SKRIPSI EKONOMI AKUNTANSI PENERAPAN KONSEP PAJAK PADA ZAKAT (SEBAGAI ALTERNATIF PENGELOLAAN ZAKAT SECARA EFEKTIF)



1.1  Konteks Penelitian
Indonesia adalah negara yang beragam budaya dan agama, sehingga kata zakat dan pajak adalah dua kata yang tidak lepas di negara kita, yang mana negara kita ini mayoritas penduduk Islam. Tetapi, kedua kata ini memiliki makna dan perlakuan yang berbeda. Di satu sisi zakat hanya dikenakan kepada orang-orang Muslim yang memiliki harta dengan persyaratan tertentu. Dan bagi yang tidak mempunyai maka dia akan menjadi orang yang berhak menerimanya. Dan dalam hal pajak semua warga Negara Indonesia yang sudah dewasa dan mempunyai penghasilan pada umumnya sudah dikenakan pajak kecil dan besar tanpa memandang apakah penghasilan itu cukup untuk kebutuhannya atau tidak. Pajak diwajibkan pada siapapun. Sunggguh perlakuan yang tidak adil, karena pengemis pun bisa terkena pajak.
Beberapa ahli ekonomi Islam menganggap zakat merupakan sejenis pajak karena zakat memenuhi beberapa persyaratan perpajakan (Rahman, 1996: 242), diantaranya:
a.    Pembayaran yang diwajibkan;
b.    Tidak ada balasan atau imbalan;
c.    Diwajibkan kepada seluruh masyarakat suatu negara.
Zakat memenuhi persyaratan pertama dan kedua sedangkan persyaratan ketiga tidak. Zakat adalah pembayaran yang diwajibkan dan tidak ada balasan atau imbalan atas pembayaran tersebut, akan tetapi hanya dikenakan kepada orang Muslim di negara itu sedangkan orang-orang nonmuslim terbebas dari kewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, zakat bukanlah suatu pajak dalam arti yang sebenarnya. Sebenarnya zakat, seperti halnya menunaikan shalat atau mengerjakan haji, merupakan suatu bentuk ibadah atau tugas agama yang mempunyai perbedaan psikologis sangat berbeda dengan pajak biasa.
Zakat dianggap sebagai salah satu dari lima tiang agama Islam dan sudah barang tentu, posisi yang penting semacam ini tidak dapat diberikan kepada suatu jenis pajak betapapun pentingnya pajak tersebut. Selanjutnya, pendapatan yang diperoleh dari pajak oleh pemerintah dapat digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan tanpa mempertimbangkan besar kecilnya masing-masing pajak. Sedangkan dalam hal zakat, pemerintah dalam negara Islam diberikan petunjuk khusus dalam kitab suci Al-Qur’an tentang bagaimana dan di mana membelanjakan hasil yang diperoleh melalui pengumpulan zakat. Pemerintah tidak mempunyai pilihan tapi harus membelanjakan hasil pengumpulan zakat itu sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an.
Persoalan di atas salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi Islam yaitu persoalan dualisme zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Ironisnya, pajak sebagai sumber penerimaan negara mengalami penguatan, sementara zakat mengalami kemunduran dan dianggap menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing individu Muslim.
DiIndonesia, seorang wajib zakat (muzakki), juga sebagai wajib pajak (taxs payers). Hal ini terlihat jelas dengan adanya dua kewajiban dalam dua undang-undang yang berbeda, yaitu kewajiban zakat dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan kewajiban pajak dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Kedua undang-undang ini menyatakan bahwa zakat dan pajak adalah kewajiban. Hal inilah yang dirasakan oleh kaum Muslim sebagai suatu beban yang berat (Gusfahmi, 2007: 7).
Hal ini pula telah mengundang perdebabatan yang berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar ulama fiqih memandang bahwa zakat dan pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan. Menurut mereka, zakat adalah kewajiban spiritual seorang Muslim terhadap Tuhannya, sedangkan pajak adalah kewajibannya terhadap negara.
Dari segi pengelolaan, zakat dan pajak mempunyai pengelolaan yang berbeda. Akan tetapi yang menjadi catatan penting dalam hal ini setidaknya pengelolaan zakat ini mengikuti keberhasilan pengelolaan pajak. Pengelolaan pajak di Indonesia terbilang sukses, adapun faktor yang menunjang keberhasilan tersebut, yakni administrasi pajak yang tentunya harus efisien dan efektif. Menurut Ciptoherijanto dan Abidin dalam Abdalla (2010: 8-9) administrasi pajak yang baik harus meliputi tiga aspek, yaitu:
1.     Fungsi, administrasi pajak sebagai fungsi meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan.
2.     Sistem, administrasi pajak sebagai suatu sistem adalah merupakan seperangkat unsur yang saling berkaitan, yang berfungsi bersama-sama untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan suatu proses tertentu.
3.     Lembaga, sebagai suatu lembaga administrasi pajak meliputi badan-badan yang secara khusus menangani masalah perpajakan.

Berbeda halnya dengan pengelolaan zakat di Indonesia yang terbilang masih rendah kinerjanya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor (Anida, 2010: 2-3), yaitu:
1.     Rendahnya penghimpunan dana zakat melalui Lembaga Amil Zakat, karena perilaku wajib zakat (muzakki) yang masih karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek.
2.     Masih rendahnya efesien dan efektivitas tasharuf  (pendayagunaan) dana zakat terkait masih besarnya jumlah Organisasi Pengelola Zakat dengan skala usaha yang kecil.
3.     Lemahnya zakat karena ketiadaan lembaga regulator pengawas dan tidak jelasnya relasi zakat.
4.     Lemahnya kapasitas kelembagaan dan Sumber Daya Manusia bidang zakat.

Sedangkan menurut Nuruddin (2010: 133) rendahnya kinerja pengelolaan zakat disebabkan pengelolaan zakat belum digarap secara serius dan profesional oleh pemerintah dengan perangkat aturan sesuai kecenderungan dan tuntutan daerah.
            Pengumpulan zakat hendaknya atau seharusnya merupakan sesuatu yang terprogram dan terencana, termasuk ditentukan jadwalnya dengan jelas, dan tetap berlandasan untuk beribadah kepada Allah SWT dengan ikhlas. Dalam penanganan zakat ini, perlu dicamkan bahwa para pembayar zakat hendaknya mengetahui ke mana harta zakatnya itu dibagikan dan dimanfaatkan. Badan Amil Zakat (BAZ) harus mempunyai dokumen dan data atau pembukuan yang rinci mengenai jumlah uang zakat yang diterima, orang yang membayarnya, kemana digunakan dan semacamnya. Sehingga sewaktu-waktu salah satu pembayar zakat ingin tahu data rinci mengenai zakatnya, BAZ bisa memberi jawaban dengan memuaskan.
            Zakat hendaknya tidak sekedar konsumtif, maka otomatis idealnya dijadikan sumber Dana Umat. Penggunaan zakat untuk konsumtif hanyalah untuk hal-hal yang bersifat darurat. Artinya, ketika ada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) yang tidak mungkin untuk dibimbing untuk mempunyai usaha mandiri atau memang untuk kepentingan mendesak, maka penggunaan konsumtif dapat dilakukan. Dana zakat akan lebih cepat digunakan untuk mengentaskan umat dari kemiskinan jika dikelola untuk menjadi sumber dana yang penggunannya sejak dari awal, seperti pelatihan, sampai dengan modal usaha. Bahkan mestinya perlu ada dana riset atau survey dan pengembangan serta dana administrasi (Azizy, 2004: 148-149).
            Pada survey di atas menunjukkan salah satu faktor yang menyebabkan pengelolaan dana zakat yang kurang efektif adalah tidak terprogram dan terencana dengan baiknya dana zakat, kemudian dari segi pengelolaan dana zakat yang terbilang masih rendah bila dibandingkan dari pengelolaan pajak karena pengelolaan pajak telah mempunyai fungsi, sistem dan lembaga yang benar-benar telah terstruktur dan dilaksanakan dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif.”

1.2  Fokus Penelitian
1.    Apa persamaan dan perbedaan antara konsep zakat dan konsep pajak ?
2.    Bagaimana pendapat/pemikiran ulama tentang penerapan zakat dan pajak ?
3.    Bagaimana pengelolaan dana zakat yang efektif dengan penerapan konsep pajak ?

1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan penelitian adalah sebagai berikut :
1.    Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai persamaan dan perbedaan antara konsep zakat dan konsep pajak.
2.    Untuk mengetahui pendapat ulama tentang penerapan zakat dan  pajak.
3.    Untuk mengetahui mengenai pengelolaan dana zakat yang efektif dengan penerapan konsep pajak.



1.4  Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat diadakannya penelitian adalah sebagai berikut :
1.    Bagi Peneliti
Penelitian ini menjadi sebuah media untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan dalam rangka memecahkan masalah secara ilmiah.
2.    Bagi Fakultas
Sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta untuk mengevaluasi sejauh mana sistem pendidikan telah dijalankan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
3.    Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan masukan untuk membantu memberikan gambaran yang lebih jelas bagi para peneliti yang ingin melakukan penelitian khususnya mengenai akuntansi syariah.

1.5  Sistematika Penulisan
BAB I        PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan konteks penelitian, fokus penelititan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II    TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini mengemukakan teori-teori yang mendukung penelitian, yaitu teori-teori yang berkaitan dengan konsep zakat dan konsep pajak serta menjelaskan penerapan zakat dan pajak pada masa Rasulullah SAW, masa Khulafaurrasyidin dan Di Indonesia, serta pendapat para ulama tentang penerapan zakat dan pajak. Di samping itu, bab ini juga memuat kerangka pikir dari peneliti.
BAB III  METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan rancangan penelitian, jenis dan sumber data,  teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan pembahasan atas rumusan masalah dalam skripsi ini, yaitu mengenai persamaan dan perbedaan antara konsep zakat dan konsep pajak, pendapat/pemikiran Ulama tentang penerapan zakat dan pajak dan pengelolaan dana zakat yang efektif dengan penerapan konsep pajak.
BAB V   PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas penelitian yang telah dilakukan.




 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Konsep Zakat
2.1.1   Sejarah dan Landasan Filosofis Zakat
Menurut Basyir, zakat sudah pernah dilaksanakan sebelum kedatangan agama Islam. Kegiatan yang dilakukan yang berbentuk seperti zakat telah dikenal di kalangan bangsa-bangsa Timur kuno di Asia, khususnya di kalangan umat beragama. Hal ini terjadi atas adanya pandangan hidup di kalangan bangsa-bangsa Timur bahwa meninggalkan kesenangan duniawi merupakan perbuatan terpuji dan bersifat kesalehan. Sebaliknya, memiliki kekayaan duniawi akan menghalangi orang untuk memperoleh kebahagiaan hidup di surga. Dalam syariat Nabi Musa AS, zakat sudah dikenal, tetapi hanya dikenakan terhadap kekayaan yang berupa binatang ternak, seperti sapi, kambing, dan unta. Zakat yang wajib dikeluarkan adalah 10 persen dari  nisab yang ditentukan (http://jakarta45.wordpress.com).
Menurut pendapat mayoritas ulama, zakat mulai disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah. Di tahun tersebut zakat fitrah diwajibkan pada bulan Ramadhan, sedangkan zakat mal diwajibkan pada bulan berikutnya, Syawal. Jadi, mula-mula diwajibkan zakat fitrah kemudian zakat mal atau kekayaan. Mengenai kewajiban zakat ini ilmuwan Muslim ternama, Ibnu Katsir, mengungkapkan, ''Zakat ditetapkan di Madinah pada abad kedua Hijriah”. Tampaknya, zakat yang ditetapkan di Madinah merupakan zakat dengan nilai dan jumlah kewajiban yang khusus, sedangkan zakat yang ada sebelum periode ini, yang dibicarakan di Makkah, merupakan kewajiban perseorangan semata. Sayid Sabiq menerangkan bahwa zakat pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak. Kewajiban zakat ini tidak dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar zakatnya. Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan kaum Muslimin. Menjelang tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah SAW telah memberi batasan mengenai aturan-aturan dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat. Dan, sejak saat itu zakat telah berkembang dari sebuah praktik sukarela menjadi kewajiban sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang wajib dizakati (http://www.republika.co.id).
            Menurut Shihab dalam ada 3 landasan kewajiban filosofis zakat (http://nasional.inilah.com), yaitu:
1.    Istikhlaf (penugasan sebagai khalifah di bumi). Allah SWT adalah pemilik seluruh alam raya dan segala isinya, termasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya, pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik-Nya (Allah SWT). Manusia yang dititipi itu, berkewajiban memenuhi ketetapan-ketetapan yang digariskan oleh Sang Pemilik, baik dalam pengembangan harta maupun dalam penggunaannya. Zakat merupakan salah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan shadaqah dan infaq pun demikian. Sebab, Allah SWT menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya. Karena itu, harta benda harus diarahkan guna kepentingan bersama.
2.    Solidaritas sosial. Manusia adalah mahluk sosial. Kebersamaan antara beberapa individu dalam suatu wilayah membentuk masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu-individu tersebut, namun manusia tidak bisa dipisahkan darinya. Manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakatnya. Sekian banyak pengetahuan diperolehnya melalui masyarakatnya seperti bahasa, adat istiadat, sopan santun dan lain-lain. Demikian juga dalam bidang material yang diperolehnya berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara langsung dan disadari maupun tidak. Manusia mengelola, tetapi Tuhan yang menciptakan dan memilikinya. Dengan demikian, wajar jika Allah SWT memerintahkan untuk mengelurakan sebagian kecil (zakat) dari harta yang diamanatkan-Nya kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.
3.    Persaudaraan. Manusia berasal dari satu keturunan, antara seseorang dengan lainnya terdapat pertalian darah, dekat atau jauh. Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih kokoh dengan adanya persamaan-persamaan lain, yaitu agama, kebangsaan, lokasi domisili dan sebagainya. Disadari oleh kita semua, bahwa hubungan persaudaraan menuntut bukan sekadar hubungan take and give (mengambil dan menerima), atau pertukaran manfaat, tetapi melebihi itu semua, yakni memberi tanpa menanti imbalan atau membantu tanpa dimintai bantuan. Apalagi, jika mereka hidup bersama dalam satu lokasi. Nah, kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantarkan kepada kesadaran menyisihkan sebagian harta kekayaan khususnya kepada mereka yang butuh, baik dalam bentuk kewajiban zakat, maupun shadaqah dan infaq.





2.1.2  Pengertian dan Prinsip Zakat
Hafidhuddin (2002: 7) mengartikan zakat yang dibagi menjadi dua, yaitu:
a.   Menurut bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu ‘kebersihan’, al-namaa ‘pertumbuhan dan perkembangan’, ath-thaharatu ‘kesucian’, dan ash-shalabu ‘keberesan’.
b.   Menurut istilah, meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dan yang lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam exprosure draft PSAK Syariah No.109 “Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh muzakki sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq)”.
Sedangkan menurut Chapra (1999: 292) “Zakat adalah suatu tanda yang jelas dan tegas dari kehendak Tuhan untuk menjamin bahwa tidak seorang pun menderita kekurangan sarana untuk memenuhi kebutuhan pokoknya akan barang dan jasa”.
Menurut Muhammad (2009: 55):
“Zakat merupakan harta yang diambil dari amanah harta yang dikelola oleh orang kaya, yang ditransfer kepada kelompok fakir dan miskin serta kelompok lain yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an, yang lazim disebut kelompok mustahik. Dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan transfer of income (pemindahan kekayaan) dari golongan kaya (agniya/the have) kepada golongan yang tidak berpunya (the have not).

