
3. Informasi dan data dari
sekolah dikumpulkan dan dianalisis untuk memperbaiki proses di sekolah.
4. Semua pihak mulai kepala
sekolah, guru, pegawai administrasi, dan juga orang tua siswa harus memiliki
komitmen untuk secara bersama mengevaluasi kondisi sekolah yang kritis dan
berupaya untuk
memperbaiki.
d. Quality
control
Suatu sistem untuk
mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan
standar. Quality control memerlukan indikator kualitas yang jelas dan
pasti, sehingga dapat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi.
D. Manajemen Mutu Terpadu Di Sekolah
Manajemen Mutu
Terpadu yang diterjemahkan dari Total Quality Management (TQM) atau
disebut pula Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan mutu
pendidikan melalui peningkatan mutu komponen terkait. M. Jusuf Hanafiah, dkk
(1994:4) mendefinisikan Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan
yang sistematis, praktis, dan strategis dalam menyelenggarakan suatu
organisasi, yang mengutamakan kepentingan pelanggan. pendekatan ini bertujuan
untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu. Sedang yang dimaksud dengan
Pengeloaan Mutu Total (PMT) Pendidikan tinggi (bisa pula sekolah) adalah cara
mengelola lembaga pendidikan berdasarkan filosofi bahwa meningkatkan mutu harus
diadakan dan dilakukan oleh semua unsur lembaga sejak dini secara terpadu
berkesinambungan sehingga pendidikan sebagai jasa yang berupa proses pembudayaan
sesuai dengan dan bahkan melebihi kebutuhan para pelanggan baik masa kini
maupun yang akan datang.
Komponen yang
terkait dengan mutu pendidikan yang termuat dalam buku Panduan Manajemen
Sekolah (2000: 191) adalah 1) siswa : kesiapan dan motivasi belajarnya,
2) guru : kemampuan profesional, moral kerjanya (kemampuan personal), dan
kerjasamanya (kemampuan social). 3) kurikulum : relevansi konten dan
operasionalisasi proses pembelajarannya, 4) dan, sarana dan prasarana :
kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran, 5) Masyarakat
(orang tua, pengguna lulusan, dan perguruan tinggi) : partisipasinya dalam
pengembangan program-program pendidikan sekolah. Mutu komponen-komponen
tersebut di atas menjadi fokus perhatian kepala sekolah.
Adapun prinsip
dari MMT dalam buku tersebut yaitu selama ini sekolah dianggap sebagai suatu
Unit Produksi, dimana siswa sebagai bahan mentah dan lulusan sekolah sebagai
hasil produksi. Dalam MMT sekolah dipahami sebagai Unit Layanan Jasa,
yakni pelayanan pembelajaran.
Sebagai unit
layanan jasa, maka yang dilayani sekolah (pelanggan sekolah ) adalah: 1)
Pelanggan internal : guru, pustakawan, laboran, teknisi dan tenaga
administrasi, 2) Pelanggan eksternal terdiri atas : pelanggan primer (siswa),
pelanggan sekunder (orang tua, pemerintah dan masyarakat), pelanggan tertier
(pemakai/penerima lulusan baik diperguruan tinggi maupun dunia usaha).
E.
Permasalahan
Masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan manajemen
peningkatan mutu pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah, dkk adalah :
pertama sikap mental para pengelola pendidikan, baik yang memimpin maupun yang
dipimpin. Yang dipimpin bergerak karena perintah atasan, bukan karena rasa
tanggung jawab. Yang memimpin sebaliknya, tidak memberi kepercayaan, tidak
memberi kebebasan berinisiatif, mendelegasikan wewenang.
Masalah kedua adalah tidak adanya tindak lanjut dari
evaluasi program. Hampir semua program dimonitor dan dievaluasi dengan baik,
Namun tindak lanjutnya tidak dilaksanakan. Akibatnya pelaksanaan pendidikan
selanjutnya tidak ditandai oleh peningkatan mutu.
Masalah ketiga adalah gaya kepemimpinan yang tidak
mendukung. Pada umumnya pimpinan tidak menunjukkan pengakuan dan penghargaan
terhadap keberhasilan kerja stafnya. Hal ini menyebabkan staf bekerja tanpa
motivasi. Masalah keempat adalah kurangnya rasa memiliki pada para
pelaksana pendidikan. Perencanaan strategis yang kurang dipahami para
pelaksana, dan komunikasi dialogis yang kurang terbuka. Prinsip melakukan
sesuatu secara benar dari awal belum membudaya. Pelaksanaan pada umumnya akan
membantu sustu kegiatan, kalau sudah ada masalah yang timbul. Hal inipun
merupakan kendala yang cukup besar dalam peningkatan dan pengendalian mutu. (M.
