1.1 Konteks Penelitian
Indonesia adalah negara yang beragam budaya dan agama, sehingga kata zakat dan pajak
adalah dua kata yang tidak lepas di negara kita, yang mana negara kita ini
mayoritas penduduk Islam. Tetapi, kedua kata ini memiliki makna dan perlakuan
yang berbeda. Di satu sisi zakat hanya dikenakan kepada orang-orang Muslim yang memiliki harta dengan
persyaratan tertentu. Dan bagi yang tidak mempunyai maka dia akan menjadi orang
yang berhak menerimanya. Dan dalam hal pajak semua warga Negara Indonesia yang
sudah dewasa dan mempunyai penghasilan pada umumnya sudah dikenakan pajak kecil
dan besar tanpa memandang apakah penghasilan itu cukup untuk kebutuhannya atau
tidak. Pajak diwajibkan pada siapapun. Sunggguh perlakuan yang tidak adil,
karena pengemis pun bisa terkena pajak.
Beberapa
ahli ekonomi Islam menganggap zakat merupakan sejenis pajak karena zakat
memenuhi beberapa persyaratan perpajakan (Rahman, 1996: 242), diantaranya:
a. Pembayaran yang diwajibkan;
b. Tidak ada balasan atau
imbalan;
c. Diwajibkan kepada seluruh
masyarakat suatu negara.
Zakat memenuhi persyaratan pertama dan
kedua sedangkan persyaratan ketiga tidak. Zakat adalah pembayaran yang
diwajibkan dan tidak ada balasan atau imbalan atas pembayaran tersebut, akan
tetapi hanya dikenakan kepada orang Muslim di negara itu sedangkan orang-orang
nonmuslim terbebas dari kewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, zakat
bukanlah suatu pajak dalam arti yang sebenarnya. Sebenarnya zakat, seperti
halnya menunaikan shalat atau mengerjakan haji, merupakan suatu bentuk ibadah
atau tugas agama yang mempunyai perbedaan psikologis sangat berbeda dengan
pajak biasa.
Zakat
dianggap sebagai salah satu dari lima tiang agama Islam dan sudah barang tentu,
posisi yang penting semacam ini tidak dapat diberikan kepada suatu jenis pajak
betapapun pentingnya pajak tersebut. Selanjutnya, pendapatan yang diperoleh
dari pajak oleh pemerintah dapat digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
tanpa mempertimbangkan besar kecilnya masing-masing pajak. Sedangkan dalam hal
zakat, pemerintah dalam negara Islam diberikan petunjuk khusus dalam kitab suci
Al-Qur’an tentang bagaimana dan di mana membelanjakan hasil yang diperoleh
melalui pengumpulan zakat. Pemerintah tidak mempunyai pilihan tapi harus
membelanjakan hasil pengumpulan zakat itu sebagaimana yang telah disebutkan
dalam kitab suci Al-Qur’an.
Persoalan
di atas salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi Islam yaitu persoalan
dualisme zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Ironisnya,
pajak sebagai sumber penerimaan negara mengalami penguatan, sementara zakat
mengalami kemunduran dan dianggap menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing
individu Muslim.
DiIndonesia, seorang wajib zakat (muzakki), juga sebagai wajib pajak (taxs payers). Hal ini terlihat jelas
dengan adanya dua kewajiban dalam dua undang-undang yang berbeda, yaitu
kewajiban zakat dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan kewajiban
pajak dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Kedua
undang-undang ini menyatakan bahwa zakat dan pajak adalah kewajiban. Hal inilah
yang dirasakan oleh kaum Muslim sebagai suatu beban yang berat (Gusfahmi, 2007:
7).
Hal
ini pula telah mengundang perdebabatan yang berlarut-larut hampir sepanjang
sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar ulama fiqih memandang bahwa zakat dan
pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan. Menurut
mereka, zakat adalah kewajiban spiritual seorang Muslim terhadap Tuhannya,
sedangkan pajak adalah kewajibannya terhadap negara.
Dari
segi pengelolaan, zakat dan pajak mempunyai pengelolaan yang berbeda. Akan
tetapi yang menjadi catatan penting dalam hal ini setidaknya pengelolaan zakat
ini mengikuti keberhasilan pengelolaan pajak. Pengelolaan pajak di Indonesia
terbilang sukses, adapun faktor yang menunjang keberhasilan tersebut, yakni
administrasi pajak yang tentunya harus efisien dan efektif. Menurut Ciptoherijanto
dan Abidin dalam Abdalla (2010: 8-9) administrasi pajak yang baik harus
meliputi tiga aspek, yaitu:
1.
Fungsi, administrasi pajak sebagai fungsi
meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan.
2.
Sistem, administrasi pajak sebagai suatu
sistem adalah merupakan seperangkat unsur yang saling berkaitan, yang berfungsi
bersama-sama untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan suatu proses tertentu.
3.
Lembaga, sebagai suatu lembaga administrasi
pajak meliputi badan-badan yang secara khusus menangani masalah perpajakan.
Berbeda
halnya dengan pengelolaan zakat di Indonesia yang terbilang masih rendah
kinerjanya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor (Anida, 2010: 2-3), yaitu:
1.
Rendahnya penghimpunan
dana zakat melalui Lembaga Amil Zakat, karena perilaku wajib zakat (muzakki) yang masih karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek.
2.
Masih rendahnya efesien dan efektivitas tasharuf (pendayagunaan) dana zakat terkait masih
besarnya jumlah Organisasi Pengelola Zakat dengan skala usaha yang kecil.
3.
Lemahnya zakat karena ketiadaan lembaga regulator
pengawas dan tidak jelasnya relasi zakat.
4.
Lemahnya kapasitas kelembagaan dan Sumber Daya Manusia
bidang zakat.
Sedangkan menurut Nuruddin (2010: 133) rendahnya kinerja pengelolaan zakat
disebabkan pengelolaan zakat belum digarap secara serius dan profesional oleh
pemerintah dengan perangkat aturan sesuai kecenderungan dan tuntutan daerah.
Pengumpulan zakat hendaknya atau seharusnya merupakan
sesuatu yang terprogram dan terencana, termasuk ditentukan jadwalnya dengan
jelas, dan tetap berlandasan untuk beribadah kepada Allah SWT dengan ikhlas. Dalam
penanganan zakat ini, perlu dicamkan bahwa para pembayar zakat hendaknya
mengetahui ke mana harta zakatnya itu dibagikan dan dimanfaatkan. Badan Amil
Zakat (BAZ) harus mempunyai dokumen dan data atau pembukuan yang rinci mengenai
jumlah uang zakat yang diterima, orang yang membayarnya, kemana digunakan dan
semacamnya. Sehingga sewaktu-waktu salah satu pembayar zakat ingin tahu data
rinci mengenai zakatnya, BAZ bisa memberi jawaban dengan memuaskan.
Zakat hendaknya tidak sekedar konsumtif, maka otomatis
idealnya dijadikan sumber Dana Umat. Penggunaan zakat untuk konsumtif hanyalah
untuk hal-hal yang bersifat darurat. Artinya, ketika ada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) yang tidak mungkin
untuk dibimbing untuk mempunyai usaha mandiri atau memang untuk kepentingan
mendesak, maka penggunaan konsumtif dapat dilakukan. Dana zakat akan lebih
cepat digunakan untuk mengentaskan umat dari kemiskinan jika dikelola untuk
menjadi sumber dana yang penggunannya sejak dari awal, seperti pelatihan,
sampai dengan modal usaha. Bahkan mestinya perlu ada dana riset atau survey dan
pengembangan serta dana administrasi (Azizy, 2004: 148-149).
Pada survey di atas menunjukkan salah satu faktor yang
menyebabkan pengelolaan dana zakat yang kurang efektif adalah tidak terprogram
dan terencana dengan baiknya dana zakat, kemudian dari segi pengelolaan dana
zakat yang terbilang masih rendah bila dibandingkan dari pengelolaan pajak karena
pengelolaan pajak telah mempunyai fungsi, sistem dan lembaga yang benar-benar
telah terstruktur dan dilaksanakan dengan baik.
Berdasarkan
uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat Sebagai
Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif.”
1.2 Fokus Penelitian
1. Apa persamaan dan perbedaan
antara konsep zakat dan konsep pajak ?
2. Bagaimana pendapat/pemikiran
ulama tentang penerapan zakat dan pajak ?
3. Bagaimana pengelolaan dana
zakat yang efektif dengan penerapan konsep pajak ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan
penelitian adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai persamaan
dan perbedaan antara konsep zakat dan konsep pajak.
2.
Untuk mengetahui pendapat ulama tentang penerapan
zakat dan pajak.