Bila seseorang memperhatikan ketentuan dan paraturan mengenai zakat dengan teliti, maka akan mudah baginya untuk mendapatkan enam prinsip syariat yang mengatur zakat (Mannan, 1997: 257-259), yaitu:
a.     Prinsip keyakinan, karena membayar zakat adalah suatu ibadat dan dengan demikian hanya seorang yang benar-benar berimanlah yang dapat melaksanakannya dalam arti dan jiwa yang sesungguhnya.
b.    Prinsip keadilan, makin berkurang jumlah pekerjaan dan modal maka makin berkurang pula tingkat pungutan.
c.     Prinsip produktivitas, nisab berlaku pada zakat hanya bila telah sampai waktunya dan produktif.
d.    Prinsip nalar, yaitu orang yang diharuskan membayar zakat adalah seseorang yang berakal dan bertanggung jawab.
e.     Prinsip kemudahan, kemudahan zakat diperoleh sebagian dari sifat pemungutan zakat dan sebagian diperoleh dari hukum islam tentang erika ekonomi.
f.     Prinsip kemerdekaan, yaitu seseorang harus menjadi manusia bebas sebelum dapat disyaratkan untuk membayar zakat. Karena itu, seorang budak atau tawanan tidak diharuskan membayar zakat bila ia dianggap tidak memiliki sesuatu harta.

2.1.3   Yang Wajib Berzakat dan Kelompok Penerima Zakat
Di dalam pelaksanaan zakat, yang diwajibkan berzakat adalah orang Islam yang memiliki kekayaan yang cukup nisab dalam hal ini mereka disebut muzakki. Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya:
Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak  bersedih hati” (QS Al Baqarah: 277).
Dan orang yang berhak menerima zakat dalam istilah fiqih disebut mustahiq (Al-Habsyi, 1999: 305), terdiri atas delapan golongan yang tercakup dalam firman Allah SWT :
Artinya:
”Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf) untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiaban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS At-Taubah: 60).
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.    Fakir, yaitu mereka yang tidak berhasil memperoleh keperluan pokok hidupnya, untuk dirinya sendiri dan keluarga yang wajib dinafkahinya. Sebagian ahli fiqih menyatakan bahwa orang disebut fakir, apabila tidak berhasil memperoleh lebih dari 50% kebutuhan pokoknya (Al-Habsyi, 1999: 305-306).
2.    Miskin. Pengertian miskin yang dikemukakan oleh Imam Malik dalam Djazuli (2003: 347-348) adalah “orang yang untuk memenuhi keperluan hidupnya tidak segan-segan meminta bantuan orang lain”.
3.    Amil (Petugas pengumpul dan penyalur zakat), yaitu mereka yang ditunjuk oleh pemerintah Muslim setempat sebagai petugas-petugas pengumpul dan penyalur zakat dari para muzakki (pembayar zakat), termasuk pula para pencatat, penjaga keamanan dan petugas penyalur kepada para mustahiq (Al-Habsyi, 1999: 306). Akan tetapi perlu diingat ongkos administrasi tersebut harus lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari zakat (Metwally, 1995: 8).
4.    Muallaf, yang dimaksud dengan muallaf adalah orang-orang yang perlu dijinakkan (dilunakkan) hatinya, dengan memberi mereka sebagian dari harta zakat, agar tertarik kepada agama Islam, atau demi memantapkan keimanannya, atau ‘membeli’ kesetiaannya agar menjaga keamanan kaum Muslim atau mencegah kejahatannya terhadap masyarakat Muslim (Al-Habsyi, 1999: 307).
5.    Untuk keperluan pembebasan kaum tertindas. Di masa lalu, ketika perbudakan masih berlaku di seluruh dunia bagian ini disediakan dalam upaya pembebasan para budak. Di masa sekarang, bagian ini dapat disalurkan kepada umat Islam di seluruh dunia yang masih menderita di bawah tekanan perbudakan bangsa-bangsa asing hampir di seluruh aspek kehidupan (Al-Habsyi, 1999: 308).
6.    Al-Gharimin (Orang-orang yang terhimpit hutang). Mereka yang terhimpit hutang, dibagi menjadi dua bagian:
a.    Pertama, mereka yang pernah berhutang dari orang lain untuk menutup kebutuhan hidup dan kini disebabkan kemiskinan yang sangat, tidak mampu membayar kembali hutangnya.
b.    Kedua, mereka yang biasanya berasal dari tokoh-tokoh pemuka masyarakat, yang berupaya menjadi penengah antara dua kelompok masyarakat yang bertengkar akibat harta atau tuntutan yang dipertikaikan di antara mereka. Lalu, para pemuka ini, membebani dirinya dengan memberikan sejumlah tertentu jaminan keuangan, demi memadamkan api permusuhan seperti itu.
7.    Fi Sabilillah, adalah para sukarelawan yang berjuang dalam peperangan membela agama dan negara dari serbuan tentara asing.
8.    Ibnu Sabil, secara harfiah arti ibnu sabil adalah ‘anak jalanan’ yang tidak mempunyai rumah untuk ditinggali. Atau orang yang terpaksa lebih sering dalam perjalanan jauh dari kota tempat tinggalnya demi memenuhi nafkah hidupnya. Termasuk dalam kategori ini, musafir yang kebetulan kehabisan ongkos di tengah perjalanannya, sehingga memerlukan bantuan keuangan (Al-Habsyi, 1999: 312).
Menurut Al-Ba’ly (2006: 68), delapan golongan yang berhak atas hasil zakat terbagi lagi menjadi dua bagian di antaranya:
1.    Golongan yang mengambil hak zakat untuk menutup kebutuhan mereka, seperti fakir, miskin, hamba sahaya dan ibnu sabil.
2.    Golongan yang mengambil hak zakat untuk memanfaatkan harta tersebut, seperti pegawai zakat, muallaf, orang yang mempunyai banyak utang untuk kepentingan yang berpiutang, perang di jalan Allah SWT.

2.1.4   Jenis Zakat
Menurut Ash Shiddieqy (2006: 9-10) secara garis besar zakat terbagi dua, yaitu:
1.      Zakat Mal (harta): emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan (buah-buahan dan biji-bijian) dan barang perniagaan.
2.      Zakat Nafs, zakat jiwa yang disebut juga “Zakatul Fitrah” (zakat yang diberikan berkenaan dengan selesainya mengerjakan shiyam (puasa) yang difardhukan).  Di negeri kita ini, lazim disebut fitrah. Para ulama telah membagi zakat fitrah, kepada dua bagian pula :
a.    Zakat harta yang nyata (harta yang lahir) yang terang dilihat umum, seperti: binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan barang logam.
b.    Zakat harta-harta yang tidak nyata, yang dapat disembunyikan. Harta-harta yang tidak nyata itu, ialah: emas, perak, rikaz, dan barang perniagaan.
Menurut Nurhayati dan Wasilah (2009: 274-275) ada dua jenis zakat, yaitu:
1.    Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan kepada setiap Muslim setelah matahari terbenam akhir bulan Ramadhan.

2.    Zakat Harta
Zakat harta adalah zakat yang boleh dibayarkan pada waktu yang tidak tertentu, mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak serta hasil kerja (profesi) yang masing-masing memiliki perhitungan sendiri-sendiri.
Sementara itu, menurut Arizta (2011) dan Bamz (2011) zakat dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu:
1.    Zakat fitrah yaitu zakat untuk membersihkan diri yang dibayarkan setiap bulan Ramadhan. Zakat ini wajib dikeluarkan orang Muslim menjelang Idul Fitri. Besarnya zakat fitrah yang harus dikeluarkan per individu adalah satu sha’ yang setara dengan 2,5 kilogram atau dengan 3,5 liter beras makanan pokok yang ada di daerah pemberi zakat atau yang bersangkutan. Zakat ini diberikan kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat. Menurut beberapa ulama khusus untuk zakat fitrah mesti didahulukan kepada dua golongan, yakni fakir dan miskin.
2.    Zakat maal merupakan zakat atas harta kekayaan. Meliputi hasil perniagaan atau perdagangan, pertambangan, pertanian, hasil laut dan hasil ternak, harta temuan, emas dan perak serta hasil kerja (profesi). Masing-masing jenis mempunyai perhitungan yang berbeda-beda. Adapun jenis-jenis zakat maal, yaitu:
a.    Zakat emas dan perak. Nishab emas adalah 20 dinar (setara dengan 85 gram emas murni). Sedangkan nishab perak adalah 200 dirham (setara dengan 672 gram perak). Ini berarti, jika Anda memiliki emas sebesar 20 dinar selama satu tahun, maka emas tersebut harus dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%. Aturan serupa berlaku pula untuk perak, jika telah mencapai nishab 200 dirham dan waktu kepemilikannya telah satu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%.
b.    Zakat harta berharga lainnya. Misalnya uang tunai, tabungan, saham, obligasi dan lain-lain). Besarnya zakat yang harus dikeluarkan dan syarat-syaratnya sama seperti zakat emas dan perak.
c.    Zakat profesi/penghasilan yaitu zakat yang dikeluarkan dari hasil profesi seseorang sebesar 2,5 %.
d.    Zakat tabungan adalah uang yang telah disimpan selama 1 tahun dan mencapai nilai minimum (nisbah) setara 85 gram emas, zakat yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5%.
e.    Zakat investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap harta yang diperoleh dari hasil investasi (seperti: bangunan atau kendaraan yang disewakan) besarnya 5% untuk penghasilan kotor dan 10% untuk penghasilan bersih.
f.     Zakat perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil perniagaan. Ketentuanya, berjalan 1 tahun nisbah senilai 85 gram emas besar zakatnya 2,5% dapat dibayar dengan uang atau barang perdagangan maupun perseroan.
Lebih lanjut menurut Arian (2011) ada dua jenis zakat, yaitu:
1.    Zakat fitrah/fidyah, zakat nafs (jiwa), disebut juga zakat fitrah. Zakat fitrah adalah zakat pribadi yang harus dikeluarkan pada bulan Ramadhan sebelum shalat Idul Fitri. Besarnya zakat fitrah menurut ukuran sekarang adalah 2,176 kilogram. Sedangkan makanan yang wajib dikeluarkan yang disebut nash hadits yaitu tepung, terigu, kurma, gandum, zahib (anggur) dan aqith (semacam keju). Untuk daerah/negara yang makanan pokoknya selain 5 makanan di atas, mazhab Maliki dan Syafi'i membolehkan membayar zakat dengan makanan pokok yang lain. Pembayaran zakat fitrah menurut jumhur ulama, yaitu:
a.    Waktu wajib membayar zakat fitrah yaitu ditandai dengan tenggelamnya matahari  di akhir bulan Ramadhan.
b.    Membolehkan mendahulukan pembayaran zakat fitrah di awal. Bagi yang tidak berpuasa Ramadhan karena udzur tertentu yang dibolehkan oleh syaria't dan mempunyai kewajiban membayar fidyah, maka pembayaran fidyah sesuai dengan lamanya seseorang tidak berpuasa.
2.    Zakat maal (harta) adalah sejumlah harta benda tertentu yang wajib dikeluarkan guna membersihkan kekayaan dan menyucikan pemiliknya. Syarat-syarat kekayaan yang wajib di zakati:
a.    Milik penuh. Artinya, harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara penuh.
b.    Berkembang. Artinya, harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk berkembang.
c.    Cukup nishab. Artinya, harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'. Sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari zakat dan dianjurkan mengeluarkan Infaq serta Shadaqah.
d.    Lebih dari kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya, apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak.
e.    Bebas dari hutang. Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama (dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat.
f.    Berlalu satu tahun (Al-Haul). Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah berlalu (mencapai) satu tahun. Persyaratan ini hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedangkan hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat haul.  
Adapun pengertian zakat fitrah menurut Kurnia dan A. Hidayat (2008: 342):
Zakat fitrah adalah zakat pribadi yang diwajibkan atas diri setiap Muslim yang memiliki syarat-syarat yang ditetapkan yang ditunaikan pada bulan Ramadhan sampai menjelang shalat sunah Idul Fitri. Zakat fitrah mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, yaitu tahun diwajibkan puasa Ramadhan. Zakat fitrah mulai diwajibkan bertujuan menyucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak berguna, dan memberi makan orang-orang miskin dan mencukupi kebutuhan mereka pada hari raya Idul Fitri.
      
            Menurut Ja’far (1997: 63) zakat fitrah berfungsi mengembalikan manusia Muslim kepada fitrahnya, dengan mensucikan jiwa mereka dari dosa-dosa yang disebabkan oleh pengaruh pergaulan dan sebagainya, sehingga manusia itu menyimpan dari fitrahnya.  
Di sisi lain, menurut Qardhawi (1995: 89) zakat fitrah mengandung dua hikmah, yaitu:
a.    Untuk memulihkan puasa seseorang yang barang kali dirusak oleh perbuatan sia-sia dan omongan kotor.
b.    Untuk memuliakan kaum papa dan menunjukkan perhatian masyarakat Muslim terhadap mereka di hari lebaran.
Menurut Muhammad (2008: 433) sesuatu dapat disebut dengan harta apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
a.    Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun dan dikuasai.
b.    Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya, rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang, emas, perak, dan lain sebagainya.

2.1.5   Pengelolaan Zakat
Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Adapun tujuan pengelolaan zakat meliputi hal-hal berikut:
a.    Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat sesuai dengan tuntutan agama.
b.    Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
c.    Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.

2.1.6   Hikmah Zakat
            Menurut Rifa’i (1999: 370) zakat mengandung beberapa hikmah, baik bagi perseorangan maupun masyarakat. Di antara hikmah dan faedah zakat itu adalah :
a.     Mendidik jiwa manusia suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat-sifat kikir dan bakhil.
b.    Zakat mengandung arti rasa persamaan yang memikirkan nasib manusia dalam suasana persaudaraan.
c.     Zakat memberi arti bahwa manusia itu bukan hidup untuk dirinya sendiri, sifat mementingkan diri sendiri harus disingkirkan dari masyarakat Islam.
d.    Seorang Muslim harus mempunyai sifat-sifat baik dalam hidup perseorangan, yaitu murah hati dan penyayang.
e.     Zakat dapat menjaga timbulnya rasa dengki, iri hati, dan menghilangkan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya.
f.     Zakat bersifat sosialitas, karena meringankan beban fakir miskin dan meratakan nikmat Allah SWT yang diberikan kepada manusia.

2.2  Penerapan Zakat
2.2.1  Zakat Pada Masa Rasulullah SAW
Kehidupan Rasulullah SAW dan masyarakat Muslim di masa beliau adalah teladan yang paling baik implementasi Islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipun pada masa sebelum kenabian Muhammad adalah seorang pebisnis, tetapi yang dimaksudkan perekonomian di masa Rasulullah SAW di sini adalah pada masa Madinah. Pada periode Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang Quraisy. Barulah pada periode Madinah, Rasulullah SAW memimpin sendiri membangun masyarakat Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera beradab. Meskipun perekonomian pada masa beliau relatif masih sederhana, tetapi beliau telah menunjukkan prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter umum dari perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan. Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara etis dalam bingkai syariah Islam, sementara sumber daya ekonomi tidak boleh menumpuk pada segilintir orang melainkan harus beredar bagi kesejahteraan seluruh umat. Pasar menduduki peranan penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi pemerintah dan masyarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, 2008: 98)
Kegiatan ekonomi pasar relatif menonjol pada masa itu, di mana untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas Islam, Rasulullah SAW mendirikan Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang bertugas sebagai pengawas pasar (market controller). Rasulullah SAW juga membentuk Baitul Maal, sebuah institusi yang bertindak sebagai pengelola keuangan negara. Baitul Maal ini memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian, termasuk dalam melakukan kebijakan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya untuk memutar roda perekonomian, Rasulullah SAW mendorong kerja sama usaha di antara anggota masyarakat (misalnya muzaraah, mudharabah, musaqah dan lain-lain) sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Sejalan dengan perkembangan masyarakat Muslim, maka penerimaan negara juga meningkat. Sumber pemasukan negara berasal dari beberapa sumber, tetapi yang paling pokok adalah zakat dan ushr (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, 2008: 98-99).
Zakatdan Ushr (sedekah) walaupun sudah diwajibkan sejak tahun ke-2 Hijriyah, namun baru bisa dipungut sebatas zakat fitrah yang ditunaikan setiap bulan Ramadhan, kewajiban atas zakat mal (harta) masih bersifat sukarela. Efektif pelaksanaan zakat mal baru terwujud pada tahun ke-9 Hijriyah. Ketika Islam telah kokoh, wilayah negara meluas dengan cepat dan orang berbondong-bondong masuk Islam. Peraturan yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, batas-batas zakat, dan tingkat persentase zakat untuk barang yang berbeda-beda serta sistem penentuan pengggajian (hak-hak) amil zakat (Gusfahmi, 2007: 60).
Menurut Gusfahmi (2007: 60)  pada masa Pemerintahan Rasulullah SAW, zakat dikenakan pada hal-hal (objek zakat) berikut:
1.     Benda logam yang terbuat dari emas seperti koin, perkakas, ornamen atau bentuk lainnya.
2.     Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornamen atau bentuk lainnya.
3.     Binatang ternak onta, sapi, domba dan kambing.
4.     Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan.
5.     Hasil pertanian termasu buah-buahan (ushr).
6.     Luqathah, harta benda yang ditinggalkan musuh.
7.     Barang temuan.