Jusuf Hanafiah dkk, 1994:8).
F. Analisis Masalah Dan Pemecahan
Masalah
Sikap mental bawahan yang bekerja bukan atas tanggung
jawab, tetapi hanya karena diperintah atasan akan membuat pekerjaan yang
dilaksanakan hasilnya tidak optimal. Guru hanya bekerja berdasarkan
petunjuk dari atas, sehingga guru tidak bisa berinisitiaf sendiri. Sementara
itu pimpinan sendiri punya sikap mental yang negatif dimana ia tidak bisa
memberikan kesempatan bagi bawahan untuk berkarir dengan baik, bawahan harus
mengikuti pada petunjuk atasan, bawahan yang selalu dicurigai, bawahan yang
tidak bisa bekerja sesuai dengan caranya. Kenyatan ini karena profil kepala
sekolah yang belum menampilkan gaya entrepeneur dan gaya memimpin
situasional.
Penelitian Usman (1996) menyimpulkan bahwa pelaksanaan
Pengembangan Sekolah Seutuhnya (PSS)
di SMK mengalami kegagalan karena kepala sekolahnya masih cenderung manampilkan
gaya kepemimpinan otoriter, hal ini karena lemahnya kemandirian sekolah akibat
pembinaan pemerintah yang sangat sentralistik. Birokratik, formalistik,
konformistik, uniformistik dan mekanistik. Pembinaan yang demikian ini tidak
memberdayakan potensi sekolah. Akibatnya, setiap hierarki yang berada di
bawah kekuasaan bersikap masa bodoh, apatis, diam supaya aman, menunggu
perintah, tidak kreatif dan tidak inovatif, kurang berpartisipasi dan kurang
bertanggung jawab, membuat laporan asal bapak senang dan takut mengambil
resiko.
Kelemahan sistem sentralistik dengan komunikasi
dari atas ke bawah lebih menekankan fingsinya sebagai line of command
dan tidak fungsinya sebagai line of services, hal ini tampaknya
merintangi perkembangan-perkembangan potensi SDM untuk memcahkan
masalah-masalah khusus on the spot (Sutisna, 1972 dalam Husaini Usman,
2001).Hal tersebut merupakan penghalang dalam pelaksanaan manajemen mutu
pendidikan, maka solusinya adalah dengan diadakannya penerapan pendidikan yang
tidak sentralistik, sehingga pola manajemen pendidikan dapat disesuaikan dari
pola lama ke pola baru.
Program peningkatan mutu
pendidikan tidak akan jalan jika setelah diadakannya monitoring dan evaluasi
tanpa ditindaklanjuti. Fungsi pengawasan (controlling) dalam manajemen
berguna untuk membuat agar jalannya pelaksanaan manajemen mutu sesuai dengan
rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Pengawasan bertujuan untuk menilai
kelebihan dan kekurangan. Apa-apa yang salah dintinjau ulang dan segera
diperbaiki. Tidak adanya tindak lanjut bisa disebabkan karena rendahnya
etos kerja para pengelola pendidikan, iklim organisasi yang tidak menyenangkan.
Mengenai etos kerja Pidarta (1998), mengutip hasil penelitian Internasional
bahwa Indonesia sebagai bangsa termalas nomor tiga dari 42 negara termalas di
dunia. Temuan Pidarta tersebut mendukung temuan Muchoyar (1995, dan Rasyid,
1995 dalam Husaini Usman) yang menyatakan etos kerja dosen dan karyawan IKIP
cenderung rendah.
Agar program dapat
dimonitor dan ditindaklanjuti maka perlu melibatkan semua pihak untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan partisipatif
ialah suatu cara pengambilan keputusan yang terbuka dan demokratis yang melibatkan
seluruh stakeholders di dewan sekolah. Asumsinya jika seseorang diundang
untuk pengambilan keputusan, maka ia kan merasa dihargai, dilibatkan, memiliki,
bertanggung jawab. Pelibatan stakeholders didasarkan keahlian, batas
kewenangan, dan relevansinyan dengan tujuan pengambilan keputusan.