3.
Untuk mengetahui mengenai pengelolaan dana zakat yang
efektif dengan penerapan konsep pajak.
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun
manfaat diadakannya penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini menjadi sebuah media
untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan dalam rangka
memecahkan masalah secara ilmiah.
2. Bagi Fakultas
Sebagai
sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta untuk mengevaluasi sejauh
mana sistem pendidikan telah dijalankan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan masukan untuk membantu
memberikan gambaran yang lebih jelas bagi para peneliti yang ingin melakukan
penelitian khususnya mengenai akuntansi syariah.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan konteks
penelitian, fokus penelititan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini
mengemukakan teori-teori yang mendukung penelitian, yaitu teori-teori yang
berkaitan dengan konsep zakat dan konsep pajak serta menjelaskan penerapan
zakat dan pajak pada masa Rasulullah SAW, masa Khulafaurrasyidin dan Di
Indonesia, serta pendapat para ulama tentang penerapan zakat dan pajak. Di samping itu, bab ini
juga memuat kerangka pikir dari peneliti.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan rancangan
penelitian, jenis dan sumber data,
teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan pembahasan atas
rumusan masalah dalam skripsi ini, yaitu mengenai persamaan dan perbedaan
antara konsep zakat dan konsep pajak, pendapat/pemikiran Ulama tentang
penerapan zakat dan pajak dan pengelolaan dana zakat yang efektif dengan
penerapan konsep pajak.
BAB V
PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran
atas penelitian yang telah dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Zakat
2.1.1
Sejarah dan Landasan Filosofis Zakat
Menurut Basyir,
zakat sudah pernah dilaksanakan sebelum kedatangan agama Islam. Kegiatan yang
dilakukan yang berbentuk seperti zakat telah dikenal di kalangan bangsa-bangsa
Timur kuno di Asia, khususnya di kalangan umat beragama. Hal ini terjadi atas
adanya pandangan hidup di kalangan bangsa-bangsa Timur bahwa meninggalkan
kesenangan duniawi merupakan perbuatan terpuji dan bersifat kesalehan.
Sebaliknya, memiliki kekayaan duniawi akan menghalangi orang untuk memperoleh
kebahagiaan hidup di surga. Dalam syariat Nabi Musa AS, zakat sudah dikenal,
tetapi hanya dikenakan terhadap kekayaan yang berupa binatang ternak, seperti
sapi, kambing, dan unta. Zakat yang wajib dikeluarkan adalah 10 persen
dari nisab yang ditentukan (http://jakarta45.wordpress.com).
Menurut
pendapat mayoritas ulama, zakat mulai disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah. Di
tahun tersebut zakat fitrah diwajibkan pada bulan Ramadhan, sedangkan zakat mal
diwajibkan pada bulan berikutnya, Syawal. Jadi, mula-mula diwajibkan zakat
fitrah kemudian zakat mal atau kekayaan. Mengenai kewajiban zakat ini ilmuwan
Muslim ternama, Ibnu Katsir, mengungkapkan, ''Zakat ditetapkan di Madinah pada
abad kedua Hijriah”. Tampaknya, zakat yang ditetapkan di Madinah merupakan
zakat dengan nilai dan jumlah kewajiban yang khusus, sedangkan zakat yang ada
sebelum periode ini, yang dibicarakan di Makkah, merupakan kewajiban
perseorangan semata. Sayid Sabiq menerangkan bahwa zakat pada permulaan Islam
diwajibkan secara mutlak. Kewajiban zakat ini tidak dibatasi harta yang
diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar zakatnya. Semua itu diserahkan
pada kesadaran dan kemurahan kaum Muslimin. Menjelang tahun ke-2 Hijriah,
Rasulullah SAW telah memberi batasan mengenai aturan-aturan dasar,
bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar zakat, dan
siapa yang berhak menerima zakat. Dan, sejak saat itu zakat telah berkembang
dari sebuah praktik sukarela menjadi kewajiban sosial keagamaan yang
dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap Muslim yang hartanya telah
mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang wajib dizakati (http://www.republika.co.id).
Menurut
Shihab dalam ada 3 landasan kewajiban filosofis zakat
(http://nasional.inilah.com), yaitu:
1.
Istikhlaf (penugasan sebagai
khalifah di bumi). Allah SWT adalah pemilik seluruh alam raya dan segala
isinya, termasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya,
pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan
dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik-Nya (Allah SWT). Manusia yang dititipi
itu, berkewajiban memenuhi ketetapan-ketetapan yang digariskan oleh Sang
Pemilik, baik dalam pengembangan harta maupun dalam penggunaannya. Zakat
merupakan salah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan shadaqah dan
infaq pun demikian. Sebab, Allah SWT menjadikan harta benda sebagai sarana
kehidupan untuk umat manusia seluruhnya. Karena itu, harta benda harus
diarahkan guna kepentingan bersama.
2.
Solidaritas sosial. Manusia adalah
mahluk sosial. Kebersamaan antara beberapa individu dalam suatu wilayah membentuk
masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu-individu tersebut,
namun manusia tidak bisa dipisahkan darinya. Manusia tidak dapat hidup tanpa
masyarakatnya. Sekian banyak pengetahuan diperolehnya melalui masyarakatnya
seperti bahasa, adat istiadat, sopan santun dan lain-lain. Demikian juga dalam
bidang material yang diperolehnya berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara
langsung dan disadari maupun tidak. Manusia mengelola, tetapi Tuhan yang
menciptakan dan memilikinya. Dengan demikian, wajar jika Allah SWT
memerintahkan untuk mengelurakan sebagian kecil (zakat) dari harta yang
diamanatkan-Nya kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.
3.
Persaudaraan. Manusia berasal dari
satu keturunan, antara seseorang dengan lainnya terdapat pertalian darah, dekat
atau jauh. Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih kokoh dengan adanya
persamaan-persamaan lain, yaitu agama, kebangsaan, lokasi domisili dan
sebagainya. Disadari oleh kita semua, bahwa hubungan persaudaraan menuntut
bukan sekadar hubungan take and give (mengambil
dan menerima), atau pertukaran manfaat, tetapi melebihi itu semua, yakni
memberi tanpa menanti imbalan atau membantu tanpa dimintai bantuan. Apalagi,
jika mereka hidup bersama dalam satu lokasi. Nah, kebersamaan dan persaudaraan
inilah yang mengantarkan kepada kesadaran menyisihkan sebagian harta kekayaan
khususnya kepada mereka yang butuh, baik dalam bentuk kewajiban zakat, maupun
shadaqah dan infaq.
2.1.2
Pengertian dan Prinsip
Zakat
Hafidhuddin
(2002: 7) mengartikan zakat yang dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Menurut bahasa, kata zakat mempunyai beberapa
arti, yaitu al-barakatu ‘kebersihan’,
al-namaa ‘pertumbuhan dan
perkembangan’, ath-thaharatu
‘kesucian’, dan ash-shalabu
‘keberesan’.
b.
Menurut istilah, meskipun para ulama mengemukakannya
dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dan yang lainnya, akan tetapi pada
prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan
tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada
yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam exprosure draft PSAK Syariah No.109
“Zakat adalah harta yang wajib
dikeluarkan oleh muzakki sesuai
dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq)”.
Sedangkan menurut Chapra (1999:
292)
“Zakat adalah suatu tanda yang jelas dan tegas dari kehendak Tuhan untuk
menjamin bahwa tidak seorang pun menderita kekurangan sarana untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya akan barang dan jasa”.
Menurut Muhammad (2009:
55):
“Zakat merupakan harta
yang diambil dari amanah harta yang dikelola oleh orang kaya, yang ditransfer
kepada kelompok fakir dan miskin serta kelompok lain yang telah ditentukan
dalam Al-Qur’an, yang lazim disebut kelompok mustahik. Dalam istilah
ekonomi, zakat merupakan tindakan transfer
of income (pemindahan kekayaan) dari golongan kaya (agniya/the have) kepada golongan yang tidak berpunya (the have not).”
Bila
seseorang memperhatikan ketentuan dan paraturan mengenai zakat dengan teliti,
maka akan mudah baginya untuk mendapatkan enam prinsip syariat yang mengatur zakat (Mannan,
1997: 257-259), yaitu:
a.
Prinsip keyakinan, karena membayar zakat
adalah suatu ibadat dan dengan demikian hanya seorang yang benar-benar
berimanlah yang dapat melaksanakannya dalam arti dan jiwa yang sesungguhnya.
b.
Prinsip keadilan, makin berkurang jumlah
pekerjaan dan modal maka makin berkurang pula tingkat pungutan.
c.
