Direktorat
Jenderal Peraturan Peraturan Perundang-undangan pada hari Senin, tanggal 24 Mei
2010 menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bertempat di Hotel Maharani-Jakarta. Adapun
yang menjadi pembicara dalam sosialisasi tersebut adalah Prof. Dr. Harkristuti
Harkrisnowo, S.H., M.H., P.hd. (Pembicara Utama), Hadi Supeno (Pembahas I), Hj. DS Dewi, S.H.,M.H (Pembahas II), Dr.
Suharyono AR, S.H., M.H (Moderator). Acara Sosialisasi ini dihadiri berbagai
kalangan, antara lain dari Kementerian dan Non Kementerian, Mahkamah Agung,
Kejaksaan Agung, Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, Kepolisian, Praktisi
Hukum, Akademisi, Lembaga Donor dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berjumlah
kurang lebih 100 (seratus) peserta.
Sosialisasi
Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Pidana Anak dimaksudkan untuk memperoleh masukan-masukan dari
berbagai kalangan guna penyempurnaan sebelum draft Rancangan Undang-Undang Pengadilan
Pidana Anak disampaikan oleh Tim Penyusun kepada Presiden yang selanjutnya
diajukan ke DPR untuk dibahas menjadi Undang-Undang.
Beberapa
pertimbangan dan alasan yang menjadi landasan perubahan Undang-Undang 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu sebagai
berikut:
1.
bahwa anak merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan
keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Dimana dalam konstitusi Indonesia
anak memiliki peran strategis, hal ini
secara tegas dinyatakan dalam konstitusi bahwa Negara menjamin setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu kepentingan
terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan
hidup umat manusia. Konsekwensi dari ketentuan Pasal 28 B Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat
kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi anak;
2.
bahwa Indonesia telah mengesahkan
Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) pada
tanggal 26 Januari 1990 yang mengatur mengenai prinsip perlindungan hukum
terhadap anak;
3.
bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak sudah
tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan
perlindungan kepada anak yang
berhadapan dengan hukum khususnya hukum pidana, sehingga perlu diganti dengan
undang-undang baru;
Jalannya
Sosialisasi :
1.
Laporan Ketua Panitia
Penyelenggara oleh Direktur Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan yang disampaikan oleh Kasubdit Kerja Sama Peraturan
Perundang-undangan.
2.
Sambutan Direktur Jenderal
Peraturan Perundang-undangan yang sekaligus membuka acara Sosialisasi Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Pidana Anak. Ada 3 (tiga) hal penting yang ditegaskan dalam sambutan Bapak
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
a.
Tidak seorang anak pun dapat dirampas
kemerdekaannya secara melawan hukum atau secara sewenang-wenang;
b.
Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan
dipisahkan dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan dengan keluarganya;
c.
Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak
memperoleh bantuan hukum, berhak melawan serta menentukan dasar hukumnya.
3.
Sosiliasasi dipandu
oleh moderator yang didahului membacakan Curriculum Vitae (CV) pembicara,
pembahas dan narasumber. Kemudian mengarahkan jalannya acara dengan menentukan
waktu pembahasan kepada masing-masing pembicara untuk menyampaikan bahasannya
sekitar 20 (dua puluh) menit dan dilanjutkan sessi tanya/jawab.
Pembicara Utama :
Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo,
P.hd., S.H., M.H.
Judul Makalah : “RUU Pengadilan Pidana Anak: Suatu Telaah
Ringkas”
Pembicara
utama memaparkan hal-hal pokok terkait dengan subtansi RUU Pengadilan Pidana
Anak, sebagai berikut:
1.
Hak anak merupakan
hak konstitusi, yang dirumuskan dalam Konstitusi (khususnya amandemen II). Kemudian dirumuskan dalam bab khusus dalam UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan ditegaskan kembali dalam UU
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang sebelumnya dalam Keppres
Nomor 36 Tahun 1990 yang mengesahkan Conventionon the Right of the Child.
2.
Hak anak dalam proses
peradilan:
·
tidak dianiaya,
disiksa, atau dihukum secara tidak manusiawi;
·
tidak dijatuhi pidana
mnati, atau seumur hidup;
·
tidak dirampas
kebebasannya secara melawan hokum;
·
tidak titangkap,
ditahan atau dipenjara secara melawan hukum;
·
diperlakukan secara
manusiawi dalam proses peradilan pidana
·
hak atas bantuan
hukumdan memperoleh keadilan dalam pengadilan anak.
3.