Zakat emas dan perak ditentukan berdasarkan beratnya. Binatang ternak yang digembalakan secara bebas ditentukan berdasarkan jumlahnya. Barang dagangan, barang tambang, dan luqathah ditentukan berdasarkan nilai jualnya serta hasil pertanian dan buah-buahan ditentukan berdasarkan kuantitasnya. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW telah menetapkan nisab, yakni batas terendah dari kuantitas atau nilai dari suatu barang dan jumlah dari tiap jenis binatang ternak (Karim, 2008: 47).
Pemerintahan Islam yang dibangun Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah bersama sahabatnya di Madinah mengundang-undangkan zakat secara formal kepada rakyat. Harta-harta diberi kategori tertentu hingga dikenakan kewajiban zakat (Mujahidin, 2007: 63). Artinya, tidak semua harta mutlak dikenakan zakat. Di antara syarat dan kategori itu adalah:
1.     Al-Milk al-Tamn; harta tersebut haruslah sempurna milik seseorang.
2.     Al-Nama’; harta produktif yang dapat ditumbuh kembangkan, bukan harta mati.
3.     Bulugh al-Nishab; telah memenuhi limit dan kadar tertentu.
4.     Al-Fadhl ‘an al Hawa’ij al-Ashliyyah; surplus dari kebutuhan pokok.
5.     Al-Salamah min al-Duyun; tidak terkait pada utang.
6.     Hulul al-Haulan; telah mencapai batas waktu tertentu (1 tahun).
Selain objek zakat dan syarat/kategori yang diatur Rasulullah SAW mengenai zakat, sistem manajemen zakat pun telah diatur pada masa beliau.
Menurut Nasution et al. (2006: 214) pada zaman Rasulullah SAW, sistem manajemen zakat yang dilakukan oleh amil dibagi menjadi bebebrapa bagian, yaitu:
1.     Katabah, petugas untuk mencatat para wajib zakat.
2.     Hasabah, petugas untuk menaksir, menghitung zakat.
3.     Jubah, petugas untuk menarik, mengambil zakat dari para muzakki.
4.     Kahazanah, petugas untuk menghimpun dan memelihara harta zakat.
5.     Qasamah, petugas untuk menyalurkan zakat kepada mustahiq.

2.2.2   Zakat Pada Masa Khulafaurrasyidin
2.2.2.1  Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq
Pengangkatan Abu Bakar menggantikan Nabi Muhammad SAW menjadi masalah bagi kaum Muhajirin dan Ansor (konflik internal) serta munculnya pemberontakan untuk memisahkan diri dari pemerintahan Madinah. Para pemberontak berasal dari dua kelompok, kelompok pertama terdiri dari mereka yang kembali balik menyembah berhala di bawah pimpinan Musailamah, Tulaihah, Sajah, dan lain-lain. Kelompok kedua tidak menyatakan permusuhan terhadap Islam tetapi hanya memberontak kepada negara. Mereka menolak membayar zakat dengan dalih bahwa pembayaran itu hanya sah kepada Nabi, satu-satunya orang yang mereka siap membayarnya. Berdasarkan pada kondisi di atas maka langkah pertama yang dilakukan selama pemerintahan Abu Bakar adalah menumpas pembangkang suku-suku Arab di dalam negeri melalui peperangan yang disebut perang Riddah (perang melawan kemurtadan) baru melakukan perluasan wilayah (Nasution et al., 2006: 233).
Dalam kekhalifahannya Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan penghitungan zakat sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekeurangan pembayaran. Hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Maal untuk langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum Muslimin hingga tidak ada yang tersisa. Dalam mendistibusikan harta ini, Abu Bakar menerapkan prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah SAW dengan tidak membedakan antara sahabat yang lebih dulu memeluk Islam dengan sahabat yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita. Menurutnya dalam hal keutamaan beriman, Allah SWT akan memberikan ganjarannya sedangkan dalam masalah kebutuhan hidup, prinsip kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan (Kara et al., 2009: 26).

2.2.2.2                   Khalifah Umar bin Khattab
Umar memerintah hanya selama sepuluh tahun, akan tetapi dalam periode yang singkat itu banyak kemajuan yang dialami umat Islam, kalau boleh dikatakan pemerintahan Umar merupakan abad keemasan dalam sejarah Islam. Dalam aspek ekonomi, sistem ekonomi yang dikembangkan berdasarkan kepada keadilan dan kebersamaan dan disinilah letak ketinggian ajaran Islam. Sistem tersebut didasarkan pada prinsip pengambilan sebagian kekayaan orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin (Nasution et al., 2006: 234).
Beberapa kontribusi yang diberikan Umar pada masa pemerintahannya antara lain:
1.    Reorganisasi Baitul Maal
Khalifah Umar bin Khattab mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta Baitul Maal sekaligus, tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan diantaranya disediakan dana cadangan. Harta Baitul Maal dianggap sebagai harta kaum Muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai pemegang amanah. Dengan demikian, negara bertanggung jawab untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar; membiayai penguburan orang-orang miskin; membayar utang orang-orang yang bangkrut; membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, seperti membayar diyat prajurit Shebani yang membunuh seorang Kristiani untuk menyelamatkan nyawanya; serta memberikan pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial, seperti kasus Hind binti Ataba (Karim, 2008: 59-61).
Sehingga perwujudan zakat mampu memenuhi kebutuhan dan membuat seorang fakir menjadi kaya untuk selamanya. Sehingga  dapat meninggalkan keterkaitan finansial kepada orang lain. Hal ini pun sebagaimana yang diinginkan Umar Bin Khattab dalam penjelasan teoritis terhadap penerapan zakat yang kemudian dijadikansebagai arahan yang bermanfaat dan dimasukkan ke dalam hukum tasyri’ (Qardhawi, 2005: 54).
Khalifah Umar bin Khattab menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Maal. Ia berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam harus diperhitungkan dalam menetapkan bagian seseorang dari harta negara dan karenanya, keadilan menghendaki usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik- baiknya (Karim, 2008: 64).
2.    Diversifikasi terhadap objek zakat (zakat terhadap karet di Semenanjung Yaman), tarif zakat (misalnya mengenakan dasar advalorem, satu dirham untuk 40 dirham).
Kegiatan beternak dan memperdagangkan kuda dilakukan secara besar-besaran di Syria dan di berbagai wilayah kekuasaan Islam lainnya. Beberapa kuda mempunyai nilai jual yang tinggi, bahkan pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab Taghlabi diperkirakan bernilai 20.000 dirham dan orang-orang Islam terlibat dalam perdagangan ini. Gubernur memberitahukan bahwa tidak ada zakat atas keduanya. Kemudian mereka mengusulkan kepada khalifah agar ditetapkan kewajiban zakat atas keduanya tetapi permintaan tersebut tidak dikabulkan. Akhirnya, gubernur menulis surat kepada khalifah dan Khalifah Umar menanggapinya dengan sebuah instruksi agar gubernur menarik zakat dari mereka dan mendistribusikannya kepada para fakir miskin serta budak-budak. Sejak itu, zakat kuda ditetapkan sebesar satu dinar atau atas dasar ad valorem, seperti satu dirham untuk setiap empat puluh dirham (Karim, 2008: 69).
Umar mengenakan zakat atas karet yang ditemukan di Semenanjung Yaman, antara Aden dan Mukha, dan hasil laut karena barang-barang tersebut dianggap sebagai hadiah dari Allah SWT. Thaif dikenal sebagai tempat peternakan lebah, Kahlifah Umar juga mengenakan zakat pada peternakan lebah ini. Menurut riwayat Abu Ubaid, Umar membedakan madu yang diperoleh dari pegunungandan madu yang diperoleh dari ladang. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang diperoleh dari pegunungan dan sepersepuluh untuk madu yang diperoleh dari ladang (Karim, 2008: 69-70).

2.2.2.3                   Khalifah Utsman Bin Affan
Pemerintahan Khalifah Utsman Bin Affan berlangsung selama 12 tahun. Pada masa pemerintahannya, Khalifah Utsman Bin Affan tetap mempertahankan sistem pemberian bantuan dan santunan serta memberikan sejumlah besar uang kepada masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini prinsip persamaan dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, Utsman memberikan bantuan yang berbeda pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, dalam pendistribusian harta Baitul Maal, Khalifah Utsman Bin Affan menerapkan prinsip keutamaan seperti halnya Umar Bin Khattab (Kara et al., 2009: 28).
Dalam pengelolaan zakat, Khalifah Utsman Bin Affan melantik Zaid Bin Sabit untuk mengelola dana zakat. Ia juga mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Disamping itu, Khalifah Utsman Bin Affan berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang bersangkutan. Ia juga mengurangi zakat dari dana pensiun. Selama menjadi Khalifah, beliau menaikkan dana pensiun sebesar 100 dirham disamping memberikan rangsum tambahan berupa pakaian. Utsman juga memperkenalkan tradisi mendistribusikan makanan di mesjid untuk para fakir miskin dan musafir (Karim, 2008: 80).

2.2.2.4                   Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Masa pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib berlangsung selama enam tahun, selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Sekalipun demikian, Khalifah Ali Bin Abi Thalib tetap berusaha melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Menurut sebuah riwayat, ia secara sukarela menarik diri dari daftar penerimaan dana bantuan Baitul Maal. Bahkan menurut riwayat yang lain, Ali memberikan sumbangan sebesar 5000 dirham setiap tahun. Apa pun faktanya, kehidupan Ali sangat sederhana dan sangat ketat dalam membelanjakan keuangan negara. Dalam sebuah riwayat, saudaranya yang bernama Aqil pernah mendatangi Khalifah Ali Bin Abi Thalib untuk meminta bantuan keuangan dari dana Baitul Maal. Namun Ali menolak permintaan tersebut (Karim, 2008: 82-83).
2.2.3  Zakat di Indonesia
Sebagai sebuah negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, persoalan zakat pun menjadi tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Sejarah perkembangan zakat di Indonesia mengalami jalan panjang hingga saat ini. Sejak Islam masuk di Indonesia, secara otomatis ajaran zakat pun berakumulasi dengan kehidupan masyarakat.
Menurut Aliboron (2010) sebelum tahun 1990-an, dunia perzakatan di Indonesia memiliki beberapa ciri khas, antara lain :
1.    Pada umumnya diberikan langsung oleh muzakki kepada mustahiq tanpa melalui amil zakat. Keadaan seperti ini disebabkan antara lain karena belum tumbuhnya lembaga pemungut zakat, kecuali di beberapa daerah tertentu, misalnya BAZIZ (Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah) DKI. Di daerah yang tidak ada BAZIZ umumnya muzakki langsung memberikannya kepada mustahiq. Pemahaman tentang zakat pun masih sederhana, yakni sebatas kewajiban ibadah murni yang harus dikeluarkan tanpa perlu menghubung-hubungkan dengan pemecahan berbagai problematika seperti kemiskinan.
2.    Jika pun melalui amil zakat, hanya terbatas pada zakat fitrah. Keadaan seperti ini tampak misalnya ketika memasuki bulan Ramadhan atau hanya beberapa saat sebelum lebaran di mesjid-mesjid, mushalla, secara dadakan dibentuk amil zakat untuk menerimakan zakat fitrah yang dikeluarkan oleh masyarakat di sekitar mesjid atau mushalla. Bahkan itupun masih terdapat anggota masyarakat yang berpandangan lebih afdhal kalau menyerahkan langsung zakat fitrahnya ke muzakki tanpa melalui amil zakat.
3.    Zakat yang diberikan pada umumnya hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat. Pada saat itu amil bertugas menerima dan membagi zakat belum bersifat mengelola, sehingga tidak terlalu dibutuhkan tuntutan profesionalitas. Maka amil hanyalah menjadi profesi sambilan. Keadaan seperti ini didukung oleh cara pandang masyarakat ketika itu yang umumnya bersifat konsumtif dan dapat pula menjadi indikator lemahnya kepercayaan masyarakat kepada amil zakat.
4.    Harta obyek zakat hanya terbatas. Obyek zakat ketika itu terbatas pada harta-harta yang eksplisit dikemukakan secara rinci dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi, yaitu emas perak, pertanian (terbatas pada tanaman yang menghasilkan makanan pokok), peternakan (terbatas pada sapi, kambing/domba), perdagangan (terbatas pada komoditas-komoditas yang berbentuk barang), dan rikaz (harta temuan). Ini diakibatkan masih lemahnya sosialisasi tentang zakat, baik yang berkaitan dengan hikmah, urgensi dan tujuan zakat, tata cara pelaksanaan zakat, harta obyek zakat, maupun kaitan zakat dengan peningkatan kegiatan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat masih sangat jarang dilakukan.
Sejak tahun 1990-an zakat yang merupakan salah satu instrumental Islam yang strategis dalam pembangunan ekonomi semakin populer di Indonesia. Indikasi positif ini selain disebabkan oleh kesadaran menjalankan perintah agama di kalangan umat Islam semakin meningkat dan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan setelah itu dorongan untuk membayar zakat juga datang dari pemerintah dengan disahkannya perangkat perundang-undangan berupa UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang ini telah melahirkan paradigma baru pegelolaan zakat yang antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh  satu wadah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan (Aliboron, 2010).
Dengan lahirnya paradigma baru ini, maka semua Badan Amil Zakat (BAZ) harus segera menyesuaikan diri dengan amanat undang-undang yakni pembentukannya  berdasarkan kewilayahan pemerintah negara mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Sedangkan untuk desa/ kelurahan, mesjid, lembaga pendidikan dan lain-lain dibentuk unit pengumpul zakat. Sementara sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ), sesuai amanat undang-undang tersebut, diharuskan mendapat pengukuhan dari pemerintah sebagai wujud pembinaan, perlindungan dan pengawasan yang harus diberikan pemerintah. Karena itu bagi Lembaga Amil Zakat yang telah terbentuk di sejumlah Ormas Islam, yayasan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dapat mengajukan permohonan pengukuhan kepada pemerintah setelah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan (Aliboron, 2010).

