NOTULA SOSIALISASI RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN PIDANA ANAK



Direktorat Jenderal Peraturan Peraturan Perundang-undangan pada hari Senin, tanggal 24 Mei 2010 menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,  bertempat di Hotel Maharani-Jakarta. Adapun yang menjadi pembicara dalam sosialisasi tersebut adalah Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.H., P.hd. (Pembicara Utama), Hadi Supeno (Pembahas I),  Hj. DS Dewi, S.H.,M.H (Pembahas II), Dr. Suharyono AR, S.H., M.H (Moderator). Acara Sosialisasi ini dihadiri berbagai kalangan, antara lain dari Kementerian dan Non Kementerian, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Pengadilan Negeri,  Pengadilan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, Kepolisian, Praktisi Hukum, Akademisi, Lembaga Donor dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berjumlah kurang lebih 100 (seratus) peserta.
Sosialisasi Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Pidana Anak dimaksudkan untuk memperoleh masukan-masukan dari berbagai kalangan guna penyempurnaan sebelum draft Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak disampaikan oleh Tim Penyusun kepada Presiden yang selanjutnya diajukan ke DPR untuk dibahas menjadi Undang-Undang.
Beberapa pertimbangan dan alasan yang menjadi landasan perubahan Undang-Undang 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,  yaitu sebagai berikut:
1.        bahwa anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Dimana dalam konstitusi Indonesia anak memiliki peran strategis, hal ini  secara tegas dinyatakan dalam konstitusi bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekwensi dari ketentuan Pasal 28 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi anak;
2.        bahwa Indonesia telah mengesahkan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) pada tanggal 26 Januari 1990 yang mengatur mengenai prinsip perlindungan hukum terhadap anak;
3.        bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum khususnya hukum pidana, sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru;

Jalannya Sosialisasi :
1.        Laporan Ketua Panitia Penyelenggara oleh Direktur Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan yang disampaikan oleh Kasubdit Kerja Sama Peraturan Perundang-undangan.
2.        Sambutan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang sekaligus membuka acara Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Pidana Anak. Ada 3 (tiga) hal penting yang ditegaskan dalam sambutan Bapak Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
a.        Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum atau secara sewenang-wenang;
b.        Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisahkan dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan dengan keluarganya;
c.        Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum, berhak melawan serta menentukan dasar hukumnya.

3.        Sosiliasasi dipandu oleh moderator yang didahului membacakan Curriculum Vitae (CV) pembicara, pembahas dan narasumber. Kemudian mengarahkan jalannya acara dengan menentukan waktu pembahasan kepada masing-masing pembicara untuk menyampaikan bahasannya sekitar 20 (dua puluh) menit dan dilanjutkan sessi tanya/jawab.

Pembicara Utama :   Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, P.hd., S.H., M.H.
Judul Makalah      :   “RUU Pengadilan Pidana Anak: Suatu Telaah Ringkas”