Prinsip produktivitas, nisab berlaku pada
zakat hanya bila telah sampai waktunya dan produktif.
d.
Prinsip nalar, yaitu orang yang diharuskan
membayar zakat adalah seseorang yang berakal dan bertanggung jawab.
e.
Prinsip kemudahan, kemudahan zakat diperoleh
sebagian dari sifat pemungutan zakat dan sebagian diperoleh dari hukum islam
tentang erika ekonomi.
f.
Prinsip kemerdekaan, yaitu seseorang harus
menjadi manusia bebas sebelum dapat disyaratkan untuk membayar zakat. Karena
itu, seorang budak atau tawanan tidak diharuskan membayar zakat bila ia
dianggap tidak memiliki sesuatu harta.
2.1.3
Yang Wajib Berzakat dan Kelompok Penerima
Zakat
Di
dalam pelaksanaan zakat, yang diwajibkan berzakat adalah orang Islam yang
memiliki kekayaan yang cukup nisab dalam hal ini mereka disebut muzakki. Sebagaimana
firman Allah
SWT:
Artinya:
“Sungguh, orang-orang yang beriman,
mengerjakan kebajikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka
tidak bersedih hati” (QS Al Baqarah: 277).
Dan
orang yang berhak menerima zakat dalam istilah fiqih disebut mustahiq (Al-Habsyi,
1999: 305), terdiri atas delapan golongan yang tercakup dalam firman Allah SWT
:
Artinya:
”Sesungguhnya zakat
itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat,
yang dilunakkan hatinya (muallaf) untuk
(memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiaban
dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS
At-Taubah: 60).
Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Fakir, yaitu mereka yang
tidak berhasil memperoleh keperluan pokok hidupnya, untuk dirinya sendiri dan
keluarga yang wajib dinafkahinya. Sebagian ahli fiqih menyatakan bahwa orang
disebut fakir, apabila tidak berhasil memperoleh lebih dari 50% kebutuhan
pokoknya (Al-Habsyi, 1999: 305-306).
2. Miskin. Pengertian miskin
yang dikemukakan oleh Imam Malik dalam Djazuli (2003: 347-348) adalah “orang
yang untuk memenuhi keperluan hidupnya tidak segan-segan meminta bantuan orang
lain”.
3. Amil (Petugas pengumpul dan
penyalur zakat), yaitu mereka yang ditunjuk oleh pemerintah Muslim setempat
sebagai petugas-petugas pengumpul dan penyalur zakat dari para muzakki
(pembayar zakat), termasuk pula para pencatat, penjaga keamanan dan petugas
penyalur kepada para mustahiq (Al-Habsyi, 1999: 306). Akan tetapi perlu diingat
ongkos administrasi tersebut harus lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan
yang diperoleh dari zakat (Metwally, 1995: 8).
4. Muallaf, yang dimaksud
dengan muallaf adalah orang-orang yang perlu dijinakkan (dilunakkan) hatinya,
dengan memberi mereka sebagian dari harta zakat, agar tertarik kepada agama Islam,
atau demi memantapkan keimanannya, atau ‘membeli’ kesetiaannya agar menjaga
keamanan kaum Muslim atau mencegah kejahatannya terhadap masyarakat Muslim (Al-Habsyi,
1999: 307).
5. Untuk keperluan pembebasan
kaum tertindas. Di masa lalu, ketika perbudakan masih berlaku di seluruh dunia
bagian ini disediakan dalam upaya pembebasan para budak. Di masa sekarang,
bagian ini dapat disalurkan kepada umat Islam di seluruh dunia yang masih
menderita di bawah tekanan perbudakan bangsa-bangsa asing hampir di seluruh
aspek kehidupan (Al-Habsyi, 1999: 308).
6. Al-Gharimin (Orang-orang
yang terhimpit hutang). Mereka yang terhimpit hutang, dibagi menjadi dua
bagian:
a. Pertama, mereka yang pernah
berhutang dari orang lain untuk menutup kebutuhan hidup dan kini disebabkan
kemiskinan yang sangat, tidak mampu membayar kembali hutangnya.
b. Kedua, mereka yang biasanya
berasal dari tokoh-tokoh pemuka masyarakat, yang berupaya menjadi penengah antara
dua kelompok masyarakat yang bertengkar akibat harta atau tuntutan yang
dipertikaikan di antara mereka. Lalu, para pemuka ini, membebani dirinya dengan
memberikan sejumlah tertentu jaminan keuangan, demi memadamkan api permusuhan
seperti itu.
7. Fi Sabilillah, adalah para
sukarelawan yang berjuang dalam peperangan membela agama dan negara dari
serbuan tentara asing.
8. Ibnu Sabil, secara harfiah
arti ibnu sabil adalah ‘anak jalanan’ yang tidak mempunyai rumah untuk
ditinggali. Atau orang yang terpaksa lebih sering dalam perjalanan jauh dari
kota tempat tinggalnya demi memenuhi nafkah hidupnya. Termasuk dalam kategori
ini, musafir yang kebetulan kehabisan ongkos di tengah perjalanannya, sehingga
memerlukan bantuan keuangan (Al-Habsyi, 1999: 312).
Menurut
Al-Ba’ly (2006: 68), delapan golongan yang berhak atas hasil zakat terbagi lagi
menjadi dua bagian di antaranya:
1. Golongan yang mengambil hak
zakat untuk menutup kebutuhan mereka, seperti fakir, miskin, hamba sahaya dan ibnu
sabil.
2. Golongan yang mengambil hak
zakat untuk memanfaatkan harta tersebut, seperti pegawai zakat, muallaf, orang
yang mempunyai banyak utang untuk kepentingan yang berpiutang, perang di jalan
Allah SWT.
2.1.4
Jenis Zakat
Menurut
Ash Shiddieqy (2006: 9-10) secara garis besar zakat terbagi dua, yaitu:
1.
Zakat
Mal (harta): emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan (buah-buahan dan
biji-bijian) dan barang perniagaan.
2.
Zakat
Nafs, zakat jiwa yang disebut juga “Zakatul Fitrah” (zakat yang diberikan
berkenaan dengan selesainya mengerjakan shiyam (puasa) yang difardhukan). Di negeri kita ini, lazim disebut fitrah. Para ulama
telah membagi zakat fitrah, kepada dua bagian pula :
a.
Zakat
harta yang nyata (harta yang lahir) yang terang dilihat umum, seperti:
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan barang logam.
b.
Zakat
harta-harta yang tidak nyata, yang dapat disembunyikan. Harta-harta yang tidak
nyata itu, ialah: emas, perak, rikaz, dan barang perniagaan.
Menurut
Nurhayati dan Wasilah (2009: 274-275) ada dua jenis zakat, yaitu:
1.
Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang
diwajibkan kepada setiap Muslim setelah matahari terbenam akhir bulan Ramadhan.
2.
Zakat Harta
Zakat harta adalah zakat yang boleh
dibayarkan pada waktu yang tidak tertentu, mencakup hasil perniagaan,
pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak
serta hasil kerja (profesi) yang masing-masing memiliki perhitungan
sendiri-sendiri.
Sementara
itu, menurut Arizta (2011) dan Bamz (2011) zakat dapat dibagi dalam dua jenis,
yaitu:
1.
Zakat
fitrah yaitu zakat untuk membersihkan diri yang dibayarkan setiap bulan
Ramadhan. Zakat ini wajib dikeluarkan orang Muslim menjelang Idul Fitri.
Besarnya zakat fitrah yang harus dikeluarkan per individu adalah satu sha’ yang
setara dengan 2,5 kilogram atau dengan 3,5 liter beras makanan pokok yang ada
di daerah pemberi zakat atau yang bersangkutan. Zakat ini diberikan kepada
delapan golongan yang berhak menerima zakat. Menurut beberapa ulama khusus
untuk zakat fitrah mesti didahulukan kepada dua golongan, yakni fakir dan
miskin.
2.
Zakat
maal merupakan zakat atas harta kekayaan. Meliputi hasil perniagaan atau
perdagangan, pertambangan, pertanian, hasil laut dan hasil ternak, harta
temuan, emas dan perak serta hasil kerja (profesi). Masing-masing jenis
mempunyai perhitungan yang berbeda-beda. Adapun jenis-jenis zakat maal, yaitu:
a.
Zakat
emas dan perak. Nishab emas adalah 20 dinar (setara dengan 85 gram emas murni).
Sedangkan nishab perak adalah 200 dirham (setara dengan 672 gram perak). Ini
berarti, jika Anda memiliki emas sebesar 20 dinar selama satu tahun, maka emas
tersebut harus dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%. Aturan serupa berlaku pula
untuk perak, jika telah mencapai nishab 200 dirham dan waktu kepemilikannya
telah satu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%.
b.