Anak perlu
perlindungan khusus karena belum dewasa secara jasmani dan rohani dan anak harus
dipersiapkan untuk menjalani hidup sendiri dalam masyarakat dan dibesarkan
dalam semangat perdamaian, martabat, toleransi, kebebasan, kesetaraan dan
kebersamaan.
4.
Kondisi anak dalam
SPPA:
·
mayoritas anak yang
yang berhadapan dengan hukum (ABH), yang masuk kedalam sistem peradilan pidana,
dirampas kemerdekaannya;
·
anak yang dihadapkan
ke pengadilantidak didampingi advokat;
·
anak jalanan yang
menjadi ABH, sanksi pidana yang diancamkan < 5 tahun seringkali ditahan
karena tidak ada yang menjamin;
·
media massa lebih
tertarik terhadap isu anak dalam konteks violet
crime saja;
·
anak-anak yang masuk
ke dalam RUTAN atau LAPAS belum terpenuhi hak-haknya;
·
anak yang dipenjara
ditempatkan di bangunan bercampur dengan
5.
RUU ini adalah “penggantian” bukan “perubahan” karena
RUU ini mengganti UU Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, dengan loopholes
sebagai berikut:
·
Cakupan ‘anak nakal’
(melakukan tindak pidana atau tindakan yang melanggar living law).
·
Usia
pertanggungjawaban pidana anak
·
Belum dimasukkan
asas-asas dalam Beijing Rules
·
Tidak secara expressis verbis menyatakan bahwa
perampasan kemerdekaan adalah measure of the
last resort
6.
Beberapa perubahan
yang masuk dalam RUU ini, adalah:
·
Filosofis sistem
peradilan anak berlandaskan ada prinsip non-diskriminasi dan kepentingan
terbaik bagi anak, kewajiban Negara, masyarakat dan keluarga untuk melindungi
anak.
·
Cakupan ‘anak’ meliputi usia pertanggungjawaban pidana
dinaikan dari 8 menjadi 12 tahun, usia maksimum > 18 tahun.
·
Tidak memakai klausul
atau ‘belum menikah’.
·
Anak yang melakukan
tindak pidana sebelum usia 12 tahun dapat dikembalikan ke orang tua atau panti
·
Tidak lagi memakai
istilah anak nakal, anak pidana, anak Negara dan anak sipil.
·
Penahanan hanya dapat
dikenakan pada anak yang telah berusia 14 tahun.
·
Salah satu pendekatan
yang digunakan dalam RUU ini adalah “Restoratif Justice” yang berorientasi
kepada Korban dan memberikan kesempatan kepada Pelaku untuk mengakui kesalahannya. Intinya adalah upaya
memulihkan kepada keadaan semula dan bukan berdasarkan pembalasan melalui
Diversi.
·
Diversi, dalam Bab
ini diuraikan mengenai: Syarat Diversi (kategori kasus, usia Anak, hasil penelitian
kemasyarakatan, kerugian yang ditimbulkan, tingkat perhatian masyarakat,
persetujuan korban dan keluarga, kesediaan pelaku dan keluarga.
·
Hasil Diversi
(perdamaian, penyerahan kepada orang tua/wali, pendidikan dan pembinaan, serta
pelayanan masyarakat.
·
Penahanan anak paling
lama 12 jam.
·
Deversi wajib
dilaksanakan.
·
Dalam hal hasil
kesepakatan diversi tidak dapat dilaksanakan maka perkara dilanjutkan pada
proses peradilan formil.
·
Implikasi yang
diharapkan adalah berkurangnya jumlah anak yang masuk dalam proses peradilan
pidana, khususnya dalam LAPAS dan berkurangnya beban Sistem Peradilan Pidana,
meningkatnya partisipasi public dalam penanganan anak, meningkatnya kepekaan
aparat penegak hokum akan ha-hak anak.
7.
Perubahan istilah,
“LAPAS” menjadi “LPKA” dan “RUTAN” menjadi “LPAS”.
8.
Peran Petugas
Kemasyarakatan yang semakin berat sehingga harus didukung sarana dan prasarananya.
9.
Sanksi Pidana (Pokok
dan tambahan) yang dimulai dari Pidana yang paling ringan.
Pembahas II : Hj. Ds. Dewi, S.H., M.H.
Judul makalah : “Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pidana
Anak”
Pemaparan
makalah sebagai berikut:
1.
Anak adalah amanah
dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat
manusia seutuhnya;
2.
Anak adalah tunas,
potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran
strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan
bangsa dan Negara pada masa depan. Saat ini sebanyak 7305 Anak berada dalam
jeruji besi dimana merupakan hal yang sangat menyedihkan.