Pembicara utama memaparkan hal-hal pokok terkait dengan subtansi RUU Pengadilan Pidana Anak, sebagai berikut:
1.        Hak anak merupakan hak konstitusi,  yang dirumuskan  dalam Konstitusi (khususnya amandemen II).  Kemudian dirumuskan dalam bab khusus dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan ditegaskan kembali dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang sebelumnya dalam Keppres Nomor 36 Tahun 1990 yang mengesahkan Conventionon the Right of the Child.
2.        Hak anak dalam proses peradilan:
·           tidak dianiaya, disiksa, atau dihukum secara tidak manusiawi;
·           tidak dijatuhi pidana mnati, atau seumur hidup;
·           tidak dirampas kebebasannya secara melawan hokum;
·           tidak titangkap, ditahan atau dipenjara secara melawan hukum;
·           diperlakukan secara manusiawi dalam proses peradilan pidana
·           hak atas bantuan hukumdan memperoleh keadilan dalam pengadilan anak.
3.        Anak perlu perlindungan khusus karena belum dewasa secara jasmani dan rohani dan anak harus dipersiapkan untuk menjalani hidup sendiri dalam masyarakat dan dibesarkan dalam semangat perdamaian, martabat, toleransi, kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan.
4.        Kondisi anak dalam SPPA:
·           mayoritas anak yang yang berhadapan dengan hukum (ABH), yang masuk kedalam sistem peradilan pidana, dirampas kemerdekaannya;
·           anak yang dihadapkan ke pengadilantidak didampingi advokat;
·           anak jalanan yang menjadi ABH, sanksi pidana yang diancamkan < 5 tahun seringkali ditahan karena tidak ada yang menjamin;
·           media massa lebih tertarik terhadap isu anak dalam konteks violet crime saja;
·           anak-anak yang masuk ke dalam RUTAN atau LAPAS belum terpenuhi hak-haknya;
·           anak yang dipenjara ditempatkan di bangunan bercampur dengan
5.        RUU ini  adalah “penggantian” bukan “perubahan” karena RUU ini mengganti UU Nomor  3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan loopholes sebagai berikut:
·           Cakupan ‘anak nakal’ (melakukan tindak pidana atau tindakan yang melanggar living law).
·           Usia pertanggungjawaban pidana anak
·           Belum dimasukkan asas-asas dalam Beijing Rules
·           Tidak secara expressis verbis menyatakan bahwa perampasan kemerdekaan adalah measure of the last resort
6.        Beberapa perubahan yang masuk dalam RUU ini, adalah:
·           Filosofis sistem peradilan anak berlandaskan ada prinsip non-diskriminasi dan kepentingan terbaik bagi anak, kewajiban Negara, masyarakat dan keluarga untuk melindungi anak.
·           Cakupan ‘anak’  meliputi usia pertanggungjawaban pidana dinaikan dari 8 menjadi 12 tahun, usia maksimum > 18 tahun.
·           Tidak memakai klausul atau ‘belum menikah’.
·           Anak yang melakukan tindak pidana sebelum usia 12 tahun dapat dikembalikan ke orang tua atau panti
·           Tidak lagi memakai istilah anak nakal, anak pidana, anak Negara dan anak sipil.
·           Penahanan hanya dapat dikenakan pada anak yang telah berusia 14 tahun.
·           Salah satu pendekatan yang digunakan dalam RUU ini adalah “Restoratif Justice” yang berorientasi kepada Korban dan memberikan kesempatan kepada Pelaku untuk  mengakui kesalahannya. Intinya adalah upaya memulihkan kepada keadaan semula dan bukan berdasarkan pembalasan melalui Diversi.
·           Diversi, dalam Bab ini diuraikan mengenai: Syarat Diversi  (kategori kasus, usia Anak, hasil penelitian kemasyarakatan, kerugian yang ditimbulkan, tingkat perhatian masyarakat, persetujuan korban dan keluarga, kesediaan pelaku dan keluarga.
·           Hasil Diversi (perdamaian, penyerahan kepada orang tua/wali, pendidikan dan pembinaan, serta pelayanan masyarakat.
·           Penahanan anak paling lama 12 jam.
·           Deversi wajib dilaksanakan.
·           Dalam hal hasil kesepakatan diversi tidak dapat dilaksanakan maka perkara dilanjutkan pada proses peradilan formil.
·           Implikasi yang diharapkan adalah berkurangnya jumlah anak yang masuk dalam proses peradilan pidana, khususnya dalam LAPAS dan berkurangnya beban Sistem Peradilan Pidana, meningkatnya partisipasi public dalam penanganan anak, meningkatnya kepekaan aparat penegak hokum akan ha-hak anak.
7.        Perubahan istilah, “LAPAS” menjadi “LPKA” dan “RUTAN” menjadi “LPAS”.
8.        Peran Petugas Kemasyarakatan yang semakin berat sehingga harus didukung sarana dan  prasarananya.
9.        Sanksi Pidana (Pokok dan tambahan) yang dimulai dari Pidana yang paling ringan.