Zakat
harta berharga lainnya. Misalnya uang tunai, tabungan, saham, obligasi dan
lain-lain). Besarnya zakat yang harus dikeluarkan dan syarat-syaratnya sama
seperti zakat emas dan perak.
c.
Zakat
profesi/penghasilan yaitu zakat yang dikeluarkan dari hasil profesi seseorang
sebesar 2,5 %.
d.
Zakat
tabungan adalah uang yang telah disimpan selama 1 tahun dan mencapai nilai
minimum (nisbah) setara 85 gram emas, zakat yang wajib dikeluarkan sebesar
2,5%.
e.
Zakat
investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap harta yang diperoleh dari hasil
investasi (seperti: bangunan atau kendaraan yang disewakan) besarnya 5% untuk
penghasilan kotor dan 10% untuk penghasilan bersih.
f.
Zakat
perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil perniagaan. Ketentuanya,
berjalan 1 tahun nisbah senilai 85 gram emas besar zakatnya 2,5% dapat dibayar
dengan uang atau barang perdagangan maupun perseroan.
Lebih
lanjut menurut Arian (2011) ada dua jenis zakat, yaitu:
1.
Zakat fitrah/fidyah, zakat nafs
(jiwa), disebut juga zakat fitrah. Zakat fitrah adalah zakat pribadi yang harus
dikeluarkan pada bulan Ramadhan sebelum shalat Idul Fitri. Besarnya zakat
fitrah menurut ukuran sekarang adalah 2,176 kilogram. Sedangkan makanan yang
wajib dikeluarkan yang disebut nash hadits yaitu tepung, terigu, kurma, gandum,
zahib (anggur) dan aqith (semacam keju). Untuk daerah/negara yang makanan
pokoknya selain 5 makanan di atas, mazhab Maliki dan Syafi'i membolehkan
membayar zakat dengan makanan pokok yang lain. Pembayaran zakat fitrah menurut
jumhur ulama, yaitu:
a.
Waktu wajib membayar zakat fitrah
yaitu ditandai dengan tenggelamnya matahari
di akhir bulan Ramadhan.
b.
Membolehkan mendahulukan pembayaran
zakat fitrah di awal. Bagi yang tidak berpuasa Ramadhan karena udzur tertentu
yang dibolehkan oleh syaria't dan mempunyai kewajiban membayar fidyah, maka
pembayaran fidyah sesuai dengan lamanya seseorang tidak berpuasa.
2.
Zakat maal (harta) adalah sejumlah
harta benda tertentu yang wajib dikeluarkan guna membersihkan kekayaan dan
menyucikan pemiliknya. Syarat-syarat kekayaan yang wajib di zakati:
a.
Milik penuh. Artinya, harta tersebut
berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya
secara penuh.
b.
Berkembang. Artinya, harta tersebut
dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk
berkembang.
c.
Cukup nishab. Artinya, harta
tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'.
Sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari zakat dan dianjurkan
mengeluarkan Infaq serta Shadaqah.
d.
Lebih dari kebutuhan pokok. Kebutuhan
pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang
menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya, apabila kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak.
e.
Bebas dari hutang. Orang yang mempunyai
hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama
(dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat.
f. Berlalu satu tahun (Al-Haul). Maksudnya adalah bahwa
pemilikan harta tersebut sudah berlalu (mencapai) satu tahun. Persyaratan ini
hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedangkan hasil
pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat haul.
Adapun
pengertian zakat fitrah menurut Kurnia dan A. Hidayat (2008: 342):
Zakat fitrah adalah
zakat pribadi yang diwajibkan atas diri setiap Muslim yang memiliki
syarat-syarat yang ditetapkan yang ditunaikan pada bulan Ramadhan sampai
menjelang shalat sunah Idul Fitri. Zakat fitrah mulai diwajibkan pada bulan
Sya’ban tahun kedua Hijriyah, yaitu tahun diwajibkan puasa Ramadhan. Zakat
fitrah mulai diwajibkan bertujuan menyucikan orang yang berpuasa dari ucapan
kotor dan perbuatan yang tidak berguna, dan memberi makan orang-orang miskin
dan mencukupi kebutuhan mereka pada hari raya Idul Fitri.
Menurut Ja’far (1997: 63) zakat
fitrah berfungsi mengembalikan manusia Muslim kepada fitrahnya, dengan
mensucikan jiwa mereka dari dosa-dosa yang disebabkan oleh pengaruh pergaulan
dan sebagainya, sehingga manusia itu menyimpan dari fitrahnya.
Di
sisi lain, menurut Qardhawi (1995: 89) zakat fitrah mengandung dua hikmah,
yaitu:
a. Untuk memulihkan puasa
seseorang yang barang kali dirusak oleh perbuatan sia-sia dan omongan kotor.
b. Untuk memuliakan kaum papa
dan menunjukkan perhatian masyarakat Muslim terhadap mereka di hari lebaran.
Menurut
Muhammad (2008: 433) sesuatu dapat disebut dengan harta apabila memenuhi dua
syarat, yaitu:
a. Dapat dimiliki, disimpan,
dihimpun dan dikuasai.
b. Dapat diambil manfaatnya
sesuai dengan ghalibnya. Misalnya, rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang,
emas, perak, dan lain sebagainya.
2.1.5
Pengelolaan Zakat
Menurut
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan
dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan
zakat. Adapun tujuan pengelolaan zakat meliputi hal-hal berikut:
a. Meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat sesuai dengan
tuntutan agama.
b. Meningkatkan fungsi dan
peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
keadilan sosial.
c. Meningkatkan hasil guna dan
daya guna zakat.
2.1.6
Hikmah Zakat
Menurut Rifa’i (1999: 370) zakat mengandung beberapa
hikmah, baik bagi perseorangan maupun masyarakat. Di antara hikmah dan faedah
zakat itu adalah :
a.
Mendidik jiwa manusia suka berkorban dan
membersihkan jiwa dari sifat-sifat kikir dan bakhil.
b.
Zakat mengandung arti rasa persamaan yang
memikirkan nasib manusia dalam suasana persaudaraan.
c.
Zakat memberi arti bahwa manusia itu bukan
hidup untuk dirinya sendiri, sifat mementingkan diri sendiri harus disingkirkan
dari masyarakat Islam.
d.
Seorang Muslim harus mempunyai sifat-sifat
baik dalam hidup perseorangan, yaitu murah hati dan penyayang.
e.
Zakat dapat menjaga timbulnya rasa dengki,
iri hati, dan menghilangkan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya.
f.
Zakat bersifat sosialitas, karena meringankan
beban fakir miskin dan meratakan nikmat Allah SWT yang diberikan kepada
manusia.
2.2
Penerapan
Zakat
2.2.1
Zakat Pada Masa Rasulullah SAW
Kehidupan
Rasulullah SAW dan masyarakat Muslim di masa beliau adalah teladan yang paling
baik implementasi Islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipun pada masa
sebelum kenabian Muhammad adalah seorang pebisnis, tetapi yang dimaksudkan
perekonomian di masa Rasulullah SAW di sini adalah pada masa Madinah. Pada
periode Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab
masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi
orang-orang Quraisy. Barulah pada periode Madinah, Rasulullah SAW memimpin
sendiri membangun masyarakat Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera
beradab. Meskipun perekonomian pada masa beliau relatif masih sederhana, tetapi
beliau telah menunjukkan prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan
ekonomi. Karakter umum dari perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang
tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap
keadilan dan pemerataan kekayaan. Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara
etis dalam bingkai syariah Islam, sementara sumber daya ekonomi tidak boleh
menumpuk pada segilintir orang melainkan harus beredar bagi kesejahteraan
seluruh umat. Pasar menduduki peranan penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi
pemerintah dan masyarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan
dan menegakkan keadilan (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, 2008:
98)
Kegiatan
ekonomi pasar relatif menonjol pada masa itu, di mana untuk menjaga agar
mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas Islam,
Rasulullah SAW mendirikan Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang bertugas
sebagai pengawas pasar (market controller).
Rasulullah SAW juga membentuk Baitul Maal, sebuah institusi yang bertindak
sebagai pengelola keuangan negara. Baitul Maal ini memegang peranan yang sangat
penting bagi perekonomian, termasuk dalam melakukan kebijakan yang bertujuan
untuk kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya untuk memutar roda perekonomian,
Rasulullah SAW mendorong kerja sama usaha di antara anggota masyarakat
(misalnya muzaraah, mudharabah, musaqah dan
lain-lain) sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Sejalan dengan
perkembangan masyarakat Muslim, maka penerimaan negara juga meningkat. Sumber
pemasukan negara berasal dari beberapa sumber, tetapi yang paling pokok adalah
zakat dan ushr (Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam, 2008: 98-99).