2.3    Konsep Pajak
2.3.1   Sejarah dan Landasan Filosofis Pemungutan Pajak
Pajak sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Pada saat itu, pajak biasanya ditarik untuk kebutuhan bersama, terutama untuk dana sebuah peperangan, karena pada saat itu masyarakat masih melakukan perang guna memperebutkan wilayah kekuasaan. Seperti di Mesir contohnya, penarikan pajak sudah dilakukan sejak zaman fir’aun. Pada saat itu, nama penarik pajak disebut dengan scribe. Di Yunani, pemungutan pajak disebut dengan eisphora, yaitu pajak yang dikenakan guna membiayai suatu peperangan. Di Romawi, ada yang namanya portoria, yaitu pemungutan pajak yang berhubungan dengan bea masuk barang ekspor impor. Di Inggris, pada saat abad pertengahan Inggris terkenal dengan perang yang berlangsung selama 100 tahun dengan Perancis yang berakhir sekitar tahun 1453 M. Pada saat itu, mulai dikenal sistem pajak yang dikenakan atas penghasilan, pajak kekayaan, kantor dan pajak seorang pendeta. Pada saat itu pajak tanah juga mulai muncul, pajak atas kepemilikan tanah dan bangunan. Di Amerika, sejarah pajak nampaknya sudah menjadi pelopor pajak di era modern saat ini. Sejarah pajak di Amerika berlangsung sangat panjang. Saat itu, rakyat Amerika dikenakan pajak atas penghasilan mereka, yakni sekitar tahun 1812M. Pajak ini menggunakan tarif progressif, yaitu 0,08% untuk penghasilan di atas 60 pound dan 10% untuk penghasilan di atas 200 pound (Wahyu, 2010).
Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen di Indonesia telah dikenakan pada masa kolonial. Tetapi pada masa kerajaan dahulu juga telah ada pungutan seperti pajak, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara).
Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan (PPn). Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “landrente”. Peraturan tentang landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan ordonansi landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964 (Ekonomikieta, 2009).
Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi esensial. Memang dibeberapa negara yang sudah maju, pajak sudah merupakan suatu conditiesine qua non bagi penambahan keuangan negara. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh lebih-lebih lagi bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia, atau negara yang baru bebas dari belenggu kolonialis pajak merupakan darah bagi tubuh negara. Atas dasar ini, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan “benefit apoprouch” atau pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar filolosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai yang dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa. Pendekatan manfaat (benefit approuch) ini mendasarkan suatu falsafah: oleh karena negara menciptakan manfaat yang dinikmati oleh seluruh warga negara yang berdiam dalam negara, maka negara berwewenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dapat dipaksakan (Ekhardi, 2010).
Di dalam literatur ilmu keuangan negara, kita temukan teori-teori yang memberikan dasar pembenaran atau landasan filosofis daripada wewenang negara untuk memungut pajak dengan cara yang dapat dipaksakan. Teori-teori tersebut adalah (Ekhardi, 2010):
1.    Teori asuransi
Menurut teori ini, negara  dalam melaksanakan tugasnya/fungsinya, mencakup pula tugas perlindungan terhadap jiwa dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu, negara bekerja atau bertindak sebagai perusahaan asuransi. Untuk perlindungan itu, warga negara membayar premi dan pembayaran pajaklah yang dapat dipandang sebagai premi itu. Teori ini sudah lama ditinggalkan, dan sekarang praktis tidak ada lagi pembelanya, sebab negara tidak mengganti kerugian  bila timbul kerugian  atas orang-orang yang bersangkutan, misalnya dibunuh atau hartanya dicuri.
2.    Teori kepentingan
Menurut teori ini, pajak itu mempunyai hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya.
3.    Teori kewajiban pajak mutlak (teori pengorbanan)
Teori ini berpangkal tolak dari ajaran organik kenegaraan (Organische Staatsleer) dan berpendirian  bahwa tanpa negara maka individu tidak mungkin bisa hidup bebas berusaha dalam negara. Oleh karena itu, negara mempunyai hak  mutlak untuk memungut pajak. Tanpa negara, maka individu pun tidak ada, dan pembayaran pajak oleh individu kepada negara adalah dipandang sebagai tanda pengorbanan atau tanda baktinya kepada negara. Teori ini terlalu menitikberatkan kepada negara yaitu seolah-olah individu itu tidak dapat hidup tanpa negara, tetapi negara dapat hidup tanpa individu. Padahal realitasnya tidak demikian, sebab negara pun tak mungkin hidup/ada tanpa individu.
4.    Teori gaya beli
Teori ini mengajarkan bahwa fungsi pemungutan pajak, jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat dengan tujuan untuk memelihara hidup masyarakat atau untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Teori ini banyak penganutnya, karena kepraktisannya. Teori ini berlaku sepanjang masa baik dalam ekonomi liberal, bahkan juga dalam masyarakat sosialistis, meskipun tidak luput dari variasi-variasi dalam coraknya. Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, melainkan hanya melihat kepada “efek” yang baik sebagai dasar keadilan pemungutan pajak dan bukan kepentingan individu, maupun bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
5.    Teori gaya pikul
Teori ini mengajarkan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari si wajib pajak (individu). Tekanan semua pajak-pajak harus sesuai dengan gaya pikul si wajib pajak dengan memperhatikan pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran belanja wajib pajak tersebut.

2.3.2   Pengertian Pajak dan Unsur Pajak
Secara etimologi, pajak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah dharibah. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban. Hal ini tampak jelas dalam ungkapan bahwa jizyah dan kharaj dipungut secara dharibah, yakni secara wajib. Bahkan sebagian ulama menyebut kharaj merupakan dharibah (Gusfahmi, 2007: 27).
Menurut Qardhawi dalam Gusfahmi (2007: 31):
“Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara”.


Menurut Gaji Inayah dalam Gusfahmi (2007: 32):
“Pajak adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu. Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik harta dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah”.

Menurut Abdul Qadim Zallum dalam Gusfahmi (2007: 32), “Pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul maal tidak ada uang/ harta”. 
Menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2009: 1), “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal atau kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
a.    Iuran dari rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang dan bukan barang.
b.    Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
c.    Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
d.    Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

2.3.3   Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2009: 1-2) ada dua fungsi pajak, yaitu:
a.    Fungsi Budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
b.    Fungsi Mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

2.3.4   Jenis-Jenis Pajak
a.    Pajak Penghasilan (PPh), adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak. Subjek Pajak Pajak Penghasilan (PPh) adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan (Resmi, 2003:74).
Lebih lanjut, menurut Diana dan Lilis Setiawati (2009: 163), Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tersebut disebut sebagai Wajib Pajak (WP). Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Adapun tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 295), yaitu:
LAPISAN PENGHASILAN KENA PAJAK
TARIF PAJAK
Sampai dengan Rp. 50.000.000,00
5%
Di atas Rp. 50.000.000,00 s.d. Rp. 250.000.000,00
15%
Di atas Rp. 250.000.000,00 s.d. Rp. 500.000.000,00
25%
Di atas Rp. 500.000.000,00
30%

b.    Pajak Pertambahan Nilai (PPN)  dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM).
Menurut Yolina (2009: 15) “Pajak Pertmbahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak yang akan selalu terjadi dalam perusahaan kecil dan menengah baik yang bergerak di bidang perdagangan maupun jasa”.     
Lebih lanjut, menurut Sukardji (2004: 3) “PPN adalah pajak objektif yang mengandung pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh adanya objek pajak”.
Menurut Diana dan Lilis Setiawati (2009: 630), PPnBM dikenakan atas:
1.    Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2.    Impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
  1. Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (Diana dan Lilis setiawati, 2009: 677).
  2. Bea Materai. Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 menetapkan pajak atas dokumen yang disebut Bea Materai. Pelaksanaanya diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Materai (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 739).
e.    Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1994 (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 711).

2.3.5   Syarat Pemungutan Pajak
          Menurut Mardiasmo (2009: 2) agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.     Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
b.    Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)
c.     Tidak menganggu perekonomian (syarat ekonomis)
d.    Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial)
e.     Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

2.3.6   Pengelompokan Pajak
            Menurut Mardiasmo (2009: 5-6) pengelompokan pajak terdiri atas:
a.  Menurut Golongannya
1.  Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
2.  Pajak tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
b.  Menurut Sifatnya
1.  Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
2.  Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
c.  Menurut Lembaga Pemungutnya
1.  Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
2.  Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

2.4    Penerapan Pajak
2.4.1  Pajak Pada Masa Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW juga sudah terdapat  jizyah yaitu pajak yang dibayarkan oleh orang nonmuslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer. Besarnya jizyah yakni satu Dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Tujuan utamanya adalah kebersamaan dalam menanggung beban negara yang bertugas memberikan perlindungan, keamanan dan tempat tinggal bagi mereka dan juga sebagai dorongan kepada kaum kafir untuk masuk Islam. Jizyah merupakan hak Allah SWT yang diberikan kepada kaum Muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Jizyah masih terkait dengan hasil dakwah dan jihad kaum Muslimin. Pihak yang wajib membayar Jizyah adalah para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi, Nasrani dan yang bukan ahli kitab seperti orang-orang Majusi, Hindu, Budha dan Komunis yang telah menjadi warga negara Islam (Nasution et al., 2006: 228).
Meskipun jizyah merupakan hal yang wajib, namun dalam ajaran Islam ada ketentuannya, yaitu bahwa jizyah wajib dikenakan kepada seluruh nonmuslim dewasa, laik-laki, yang mampu membayarnya. Sedangkan bagi perempuan, anak-anak, orang tua dan pendeta dikecualikan sebagai kelompok yang tidak wajib ikut bertempur dan tidak diharapkan mampu ikut bertempur. Orang-orang miskin, penganggur, pengemis, tidak dikenakan pajak. Hasil pengumpulan dana dari jizyah, digunakan untuk membiayai kesejahteraan umum (Suprayitno, 2005: 179-180). Sebagaimana kewajiban tentang pembayaran jizyah dalam firman Allah :
Artinya:
”Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (QS. At-Taubah: 29).

Di samping itu Rasulullah SAW juga memberlakukan kharaj, yaitu sejenis pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukkan oleh kekuatan senjata, terlepas dari apakah si pemilik itu seorang yang dibawah umur,  seorang dewasa, seorang bebas, budak, Muslim ataupun tidak beriman. Cara memungut kharaj terbagi dua jenis: kharaj menurut perbandingan (Muqasimah) dan kharaj tetap (Wazifah). Kharaj menurut perbandingan ditetapkan porsi hasil seperti  setengah atau sepertiga hasil itu. Sebaliknya, kharaj tetap adalah beban khusus pada tanah sebanyak hasil alam atau uang persatuan lahan. Kharaj menurut perbandingan pada umumnya dipungut pada setiap kali panen, sedangkan kharaj tetap menjadi wajib setelah lampau satu tahun (Mannan, 1997: 250).

2.4.2   Pajak Pada Masa Khulafaurrasyidin
2.4.2.1  Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq
Pada masa kekhalifahannya, Abu Bakar tidak merubah kebijakan Rasulullah SAW dalam masalah jizyah. Sebagaimana Rasulullah SAW, Abu Bakar tidak membuat ketentuan khusus tentang jenis dan kadar jizyah, maka pada masanya, jizyah dapat berupa emas, perhiasan, pakaian, kambing, onta, atau benda-benda lainnya (Mofidrabbani, 2011). Abu Bakar juga melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan, sebagian diberikan kepada kaum Muslimin dan sebagian yang lain tetap menjadi tanggungan negara. Di samping itu, Abu Bakar juga mengambil alih tanah-tanah dari orang-orang yang murtad untuk kemudian dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam secara keseluruhan (Karim, 2008: 57).

2.4.2.2                   Khalifah Umar bin Khattab
Pada masa kekhalifahannya, Umar telah merubah taksiran jizyah dari ketetapan Nabi. Umar tidak lagi menggunakan ukuran dinar atau yang senilai dengannya, tapi beliau menggunakan dirham. Selain itu beliau juga membeda-bedakan standar jizyah berdasarkan kondisi perekonomian orangnya. Beliau tidak ingin jizyah yang harus dibayarkan oleh kaum dzimmi (orang nonmuslim yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam) membebani mereka diluar kemampuannya. Jizyah diambil sekali dalam setahun, dimulai dari awal bulan Muharram dan ditutup akhir bulan Dzulhijjah. Untuk pengambilannya, diangkat petugas khusus untuk menarik jizyah serta untuk pendistribusiannya yaitu amil (pegawai pajak). Dalam pengangkatan pegawai pajak Umar melakukan seleksi terlebih dulu terhadap orang yang bersifat jujur dan cocok untuk menduduki posisi sebagai pegawai pajak. Kedudukan serta upah mereka merupakan bagian dari Baitul Mal, bukan kewajiban dari kaum dzimmi. Petugas ini dilarang mengambil sesuatu yang lebih dari besarnya jizyah yang telah ditetapkan atas seorang dzimmi. Selain itu, petugas ini dilarang memukul atau menganiaya kaum dzimmi waktu mengambil  jizyah (Cahaya, 2008).
Adapun penentuan kharaj pada masa Umar Bin Khatab yaitu, kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah ushr. Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi yang dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan (Karim, 2008: 67-68).

2.4.2.3                   Khalifah Utsman Bin Affan
Khalifah Utsman bin Affan membuat beberapa perubahan administrasi tingkat atas pergantian beberapa gubernur. Sebagai hasilnya, jumlah pemasukan kharaj dan jizyah yang berasal dari Mesir meningkat dua kali lipat yakni dari 2 juta dinar menjadi 4 juta dinar setelah dilakukan penggantian gubernur dari Amar kepada Abdullah bin Saad. Namun hal ini mendapat kecaman dari Amar. Menurutnya pemasukan besar yang diperoleh Gubernur Abdullah bin Saad merupakan hasil pemerasan penguasa terhadap rakyatnya. Dengan harapan dapat memberikan tambahan pemasukan bagi Baitul Mal, Khalifah Utsman menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah negara kepada individu-individu untuk tujuan reklamasi. Dari hasil kebijakannya ini, negara memperoleh pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham jika dibandingkan pada masa Umar bin Khattab yang tidak membagikan tanah-tanah tersebut (Kara et al., 2009: 29).

2.4.2.4  Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Selama masa pemerintahannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib menetapkan pajak terhadap para pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan mengizinkan Ibnu Abbas, Gubernur Kufah, memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu masakan (Karim, 2008: 83).  Jizyah disesuaikan dengan keuangan mereka. Orang-orang kaya harus membayar lebih besar, kelas menengah harus membayar jumlah dibawah orang kaya, dan orang yang miskin membayar paling murah. Mereka yang miskin sekali atau tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap atau menggantungkan hidupnya dari orang lain tidak perlu membayar jizyah. Begitu negara menerima jizyah dari mereka, kaum Muslimin dilarang memperlakukan mereka secara keras dan zalim. Tanah, harta kekayaan serta nyawa mereka dan sekaligus kehormatannya wajib dilindungi karena sama sucinya dengan semua yang dimiliki oleh kaum Muslimin sendiri. Hak-hak mereka tidak dapat ditindas dan dirampas atau pun dibebani beban yang tidak dapat mereka tanggung. (marhabanyamarhaban.wordpress.com)

2.4.3  Pajak di Indonesia
Pemungutan pajak di Indonesia secara umum menganut sistem self assessment.Sistem self assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (Diana dan Liis Setiawati, 2009: 1-2)
Selain sistem self assessment ada dua sistem lagi yang dipakai di Indonesia (Ozha, 2011), yakni:
1.    Official assessment, yaitu Pajak Terhutang Ditetapkan Oleh Pejabat Pajak. Pajak dihitung negara, dalam hal ini oleh Petugas Pajak, dan setelah ditetapkan kemudian Wajib Pajak diwajibkan membayar berdasarkan perhitungan Petugas Pajak. Di Indonesia, sistem Official Assesment dianut dalam hal pengenaan pajak, dilakukan berdasarkan Hasil Pemeriksaan Pajak atau berdasarkan keterangan lainnya.
2.    Witholding System, yaitu Pajak Terhutang Dihitung dan Dilaporkan Melalui Pemotongan dan/atau Pemungutan oleh Pihak Lawan Transaksi. Pajak yang diperoleh negara melalui sistem pemotongan dan/atau pemungutan. Misalnya, suatu perusahaan membayar imbalan jasa kepada perusahaan lain, maka atas imbalan jasa tersebut wajib dipotong pajak dengan persentase tertentu oleh Pihak Lawan Transaksi.
Konsekuensi sistem self assessment, setiap Wajib Pajak yang memiliki penghasilan wajib mendaftarkan diri sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Lebih lanjut, setiap Wajib Pajak wajib menghitung sendiri dan membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak. Jadi, hutang pajak tidak timbul pada saat dibuatkan Surat Ketetapan Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan di Indonesia saat terutangnya pajak tersebut ditetapkan sebagai berikut (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 2):
1.     Pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga.
2.     Pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa  dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3.    Pada akhir tahun Pajak, untuk Pajak Penghsilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran, oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke Kas Negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jadi, jika Wajib Pajak telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak ataupun Surat Tagihan Pajak. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 2-3).
            Dengan melihat pelaksanaan pajak yang telah diuraikan di atas, pengelolaan pajak di Indonesia terbilang sukses. Ini semua tidak lepas dengan adanya administrasi pajak yang tentunya efisien dan efektif. Menurut Parwito (2009: 8-9) administrasi pajak yang baik harus meliputi tiga aspek, yaitu:
1.    Fungsi. Administrasi pajak sebagai fungsi meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Dalam fungsi perencanaan, administrasi pajak merencanakan apa yang akan dicapai oleh fiskus, baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Sebagai fungsi pengorganisasian, administrasi pajak melakukan pengelompokan tugas, tanggungjawab, wewenang sedemikian rupa sehingga tujuan yang telah ditetapakan dapat tercapai secara efisien. Fungsi palaksanaan meliputi pemberian motivasi kerja kepada para pegawai sehingga mereka bekerja dengan semangat yang tinggi. Sedangkan fungsi pengawasan, administrasi diperlukan untuk proses pengamatan dan mengupayakan agar apa yang dilakukan sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya, sehingga jika terjadi kesalahan dapat dilakukan tindakan koreksi atau pembetulan.
2.    Sistem. Administrasi pajak sebagai suatu sistem merupakan subsistem dari keuangan negara. Sedangkan keuangan negara merupakan suatu sistem dari administrasi negara dan administrasi negara pun merupakan subsistem dari kehidupan kenegaraan pada umumnya. Dengan demikian, setiap sistem merupakan suatu subsistem dari sistem yang lebih luas sehingga satu dengan lainnya saling terkait dalam suatu lingkungan yang kompleks.
3.    Lembaga. Administrasi pajak sebagai lembaga meliputi badan-badan yang secara khusus menangani masalah perpajakan. Di Indonesia lembaga tersebut adalah Direktorat Jenderal Pajak yang dalam operasionalnya dibentuk instansi vertikal berupa Kantor Wilayah dengan membawahi beberapa Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor Pemeriksaan Pajak, yang pada perkembangan selanjutnya Kantor Wilayah membawahi Kantor Pelayanan Pajak yang mempunyai 4 fungsi (fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan) seperti yang telah dijelaskan di atas.