Pembahas II          :   Hj. Ds. Dewi, S.H., M.H.
Judul makalah      :   “Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak”

Pemaparan makalah sebagai berikut:
1.        Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya;
2.        Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan bangsa dan Negara pada masa depan. Saat ini sebanyak 7305 Anak berada dalam jeruji besi dimana merupakan hal yang sangat menyedihkan.
3.        Judul RUU disarankan menggunakan nama “ Pengadilan Anak”
4.        Pengertian anak dalam draft RUU diusulkan berbunyi : ”Anak adalah orang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun yang disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana.
5.        Dasar Hukum ditambah dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, “alasannya” bahwa Pasal 3 “Pengadilan pidana anak merupakan pengadilan khusus yang berada di peradilan umum.
6.        Mengusulkan definisi Restoratif Justice dalam Bab Ketentuan Umum.
7.        Mengusulkan kata “keputusan” diversi dihilangkan.
8.        Perlu pengaturan mengenai Hakim Wasmat dalam RUU ini
9.        Apakah kesepakatan Diversi harus penetapan hakim atau cukup didaftarkan dalam registasi di Pengadilan yang langsung mempunyai kekuatan eksekutorial. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut demi kepastian hukum anak.
10.     Dalam penjelasan tentang Sistem Peradilan Anak, harus diganti menjadi Sistem Pengadilan Anak.

Pembahas I           :   Hadi Supeno (Ketua KPAI)
Judul makalah      :   “Semangat Melindungi VS Semangat Mengadili”

Dalam paparannya menyampaikan beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
1.        KPAI menginginkan judul RUU adalah “Sistem Peradilan Anak” atau menghapus kata “pidana” pada judul yang terkahir yakni “Pengadilan Anak” , karena kata “pidana” tersebut seakan-akan sudah melebel pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
2.        Pendekatan berdasarkan pemulihan dan bukan pembalasan harus konsisten dengan substansi yang diatur di dalamnya,  sehingga diusulkan tidak ada lagi pengaturan mengenai pemenjaraan bagi anak yang sesungguhnya merupakan pembalasan.
3.        Pelaku sesungguhnya adalah korban.
4.        Diusulkan tidak ada hukuman pidana untuk anak.
5.        Diharapkan penghukuman tidak menimbulkan stigma panjang hingga masa dewasa.
6.        Asas diusulkan ditambahkan “perlindungan anak” dan “pelaku adalah korban”
7.        KPAI mengusulkan agar ketentuan beracara tidak mengacu pada hukum acara pidana umum namun dalam RUUini mengatur sendiri hukum acaranya.
8.        Mengenai Advokat, sebaiknya dikaji kembali karena dikhawatirkan akan merugikan anak.
9.        Mengenai penyidikan, agar dirumuskan rumusan baru yang tidak memberikan peluang dalam hal tidak terdapat Penyidik Anak.
10.     Mengenai Penahanan, mengusulkan agar tidak mengacu ketentuan orang dewasa dalam hal ini ½ (satu per dua) dari orang dewasa. Namun langsung mencantumkan jangka waktu khusus untuk anak.
11.     Perlu penegasan bahwa selama penyidikan dilarang melakukan penyiksaan, kekerasan, dan hal-hal lain yang merendahkan harkat dan martabat anak.
12.     Penuntutan, perlu dibuat explisit bahwa penuntutan hanya dapat dilakukan apabila upaya pengadilan informal/mediasi gagal dilakukan.
13.     Perlu penambahan tugas Pekerja Sosial Profesional yaitu memediasi antara pelaku (beserta keluarga) dan korban (beserta keluarga) untuk dibawa dalam keadilan restorative.
14.     Perlu pengaturan eksplisit terkait peran serta masyarakat dalam hal:
a.        Mengupayakan pencegahan dini kenakalan remaja sebagai bagian inti dari sistem peradilan Anak.
b.        Mendukung pelaksanaan pengadilan restoratif sebagai upaya menghindarkan Anak dari hukuman formal.
15.     Ketentuan Peralihan, perlu penegasan apakah Lapas Anak yang ada secara otomatis menjadi LPKA, atau harus membangun infrastruktur baru.
16.     Perlu penegasan bahwa bagi daerah yang belum memiliki Lapas Anak, apakah dalam hal ini anak ditempatkan bersatu dengan orang dewasa.

Narasumber           :   Agustinus Pohan
Judul makalah      :   “Beberapa Hal Baru Dalam Draft RUU Peradilan Pidana Anak”.