Zakatdan Ushr (sedekah) walaupun sudah diwajibkan sejak tahun ke-2 Hijriyah, namun
baru bisa dipungut sebatas zakat fitrah yang ditunaikan setiap bulan Ramadhan,
kewajiban atas zakat mal (harta) masih bersifat sukarela. Efektif pelaksanaan
zakat mal baru terwujud pada tahun ke-9 Hijriyah. Ketika Islam telah kokoh,
wilayah negara meluas dengan cepat dan orang berbondong-bondong masuk Islam. Peraturan
yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, batas-batas zakat, dan tingkat
persentase zakat untuk barang yang berbeda-beda serta sistem penentuan pengggajian
(hak-hak) amil zakat (Gusfahmi, 2007: 60).
Menurut
Gusfahmi (2007: 60) pada masa
Pemerintahan Rasulullah SAW, zakat dikenakan pada hal-hal (objek zakat) berikut:
1.
Benda logam yang terbuat dari emas seperti
koin, perkakas, ornamen atau bentuk lainnya.
2.
Benda logam yang terbuat dari perak, seperti
koin, perkakas, ornamen atau bentuk lainnya.
3.
Binatang ternak onta, sapi, domba dan kambing.
4.
Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak
dan hewan.
5.
Hasil pertanian termasu buah-buahan (ushr).
6.
Luqathah, harta benda yang ditinggalkan
musuh.
7.
Barang temuan.
Zakat
emas dan perak ditentukan berdasarkan beratnya. Binatang ternak yang
digembalakan secara bebas ditentukan berdasarkan jumlahnya. Barang dagangan,
barang tambang, dan luqathah ditentukan berdasarkan nilai jualnya serta hasil
pertanian dan buah-buahan ditentukan berdasarkan kuantitasnya. Berkaitan dengan
hal ini, Rasulullah SAW telah menetapkan nisab, yakni batas terendah dari
kuantitas atau nilai dari suatu barang dan jumlah dari tiap jenis binatang
ternak (Karim, 2008: 47).
Pemerintahan
Islam yang dibangun Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah bersama sahabatnya
di Madinah mengundang-undangkan zakat secara formal kepada rakyat. Harta-harta
diberi kategori tertentu hingga dikenakan kewajiban zakat (Mujahidin, 2007: 63).
Artinya, tidak semua harta mutlak dikenakan zakat. Di antara syarat dan
kategori itu adalah:
1.
Al-Milk
al-Tamn;
harta tersebut haruslah sempurna milik seseorang.
2.
Al-Nama’; harta
produktif yang dapat ditumbuh kembangkan, bukan harta mati.
3.
Bulugh
al-Nishab;
telah memenuhi limit dan kadar tertentu.
4.
Al-Fadhl
‘an al Hawa’ij al-Ashliyyah; surplus dari kebutuhan pokok.
5.
Al-Salamah
min al-Duyun; tidak terkait pada utang.
6.
Hulul
al-Haulan; telah mencapai batas waktu tertentu (1
tahun).
Selain
objek zakat dan syarat/kategori yang diatur Rasulullah SAW mengenai zakat,
sistem manajemen zakat pun telah diatur pada masa beliau.
Menurut
Nasution et al. (2006: 214) pada
zaman Rasulullah SAW, sistem manajemen zakat yang dilakukan oleh amil dibagi
menjadi bebebrapa bagian, yaitu:
1.
Katabah, petugas
untuk mencatat para wajib zakat.
2.
Hasabah, petugas
untuk menaksir, menghitung zakat.
3.
Jubah, petugas
untuk menarik, mengambil zakat dari para muzakki.
4.
Kahazanah, petugas
untuk menghimpun dan memelihara harta zakat.
5.
Qasamah, petugas
untuk menyalurkan zakat kepada mustahiq.
2.2.2 Zakat Pada Masa Khulafaurrasyidin
2.2.2.1 Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq
Pengangkatan
Abu Bakar menggantikan Nabi Muhammad SAW menjadi masalah bagi kaum Muhajirin
dan Ansor (konflik internal) serta munculnya pemberontakan untuk memisahkan
diri dari pemerintahan Madinah. Para pemberontak berasal dari dua kelompok,
kelompok pertama terdiri dari mereka yang kembali balik menyembah berhala di
bawah pimpinan Musailamah, Tulaihah, Sajah, dan lain-lain. Kelompok kedua tidak
menyatakan permusuhan terhadap Islam tetapi hanya memberontak kepada negara. Mereka
menolak membayar zakat dengan dalih bahwa pembayaran itu hanya sah kepada Nabi,
satu-satunya orang yang mereka siap membayarnya. Berdasarkan pada kondisi di
atas maka langkah pertama yang dilakukan selama pemerintahan Abu Bakar adalah
menumpas pembangkang suku-suku Arab di dalam negeri melalui peperangan yang
disebut perang Riddah (perang melawan kemurtadan) baru melakukan perluasan
wilayah (Nasution et al., 2006: 233).
Dalam
kekhalifahannya Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan penghitungan zakat sehingga
tidak terjadi kelebihan atau kekeurangan pembayaran. Hasil pengumpulan zakat
tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Maal
untuk langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum Muslimin hingga tidak ada
yang tersisa. Dalam mendistibusikan harta ini, Abu Bakar menerapkan prinsip
kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah
SAW dengan tidak membedakan antara sahabat yang lebih dulu memeluk Islam dengan
sahabat yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria
dengan wanita. Menurutnya dalam hal keutamaan beriman, Allah SWT akan
memberikan ganjarannya sedangkan dalam masalah kebutuhan hidup, prinsip
kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan (Kara et al., 2009: 26).
2.2.2.2
Khalifah Umar bin Khattab
Umar memerintah hanya selama sepuluh tahun, akan
tetapi dalam periode yang singkat itu banyak kemajuan yang dialami umat Islam,
kalau boleh dikatakan pemerintahan Umar merupakan abad keemasan dalam sejarah
Islam. Dalam aspek ekonomi, sistem ekonomi yang dikembangkan berdasarkan kepada
keadilan dan kebersamaan dan disinilah letak ketinggian ajaran Islam. Sistem
tersebut didasarkan pada prinsip pengambilan sebagian kekayaan orang-orang kaya
untuk dibagikan kepada orang miskin (Nasution et al., 2006: 234).
Beberapa
kontribusi yang diberikan Umar pada masa pemerintahannya antara lain:
1. Reorganisasi Baitul Maal
Khalifah Umar bin Khattab
mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta Baitul Maal sekaligus,
tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan
diantaranya disediakan dana cadangan. Harta Baitul Maal dianggap sebagai harta
kaum Muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai pemegang
amanah. Dengan demikian, negara bertanggung jawab untuk menyediakan makanan
bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar; membiayai
penguburan orang-orang miskin; membayar utang orang-orang yang bangkrut; membayar
uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, seperti membayar diyat prajurit Shebani
yang membunuh seorang Kristiani untuk menyelamatkan nyawanya; serta memberikan
pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial, seperti kasus Hind binti Ataba
(Karim, 2008: 59-61).
Sehingga perwujudan zakat
mampu memenuhi kebutuhan dan membuat seorang fakir menjadi kaya untuk
selamanya. Sehingga dapat meninggalkan
keterkaitan finansial kepada orang lain. Hal ini pun sebagaimana yang
diinginkan Umar Bin Khattab dalam penjelasan teoritis terhadap penerapan zakat
yang kemudian dijadikansebagai arahan yang bermanfaat dan dimasukkan ke dalam
hukum tasyri’ (Qardhawi, 2005: 54).
Khalifah Umar bin Khattab
menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Maal. Ia
berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam harus diperhitungkan dalam
menetapkan bagian seseorang dari harta negara dan karenanya, keadilan menghendaki
usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam
harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik- baiknya (Karim, 2008: 64).
2. Diversifikasi terhadap
objek zakat (zakat terhadap karet di Semenanjung Yaman), tarif zakat (misalnya
mengenakan dasar advalorem, satu dirham untuk 40 dirham).
Kegiatan beternak dan
memperdagangkan kuda dilakukan secara besar-besaran di Syria dan di berbagai
wilayah kekuasaan Islam lainnya. Beberapa kuda mempunyai nilai jual yang tinggi,
bahkan pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab Taghlabi diperkirakan
bernilai 20.000 dirham dan orang-orang Islam terlibat dalam perdagangan ini.