3.
Judul RUU disarankan
menggunakan nama “ Pengadilan Anak”
4.
Pengertian anak dalam
draft RUU diusulkan berbunyi : ”Anak adalah orang yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun yang disangka,
didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana.
5.
Dasar Hukum ditambah
dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum, “alasannya” bahwa Pasal 3 “Pengadilan pidana anak
merupakan pengadilan khusus yang berada di peradilan umum.
6.
Mengusulkan definisi
Restoratif Justice dalam Bab Ketentuan Umum.
7.
Mengusulkan kata
“keputusan” diversi dihilangkan.
8.
Perlu pengaturan
mengenai Hakim Wasmat dalam RUU ini
9.
Apakah kesepakatan
Diversi harus penetapan hakim atau cukup didaftarkan dalam registasi di
Pengadilan yang langsung mempunyai kekuatan eksekutorial. Hal ini perlu dikaji
lebih lanjut demi kepastian hukum anak.
10.
Dalam penjelasan
tentang Sistem Peradilan Anak, harus diganti menjadi Sistem Pengadilan Anak.
Pembahas I : Hadi Supeno (Ketua KPAI)
Judul makalah : “Semangat Melindungi VS Semangat Mengadili”
Dalam
paparannya menyampaikan beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
1.
KPAI menginginkan
judul RUU adalah “Sistem Peradilan Anak” atau menghapus kata “pidana” pada
judul yang terkahir yakni “Pengadilan Anak” , karena kata “pidana” tersebut
seakan-akan sudah melebel pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
2.
Pendekatan
berdasarkan pemulihan dan bukan pembalasan harus konsisten dengan substansi
yang diatur di dalamnya, sehingga
diusulkan tidak ada lagi pengaturan mengenai pemenjaraan bagi anak yang
sesungguhnya merupakan pembalasan.
3.
Pelaku sesungguhnya
adalah korban.
4.
Diusulkan tidak ada
hukuman pidana untuk anak.
5.
Diharapkan
penghukuman tidak menimbulkan stigma panjang hingga masa dewasa.
6.
Asas diusulkan ditambahkan
“perlindungan anak” dan “pelaku adalah korban”
7.
KPAI mengusulkan agar
ketentuan beracara tidak mengacu pada hukum acara pidana umum namun dalam RUUini mengatur sendiri hukum acaranya.
8.
Mengenai Advokat,
sebaiknya dikaji kembali karena dikhawatirkan akan merugikan anak.
9.
Mengenai penyidikan,
agar dirumuskan rumusan baru yang tidak memberikan peluang dalam hal tidak
terdapat Penyidik Anak.
10.
Mengenai Penahanan,
mengusulkan agar tidak mengacu ketentuan orang dewasa dalam hal ini ½ (satu per
dua) dari orang dewasa. Namun langsung mencantumkan jangka waktu khusus untuk anak.
11.
Perlu penegasan bahwa
selama penyidikan dilarang melakukan penyiksaan, kekerasan, dan hal-hal lain
yang merendahkan harkat dan martabat anak.
12.
Penuntutan, perlu
dibuat explisit bahwa penuntutan hanya dapat dilakukan apabila upaya pengadilan
informal/mediasi gagal dilakukan.
13.
Perlu penambahan
tugas Pekerja Sosial Profesional yaitu memediasi antara pelaku (beserta
keluarga) dan korban (beserta keluarga) untuk dibawa dalam keadilan restorative.
14.
Perlu pengaturan
eksplisit terkait peran serta masyarakat dalam hal:
a.
Mengupayakan
pencegahan dini kenakalan remaja sebagai bagian inti dari sistem peradilan
Anak.
b.
Mendukung pelaksanaan
pengadilan restoratif sebagai upaya menghindarkan Anak dari hukuman formal.
15.
Ketentuan Peralihan,
perlu penegasan apakah Lapas Anak yang ada secara otomatis menjadi LPKA, atau
harus membangun infrastruktur baru.
16.
Perlu penegasan bahwa
bagi daerah yang belum memiliki Lapas Anak, apakah dalam hal ini anak
ditempatkan bersatu dengan orang dewasa.
Narasumber : Agustinus Pohan
Judul
makalah : “Beberapa Hal Baru Dalam Draft RUU Peradilan Pidana Anak”.
Tanggapan
Narasumber terhadap paparan para pembahas
sebagai berikut:
1.