Tanggapan Narasumber terhadap paparan para pembahas  sebagai berikut:
1.        Bahwa ada perbedaan alur yang dijelaskan oleh Pembahas Ibu Dewi dan alur RUU, karena RUU menginginkan kepraktisan dari segi birokrasi.
2.        Bagaimana mengoptimalkan peran serta masyarakat, RUU ini mengatur perkara yang masuk ke dalam sistem peradilan pidana dan sama sekali tidak mengatur perkara anak yang tidak masuk dalam proses formal.
3.        Mengakui begitu saja, apa yang dilakukan masyarakat juga akan berdampak negatif.
4.        Terkait Hakim wasmat merupakan gagasan yang bagus bahwa perlu pengawasan khusus.
5.        Terkait judul RUU yang berubah-ubah, memang yang benar adalah Sistem Peradilan, tetapi berdasarkan pengalaman dikhawatirkan akan menimbulkan perdebatan yang sulit di DPR karena terkait dengan 4 sistem peradilan yang ada dalam konstitusi.
6.        Terkait sanksi pidana, ketika berhadapan dengan realita jika ada anak yang berusia dibawah 12 tahun yang melakukan pembunuhan, seandainya tidak dipenjara maka akan muncul keresahan masyarakat, sehingga RUU ini bertujuan juga melindungi keadilan masyarakat. Hal ini merupakan kompromi yang saat ini merupakan maksimal yang dapat dilakukan sehingga dalam batas tertentu masih diperlukan penjara.
7.        Terkait Advokat, karena keberadaan Undang-Undang tentang Advokat, yang maknanya adalah mendapatkan pelayanan bantuan hukum, sehingga tidak ada perbedaan makna dan penafsiran dengan menggunakan istilah “advokat”.
8.        Mengenai penahanan bagi Anak dengan ukuran ½ (satu per dua) dari yang diatur di dalam RKUHAP, karena Tim Penyusun RUU belum mengatahui berapa hari yang akan diatur di dalam RKUHAP tersebut.
9.        Menahan anak lebih sulit dibanding menahan orang dewasa karena ditentukan beberapa persyaratan yang bersifat kumulatif (usia anak, ancaman pidana dsbnya).

Sessi Tanya/Jawab :

1.        Ibu Aisah Amini
Pertama saya sampaikan apresiasi yang sangat bagus kepada tim penyusun RUU ini, namun demikian ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan, yaitu:
-        Dalam konsideran menimbang kurang terlihat dasar filosofis dan sosiologisnya, sehingga perlu disempurnakan.
-        Dalam hal menyebut anak berdasarkan perkembangan yang ada yang menyebabkan anak cepat dewasa, sehingga disarankan judul menggunakan “Pengadilan Anak” tanpa kata Pidana yang dikhawatirkan akan melebel negatif a nak sebagai generasi penerus.
-        Ada kalanya pada kondisi tertentu perlunya pemberian hukuman pidana diperlukan terhadap anak, namun diperlukan latihan dari aparat penegak hukum harus menghormati anak.
-        Perlu definisi mengenai istilah “Restoratif Justice” dan “Balai Pemasyarakatan” .

2.        Ibu Erna Sofyan Sukri
Pertama saya sampaikan apresiasi yang sangat bagus kepada tim penyusun RUU ini, namun demikian ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan, yaitu:
-        Setuju dengan hilangnya kata “Peradilan “ dalam penamaan judul.
-        Pasal 59, mengenai ekstra vonis belum sepenuhnya diterapkan dan sering kali dipalsukan, sehingga extra vonis harus segera diberikan saat itu juga kepada terdakwa dan penasehat hukum.
-        Mengenai ancaman pidana minimum yang ditiadakan dalam RUU ini sangat bagus.

3.        Bapak Andi (Ketua Pengadilan Tinggi):
Pertama saya menyampaikan aprisiasi kepada tim penyusun RUU ini yang sudah menyusun sangat bagus yang sebelumnya belum pernah ada, namun demikian ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan sebagai berikut:
-        mengenai judul bahwa perlu penghilangan kata “pidana”.
-        Konsideran mengingat perlu dimasukkan Undang-Undang tentang Peradilan Umum.
-        Pasal 5,  terlalu sumir sehingga perlu penyempurnaan rumusan.
-        Pasal 11 ayat (2) tidak sependapat dengan menggunakan kata “disampaikan” karena terkesan hanya menyampaikan tembusan, disarankan menggunakan rumusan “dimintakan penetapan kepada PN setempat dimana berada untuk memperoleh kekuatan hukum tetap” .
-        Pasal 16, perlu penegasan dalam penjelasan yakni UU Nomor 8 Tahun 1981.
-        Pasal 59, dari segi redaksional tidak tepat/rancu, karena hakim hanya memutuskan, dan yang selanjutnya mengeluarkan adalah lembaganya, sehingga perlu perbaikan redaksi “salinan surat keputusan”.