Gubernur memberitahukan bahwa
tidak ada zakat atas keduanya. Kemudian mereka mengusulkan kepada khalifah agar
ditetapkan kewajiban zakat atas keduanya tetapi permintaan tersebut tidak
dikabulkan. Akhirnya, gubernur menulis surat kepada khalifah dan Khalifah Umar
menanggapinya dengan sebuah instruksi agar gubernur menarik zakat dari mereka
dan mendistribusikannya kepada para fakir miskin serta budak-budak. Sejak itu,
zakat kuda ditetapkan sebesar satu dinar atau atas dasar ad valorem, seperti satu dirham untuk setiap empat puluh dirham
(Karim, 2008: 69).
Umar mengenakan zakat atas
karet yang ditemukan di Semenanjung Yaman, antara Aden dan Mukha, dan hasil
laut karena barang-barang tersebut dianggap sebagai hadiah dari Allah SWT. Thaif
dikenal sebagai tempat peternakan lebah, Kahlifah Umar juga mengenakan zakat
pada peternakan lebah ini. Menurut riwayat Abu Ubaid, Umar membedakan madu yang
diperoleh dari pegunungandan madu yang diperoleh dari ladang. Zakat yang
ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang diperoleh dari pegunungan dan
sepersepuluh untuk madu yang diperoleh dari ladang (Karim, 2008: 69-70).
2.2.2.3
Khalifah Utsman Bin Affan
Pemerintahan
Khalifah Utsman Bin Affan berlangsung selama 12 tahun. Pada masa
pemerintahannya, Khalifah Utsman Bin Affan tetap mempertahankan sistem
pemberian bantuan dan santunan serta memberikan sejumlah besar uang kepada
masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini prinsip persamaan dalam
memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, Utsman memberikan bantuan yang berbeda
pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, dalam pendistribusian harta
Baitul Maal, Khalifah Utsman Bin Affan menerapkan prinsip keutamaan seperti
halnya Umar Bin Khattab (Kara et al.,
2009: 28).
Dalam
pengelolaan zakat, Khalifah Utsman Bin Affan melantik Zaid Bin Sabit untuk
mengelola dana zakat. Ia juga mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang
dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk
mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan
yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Disamping itu, Khalifah
Utsman Bin Affan berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan terhadap harta milik
seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang bersangkutan. Ia juga mengurangi
zakat dari dana pensiun. Selama menjadi Khalifah, beliau menaikkan dana pensiun
sebesar 100 dirham disamping memberikan rangsum tambahan berupa pakaian. Utsman
juga memperkenalkan tradisi mendistribusikan makanan di mesjid untuk para fakir
miskin dan musafir (Karim, 2008: 80).
2.2.2.4
Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Masa
pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib berlangsung selama enam tahun, selalu
diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Sekalipun demikian, Khalifah
Ali Bin Abi Thalib tetap berusaha melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Menurut sebuah riwayat, ia
secara sukarela menarik diri dari daftar penerimaan dana bantuan Baitul Maal.
Bahkan menurut riwayat yang lain, Ali memberikan sumbangan sebesar 5000 dirham
setiap tahun. Apa pun faktanya, kehidupan Ali sangat sederhana dan sangat ketat
dalam membelanjakan keuangan negara. Dalam sebuah riwayat, saudaranya yang
bernama Aqil pernah mendatangi Khalifah Ali Bin Abi Thalib untuk meminta
bantuan keuangan dari dana Baitul Maal. Namun Ali menolak permintaan tersebut
(Karim, 2008: 82-83).
2.2.3
Zakat di Indonesia
Sebagai sebuah
negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, persoalan zakat pun
menjadi tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Sejarah perkembangan zakat di Indonesia mengalami jalan panjang hingga saat
ini. Sejak Islam masuk di Indonesia, secara otomatis ajaran zakat pun
berakumulasi dengan kehidupan masyarakat.
Menurut
Aliboron (2010) sebelum tahun 1990-an, dunia perzakatan di Indonesia memiliki
beberapa ciri khas, antara lain :
1.
Pada umumnya diberikan langsung oleh
muzakki kepada mustahiq tanpa melalui amil zakat. Keadaan seperti
ini disebabkan antara lain karena belum tumbuhnya lembaga pemungut zakat,
kecuali di beberapa daerah tertentu, misalnya BAZIZ (Badan Amil Zakat, Infaq
dan Shadaqah) DKI. Di daerah yang tidak ada BAZIZ umumnya muzakki langsung
memberikannya kepada mustahiq.
Pemahaman tentang zakat pun masih sederhana, yakni sebatas kewajiban ibadah
murni yang harus dikeluarkan tanpa perlu menghubung-hubungkan dengan pemecahan
berbagai problematika seperti kemiskinan.
2.
Jika pun melalui amil zakat, hanya
terbatas pada zakat fitrah. Keadaan seperti ini tampak misalnya ketika memasuki
bulan Ramadhan atau hanya beberapa saat sebelum lebaran di mesjid-mesjid,
mushalla, secara dadakan dibentuk amil zakat untuk menerimakan zakat fitrah
yang dikeluarkan oleh masyarakat di sekitar mesjid atau mushalla. Bahkan itupun
masih terdapat anggota masyarakat yang berpandangan lebih afdhal kalau menyerahkan langsung
zakat fitrahnya ke muzakki tanpa melalui amil zakat.
3.
Zakat yang diberikan pada umumnya
hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat. Pada saat itu amil bertugas
menerima dan membagi zakat belum bersifat mengelola, sehingga tidak terlalu
dibutuhkan tuntutan profesionalitas. Maka amil hanyalah menjadi profesi sambilan.
Keadaan seperti ini didukung oleh cara pandang masyarakat ketika itu yang
umumnya bersifat konsumtif dan dapat pula menjadi indikator lemahnya
kepercayaan masyarakat kepada amil zakat.
4.
Harta obyek zakat hanya terbatas. Obyek
zakat ketika itu terbatas pada harta-harta yang eksplisit dikemukakan secara
rinci dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi, yaitu emas perak, pertanian (terbatas
pada tanaman yang menghasilkan makanan pokok), peternakan (terbatas pada sapi,
kambing/domba), perdagangan (terbatas pada komoditas-komoditas yang berbentuk barang),
dan rikaz (harta temuan). Ini diakibatkan masih lemahnya sosialisasi tentang
zakat, baik yang berkaitan dengan hikmah, urgensi dan tujuan zakat, tata cara
pelaksanaan zakat, harta obyek zakat, maupun kaitan zakat dengan peningkatan
kegiatan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat masih sangat
jarang dilakukan.
Sejak tahun
1990-an zakat yang merupakan salah satu instrumental Islam yang strategis dalam
pembangunan ekonomi semakin populer di Indonesia. Indikasi positif ini selain
disebabkan oleh kesadaran menjalankan perintah agama di kalangan umat Islam
semakin meningkat dan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan
setelah itu dorongan untuk membayar zakat juga datang dari pemerintah dengan
disahkannya perangkat perundang-undangan berupa UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Undang-undang ini telah melahirkan paradigma baru pegelolaan zakat yang
antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh satu wadah,
yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah bersama masyarakat
dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang
terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan (Aliboron, 2010).
Dengan lahirnya
paradigma baru ini, maka semua Badan Amil Zakat (BAZ) harus segera menyesuaikan
diri dengan amanat undang-undang yakni pembentukannya berdasarkan
kewilayahan pemerintah negara mulai dari tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota dan kecamatan. Sedangkan untuk desa/ kelurahan, mesjid, lembaga
pendidikan dan lain-lain dibentuk unit pengumpul zakat. Sementara sebagai
Lembaga Amil Zakat (LAZ), sesuai amanat undang-undang tersebut, diharuskan
mendapat pengukuhan dari pemerintah sebagai wujud pembinaan, perlindungan dan
pengawasan yang harus diberikan pemerintah. Karena itu bagi Lembaga Amil Zakat
yang telah terbentuk di sejumlah Ormas Islam, yayasan atau Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dapat mengajukan permohonan pengukuhan kepada pemerintah
setelah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan (Aliboron, 2010).
2.3
Konsep Pajak
2.3.1 Sejarah
dan Landasan Filosofis Pemungutan Pajak
Pajak
sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Pada saat itu, pajak biasanya
ditarik untuk kebutuhan bersama, terutama untuk dana sebuah peperangan, karena
pada saat itu masyarakat masih melakukan perang guna memperebutkan wilayah
kekuasaan. Seperti di Mesir
contohnya, penarikan pajak sudah dilakukan sejak zaman fir’aun. Pada saat itu,
nama penarik pajak disebut dengan scribe.