Gaya kepemimpinan yang tidak mendukung, akan
mengakibatkan gagalnya pelaksanaan manajemen peningkatan mutu. Kepala sekolah
harus senantiasa memahami sekolah sebagai suatu sistem organic. Untuk
itu kepala sekolah harus lebih berperan sebagai pemimpin dibandingkan sebagai
manager. Sebagai leader maka kepala sekolah harus :
a. Lebih banyak mengarahkan daripada
mendorong atau memaksa
b. Lebih bersandar pada kerjasama dalam
menjalankan tugas dibandingkan bersandar pada kekuasaan atau SK.
c. Senantiasa menanamkan kepercayaan
pada diri guru dan staf administrasi. Bukannya menciptakan rasa takut.
d. Senantiasa menunjukkan bagaimana cara
melakukan sesuatu daripada menunjukkan bahwa ia tahu sesuatu.
e. Senantiasa mengembangkan suasana
antusias bukannya mengembangkan suasana yang menjemukan
f. Senantiasa memperbaiki
kesalahan yang ada daripada menyalahkan kesalahan pada seseorang, bekerja
dengan penuh ketangguhan bukannya ogah-ogahan karena serba kekurangan(Boediono,1998).
Menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997
dalam slamet, PH, 2000), kepala sekolah merupakan salah satu sumberdaya sekolah
yang disebut sumberdaya manusia jenis manajer (SDM-M) yang memiliki tugas dan
fungsi mengkoordinasikan dan menyerasikan sumberdaya manusia jenis
pelaksana (SDM-P) melalui sejumlah input manajemen agar SDM-P
menggunakan jasanya untuk bercampur tangan dengan sumberdaya selebihnya
(SD-slbh), sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik untuk
menghasilkan output yang diharapkan.
Secara umum, karakteristik kepala
sekolah tangguh dapat dituliskan sebagai berikut (Slamet, PH,2000) :
Kepala sekolah: (a) memiliki wawasan
jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta
paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi); (b) memiliki kemampuan
mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumberdaya terbatas yang ada untuk
mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolah (yang umumnya tak
terbatas); (c) memiliki kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat,
tepat, cekat, dan akurat); (d) memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya yang
ada untuk mencapai tujuan dan yang mampu menggugah pengikutnya untuk melakukan
hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya; (e) memiliki toleransi terhadap
perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang yang mirip dengannya,
akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang meremehkan
kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai; (f) memiliki kemampuan memerangi
musuh-musuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat
keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan, kaku, dan bermuka dua
dalam bersikap dan bertindak.
1.
Kepala sekolah menggunakan "pendekatan sistem" sebagai dasar cara
berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah. Oleh karena
itu, kepala sekolah harus berpikir sistem (bukan unsystem), yaitu
berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara runtut (tidak meloncat-loncat),
berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-lintas disiplin
(tidak parosial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu
akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya); berpikir
"sebab-akibat" (ingat ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan);
berpikir interdipendensi dan integrasi, berpikir eklektif (kuantitatif +
kualitatif), dan berpikir sinkretisme.
2.
Kepala sekolah memiliki input manajemen yang lengkap dan jelas, yangditunjukkan
oleh kelengkapan dan kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan, yang
disertai fungsi, kewenangan, tanggungjawab, kewajiban, dan hak), rencana
(diskripsi produk yang akan dihasilkan), program (alokasi sumberdaya untuk
merealisasikan rencana), ketentuan-ketentuan/limitasi (peraturan
perundang-undangan, kualifikasi, spesifikasi, metoda kerja, prosedur kerja,
dsb.), pengendalian (tindakan turun tangan), dan memberikan kesan yang baik
kepada anak buahnya.
3.
Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya sebagai manajer
(mengkoordinasi dan menyerasikan sumberdaya untuk mencapai tujuan), pemimpin
(memobilisasi dan memberdayakan sumberdaya manusia), pendidik (mengajak nikmat
untuk berubah), wirausahawan (membuat sesuatu bisa terjadi), penyelia
(mengarahkan, membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat
situasi kehidupan kerja nikmat), pengurus/administrator (mengadminitrasi),
pembaharu (memberi nilai tambah), regulator (membuat aturan-aturan sekolah),
dan pembangkit motivasi (menyemangatkan). Catatan: manajer tangguh,
menurut hasil-hasil penelitian kelas kakap dunia, paling tidak memiliki
sejumlah kompetensi seperti berikut. Menurut Enterprising Nation (1995),
manajer tangguh memiliki delapan kompetensi, yaitu: (a) people skills,
(b) strategic thinker, (c) visionary, (d) flexible and
adaptable to change, (e) self-management, (f) team player,
(g) ability to solve complex problem and make decisions, and (h) ethical/high
personal standards. Sedang American Management Association (1998)
menuliskan 18 kompetensi yang harus dimiliki manajer tangguh, yaitu: (a) efficiency
orientation, (b) proactivity, (c) concern with impact,
(d) diagnostic use of concepts, (e) use of unilateral power, (f) developing
others, (g) spontaneity, (h) accurate self-assessment, (i)
self-control, (j) stamina and adaptability, (k) perceptual
objectivity, (l) positive regard, (m) managing group
process, (n) use of sosialized power, (o) self-confidence,
(p) conceptualization, (q) logical thought, and (r) use of
oral presentation.