Bahwa ada perbedaan
alur yang dijelaskan oleh Pembahas Ibu Dewi dan alur RUU, karena RUU
menginginkan kepraktisan dari segi birokrasi.
2.
Bagaimana mengoptimalkan
peran serta masyarakat, RUU ini mengatur perkara yang masuk ke dalam sistem
peradilan pidana dan sama sekali tidak mengatur perkara anak yang tidak masuk
dalam proses formal.
3.
Mengakui begitu saja,
apa yang dilakukan masyarakat juga akan berdampak negatif.
4.
Terkait Hakim wasmat
merupakan gagasan yang bagus bahwa perlu pengawasan khusus.
5.
Terkait judul RUU
yang berubah-ubah, memang yang benar adalah Sistem Peradilan, tetapi
berdasarkan pengalaman dikhawatirkan akan menimbulkan perdebatan yang sulit di
DPR karena terkait dengan 4 sistem peradilan yang ada dalam konstitusi.
6.
Terkait sanksi
pidana, ketika berhadapan dengan realita jika ada anak yang berusia dibawah 12
tahun yang melakukan pembunuhan, seandainya tidak dipenjara maka akan muncul
keresahan masyarakat, sehingga RUU ini bertujuan juga melindungi keadilan
masyarakat. Hal ini merupakan kompromi yang saat ini merupakan maksimal yang
dapat dilakukan sehingga dalam batas tertentu masih diperlukan penjara.
7.
Terkait Advokat,
karena keberadaan Undang-Undang tentang Advokat, yang maknanya adalah
mendapatkan pelayanan bantuan hukum, sehingga tidak ada perbedaan makna dan
penafsiran dengan menggunakan istilah “advokat”.
8.
Mengenai penahanan
bagi Anak dengan ukuran ½ (satu per dua) dari yang diatur di dalam RKUHAP,
karena Tim Penyusun RUU belum mengatahui berapa hari yang akan diatur di dalam
RKUHAP tersebut.
9.
Menahan anak lebih
sulit dibanding menahan orang dewasa karena ditentukan beberapa persyaratan
yang bersifat kumulatif (usia anak, ancaman pidana dsbnya).
Sessi
Tanya/Jawab :
1.
Ibu Aisah Amini
Pertama
saya sampaikan apresiasi yang sangat bagus kepada tim penyusun RUU ini, namun
demikian ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan, yaitu:
-
Dalam konsideran
menimbang kurang terlihat dasar filosofis dan sosiologisnya, sehingga perlu
disempurnakan.
-
Dalam hal menyebut anak
berdasarkan perkembangan yang ada yang menyebabkan anak cepat dewasa, sehingga
disarankan judul menggunakan “Pengadilan Anak” tanpa kata Pidana yang
dikhawatirkan akan melebel negatif a nak sebagai generasi penerus.
-
Ada kalanya pada
kondisi tertentu perlunya pemberian hukuman pidana diperlukan terhadap anak,
namun diperlukan latihan dari aparat penegak hukum harus menghormati anak.
-
Perlu definisi
mengenai istilah “Restoratif Justice” dan “Balai Pemasyarakatan” .
2.
Ibu Erna Sofyan Sukri
Pertama
saya sampaikan apresiasi yang sangat bagus kepada tim penyusun RUU ini, namun
demikian ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan, yaitu:
-
Setuju dengan
hilangnya kata “Peradilan “ dalam penamaan judul.
-
Pasal 59, mengenai
ekstra vonis belum sepenuhnya diterapkan dan sering kali dipalsukan, sehingga
extra vonis harus segera diberikan saat itu juga kepada terdakwa dan penasehat
hukum.
-
Mengenai ancaman pidana
minimum yang ditiadakan dalam RUU ini sangat bagus.
3.
Bapak Andi (Ketua Pengadilan
Tinggi):
Pertama saya
menyampaikan aprisiasi kepada tim penyusun RUU ini yang sudah menyusun sangat
bagus yang sebelumnya belum pernah ada, namun demikian ada beberapa hal yang
perlu saya sampaikan sebagai berikut:
-
mengenai judul bahwa
perlu penghilangan kata “pidana”.
-
Konsideran mengingat
perlu dimasukkan Undang-Undang tentang Peradilan Umum.
-
Pasal 5, terlalu sumir sehingga perlu penyempurnaan
rumusan.
-
Pasal 11 ayat (2)
tidak sependapat dengan menggunakan kata “disampaikan” karena terkesan hanya
menyampaikan tembusan, disarankan menggunakan rumusan “dimintakan penetapan
kepada PN setempat dimana berada untuk memperoleh kekuatan hukum tetap” .