2.5    Mekanisme Zakat Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Dalam  Keputusan  Direktur  Jenderal Pajak Nomor KEP.163/PJ./2003 tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak, dijelaskan dengan tegas bahwa zakat  dapat mengurangi  pajak  setelah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Husain, 2010):
1.    Zakat harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam.
2.    Zakat dibayarkan kepada BAZ (Badan Amil Zakat)  atau  LAZ  (Lembaga  Amil  Zakat) yang   dibentuk    atau    disahkan    oleh pemerintah sesuai ketentuan Undang- undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
3.    Zakat yang dibayarkan adalah penghasilan yang merupakan objek pajak yang dikenakan pajak penghasilan yang tidak bersifat final.
4.    Zakat penghasilan yang dibayarkan diakui sebagai   pengurangan   PPh  pada  tahun zakat tersebut dibayarkan.
5.    Melampirkan lembar ke-1 Surat Setoran zakat atau fotocopinya yang telah dilegalisir oleh BAZ atau LAZ penerima setoran zakat yang bersangkutan pada SPT tahuna pajak penghasilan tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut. Selanjutnya Surat Setoran Zakat yang dapat diakui sebagi bukti, sekurang-kurangnya harus memuat:
a.     Nama lengkap wajib pajak
b.     Alamat jelas wajib pajak
c.     Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
d.     Jenis penghasilan yang dibayar zakatnya
e.     Sumber atau jenis penghasilan dan bulan atau tahun perolehannya
f.      Besarnya penghasilan
g.     Besarnya zakat atas penghasilan
Contoh kasus zakat sebagai pengurang Pajak Penghasilan (PPh):


2.6    Pendapat Ulama Mengenai Penerapan Zakat dan Pajak
            Pendapat Ulama dalam Hasan (1996: 36-37) tentang zakat dan pajak sebagai berikut:
1.    Pendapat Syekh Ulaith
Dalam fatwa beliau dari mazhab Maliki disebutkan, bahwa beliau pernah memberi fatwa mengenai orang yang memiliki ternak yang sudah sampai nisabnya. Kepada orang tersebut dipungut uang setiap tahunnya, tetapi tidak atas nama zakat. Apakah orang itu boleh berniat atas nama zakat, dan apakah kewajiban berzakat telah gugur karena itu? Beliau dengan tegas menjawab: “ia tidak boleh berniat zakat. Jika dia berniat zakat, maka kewajibannya tidak menjadi gugur, sebagaimana telah difatwakan oleh Nasir al-Haqani dan al-Hatab”.
2.    Fatwa Syekh Mahmud Syaltut
Dalam masalah yang dibicarakan ini beliau mengatakan, bahwa zakat bukanlah pajak. Zakat pada dasarnya adalah ibadah harta. Memang antara zakat dan pajak ada persamaannya, tetapi ada perbedaanya dalam banyak hal. Pada prinsipnya pendapat beliau itu sama dengan ulama-ulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas dan sasarannya. Zakat kewajiban kepada Allah SWT sedang pajak kewajiban kepada pemerintah.
3.    Pendapat Syekh Abu Zahrah
Begitu ditanya orang mengenai pajak dan zakat beliau menjawab, bahwa pajak itu sampai sekarang tidak memiliki nilai-nilai khusus, yang dapat memberikan jaminan sosial, padahal tujuan pokok pajak adalah menanggulangi masalah sosial kemasyarakatan. Zakat dapat memenuhi tuntutan sebagai pajak. Tetapi pajak tidak mungkin dapat memenuhi tuntutan zakat, karena pajak tidak menanggulangi kebutuhan fakir miskin yang menuntut untuk dipenuhi. Zakat adalah merupakan kewajiban dari Allah SWT dan tidak mungkin dihapuskan oleh hamba-Nya. Zakat tetap dipungut sepanjang zaman, walaupun fakir miskin telah tiada. Pemanfaatannya disalurkan untuk fi sabilillah.




2.7   Kerangka Berpikir

Pengelolaan zakat secara efektif
dengan penerapan konsep pajak
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1  Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini tergolong dalam penelitian pustaka atau literatur (Library Research) berupa pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Menurut Sangadji dan Sopiah (2010: 28), “Pengertian penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu”.

3.2  Jenis dan Sumber Data
3.2.1  Jenis Data
1.   Data Kualitatif adalah data yang tidak dapat diukur atau dinilai dengan angka-angka secara langsung.
2.   Data Kuantitatif adalah data yang dapat diukur atau dinilai dengan angka-angka secara langsung.

3.2.2  Sumber Data
Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur, seperti buku-buku yang menunjang dengan obyek penelitian dan berkaitan dengan yang akan diteliti dalam hal ini mengenai zakat dan pajak, jurnal dan website yang membahas tentang kaitan zakat dan pajak, dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian.



 
3.3  Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa Penelitian Kepustakaan (Library Research). Teknik ini merupakan bentuk penelitian yang dilakukan peneliti dengan mengumpulkan sejumlah data dengan jalan membaca dan menulusuri literatur-literatur baik berupa buku-buku, majalah, dan tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.

3.4  Teknik Analisis Data
            Untuk membahas rumusan masalah yang pertama yaitu mengenai persamaan dan perbandingan antara konsep zakat dan konsep pajak, peneliti menggunakan metode deskripsi komparatif. Zakat dan pajak dianalisis mengenai persamaan dan perbedaannya secara lebih rinci.
            Untuk membahas rumusan masalah kedua yaitu mengenai pendapat/pemikiran ulama mengenai penerapan konsep pajak pada zakat, peneliti menggunakan metode deskripsi analisis. Dengan mengumpulkan beberapa pendapat para ulama, dimulai dari pendapat umum para ulama mengenai zakat dan pajak, ulama yang berpendapat bahwa ada kewajiban lain atas harta selain zakat, ulama yang berpandapat bahwa pajak itu boleh, ulama yang berpendapat bahwa pajak itu haram, dan yang terakhir alasan ulama membolehkan pajak.
            Sedangkan untuk membahas rumusan masalah ketiga mengenai pengelolaan zakat secara efektif dengan penerapan konsep pajak digunakan metode deskripsi analisis. Dengan memaparkan kelebihan yang dimiliki konsep pajak terhadap konsep zakat kemudian dilakukan analisis apakah konsep tersebut dapat diterapkan pada zakat, sehingga diperoleh pengelolaan zakat secara efektif dengan penerapan konsep pajak.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1  Persamaan dan Perbedaan Antara Zakat dan Pajak
4.1.1  Persamaan Antara Zakat dan Pajak
Terdapat beberapa persamaan pokok antara zakat dan pajak (Hafidhuddin, 2002: 52-55), antara lain:
a.   Unsur Paksaan
Seorang Muslim yang memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan zakat, jika melalaikan atau tidak menunaikannya, penguasa yang diwakili oleh para petugas zakat wajib memaksanya. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam surat at-Taubah: 103.
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ   


Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa memberikannya (zakat) karena berharap mendapatkan pahala, maka baginya pahalanya. Dan barang siapa yang enggan mengeluarkannya, kami akan mengambilnya (zakat), dan setengah untanya, sebagai salah satu ‘uzmah (kewajiban yang dibebankan kepada para hamba) oleh Allah SWT. Tidak sedikitpun dari harta itu yang halal bagi keluarga Muhammad SAW.”

Oval: 56


Demikian pula halnya seseorang yang sudah termasuk kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa padanya, baik secara langsung maupun tidak langsung, jika wajib pajak melalaikan kewajibannya. Tindakan paksa tersebut dilakukan secara bertingkat mulai dari peringatan, teguran, surat paksa, sampai dengan penyitaan.
b.   Unsur Pengelola
Asas pelaksanaan pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam surat at-Taubah: 60.
Berdasarkan ayat tersebut, dapatlah diketahui bahwa pengelolaan zakat bukanlah semata-mata dilakukan secara individual, dari muzakki diserahkan langsung kepada mustahiq, akan tetapi dilakukan oleh sebuah lembaga yang khusus yang menangani zakat, yang memenuhi persyaratan tertentu yang disebut dengan amil zakat. Amil zakat inilah yang memiliki tugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan penagihan dan pengambilan, serta mendistribusikannya secara tepat dan benar.
Dalam bab III Undang-Undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dikemukakan bahwa organisasi pengelolaan zakat di Indonesia ada dua macam, yaitu: Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Di samping berkaitan dengan perintah Al-Qur’an, pengelolaan zakat oleh amil zakat ini mempunyai beberapa kelebihan atau keunggulan, antara lain:
1.    Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
2.    Menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila berhadapan langsung menerima haknya dari dari para wajib zakat (muzakki).
3.    Untuk mencapai efisiensi, efektivitas, dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.
4.    Untuk memperlihatkan syi’ar Islam dalam semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami.
Sementara itu dalam Bab II pasal 5 Undang-Undang nomor 38 tahun 1999, dikemukakan bahwa pengelolaan zakat melalui amil zakat bertujuan:
1.    Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama.
2.    Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3.    Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Adapun pengelolaan zakat, jelas harus diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan pengertian pajak itu sendiri, yaitu iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum, berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
c.   Dari Sisi Tujuan
Dari sudut pembangunan kesejahteraan masyarakat, zakat memiliki tujuan yang sangat mulia, seperti digambarkan oleh Muhammad Said Wahbah, yaitu:
1.    Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat Islam.
2.    Merapatkan dan mendekatkan jarak dan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat.
3.    Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana, seperti bencana alam maupun bencana lainnya.
4.    Menutup biaya-biaya yang timbul akibat terjadinya konflik, persengketaan dan berbagai bentuk kekerasan dalam masyarakat.
5.    Menyediakan suatu dana taktis dan khusus untuk penanggulangan biaya hidup para gelandangan, pengangguran dan tuna sosial lainnya, termasuk dana untuk membantu orang-orang yang hendak menikah tetapi tidak memiliki dana untuk itu. Pada akhirnya, zakat bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman.
Demikian pula pajak, dalam tujuan relatif sama dengan tujuan di atas, terutama dalam hal pembiayaan pembangunan negara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat banyak. Sementara itu, Permono dalam Hafidhuddin (2002: 55) mengemukakan bahwa terdapat persamaan dalam tujuan zakat dan pajak, yaitu sebagai sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata dan berkesinambungan antara kebutuhunan material dan spiritual.
Lebih lanjut, menurut Nurhayati dan Wasilah (2009: 270-271) zakat dan pajak mempunyai beberapa persamaan, yaitu:
1.    Bersifat wajib dan mengikat atas harta yang ditentukan, dan ada sanksi jika mengabaikannya.
2.    Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai optimalisasi penggalangan dana maupun penyalurannya.
3.    Zakat dan pajak memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membantu penyelesaian masalah ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
4.    Tidak ada janji akan memperoleh imbalan materi tertentu di dunia.
5.    Zakat dan pajak dikelolah oleh negara pada pemerintahan Islam.

4.1.2    Perbedaan Antara Zakat dan Pajak
Terdapat beberapa perbedaan pokok yang menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak dianggap sama, meskipun dalam beberapa hal terdapat beberapa persamaan di antara keduanya. Beberapa perbedaan mendasar tersebut antara lain (Hafidhuddin, 2002: 55-59):
a.   Dari Segi Nama
Secara etimologis, zakat berarti bersih, suci, berkah, tumbuh, maslahat, dan berkembang. Artinya setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan bersih, tumbuh, berkah dan berkembang. Demikian pula bagi muzakki. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT. Dalam surat ar-Ruum: 39 dan Surat at-Taubah: 103. Sedangkan pajak, berasal dari kata al-dharibah yang secara etimologis berarti beban, seperti dalam kalimat: “Ia telah membebankan kepadanya upeti untuk dibayarkan”.
Kadangkala diartikan pula dengan al-Jizyah yang berarti pajak tanah (upeti), yang diserahkan oleh ahli dzimmah (orang yang tetap dalam kekafiran, tetapi tunduk dalam aturan Islam) kepada pemerintah Islam. Allah SWT berfirman dalam surat at-Taubah: 29
Artinya:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasulullah SAW. Tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberi al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”