4.
Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas
(apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal, yang dapat
diuraikan sebagai berikut: (a) dimensi tugas terdiri dari: pengembangan
kurikulum, manajemen personalia, manajemen kesiswaan, manajemen fasilitas,
pengelolaan keuangan, hubungan sekolah-masyarakat, dsb; (b) dimensi proses,
meliputi pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program,
pengkoordinasian, pemotivasian, pemantauan dan pengevaluasian, dan pengelolaan
proses belajar mengajar; (c) dimensi lingkungan meliputi pengelolaan waktu,
tempat, sumberdaya, dan kelompok kepentingan; dan (d) dimensi keterampilan
personal meliputi organisasi diri, hubungan antar manusia, pembawaan diri,
pemecahan masalah, gaya bicara dan gaya menulis (Lipham, 1974; Norton, 1985).
5.
Kepala sekolah mampu menciptakan tantangan kinerja sekolah (kesenjangan
antara kinerja yang aktual/nyata dan kinerja yang diharapkan). Berangkat dari
sini, kemudian dirumuskan sasaran yang akan dicapai oleh sekolah, dilanjutkan
dengan memilih fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, lalu
melakukan analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, Threat) untuk
menemukan faktor-faktor yang tidak siap (mengandung persoalan), dan
mengupayakan langkah-langkah pemecahan persoalan. Sepanjang masih ada
persoalan, maka sasaran tidak akan pernah tercapai.
6. Kepala
sekolah mengupayakan teamwork yang kompak/kohesif dan cerdas, serta
membuat saling terkait dan terikat antar fungsi dan antar warganya, menumbuhkan
solidaritas/kerjasama/kolaborasi dan bukan kompetisi sehingga terbentuk iklim
kolektifitas yang dapat menjamin kepastian hasil/output sekolah.
7.
Kepala sekolah menciptakan situasi yang dapat menumbuhkan kreativitas dan
memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi-eksperimentasi
untuk menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru, meskipun hasilnya tidak selalu
benar (salah). Dengan kata lain, kepala sekolah mendorong warganya untuk
mengambil dan mengelola resiko serta melindunginya sekiranya hasilnya salah.
8.
Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan menciptakan sekolah
belajar .
9.
Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan melaksanakan Manajemen
Berbasis Sekolah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan
manajemen, yaitu pergeseran dari Manajemen Berbasis Pusat menuju Manajemen
Berbasis Sekolah (dalam kerangka otonomi daerah). Untuk lebih jelasnya, lihat
Gambar 2 "Pergeseran Kebijakan dari Manajemen Berbasis Pusat menuju
Manajemen Berbasis Sekolah" (Slamet PH, 2000).
10.
Kepala sekolah memusatkan perhatian pada pengelolaan proses belajar mengajar
sebagai kegiatan utamanya, dan memandang kegiatan-kegiatan lain sebagai penunjang/pendukung
proses belajar mengajar. Karena itu, pengelolaan proses belajar mengajar
dianggap memiliki tingkat kepentingan tertinggi dan kegiatan-kegiatan lainnya
dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih rendah.
11.
Kepala sekolah mampu dan sanggup memberdayakan sekolahnya (Slamet PH, 2000),
terutama sumberdaya manusianya melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan
sumberdaya.
Kurangnya rasa memilikipada
para pelaksana pendidikan. Perencanaan strategis yang kurang dipahami para
pelaksana, dan komunikasi dialogis yang kurang terbuka. Prinsip melakukan
sesuatu secara benar dari awalï belum membudaya merupakan penghalang dalam
pelaksanaan manajemen peningkatan mutu. Untuk itu perlu ditanamkan kepada warga
sekolah untuk mempunyai asa memiliki bangga terhadap sekolahnya. Hal ini bisa
terlaksana jika para warga sekolah itu merasa puas terhadap pelayanan sekolah.
Dalam MMT (Manajemen Mutu
Terpadu) keberhasilan sekolah diukur dari tingkat kepuasan pelanggan, baik
internal maupun eksternal. Sekolah dikatakan berhasil jika mampu memberikan
pelayanan sama atau melebihi harapan pelanggan. Dilihat jenis pelanggannya,
maka sekolah dikatakan berhasil jika :
1. Siswa puas dengan layanan
sekolah, antara lain puas dengan pelajaran yang diterima, puas dengan perlakuan
oleh guru maupun pimpinan, puas dengan fasilitas yang disediakan sekolah.