Di Yunani, pemungutan
pajak disebut dengan eisphora, yaitu
pajak yang dikenakan guna membiayai suatu peperangan. Di Romawi, ada yang
namanya portoria, yaitu pemungutan
pajak yang berhubungan dengan bea masuk barang ekspor impor. Di Inggris, pada saat abad pertengahan
Inggris terkenal dengan perang yang berlangsung selama 100 tahun dengan Perancis
yang berakhir sekitar tahun 1453 M. Pada saat itu, mulai dikenal sistem pajak
yang dikenakan atas penghasilan, pajak kekayaan, kantor dan pajak seorang
pendeta. Pada saat itu pajak tanah juga mulai muncul, pajak atas kepemilikan
tanah dan bangunan. Di Amerika, sejarah pajak nampaknya sudah
menjadi pelopor pajak di era modern saat ini. Sejarah pajak di Amerika
berlangsung sangat panjang. Saat itu, rakyat Amerika dikenakan pajak atas
penghasilan mereka, yakni sekitar tahun 1812M. Pajak ini menggunakan tarif
progressif, yaitu 0,08% untuk penghasilan di atas 60 pound dan 10% untuk
penghasilan di atas 200 pound (Wahyu, 2010).
Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen di
Indonesia telah dikenakan pada masa kolonial. Tetapi pada masa kerajaan dahulu
juga telah ada pungutan seperti pajak, pungutan seperti itu dipersembahkan
kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan
rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini
dapat dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara).
Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan (PPn). Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “landrente”. Peraturan tentang landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan ordonansi landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964 (Ekonomikieta, 2009).
Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan (PPn). Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “landrente”. Peraturan tentang landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan ordonansi landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964 (Ekonomikieta, 2009).
Penarikan atau
pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara
sebagai suatu fungsi esensial. Memang dibeberapa negara yang sudah maju, pajak
sudah merupakan suatu conditiesine qua non bagi penambahan keuangan
negara. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan
lumpuh lebih-lebih lagi bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia,
atau negara yang baru bebas dari belenggu kolonialis pajak merupakan darah bagi
tubuh negara. Atas dasar ini, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis
pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan “benefit apoprouch” atau
pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar
filolosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai yang
dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa.
Pendekatan manfaat (benefit approuch) ini mendasarkan suatu falsafah:
oleh karena negara menciptakan manfaat yang dinikmati oleh seluruh warga negara
yang berdiam dalam negara, maka negara berwewenang memungut pajak dari rakyat
dengan cara yang dapat dipaksakan (Ekhardi, 2010).
Di dalam
literatur ilmu keuangan negara, kita temukan teori-teori yang memberikan dasar
pembenaran atau landasan filosofis daripada wewenang negara untuk memungut
pajak dengan cara yang dapat dipaksakan. Teori-teori tersebut adalah (Ekhardi,
2010):
1.
Teori asuransi
Menurut teori ini, negara dalam melaksanakan tugasnya/fungsinya,
mencakup pula tugas perlindungan terhadap jiwa dan harta benda perseorangan. Oleh
sebab itu, negara bekerja atau bertindak sebagai perusahaan asuransi. Untuk
perlindungan itu, warga negara membayar premi dan pembayaran pajaklah yang
dapat dipandang sebagai premi itu. Teori ini sudah lama ditinggalkan, dan
sekarang praktis tidak ada lagi pembelanya, sebab negara tidak mengganti
kerugian bila timbul kerugian atas orang-orang yang bersangkutan,
misalnya dibunuh atau hartanya dicuri.
2.
Teori kepentingan
Menurut teori ini, pajak itu mempunyai hubungan dengan
kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak
menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya.
3.
Teori kewajiban pajak mutlak (teori
pengorbanan)
Teori ini berpangkal tolak dari ajaran organik kenegaraan (Organische Staatsleer) dan berpendirian
bahwa tanpa negara maka individu tidak mungkin bisa hidup bebas berusaha dalam
negara. Oleh karena itu, negara mempunyai hak mutlak untuk memungut
pajak. Tanpa negara, maka individu pun tidak ada, dan pembayaran pajak oleh
individu kepada negara adalah dipandang sebagai tanda pengorbanan atau tanda
baktinya kepada negara. Teori ini terlalu menitikberatkan kepada negara yaitu
seolah-olah individu itu tidak dapat hidup tanpa negara, tetapi negara dapat
hidup tanpa individu. Padahal realitasnya tidak demikian, sebab negara pun tak
mungkin hidup/ada tanpa individu.
4.
Teori gaya beli
Teori ini mengajarkan bahwa fungsi pemungutan pajak, jika
dipandang sebagai gejala dalam masyarakat disamakan dengan pompa, yaitu
mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga
negara dan kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat dengan tujuan untuk
memelihara hidup masyarakat atau untuk kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan. Teori ini banyak penganutnya, karena kepraktisannya. Teori ini
berlaku sepanjang masa baik dalam ekonomi liberal, bahkan juga dalam masyarakat
sosialistis, meskipun tidak luput dari variasi-variasi dalam coraknya. Teori
ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, melainkan hanya
melihat kepada “efek” yang baik sebagai dasar keadilan pemungutan pajak dan
bukan kepentingan individu, maupun bukan kepentingan negara, melainkan
kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
5.
Teori gaya pikul
Teori ini mengajarkan bahwa pemungutan pajak harus sesuai
dengan kekuatan membayar dari si wajib pajak (individu). Tekanan semua
pajak-pajak harus sesuai dengan gaya pikul si wajib pajak dengan memperhatikan
pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran belanja wajib pajak
tersebut.
2.3.2
Pengertian Pajak dan Unsur Pajak
Secara etimologi, pajak dalam bahasa Arab disebut dengan
istilah dharibah. Secara bahasa
maupun tradisi, dharibah
dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai
ungkapan dharibah untuk menyebut
harta yang dipungut sebagai kewajiban. Hal ini tampak jelas dalam ungkapan
bahwa jizyah dan kharaj dipungut secara dharibah,
yakni secara wajib. Bahkan sebagian ulama menyebut kharaj merupakan dharibah
(Gusfahmi, 2007: 27).
Menurut Qardhawi dalam Gusfahmi (2007: 31):
“Pajak adalah
kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada
negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara,
dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan
untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan
lain yang ingin dicapai oleh negara”.
Menurut Gaji Inayah dalam Gusfahmi (2007: 32):
“Pajak adalah
kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat
berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu. Ketentuan
pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik harta dan dialokasikan untuk
mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk memenuhi tuntutan politik
keuangan bagi pemerintah”.
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam Gusfahmi (2007: 32), “Pajak adalah harta yang
diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan
pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul maal
tidak ada uang/ harta”.
Menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2009: 1), “Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal atau kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
a.
Iuran
dari rakyat kepada negara.
Yang
berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang dan bukan
barang.
b.
Berdasarkan
undang-undang
Pajak
dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
c.
Tanpa
jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
d.
Digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.3.3
Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2009: 1-2) ada dua fungsi pajak, yaitu:
a.
Fungsi
Budgetair
Pajak
sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
b.
Fungsi
Mengatur (regulerend)
Pajak sebagai
alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi.
2.3.4
Jenis-Jenis
Pajak
a.
Pajak
Penghasilan (PPh), adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak. Subjek
Pajak Pajak Penghasilan (PPh) adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi
untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak
Penghasilan (Resmi, 2003:74).
Lebih
lanjut, menurut
Diana dan Lilis Setiawati (2009: 163), Pajak Penghasilan dikenakan terhadap
Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
tahun pajak. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tersebut
disebut sebagai Wajib Pajak (WP). Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai
pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak
subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Adapun
tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 295), yaitu:
LAPISAN
PENGHASILAN KENA PAJAK
|
TARIF
PAJAK
|
Sampai
dengan Rp. 50.000.000,00
|
5%
|
Di
atas Rp. 50.000.000,00 s.d. Rp. 250.000.000,00
|
15%
|
Di
atas Rp. 250.000.000,00 s.d. Rp. 500.000.000,00
|
25%
|
Di
atas Rp. 500.000.000,00
|
30%
|
b.
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM).
Menurut
Yolina (2009: 15) “Pajak Pertmbahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis
pajak yang akan selalu terjadi dalam perusahaan kecil dan menengah baik yang
bergerak di bidang perdagangan maupun jasa”.
Lebih
lanjut, menurut Sukardji (2004: 3) “PPN adalah pajak objektif yang mengandung
pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh
adanya objek pajak”.
Menurut
Diana dan Lilis Setiawati (2009: 630), PPnBM dikenakan atas:
1.