Tafsir departemen agama Republik Indonesia pada catatan kaki no. 638, memberikan keterangan bahwa yang dimaksud dengan jizyah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam sebagai perimbangan bagi jaminan keamanan diri mereka sendiri.
b.   Dari Segi Dasar Hukum dan Sifat Kewajiban
Zakat ditetapkan berdasarkan dengan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang bersifat qathi, sehingga kewajibannya bersifat mutlak atau absolut sepanjang masa. Qardhawi menyatakan bahwa zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus. Ia akan berjalan terus selama Islam dan kaum Muslimin ada di muka bumi ini. Kewajiban tersebut tidak akan dapat dihapuskan oleh siapa pun. Seperti halnya shalat, zakat merupakan tiang agama dan merupakan pokok ajaran Islam. Ia merupakan ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, karenanya memerlukan keikhlasan ketika menunaikannya, di samping sebagai ibadah yang mengandung berbagai hikmah yang sangat penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat. Allah SWT berfirman dalam surat al-Bayyinah: 5
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$#  
Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Karena itu, dalam pembahasan fiqhiyyah, kajian zakat dimasukkan dalam bagian ibadah, bersama dengan kajian thaharah (bersuci), shalat, shaum, dan ibadah haji. Sedangkan pajak, keberadaannya sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Di Indonesia, misalnya, hukum pajak bersumber dan berdasarkan pada pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
c.   Dari Sisi Objek, persentase dan Pemanfaatan
Zakat, memiliki nisab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadits Nabi. Nisab zakat emas perak adalah senilai 85 gram dan persentase zakatnya adalah 2,5%. Demikian pula zakat harta perdagangan, pertanian, peternakan, pertambangan, dan komoditas-komoditas lainnya. Demikian pula pemanfaatan dan penggunaan zakat, tidak boleh keluar dari asnaf yang delapan golongan, sebagaimana tergambar dalam firman Allah surat at-Taubah: 60, meskipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kriteria dari masing-masing mustahiq.
Sedangkan aturan besar dan pemungutan pajak sangat bergantung kepada peraturan yang ada serta tergantung pula pada obyek pajaknya. Dalam berbagai literatur dikemukakan bahwa besarnya pajak sangat bergantung kepada jenis, sifat dan cirinya. Dilihat dari sifatnya terdapat berbagai macam pajak, yaitu sebagai berikut:
1.    Pajak Pribadi. Dalam hal ini pengenaan pajak lebih memperhatikan keadaan pribadi seseorang, seperti istri, jumlah anak, dan kewajiban finansial lainnya (PPh pribadi).
2.    Pajak Kebendaan. Yang diperhatikan adalah obyeknya, pribadi wajib pajak dikesampingkan (PPh Badan Hukum).
3.    Pajak atas Kekayaan. Yang menjadi obyek pajak adalah kekayaan seseorang atau Badan (PKK).
4.    Pajak atas Bertambahnya Kekayaan. Pengenaannya didasarkan atas seseorang yang mengalami kenaikan/pertambahan kekayaan, biasanya dikenakan hanya satu kali.
5.    Pajak atas Pemakaian (konsumsi). Pajak atas kenikmatan seseorang (PRT/PPI).
6.    Pajak yang Menambah Biaya Produksi. Yaitu pajak yang dipungut karena jasa negara dengan secara langsung dapan dinikmati oleh para produsen.
Jika zakat harus digunakan untuk kepentingan mustahiq yang berjumlah delapan asnaf, maka pajak dapat dipergunakan dalam seluruh sektor kehidupan, sekalipun dianggap sama sekali tidak berkaitan dengan ajaran agama.
            Menurut Al-Habsyi dalam Hafidhuddin (2002: 59) perbedaan esensial antara zakat dan pajak, antara lain:
1.    Ketentuan kadar zakat yang diwajibkan oleh syari’at atas masing-masing jenis harta, seperti 2,5%, 5 %, 10%, dan 20% yang tidak sama dengan kadar atau persentase pajak yang ditentukan oleh setiap pemerintahan atas setiap jenis penghasilan.
2.    Niat khusus yang menyertai pengeluaran zakat sebagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT yang tidak dapat dipersamakan dengan niat ketika membayar pajak kepada pemerintah.
3.    Ketentuan khusus tentang orang-orang atau lembaga-lembaga tertentu yang diperbolehkan maupun tidak diperbolehkan menerima zakat, sebagaimana telah dirinci oleh Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Lebih lanjut menurut Syarwat dalam Nurhayati dan Wasilah (2009: 270) terdapat beberapa perbedaan antara pajak dan zakat, yaitu:
1.    Zakat merupakan manifestasi ketaatan umat terhadap perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang warga negara kepada ulil amrinya (pemimpinnya).
2.    Zakat telah ditentukan kadarnya dalam Al-Qur’an dan hadits, sedangkan pajak dibentuk oleh hukum negara.
3.    Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum Muslimin sedangkan pajak dikeluarkan oleh setiap warga negara tanpa memandang apa agama dan keyakinannya.
4.    Zakat berlaku bagi setiap Muslim yang telah mencapai nisab tanpa memandang di negara mana ia tinggal, sedangkan pajak hanya berlaku dalam batas garis teritorial suatu negara saja.
5.    Zakat adalah suatu ibadah yang wajib didahului oleh niat sedangkan pajak tidak memakai niat.
6.    Zakat harus dipergunakan untuk kepentingan mustahiq yang berjumlah delapan asnaf (sasarannya), sedangkan pajak dapat dipergunakan dalam seluruh sektor kehidupan.
Menurut Qardhawi dalam Husain (2010), terdapat beberapa perbedaan pokok antara pajak dan zakat. Beberapa perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut:
1.    Dari segi nama dan etiketnya/maknanya
Perbedaan dari segi nama dan maknanya, kata zakat menurut bahasa berarti suci, tumbuh dan berkah. Syariat Islam memilih kata zakat untuk mengungkapkan  arti dan bagian harta yang wajib dikeluarkan  untuk fakir miskin dan mustahiq lainnya. Adapun dharibah (pajak) diambil dari kata dharaba yang berarti utang, pajak tanah, atau upeti, dan sebagainya, yaitu sesuatu  yang mesti dibayar, sesuatu yang menjadi beban.
2.    Mengenai hakikat dan tujuannya
Perbedaan antara pajak dan zakat adalah bahwa zakat itu ibadah yang diwajibkan kepada orang Islam sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Adapun pajak adalah kewajiban dari negara semata-mata.
3.    Mengenai batas nisab dan ketentuannya
Zakat adalah hak yang ditentukan Allah SWT, yang menentukan batas nisab bagi setiap macam benda dan membebaskan kewajiban itu terhadap harta yang kurang dari nisab. Tidak ada yang boleh mengubah dan mengganti apa yang telah ditentukan syariat. Berbeda dengan pajak yang bergantung kepada kebijaksanaan pemerintah dan kekuatan penguasa, baik mengenai objek, persentase, harga dan ketentuannya.
4.    Mengenai kelestarian dan kelangsungannya
Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus menerus. Ia akan berjalan selagi Islam dan kaum Muslim ada di muka bumi ini. Sedangkan pajak, tidak memiliki sifat yang tetap dan terus menerus, baik mengenai jenis, persentase, maupun kadarnya. Tiap pemerintah dapat mengurangi atau mengubah atas dasar pertimbangan dan rasionalitas ekonomi. Bahkan adanya pajak itu sendiri tidak kekal, ia akan tetap ada selagi diperlukan dan lenyap bila sudah tidak dibutuhkan lagi.
5.    Mengenai pengeluarannya
Zakat mempunyai sasaran khusus yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Setiap Muslim dapat membagikan zakatnya sendiri bila diperlukan. Sasaran itu adalah kemanusiaan dan Islam. Sedangkan pajak dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran umum negara, sebagaimana ditetapkan oleh peraturan penguasa.


6.    Hubungannya dengan penguasa
Dalam kasus pajak, ada hubungan antara wajib pajak dengan pemerintah yang berkuasa. Karena pemerintah yang mengadakan, maka pemerintah pula yang memungutnya dan membuat ketentuan wajib pajak. Adapun zakat adalah hubungan antara wajib zakat dengan Tuhan-Nya. Allah-lah yang memberinya harta dan mewajibkan membayar zakat, semata-mata karena mengikuti perintah dan mengharap ridha-Nya.
7.   Maksud dan tujuan
Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Tujuan yang luhur ini tersirat pada kata zakat itu sendiri yang bermakna suci, tumbuh, dan berkah. Pajak tidak memiliki tujuan luhur seperti zakat. Para ahli keuangan berabad-abad lamanya menolak adanya tujuan lain pada pajak, selain untuk menghasilkan pembiayaan (uang) untuk mengisi kas negara.
8.    Dari  sisi  objek  dan  persentase  serta pemanfaatannya
Zakat memiliki nisab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadits Nabi. Demikian pula pemanfaatan dan penggunaan zakat, tidak boleh keluar dari asnaf yang delapan, sebagaimana tergambar dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat at-Taubah [9]: 60.

4.2  Pendapat Ulama Mengenai Penerapan Zakat dan Pajak
4.2.1  Pendapat Ulama Tentang Zakat dan Pajak
Pendapat Ulama dalam Hasan (1996: 36-37) tentang zakat dan pajak sebagai berikut:
1.    Pendapat Syekh Ulaith
Dalam fatwa beliau dari mazhab Maliki disebutkan, bahwa beliau pernah memberi fatwa mengenai orang yang memiliki ternak yang sudah sampai nisabnya. Kepada orang tersebut dipungut uang setiap tahunnya, tetapi tidak atas nama zakat. Apakah orang itu boleh berniat atas nama zakat, dan apakah kewajiban berzakat telah gugur karena itu? Beliau dengan tegas menjawab: “ia tidak boleh berniat zakat. Jika dia berniat zakat, maka kewajibannya tidak menjadi gugur, sebagaimana telah difatwakan oleh Nasir al-Haqani dan al-Hatab”.
2.    Fatwa Syekh Mahmud Syaltut
Dalam masalah yang dibicarakan ini beliau mengatakan, bahwa zakat bukanlah pajak. Zakat pada dasarnya adalah ibadah harta. Memang antara zakat dan pajak ada persamaannya, tetapi ada perbedaannya dalam banyak hal. Pada prinsipnya pendapat beliau itu sama dengan ulama-ulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas dan sasarannya. Zakat kewajiban kepada Allah SWT sedang pajak kewajiban kepada pemerintah.
3.    Pendapat Syekh Abu Zahrah
Begitu ditanya orang mengenai pajak dan zakat beliau menjawab, bahwa pajak itu sampai sekarang tidak memiliki nilai-nilai khusus, yang dapat memberikan jaminan sosial, padahal tujuan pokok pajak adalah menanggulangi masalah sosial kemasyarakatan. Zakat dapat memenuhi tuntutan sebagai pajak. Tetapi pajak tidak mungkin dapat memenuhi tuntutan zakat, karena pajak tidak menanggulangi kebutuhan fakir miskin yang menuntut untuk dipenuhi. Zakat adalah merupakan kewajiban dari Allah SWT dan tidak mungkin dihapuskan oleh hamba-Nya. Zakat tetap dipungut sepanjang zaman, walaupun fakir miskin telah tiada. Pemanfaatannya disalurkan untuk fi sabilillah.

4.2.2    Ulama Yang Berpendapat Bahwa ada Kewajiban Lain atas Harta Selain   Zakat
Menurut Gusfahmi (2007: 179-181), beberapa ulama berpendapat bahwa ada kewajiban lain atas harta selain zakat, yaitu:
1.    Qadhi Abu Bakr al-Arabi seorang ahli fikih bermazhab Maliki, berkata dalam Ahkam Al-Qur’an, bahwa:
Pada harta tak ada kewajiban selain zakat. Apabila telah diselesaikan, kemudian sesudah itu datang kebutuhan mendesak, maka wajib bagi orang kaya mengeluarkan hartanya untuk keperluan tersebut.
2.    Imam Malik dalam Ahkam Al-Qur’an berkata:
Wajib kepada seluruh kaum Muslim menebus tawaran mereka, meskipun harta mereka akan habis karenanya. Demikian pula apabila pemerintah menolak membagikan zakat kepada para mustahik setelah dilakukan pemungutan, apakah orang kaya wajib membantu orang miskin. Sudah barang tentu masalah demikian perlu dipikirkan. Menurut pendapat saya, yang paling tepat ialah, wajib menolong mereka.
3.    Imam Qurtubi dalam Tafsir al-Qurtubi, memperkuat pendapat Imam Malik. Ia berkata:
Para ulama sependapat bila datang satu kebutuhan mendesak kepada kaum Muslimin  setelah membayar zakat, maka wajib kepada mereka yang kaya mengeluarkan hartanya untuk menanggulangi keperluan tersebut.

4.    Imam al-Syatibi dalam al-I’tisham berkata:
Apabila harta Baitul Maal kosong, kemudian keperluan biaya militer meningkat, maka Imam bila ia adil hendaklah membebankan biaya itu kepada mereka yang kaya sekiranya dapat mencukupi keperluan tersebut, sehingga Baitul Maal berisi kembali.
5.    Ibnu Taimiyah dalam al-kabir, waktu menafsirkan kalimat “Tidak ada hak dalam harta selain zakat,”  berkata:
Bagi seseorang tidak ada yang wajib ditunaikan karena adanya harta selain zakat. Oleh karena itu, ia punya kewajiban yang bukan disebabkan oleh adanya harta, seperti kewajiban memberi nafkah kepada kerabat dekat, istri, hamba sahaya dan hewan ternak. Juga wajib menanggung orang yang kena denda (diah), ikut membantu orang berutang dan orang yang ditimpa musibah. Dan wajib juga memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian mereka yang tak punya pakaian dan kewajiban lain yang bersifat materi yang disebabkan adanya suatu sebab. Bagi orang yang wajib naik haji, harta merupakan syarat utama, sedangkan badan sebab utama dan kesanggupan menjadi syarat. Harta dalam zakat merupakan sebab, maka wajib zakat bila ada harta, sehingga bila di negerinya  tidak ada mustahiknya, hendaklah dipindahkan ke lain, karena zakat adalah hak yang diwajibkan Allah SWT.
6.    Mahmud Syaltut dalam Al-Fatawa berkata:
Apabila pemerintah atau pemimpin rakyat tidak mendapat dana untuk menunjang kemaslahatan umum, seperti pembangunan sarana pendidikan, balai pengobatan, perbaikan jalan dan saluran air, serta mendirikan industri alat pertahanan negara di mana kaum hartawan masih diam membelenggu tangannya, maka dibolehkan bagi pemerintah, untuk memungut pajak dari kaum hartawan, untuk meringankan pelaksanaan rencana pembangunan itu.

4.2.3  Ulama Yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Boleh
Menurut Gusfahmi (2007: 183-186), sejumlah Fuqaha dan ekonom Islam menyatakan bahwa pemungutan pajak itu diperbolehkan, antara lain:
1.    Abu Yusuf, dalam kitabnya al-Kharaj, menyebutkan bahwa:
Semua khulafaurrasyidin, terutama Umar, Ali dan Umar Ibnu Abdul Aziz dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan sampai membuat mereka tidak mampu memenuhi  kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Abu Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau menurunkan pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani.
2.    Ibnu Kaldun dalam kitabnya Muqaddimah, dengan cara yang sangat bagus merefleksikan arus pemikiran para sarjana Muslim yang hidup pada zamannya berkenaan dengan distribusi beban pajak yang merata dengan mengutip sebuah surat dari Thahir Ibnu Husain kepada anaknya yang menjadi seorang gubernur di salah satu provinsi:
Oleh karena itu, sebarkanlah pajak pada semua orang dengan keadilan dan pemerataan, perlakuan semua orang sama dan jangan memberi perkecualian kepada siapa pun karena kedudukannya di masyarakat atau kekayaan, dan jangan mengecualikan kepada siapa pun sekalipun petugasmu sendiri atau kawan akrabmu atau pengikutmu. Dan jangan kamu menarik pajak dari orang melebihi kemampuan membayar.
3.    Marghinani dalam kitabnya al-Hidayah, berpendapat bahwa:
Jika sumber-sumber negara tidak mencukupi, negara harus menghimpun dana dari rakyat untuk memenuhi kepentingan umum. Jika manfaat itu memang dinikmati rakyat, kewajiban mereka membayar ongkosnya.
4.    M. Umer Chapra, menyatakan:
Hak  negara Islam untuk meningkatkan sumber-sumber daya lewat pajak disamping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah fuqaha yang pada prinsipnya telah mewakili semua mazhab fiqih. Hal ini disebabkan karena dana zakat dipergunakan pada prinsipnya untuk kesejahteraan kaum miskin, padahal negara memerlukan sumber-sumber dana yang lain agar dapat melakukan fungsi-fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara efektif.
5.    Hasan al-Banna, dalam bukunya Majmuatur-Rasa’il, mengatakan:
Melihat tujuan keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang merata, maka sistem perpajakan progresif tampaknya seirama dengan sasaran-sasaran Islam.
6.    Ibnu Taimiyah, dalam Majmuatul fatawa, mengatakan:
Larangan penghindaran pajak sekalipun itu tidak adil berdasarkan argumen bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang berkewajiban akan mengakibatkan beban yang lebih besar bagi kelompok lain.
7.    Abdul Qadim Zallum, dalam Al-Anwal fi Daulah al-Khilafah, mengatakan:
Berbagai  pos pengeluaran yang tidak tercukupi oleh Baitul Maal adalah menjadi kewajiban kaum Muslimin. Jika berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan atas kaum Muslimin, padahal Allah SWT juga telah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum Muslimin. Jika terjadi kondisi tersebut, negara mewajibkan kaum Muslimin untuk membayar pajak, hanya untuk menutupi kekurangan biaya terhadap berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, tanpa berlebihan.
8.    Sayyid Rasyid Ridha, yang pernah ditanya mengenai pungutan orang Nasrani (Inggris) di India terhadap tanah, ada yang separuh dan ada yang seperempat dari tanah tersebut. Bolehkah hal itu dianggap sebagai kewajiban zakat, seperti 1/10 atau 1/20? Beliau menjawab:
Sesungguhnya yang wajib dari 1/10 atau 1/20 itu dari hasil bumi adalah harta zakat yang wajib dikeluarkan pada delapan sasaran (delapan asnaf) menurut nash. Apabila dipungut oleh amil dari Imam dalam negara Islam, maka bebaslah pemilik tanah itu dari kewajibannya dan Imam atau amilnya wajib membagikan zakat itu kepada mustahiknya. Apabila tidak dipungut oleh amil, maka wajib kepada pemilik harta untuk mengeluarkannya, sesuai dengan perintah Allah SWT. Harta yang dipungut oleh Nasrani tadi, dianggap sebagai pajak dan tidak menggugurkan kewajiban zakat. Orang itu tetap mengeluarkan zakat. Hal ini berarti bahwa pajak tidak dapat dianggap sebagai zakat.