4.        Bapak Dian (BAPAS) menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
-        Dilapangan sudah mengupayakan Diversi ada yang berhasil dan ada yang lanjut, disarankan status anak harus jelas sebagai apa?, ditahan atau tidak?, karena fakta dilapangan banyak orang tua yang tidak bertanggung jawab.
-        RUU mengatur mengenai Pelatihan Aparat Hukum dalam satu atap merupakan hal yang sangat bagus

5.        Bapak Selamet (Polres Jakarta Barat)
-        Pasal 1, istilah “konflik” sangat menakutkan bagi anak, diusulkan menggunakan “Anak yang Berhadapan dengan Hukum”
-        Terkait Pasal 30, Anak harus di BAP sehingga mustahil jika hanya diberi waktu penahanan selama 3 (tiga) hari. Disarankan untuk tidak melakukan penahanan terhadap anak.

6.        Bapak Seno (Ditjen Pemasyarakatan) menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
-        Harus tegas bahwa harus ada penegak hukum khusus anak, tidak ada peluang untuk petugas biasa menangani anak.
-        Pasal 10 huruf d perlu diberi penjelasan bentuknya seperti apa.
-        Terkait psikolog, perlu ditambahkan pada Pasal 3 “hak untuk mendapatkan konsultasi kejiwaan dari psikolog.

7.        Ibu Destri (BAPENAS) menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
-        Perhatian pemerintah pada Anak sedang tinggi sehingga diharapkan akan memperlancar proses pembahasan di DPR.
-        RUU ini mengatur lebih rinci dari UU sebelumnya.
-        Antara keadilan substantif dan prosuderal tidak seimbang namun keduanya harus ada untuk melindungi kepentingan terbaik anak.
-        Anak merupakan kelompok yang rentan namum merupakan masa depan bangsa, sehingga huruf c dalam Pasal 2 menjadi urutan pertama
-        Pasal 3, perlu ditambahkan Hak mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan hak terhindar dari kekerasan perlakuan salah dan diskriminasi.
-        Pasal 6, perlu ditambahkan untuk melindungi kepentingan Anak (baik sebagai korban maupun pelaku)
-        Pasal 7, setuju bahwa tidak semua kasus anak di diversi namun batasannya harus jelas. Disarankan agar ayat (2) huruf a tidak didasarkan pada lamanya ancaman pidana.

Tanggapan Pembicara Utama : Prof Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H, M.H., P.hd.

Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kontribusi Bapak/Ibu atas saran dan masukannya.  Menanggapi saran dan masukan Bapak/ibu dapat saya sampaikan sebagai berikut:
1.        RUU ini hanya menangani Anak yang melakukan tindak Pidana (tidak menangani kenakalan anak, dsbnya diluar pidana).
2.        Mengenai hak anak, sudah dielaborasi dalam substansi pasal-pasal dalam RUU ini.
3.        Terkait penggunaan istilah “anak yang berkonflik” bahwa hal ini dihubungkan dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 64 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, sehingga konsisten.
4.        Hukuman pidana masih diperlukan, karena jika dihilangkan implikasinya akan terlalu luas sehingga diperlukan pemikiran yang realistis.
5.        Jaksa mengalami kesulitan dalam hal melakukan tuntutan untuk pemberian tindakan karena  menurut para jaksa tidak ada rambu-rambunya untuk menuntut pemberian suatu tindakan.
6.        Mengharapkan masukan mengenai kesulitan yang dihadapi dilapangan oleh para penegak hukum yang terkait sehingga hal-hal apa yang perlu dipertajam dalam RUU ini.

Tanggapan Pembahas I : Hadi Supeno, menyarankan agar RUU ini diselaraskan dengan RUU lain yang masih dalam tahap pembahasan  antara lain RKUHAP dan RUU Bantuan Hukum. 

0 Response to "NOTULA SOSIALISASI RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN PIDANA ANAK"

Posting Komentar

wdcfawqafwef

BACKLINK OTOMATIS GRATIS JURAGAN.