-
Pasal 16, perlu
penegasan dalam penjelasan yakni UU Nomor 8 Tahun 1981.
-
Pasal 59, dari segi
redaksional tidak tepat/rancu, karena hakim hanya memutuskan, dan yang
selanjutnya mengeluarkan adalah lembaganya, sehingga perlu perbaikan redaksi
“salinan surat keputusan”.
4.
Bapak Dian (BAPAS)
menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
-
Dilapangan sudah mengupayakan
Diversi ada yang berhasil dan ada yang lanjut, disarankan status anak harus
jelas sebagai apa?, ditahan atau tidak?, karena fakta dilapangan banyak orang
tua yang tidak bertanggung jawab.
-
RUU mengatur mengenai
Pelatihan Aparat Hukum dalam satu atap merupakan hal yang sangat bagus
5.
Bapak Selamet (Polres
Jakarta Barat)
-
Pasal 1, istilah “konflik”
sangat menakutkan bagi anak, diusulkan menggunakan “Anak yang Berhadapan dengan
Hukum”
-
Terkait Pasal 30,
Anak harus di BAP sehingga mustahil jika hanya diberi waktu penahanan selama 3
(tiga) hari. Disarankan untuk tidak melakukan penahanan terhadap anak.
6.
Bapak Seno (Ditjen
Pemasyarakatan) menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
-
Harus tegas bahwa
harus ada penegak hukum khusus anak, tidak ada peluang untuk petugas biasa
menangani anak.
-
Pasal 10 huruf d
perlu diberi penjelasan bentuknya seperti apa.
-
Terkait psikolog,
perlu ditambahkan pada Pasal 3 “hak untuk mendapatkan konsultasi kejiwaan dari
psikolog.
7.
Ibu Destri (BAPENAS)
menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
-
Perhatian pemerintah
pada Anak sedang tinggi sehingga diharapkan akan memperlancar proses pembahasan
di DPR.
-
RUU ini mengatur
lebih rinci dari UU sebelumnya.
-
Antara keadilan
substantif dan prosuderal tidak seimbang namun keduanya harus ada untuk
melindungi kepentingan terbaik anak.
-
Anak merupakan
kelompok yang rentan namum merupakan masa depan bangsa, sehingga huruf c dalam
Pasal 2 menjadi urutan pertama
-
Pasal 3, perlu
ditambahkan Hak mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan hak terhindar dari kekerasan
perlakuan salah dan diskriminasi.
-
Pasal 6, perlu
ditambahkan untuk melindungi kepentingan Anak (baik sebagai korban maupun
pelaku)
-
Pasal 7, setuju bahwa
tidak semua kasus anak di diversi namun batasannya harus jelas. Disarankan agar
ayat (2) huruf a tidak didasarkan pada lamanya ancaman pidana.
Tanggapan
Pembicara Utama : Prof Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H, M.H., P.hd.
Saya mengucapkan banyak terima
kasih atas kontribusi Bapak/Ibu atas saran dan masukannya. Menanggapi saran dan masukan Bapak/ibu dapat
saya sampaikan sebagai berikut:
1.
RUU ini hanya
menangani Anak yang melakukan tindak Pidana (tidak menangani kenakalan anak,
dsbnya diluar pidana).
2.
Mengenai hak anak,
sudah dielaborasi dalam substansi pasal-pasal dalam RUU ini.
3.
Terkait penggunaan istilah
“anak yang berkonflik” bahwa hal ini dihubungkan dengan istilah yang digunakan
dalam Pasal 64 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, sehingga konsisten.
4.
Hukuman pidana masih
diperlukan, karena jika dihilangkan implikasinya akan terlalu luas sehingga
diperlukan pemikiran yang realistis.
5.
Jaksa mengalami
kesulitan dalam hal melakukan tuntutan untuk pemberian tindakan karena menurut para jaksa tidak ada rambu-rambunya
untuk menuntut pemberian suatu tindakan.
6.
Mengharapkan masukan
mengenai kesulitan yang dihadapi dilapangan oleh para penegak hukum yang
terkait sehingga hal-hal apa yang perlu dipertajam dalam RUU ini.
Tanggapan Pembahas I : Hadi
Supeno, menyarankan agar RUU ini diselaraskan dengan RUU lain yang masih dalam tahap
pembahasan antara lain RKUHAP dan RUU
Bantuan Hukum.
0 Response to "NOTULA SOSIALISASI RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN PIDANA ANAK"
Posting Komentar