4.2.4  Ulama Yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Haram
Menurut Hasan Turobi dalam Gusfahmi (2007: 186), “Pemerintahan yang ada di dunia Muslim dalam sejarah yang begitu lama pada umumnya tidak sah. Karena itu, para fuqaha khawatir jika diperbolehkan menarik pajak akan disalahgunakan dan menjadi suatu alat penindasan”.

4.2.5  Alasan Ulama Membolehkan Pajak
 Menurut Gusfahmi (2007: 186-188), ada beberapa ulama yang memberi alasan untuk membolehkan pajak, yaitu:
1.    Zallum berpendapat:
“Anggaran belanja negara pada saat ini sangat berat dan besar, setelah meluaskan tanggung jawab ulil amri dan bertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi, kadangkala pendapatan umum yang merupakan hak baitul mal seperti fa’i, jiziyah, kharaj, ‘usyur dan khumus tidak memadai untuk anggaran belanja negara, seperti yang pernah terjadi di masa lalu, yaitu masa Rasulullah SAW, masa Khulafaurrasyidin, masa Mu’awiyah, masa Abbasiyah, sampai masa Ustmaniyah, di mana sarana kehidupan semakin berkembang. Oleh karena itu, negara harus mengupayakan cari lain yang mampu menutupi kebutuhan pembelanjaan baitul mal, baik dalam kondisi ada harta maupun tidak”.
2.    Maliki berpendapat:
“Karena menjaga kemaslahatan umat melalui berbagai sarana-sarana seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan adalah wajib, sedangkan kas negara tidak mencukupi, maka pajak itu menjadi wajib. Walaupun demikian, syara’ mengharamkan negara menguasai harta benda rakyat dengan kekuasaannya. Jika negara mengambilnya dengan menggunakan kekuatan dan cara paksa, berarti itu merampas, sedang merampas hukumnya haram.”
3.    Umer Chapra berpendapat:
“Sungguh tidak realistis bila sumber perpajakan (pendapatan) negara-negara Muslim saat ini harus terbatas hanya pada lahan pajak (pos-pos penerimaan) yang telah dibahas oleh para fuqaha. Situasi telah berubah dan mereka perlu melengkapi sistem pajak (baru) dengan menyertakan realitas perubahan, terutama kebutuhan massal terhadap infrastruktur sosial dan fisik bagi sebuah negara berkembang dan perekonomian modern yang efisien serta komitmen untuk merealisasikan maqashid dalam konteks hari ini. Sambil melengkapi sistem pajak, kita perlu memikirkan bahwa sistem tersebut tidak saja harus adil, tetapi juga harus menghasilkan, tanpa berdampak buruk pada dorongan untuk bekerja, tabungan dan investasi, serta penerimaan yang memadai sehingga memungkinkan negara Islam melaksanakan tanggung jawabnya secara kolektif.”

4.3   Pengelolaan Zakat Secara Efektif Dengan Menerapkan Konsep Pajak
Menurut peneliti kelebihan dari konsep pajak sehingga pengelolaan pajak lebih sukses dari pada pengelolaan zakat, yaitu:
1.    Adanya sanksi yang tegas terhadap wajib pajak yang lalai dalam membayar pajak sedangkan pada zakat tidak ada sanksi bagi muzakki (wajib zakat) karena pembayaran hanya didasarkan pada kesukarelaan.
2.    Penerimaan karyawan pada lembaga pajak adalah sumber daya manusia  berkualitas yang mempunyai pengetahuan perpajakan yang matang tidak demikian pada lembaga zakat, pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan hidup atau profesi dari seseorang, bahkan dari lulusan ekonomi syariah sekalipun. Para pemuda ini meskipun dari lulusan ekonomi syariah lebih memilih untuk berkarir di sektor keuangan seperti perbankan atau asuransi, akan tetapi hanya sedikit orang yang memilih untuk berkarir menjadi seorang pengelola zakat. Menjadi seorang amil belumlah menjadi pilihan hidup dari para pemuda kita, karena tidak ada daya tarik berkarir di sana. Padahal lembaga amil membutuhkan banyak sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional, amanah, akuntabel dan transparan.
3.    Sudah terprogram dan terencananya dengan baik administrasi perpajakan yang terdiri dari: fungsi, sistem dan lembaga sedangkan pada zakat masih belum jelas. Misalnya, saja pada fungsi terkait masalah fungsi yang berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, serta pengawasan belum ada pemisahan tugas diantaranya dan belum dijalankan secara serius. Dari sistem, kebanyakan lembaga pengelola zakat belum memiliki atau tidak memahami pentingnya sebuah sistem dalam kinerja organisasinya serta belum terjalin komunikasi yang baik antara amil zakat yang satu dengan amil zakat yang lain karena keterbatasan SDM yang paham akan teknologi. Dari sisi lembaga, banyaknya lembaga zakat yang masih belum jelas keberadaannya, sehingga ini semua dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat yang ada.
Menurut Arrsa (2008) adapun bentuk-bentuk kelemahan dalam pengelolaan zakat di Indonesia, yaitu:
1.    Kelemahan Pengelolaan Zakat dari Aspek Yuridis
Berdasarkan aspek yuridis terdapat kelemahan di dalam pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yaitu: pertama, UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dinilai berpotensi menghambat perkembangan zakat. Salah satunya adalah tidak adanya pemisahan yang jelas antara fungsi regulasi, pengawasan, dan pelaksanaan dalam mengelola zakat. Kondisi tersebut dikhawatirkan memberikan dampak negatif bagi pengembangan zakat. Oleh sebab itu di dalam praktik terdapat kondisi yang tidak sehat. Misalnya, tidak ada pemisahan antara fungsi regulator, pengawas, dan operator. Kedua, berdasarkan ketentuan pasal 11 ayat 3 UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yang berbunyi, “Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut zakat hanya berlaku sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) sehingga tidak berdampak signifikan dalam mendorong perkembangan zakat di Indonesia. Ketiga, berkaitan dengan aturan organik mengenai teknis pelaksanaan dari UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat hanya dalam bentuk keputusan dan instruksi menteri. Keputusan tersebut adalah Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah diikuti dengan Instruksi Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Oleh sebab itu pengaturan organik mengenai teknis pengelolaan zakat di dalam undang-undang perlu disesuaikan dengan hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang di dalam pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
2.    Kelemahan Pengelolaan Zakat dari Aspek Sosiologis
Berdasarkan dari aspek sosiologis kelemahan yang terdapat pada pengelolaan zakat yaitu: pertama, terbatasnya pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan ibadah zakat. Pengetahuan masyarakat tentang ibadah hanya shalat, puasa, dan haji. Kedua, konsepsi zakat yang masih dirasa terlalu sederhana dan tradisional. Sehingga di dalam pelaksanaanya hanya cukup dibagikan langsung sendiri lingkungannya atau kepada kyai yang disenangi. Ketiga, kepercayaan muzakki kepada lembaga amil zakat masih rendah yang mana terdapat indikasi kekhawatiran dari masyarakat bahwa zakat yang diserahkan tidak sampai kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Berdasarkan survey PIRAC menyatakan bahwa masyarakat masih menyalurkan zakatnya ke panitia penampung zakat sekitar tempat tinggal 63,6%, masyarakat langsung menyalurkan dana zakat kepada yang berhak menerima sebesar 20%, dan yang menyalurkan ke BAZ, LAZ, dan yayasan sosial sebesar 12,5 %.
3.    Kelemahan Pengelolaan Zakat Dari Aspek Institusi Dan Manajemen Zakat
Terdapat dualisme di dalam institusi pengelola zakat dalam menjalankan proses pengumpulan dan pendistribusian dana zakat. Sebagaimana tertuang di dalam UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Pasal 1 Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, menyebutkan bahwa institusi pengelola zakat yaitu: pertama, Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama contoh BAZNAS, BAZDA. Kedua, Lembaga Amil Zakat adalah institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Contoh: Dompet dhuafa, Pos Keadilan Peduli Ummat, YDSF, Rumah Zakat. Berdasarkan realita kedua lembaga tersebut sama-sama memiliki fungsi pengumpul dan penyalur dana zakat. Sehingga fungsi yang demikian di rasa kurang efektif dalam implementasinya di masyarakat. Berdasarkan aspek manajemen kelemahan pada pengelolaan zakat yaitu: pertama, lemahnya penerapan prinsip manajemen organisasi di dalam pengelolaan dana zakat sehingga menyebabkan tingkat kepercayaan (trust) dari masyarakat masih rendah. Kedua, rendahnya penguasaan teknologi oleh institusi amil zakat.
Lebih lanjut menurut Mas’udi dalam Arif (2012), ada tiga kelemahan dasar praktek zakat di kalangan umat Islam, yaitu :
1.    Kelemahan Filosofis dan Epistomologis
Kelemahan pada sisi filosofis ini telah berlangsung lama sehingga menyebabkan zakat, sebagaimana shalat, menjadi sekedar ritual belaka yang terlepas dari konteks sosial yang melatarbelakangi diwajibkannya zakat. Zakat dilaksanakan sekedar untuk memenuhi kewajiban agama dan menggugurkan kewajiban saja. Akibatnya ajaran zakat tercabut dari konteks sosial ekonomi atau dengan kata lain zakat yang sarat dimensi sosial tersebut beralih menjadi persoalan individu yang dampak sosialnya tidak terasa secara signifikan.
2.    Kelemahan Struktur Kelembagaan
Kelemahan dari segi filosofis berakibat pada kelemahan berikutnya, yaitu kelemahan struktur zakat. Misalnya tentang konsep zakat itu sendiri, objek atau harta yang harus dizakatkan, tarif zakat, sasaran zakat, dan hal-hal lain yang selama ini menjadi monopoli pembahasan ahli fiqih dengan pendekatan yang legal formalistik. Tak heran kemudian definisi zakat yang dikemukakan oleh para ahli Sayyid Sabiq bahwa zakat adalah nama bagi harta yang dikeluarkan manusia dari hak Allah SWT kepada para fakir. Zakat pada satu sisi dipandang secara kelembagaan yang seharusnya tidak immune (kebal) terhadap perubahan, pada sisi lain zakat merupakan suatu “paket” aturan dari Tuhan dan tidak dapat diotak-atik menurut rasionalitas manusia. Dengan kata lain, zakat merupakan suatu konsep aturan yang pasti ketentuan objek, tarif, dan sasaran pendistribusiannya, tanpa perlu perekaan ulang sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Dengan pemahaman seperti ini, maka jenis harta yang wajib dizakatkan bersifat tetap dan tidak mengalami perubahan dari jenis harta yang dikenai zakat pada masa Rasulullah SAW meskipun konteks ruang dan waktunya berbeda dengan keadaan sekarang.
3.    Kelemahan Manajemen Operasional
Zakat merupakan sumber pendapatan yang paling utama bagi negara pada masa Rasulullah SAW. Dengan demikian, zakat dipungut oleh negara dan didistribusikan oleh negara menurut pos-pos yang telah ditentukan. Begitu pula pada masa Abu Bakar as-Shidiq dan Umar bin Khattab, zakat masih tetap dipertahankan sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Pada masa Usman bin Affan, pengelolaan zakat tidak lagi menjadi urusan negara, tetapi diserahkan kepada para pemilik harta untuk menaksir zakatnya dan mendistribusikan kepada para mustahiq. Hal ini bertujuan untuk mengamalkan zakat dari gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa pengumpul zakat yang nakal, sehingga Usman kemudian mendelegasikan pengumpulan zakat kepada pemilik harta. Dengan demikian, dimulailah era baru, dimana zakat terpisah dari negara dan menjadi urusan pribadi. Agar kas negara tetap terisi, pemerintah memusatkan perhatian kepada sumber penerimaan negara lainnya yang secara ekonomis memadai dan dari sudut politis lebih murah, yaitu kharaj dan jizyah. Berbeda untuk kasus Indonesia, khususnya di daerah Jawa, pemegang “kekuasaan” tersebut adalah para kyai atau ajengan yang dipandang sebagai tokoh-tokoh spiritual yang paling berpengaruh di daerah pedesaan. Posisi mereka pun disamakan dengan kedudukan penguasa formal dipemerintahan, hanya saja wilayah kekuasaannya berbeda, yang pertama mengurusi rohani, sedangkan yang kedua mengurusi hal-hal duniawi. Dari segi penggunaannya, dana zakat lebih diarahkan kepada pembangunan sarana fisik peribadatan seperti sarana fisik peribadatan seperti pembangunan mesjid dan perayaan-perayaan peringatan keagamaan. Padahal, seharusnya zakat tersebut ditujukan kepada sasaran-sasaran zakat yang telah ditentukan menurut skala prioritas.
Melihat paparan diatas mengenai kelebihan konsep pajak terhadap zakat serta kelemahan praktek zakat. Maka konsep pajak yang perlu diterapkan sehingga diperoleh pengelolaan zakat yang efektif menurut peneliti, yaitu:
1.    Setidaknya zakat mengikuti konsep pajak dalam hal pemberian sanksi pada wajib pajak yang lalai dalam membayar pajak. Dalam hal ini pemberian sanksi pada wajib zakat yang lalai dalam membayar zakatnya, karena menunaikan zakat adalah suatu kewajiban sebagaimana pada zaman Abu Bakar ash-Shidiq memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Sehingga diperoleh pengumpulan zakat yang maksimal.
2.    Penerimaan karyawan dalam sebuah lembaga zakat sebaiknya adalah SDM yang berkualitas yang betul paham akan akuntansi syariah dan dilengkapi pengetahuan teknologi yang memadai ataupun kalau perlu penerimaan karyawan ini harus lulusan mahasiswa jurusan akuntasi syariah.
3.    Administrasi pajak yang efisien dan efektif menurut Ciptoherijanto dan Abidin dalam Abdalla (2010: 8-9) yang terdiri dari fungsi (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan), sistem dan lembaga juga harus ada pada konsep zakat.
Dari sisi fungsi:
a.    Dalam hal perencanaan, berkaitan dengan persiapan lembaga dalam menghadapi masa depan, menetapkan sasaran, menetapkan strategi, mengembangkan kebijakan pengumpulan dan penyaluran zakat. Melalui desain perencanaan yang kuat akan dapat menentukan kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang apa saja yang akan dihadapi dalam proses pengambilan dan penyaluran dana zakat sebagai manifestasi dana umat untuk dan kembali untuk kepentingan umat.
b.    Dalam hal pengorganisasian berkaitan dengan tugas lembaga untuk menyusun struktur tugas, hubungan wewenang, desain organisasi, spesialisasi pekerjaan, uraian pekerjaan, desain dan analisis pekerjaan. Melihat kondisi pengelolan zakat di Indonesia belum menunjukkan adanya bangunan organisasi yang kuat hal ini tampak pada kerancuan diantara Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat swasta. Akibat yang di timbulkan adalah akuntabilitas lembaga zakat menjadi paradigma yang terkesampingkan. Sebagaimana di dalam pasal 6 UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat secara ekspilisit menunjukkan adanya ketimpangan dalam proses pembentukan Badan Amil Zakat baik dalam skala nasional maupun skala daerah dan swasta. Oleh sebab itu sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam rangka pengelolaan dana umat diperlukan adanya sentralisasi pembentukan organisasi dan pengelolaan zakat. Sehingga hubungan yang tercipta tidak hanya sekedar koordinatif dan informatif akan tetapi juga bersifat instruktif.
c.    Dalam hal pengendalian, pengendalian lembaga berkaitan dengan pengendalian mutu pelayanan, pengendalian keuangan, pengendalian mustahiq, pengendalian biaya, analisis penyimpangan antara rencana dan realisasi.
Dari sisi lembaga:
a.    Memberikan tanggung jawab kepada amil zakat atau Badan Amil Zakat (BAZ) untuk bertindak dan bertanggung jawab memungut zakat terhadap muzakki.
b.    BAZ harus dibebankan tanggung jawab meneliti dan menghitung harta muzakki.
c.    Harus ada mekanisme yang jelas apabila muzakki membagi-bagi zakatnya kepada mustahiq, perlunya memberikan bukti pembayaran zakat kepada BAZ, kemudian disahkan oleh BAZ, dan semestinya bisa digunakan sebagai bukti ketika membayar pajak, guna mendapatkan pengurangan sesuai dengan besar zakat yang telah dikeluarkan.
d.    Lembaga pengelola zakat perlu mempunyai mekanisme pengaturan diri, mulai dari penerapan kode etik amil zakat sampai sertifikasi dan akreditasi lembaga. Sertifikasi dan akreditasi lembaga pengelola zakat di Indonesia merupakan salah satu upaya yang perlu dijajaki.  Melalui mekanisme ini lembaga pengelola zakat akan dinilai oleh pihak ketiga, dengan kriteria tertentu, mulai dari akuntabilitas keuangan, keterbukaan atau transparansi, tata pengelolaan internal, dan sebagainya. Upaya ini bisa dimulai dengan menerapkan rating terhadap lembaga-lembaga amil zakat di Indonesia.  Rating ini mempunyai beberapa tujuan. Pertama, untuk melakukan evaluasi kinerja lembaga-lembaga amil zakat. Kedua, memotivasi lembaga amil zakat untuk meningkatkan profesionalitas, akuntabilitas, dan transparansi. Ketiga, memberikan panduan bagi muzakki atau donatur dalam menyalurkan dananya. Dengan model rating ini nantinya masyarakat akan mengetahui lembaga mana yang amanah dan profesional, dan mana yang tidak.
4.    Perlu ada sistem informasi zakat, disini Lembaga Amil Zakat harus mampu menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpadu antar amil. Sehingga para Lembaga Amil Zakat ini saling terintegrasi satu dengan lainnya. Sebagai contoh, penerapan ini adalah pada database muzakki dan mustahiq. Dengan adanya sistem informasi ini tidak akan terjadi pada muzakki yang sama didekati oleh beberapa lembaga amil, atau mustahiq yang sama diberi bantuan oleh beberapa Lembaga Amil Zakat. Namun bukan berarti dengan adanya sistem informasi zakat ini, maka tidak ada lagi rahasia dan strategi khas antar institusi. Sebab kehadiran sistem informasi zakat adalah hanya untuk mempermudah mengenali titik-titik lokasi yang telah digarap oleh suatu lembaga, dan titik lokasi mana yang belum menerima bantuan. Hal ini dapat mencegah dimana akan terdapat lokasi pemberdayaan yang “gemuk” dan ada lokasi yang “kurus”. Karena tujuan utama kehadiran Lembaga Amil Zakat selain untuk mengelola dana zakat, namun harus pula mampu mengkoordinasikan agar zakat tersebut manfaat dan pengaruhnya dapat terasa bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi sistem informasi ini haruslah dikelola oleh suatu institusi independen, dan idealnya dikelola oleh negara.
5.    Pembentukan direktorat zakat sebagai regulator dan pengawas kinerja dari organisasi pengelola zakat dengan sistem kerja baru yang lebih efektif. Lembaga ini diperlukan untuk mengatur segala sesuatu terkait dengan pengelolaan zakat serta mengintegrasikan kinerja anatar lembaga pengelola zakat. Direktorat zakat ini diharapkan dapat bekerja sama dengan lembaga keuangan sehingga dana zakat yang terkumpul dapat disalurkan sesuai dengan peruntukannya (mustahiq).
6.    Pembentukan lembaga independen yang berperan sebagai auditor yang khusus mengevaluasi kinerja lembaga pengelola zakat berupa pengauditan laporan alokasi penyaluran dana zakat yang telah terkumpul. Selanjutnya, hasil audit lembaga pengelola zakat dipublikasikan kepada masayarakat. Hal ini dianggap penting sebagai bagian dari akuntabilitas lembaga pengelola zakat tersebut.  Kepercayaan masyarakat memang merupakan faktor utama yang menentukan besarnya dana zakat yang bisa dikelola.