Pendek kata, siswa menikmati situasi sekolah.
2. Orang tua siswa puas dengan
layanan terhadap anaknya maupun layanan kepada orang tua, misalnya puas karena
menerima laporan periodik tentang perkembangan siswa maupun program-program
sekolah.
3. Pihak pemakai/penerima
lulusan (perguruan tinggi, industri, masyarakat) puas karena menerima lulusan
dengan kualitas sesuai harapan
4. Guru dan karyawan puas
dengan pelayanan sekolah, misalnya pembagian kerja, hubungan
antarguru/karyawan/pimpinan, gaji/honorarium, dan sebagainya. (Panduan
Manajemen Sekolah, 2000:193).
G. Kesimpulan Dan Saran
Berdasarkan uraian diatas
maka dapat penulis disimpulkan sebagai berikut :
1. Berdasarkan
rendahnya mutu SDM pada era otomomi daerah dan menyongsong era global, maka
perlu bagi pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Dalam
perbaikan mutu pendidikan tersebut manajemen mutu yang diadaptasi dari TotalQuality Management yang ada Industri Modern, layak untuk diadaptasai dalam
Manajemen Pendidikan. Pada prinsipnya manajemen mutu ini berbasis sekolah
memberdayakan semua komponen sekolah, dan sekolah sebagai unit produksi yang
melayani siswa, orang tua, pihak pemakai/penerima lulusan, dan guru/karyawan.
2. Masalah yang
dihadapi dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu adalah sikap mental para
pengelola pendidikan, tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi program, gaya
kepemimpinan yang tidak mendukung, kurangnya rasa memiliki para pelaksana
pendidikan. Dan belum membudayanya prinsip melakukan sesuatu secara benar dari
awal. Kendala-kendala itu disebabkan oleh adanya kepemimpinan yang tidak
berjiwa entrepeneur dan tidak tangguh, adanya sentralistrik manajemen
pendidikan, dan rendahnya etos kerja apara pengelola, kurangnya melibatkan
semua pihak untuk berpartisipasi.
Dari kesimpulan
tersebut penulisan ini perlu penulis sarankan sebagai berikut :
1. Manajemen
Peningkatan Mutu yang sering di seminarkan dan dikenalkan pada dunia
pendidikan, ternyata banyak warga sekolah terutama guru yang belum tahu, kenal,
dan memahami. Kebanyakan hanya diketahui oleh kepala sekolah, dan calon kepala
sekolah. Disarankan agar hal ini disebarluaskan dan betul-betul bisa
dilaksanakan di sekolah-sekolah.
2. Perlu
ditingkatkan etos kerja, motivasi, kerjasama tim, moral kerja yang baik, punya
rasa memiliki, mau bekerja keras agar Manajemen Mutu Pendidikan dapat
terlaksana secara optimal sehingga mampu menghasilkan Mutu SDM. Disamping itu
diperlukan seorang kepala sekolah yang berjiwa pemimpin dengan visi yang baik.
DAFTAR
PUSTAKA :
Anonim, 2000. Panduan
Manajemen Sekolah, Depdiknas, Dikmenum
Anonim, 2000. Manajemen
Mutu Terpadu dalam Pendidikan/Kultur Sekolah, Depdiknas, hand out pelatihan
calon kepala sekolah, Direktorat Sekolah lanjutan Pertama, 2000
Gaspersz,
Vincent. 2000. Penerapan Total Management In Education (TQME) Pada Perguruan
Tinggi di Indonesia, Jurnal Pendidikan (online), Jilid 6, No. 3 (http://www.ut.ac.id diakses 20 Januari 2001).
Hanafiah, M.
Jusuf, dkk, 1994. Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, Badan
Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri
Nasution, MN,
2000. Manajemen Mutu Terpadu, Ghalia Indonesia, Jakarta
Slamet, PH.
2000. Karakteristik Kepala Sekolah Yang Tangguh, Jurnal Pendidikan, Jilid
3, No. 5 (online) (http://www.ut.ac.id diakses 20 Januari 2001).
Usman,
Husaini, Peran Baru Administrasi Pendidikan dari Sistem Sentralistik Menuju
Sistem Desentralistik, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2001, Jilid
8, Nomor 1.
0 Response to "KARYA TULIS ILMIAH PENDIDIKAN MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN"
Posting Komentar