BAB V
PENUTUP

5.1  Kesimpulan
Oval: 86


Mengenai penerapan konsep pajak pada zakat haruslah mengetahui terlebih dahulu apakah zakat dan pajak itu, kemudian apa persamaan dan perbedaan antara keduanya sehingga hal yang lebih dari konsep pajak dapat diterapkan pada zakat sehingga dapat diperoleh pengelolaan zakat yang efektif. Zakat sendiri adalah suci, tumbuh, berkembang. Berarti zakat itu mengeluarkan harta agar menjadi suci kembali, tumbuh dan berkembang agar harta tersebut tidak hanya berada dalam genggaman satu orang saja melainkan mengalir kepada tangan-tangan lain yang berhak untuk mendapatkan harta tersebut. Pajak sendiri adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh warga negara kepada negara untuk kepentingan negara.
Mengenai perbedaan dan persamaan antara zakat dan pajak banyak pemikir yang berbeda pandangan, salah satunya Hafidhuddin yang mengatakan bahwa zakat dan pajak mempunyai persamaan yakni mengandung unsur paksaan dan unsur pengelola. Namun terdapat perbedaan diantara keduanya dari segi nama, dasar hukumnya yang mana zakat berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi sedangkan pajak berdasarkan ketentuan pemerintah yang tertuang dalam undang-undang, dan yang terakhir dari segi objek, tarif dan pemanfaatannya. Zakat, memiliki nisab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadits Nabi. Nisab zakat emas perak, harta perdagangan, pertanian, peternakan, pertambangan, dan komoditas-komoditas lainnya adalah senilai 85 gram dan persentase zakatnya adalah 2,5%. Pemanfaatan dan penggunaan zakat, tidak boleh keluar dari asnaf yang delapan golongan. Sedangkan aturan pemungutan pajak sangat bergantung kepada peraturan yang ada serta tergantung pula pada obyek pajaknya. Dalam berbagai literatur dikemukakan bahwa besarnya pajak sangat bergantung kepada jenis, sifat dan cirinya.
Adapun konsep pajak yang dapat diterapkan pada zakat sehingga diperoleh pengelolaan zakat yang efektif, antara lain:
1.    Setidaknya zakat mengikuti konsep pajak dalam hal pemberian sanksi pada wajib pajak yang lalai dalam membayar pajak.
2.    Penerimaan karyawan dalam sebuah lembaga zakat sebaiknya adalah SDM yang berkualitas yang betul paham akan akuntansi syariah dan dilengkapi pengetahuan teknologi yang memadai ataupun kalau perlu penerimaan karyawan ini harus lulusan mahasiswa jurusan akuntansi syariah.
3.    Harus terbentuk administrasi zakat yang efisien dan efektif yang terdiri dari fungsi, sistem dan lembaga yang betul-betul telah tersusun dan terprogram dengan baik.
4.    Perlu ada sistem informasi zakat, disini Lembaga Amil Zakat harus mampu menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpadu antar amil.
5.    Pembentukan direktorat zakat sebagai regulator dan pengawas kinerja dari organisasi pengelola zakat dengan sistem kerja baru yang lebih efektif.
6.    Pembentukan lembaga independen yang berperan sebagai auditor yang khusus mengevaluasi kinerja lembaga pengelola zakat berupa pengauditan laporan alokasi penyaluran dana zakat yang telah terkumpul.

5.1    Saran
Berikut peneliti sampaikan beberapa saran sebagai pokok pikiran yang dapat peneliti sumbangkan dengan harapan saran tersebut dapat bermanfaat bagi kita semua.
1.      Apabila kita selaku umat Muslim yang dibebani kewajiban ganda yaitu membayar zakat selaku umat Islam dan membayar pajak selaku warga negara maka kita harus mematuhinya meskipun tujuan di antara keduanya berbeda, pajak dan zakat tidak dapat dipisahkan bagai roh dan badan, zakat adalah ruhnya dan pajak adalah badannya.
2.      Pemerintah perlu lebih serius dalam menangani masalah perzakatan yang ada. Salah satunya dengan pembentukan lembaga pendukung seperti lembaga audit serta peningkatan kinerja direktorat zakat. Pemerintah juga diharapkan memberikan sosialisasi melalui berbagai media mengenai zakat kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kewajibannya membayar zakat. 
3.      Masyarakat harus berperan aktif dalam mengawasi proses pengelolaan zakat oleh organisasi zakat. Hal ini dapat meningkatkan kinerja organisasi tersebut sehingga zakat dapat terkelola dengan baik. Selain itu, kesadaran masyarakat dalam pembayaran zakat sangat diharapkan sehingga zakat yang terkumpul dapat meningkat. Sebaik apapun kinerja organisasi pengelola zakat, bila tidak ada peran aktif dari masyarakat maka zakat tetap tidak akan terkelola dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Abdalla, Taufiq Umar. 2010. Analisis Kesiapan Administrasi Pemungutan Pajak Bumi dan bangunan Berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2009. Skripsi. Depok: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
Al-Ba’ly, Abdul Al-Hamid Mahmud. 2006. Ekonomi Zakat: Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Al-Habsyi, Muhammad Bagir. 1999. Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan Anggota IKAPI.
Aliboron. 2010. Pengelolaan Zakat di Indonesia: Perspektif Peran Negara, (Online), (http://aliboron.wordpress.com/2010/10/26/pengelolaan-zakat-di indonesia-perspektif-peran-negara, diakeses 14 April 2012).
Anida, Ida. 2010. Pengaruh Pengendalian Intern Terhadap Efektivitas Pendayagunaan Dana Zakat. Skripsi. Bandung: Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Komputer Indonesia.
Arian. 2011. Zakat, Macam-Macam Zakat dan Pengertian Zakat, (Online), (http://arian-rasta.blogspot.com/2011/12/zakat-macam-macam-zakat-pengertian.html, diakses 30 Mei 2012).
Arif. 2012. Zakat dan Pajak Suatu Upaya Pengintegrasian, (Online), http://arif1501.blogspot.com/2012/06/zakat-dan-pajak-suatu upaya.html diakses 10 September 2012).
Arizta. 2011. Jenis-Jenis Zakat, (Online), (http://arizta.mywapblog.com/jenis-jenis-zakat.xhtml, diakses 30 Mei 2012).
Arrsa. 2008. Peran Negara Dalam Merevitalisasi Pengelolaan Zakat Sebagai Upaya Strategis Menanggulangan Kemiskinan di Indonesia, (Online), http://www.legalitas.org/?q=content/peran-negara-dalam-merevitalisa-si-pengelolaan-zakat-sebagai-upaya-strategis-menanggulangan-kemiskinan-di-indonesia, diakses 10 September 2012).
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2006. Pedoman Zakat. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Azizy, A. Qodri. 2004. Membangun Fondasi Ekonomi Ummat: Meneropong Prospek Perkembangannya Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Oval: 89

Bamz. 2011. Pengertian dan Macam-Macam Zakat, (Online), http://www.bamz.us/2011/12/pengertian-zakat-dan-macam-zakat.html, diakses 30 Mei 2012).
Cahaya. 2008. Administrasi Masa Umar, (Online), (http://cahayamt.blogspot.com, diakses 15 April 2012).
Chapra, M. Umar. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer. Surabaya: Risalah Gusti.
Diana, Anastasia dan Lilis Setiawati. 2009. Perpajakan Indonesia: Konsep, Aplikasi dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Djazuli, H. A. 2003. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Bandung: Prenada Media.
Ekhardhi. 2010. Landasan Filosofis dan Asas-Asas Pemungutan Pajak, (Online), (http://ekhardhi.blogspot.com/2010/12/landasan-filosofis-dan-asas-asas.html, diakses 22 Juni 2012).
Gusfahmi. 2007. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani.
Hasan, M. Ali. 1996. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Husain. 2010. Zakat Penghasilan Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak, (Online), (http://risalah.fhunmul.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/2.-Zakat-Penghasilan-Sebagai-Pengurang-Penghasilan-Kena-Pajak-Safarni-Husain.pdf, diakses 10 September 2012).
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Exprosure Draft PSAK Syariah No. 109.
Ja’far, Muhammadiyah. 1997. Tuntunan Praktis Ibadah Zakat Puasa dan Haji. Cetakan ketiga. Jakarta Pusat: Kalam Mulia.
Kara, Muslimmin et al. 2009. Pengantar Ekonomi Islam. Makassar: Alauddin Pers.
Karim, Adiwarman Azwar. 2008. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi 3. Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada.
Kurnia, Hikmat dan A. Hidayat. 2008. Panduan Pintar Zakat. Jakarta: Qultum Media.
Mannan, M. Abdul. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi.
Metwally, M. M. 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Bangkit Daya Insana.
Muhammad. 2009. Lembaga Ekonomi Mikro Syari’ah: Pergulatan Melawan Kemiskinan dan Penetrasi Ekonomi Global. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muhammad, Rifqi. 2008. Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan Implementasi PSAK Syariah. Yogyakarta: P3EI Press.
Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Edisi 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Mofidrabbani. 2011. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Khulafaurrasyidin,  (Online), (http://mofidrabbani.blogspot.com/2011/04/sistem-ekonomi-dan-fiskal-pada-masa_26.html, diakses 15 April 2012).
Nasution, Mustafa Edwin et al. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2009. Akuntansi Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Nuruddin, Amiur. 2010. Dari Mana Sumber Hartamu: Renungan tentang Bisnis Islami dan Ekonomi Syariah. Jakarta: Erlangga.
Ozha, Aulia Sandra. 2011. Pajak dan Zakat di Indonesia, (Online), http://auliasandra.wordpress.com/2011/05/28/pajak-dan-zakat-diIndonesia , diakses 15 April 2012).
Parwito, Andri. 2009. Analisis Atas Pengaruh Pemanfaatan Sistem E-Filing Terhadap Cost of Compliance. Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf. 1995. Kiat Islam Mengatasi Kemiskinan. Jakarta: Gema Insani Press.
________. 2005. Spektrum Zakat: Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Zikrul Hakim.
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Terjemahan oleh Nastangin Soeroyo. 1996. Yoyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Resmi, Siti. 2003. Perpajakan: Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat.
Rifa’i, Moh. 1999. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra.
Sangadji, Etta Mamang dan Sopiah. 2010. Metodologi Penelitian: Pendekatan Praktis dalam Penelitian. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Sukardji, Untung. 2004. Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia. Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada.
Suprayitno, Eko. 2005. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Undang-Undang Republika Indonesia No.38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
Wahyu. 2010. Asal Muasal dan Sejarah Pajak, (Online), (http://wahyumedia19.blogspot.com/2010/04/asal-muasal-pajak.html, diakses, 22 Juni 2012).
Yolina, Meilani S. 2009. Dasar-Dasar Akuntansi Perpajakan.Yogyakarta: Tabora Media.
http://ekonomikieta.blogspot.com/2009/05/sejarah-perpajakan-di-indonesia secara.html, diakses 22 Juni 2012.
http://nasional.inilah.com/read/detail/1769621/menyelami-filosofi-zakat, diakses 22 Juni 2012.
http://jakarta45.wordpress.com/2009/07/19/sejarah-zakat-dari-zaman-pra-islam, diakses 22 Juni 2012.
http:www.marhabanyamarhaban.wordpress.com/about/makalah/ali-bin-abi-tahlib, diakses 15 April 2012.
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat, diakses 22 Juni 2011

0 Response to "SKRIPSI EKONOMI AKUNTANSI PENERAPAN KONSEP PAJAK PADA ZAKAT (SEBAGAI ALTERNATIF PENGELOLAAN ZAKAT SECARA EFEKTIF)"

Posting Komentar

wdcfawqafwef

BACKLINK OTOMATIS GRATIS JURAGAN.