Penyerahan
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah
Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2.
Impor
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
- Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (Diana dan Lilis setiawati, 2009: 677).
- Bea Materai. Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 menetapkan pajak atas dokumen yang disebut Bea Materai. Pelaksanaanya diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Materai (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 739).
e.
Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB). Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara
tetap pada tanah dan/atau perairan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diatur dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No.12 Tahun 1994 (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 711).
2.3.5
Syarat
Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2009: 2) agar
pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan
pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.
Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
b.
Pemungutan pajak harus berdasarkan
undang-undang (syarat yuridis)
c.
Tidak menganggu perekonomian (syarat
ekonomis)
d.
Pemungutan pajak harus efisien (syarat
finansial)
e. Sistem
pemungutan pajak harus sederhana.
2.3.6
Pengelompokan
Pajak
Menurut Mardiasmo (2009:
5-6) pengelompokan pajak terdiri atas:
a.
Menurut
Golongannya
1.
Pajak
Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
2.
Pajak
tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain.
b.
Menurut
Sifatnya
1.
Pajak
subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam
arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
2.
Pajak
Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri Wajib Pajak.
c.
Menurut
Lembaga Pemungutnya
1.
Pajak
Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara.
2.
Pajak
Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah Daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah.
2.4
Penerapan Pajak
2.4.1 Pajak Pada Masa
Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW juga sudah terdapat jizyah
yaitu pajak yang dibayarkan oleh orang nonmuslim khususnya ahli kitab, untuk
jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak
wajib militer. Besarnya jizyah yakni
satu Dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Tujuan utamanya
adalah kebersamaan dalam menanggung beban negara yang bertugas memberikan
perlindungan, keamanan dan tempat tinggal bagi mereka dan juga sebagai dorongan
kepada kaum kafir untuk masuk Islam. Jizyah
merupakan hak Allah SWT yang diberikan kepada kaum Muslimin dari orang-orang
kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Jizyah masih terkait dengan hasil dakwah dan jihad kaum Muslimin. Pihak
yang wajib membayar Jizyah adalah para
ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi, Nasrani dan yang bukan ahli kitab seperti
orang-orang Majusi, Hindu, Budha dan Komunis yang telah menjadi warga negara
Islam (Nasution et al., 2006: 228).
Meskipun jizyah merupakan
hal yang wajib, namun dalam ajaran Islam ada ketentuannya, yaitu bahwa jizyah wajib dikenakan kepada seluruh
nonmuslim dewasa, laik-laki, yang mampu membayarnya. Sedangkan bagi perempuan,
anak-anak, orang tua dan pendeta dikecualikan sebagai kelompok yang tidak wajib
ikut bertempur dan tidak diharapkan mampu ikut bertempur. Orang-orang miskin,
penganggur, pengemis, tidak dikenakan pajak. Hasil pengumpulan dana dari jizyah, digunakan untuk membiayai kesejahteraan
umum (Suprayitno, 2005: 179-180). Sebagaimana kewajiban tentang pembayaran jizyah dalam firman Allah :
Artinya:
”Perangilah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan hari kemudian,
mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang
yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (QS. At-Taubah: 29).
Di samping itu
Rasulullah SAW juga memberlakukan kharaj, yaitu sejenis
pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukkan oleh kekuatan
senjata, terlepas dari apakah si pemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak, Muslim ataupun
tidak beriman. Cara memungut kharaj terbagi dua jenis: kharaj
menurut perbandingan (Muqasimah) dan kharaj tetap (Wazifah). Kharaj menurut
perbandingan ditetapkan porsi hasil seperti
setengah atau sepertiga hasil itu. Sebaliknya, kharaj tetap adalah beban khusus pada tanah sebanyak hasil alam
atau uang persatuan lahan. Kharaj
menurut perbandingan pada umumnya dipungut pada setiap kali panen, sedangkan kharaj tetap menjadi wajib setelah
lampau satu tahun (Mannan, 1997: 250).
2.4.2 Pajak Pada Masa Khulafaurrasyidin
2.4.2.1 Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq
Pada masa kekhalifahannya, Abu Bakar tidak merubah
kebijakan Rasulullah SAW dalam masalah jizyah.
Sebagaimana Rasulullah SAW, Abu Bakar tidak membuat ketentuan khusus tentang jenis dan kadar jizyah, maka pada
masanya, jizyah dapat berupa emas,
perhiasan, pakaian, kambing, onta, atau
benda-benda lainnya (Mofidrabbani, 2011). Abu
Bakar juga melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan, sebagian
diberikan kepada kaum Muslimin dan sebagian yang lain tetap menjadi tanggungan
negara. Di samping itu, Abu Bakar juga mengambil alih tanah-tanah dari
orang-orang yang murtad untuk kemudian dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam
secara keseluruhan (Karim, 2008: 57).
2.4.2.2
Khalifah Umar bin Khattab
Pada
masa kekhalifahannya, Umar telah merubah taksiran jizyah dari ketetapan Nabi. Umar tidak lagi menggunakan ukuran
dinar atau yang senilai dengannya, tapi beliau menggunakan dirham. Selain itu
beliau juga membeda-bedakan standar jizyah
berdasarkan kondisi perekonomian orangnya. Beliau tidak ingin jizyah yang harus dibayarkan oleh kaum
dzimmi (orang nonmuslim yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam) membebani
mereka diluar kemampuannya. Jizyah
diambil sekali dalam setahun, dimulai dari awal bulan Muharram dan ditutup akhir
bulan Dzulhijjah. Untuk pengambilannya, diangkat petugas khusus untuk menarik jizyah serta untuk pendistribusiannya
yaitu amil (pegawai pajak). Dalam pengangkatan pegawai pajak Umar melakukan
seleksi terlebih dulu terhadap orang yang bersifat jujur dan cocok untuk
menduduki posisi sebagai pegawai pajak. Kedudukan serta upah mereka merupakan
bagian dari Baitul Mal, bukan kewajiban dari kaum dzimmi. Petugas ini dilarang
mengambil sesuatu yang lebih dari besarnya jizyah
yang telah ditetapkan atas seorang dzimmi. Selain itu, petugas ini dilarang
memukul atau menganiaya kaum dzimmi waktu mengambil jizyah
(Cahaya, 2008).
Adapun
penentuan kharaj pada masa Umar Bin
Khatab yaitu, kharaj dibebankan
kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik
tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak
dapat dikonversi menjadi tanah ushr. Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui
air. Harga yang lebih tinggi yang dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan (Karim, 2008: 67-68).
2.4.2.3
Khalifah Utsman Bin Affan
Khalifah
Utsman bin Affan membuat beberapa perubahan administrasi tingkat atas pergantian
beberapa gubernur. Sebagai hasilnya, jumlah pemasukan kharaj dan jizyah yang
berasal dari Mesir meningkat dua kali lipat yakni dari 2 juta dinar menjadi 4
juta dinar setelah dilakukan penggantian gubernur dari Amar kepada Abdullah bin
Saad. Namun hal ini mendapat kecaman dari Amar. Menurutnya pemasukan besar yang
diperoleh Gubernur Abdullah bin Saad merupakan hasil pemerasan penguasa
terhadap rakyatnya. Dengan harapan dapat memberikan tambahan pemasukan bagi
Baitul Mal, Khalifah Utsman menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah negara
kepada individu-individu untuk tujuan reklamasi. Dari hasil kebijakannya ini, negara
memperoleh pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham jika
dibandingkan pada masa Umar bin Khattab yang tidak membagikan tanah-tanah
tersebut (Kara et al., 2009: 29).
2.4.2.4
Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Selama masa
pemerintahannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib menetapkan pajak terhadap para
pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan mengizinkan Ibnu Abbas, Gubernur Kufah,
memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu masakan
(Karim, 2008: 83). Jizyah disesuaikan dengan keuangan mereka.
Orang-orang kaya harus membayar lebih besar, kelas menengah harus membayar
jumlah dibawah orang kaya, dan orang yang miskin membayar paling murah. Mereka
yang miskin sekali atau tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap atau
menggantungkan hidupnya dari orang lain tidak perlu membayar jizyah. Begitu negara menerima jizyah dari mereka, kaum Muslimin
dilarang memperlakukan mereka secara keras dan zalim. Tanah, harta kekayaan
serta nyawa mereka dan sekaligus kehormatannya wajib dilindungi karena sama
sucinya dengan semua yang dimiliki oleh kaum Muslimin sendiri. Hak-hak mereka
tidak dapat ditindas dan dirampas atau pun dibebani beban yang tidak dapat
mereka tanggung. (marhabanyamarhaban.wordpress.com)
2.4.3
Pajak di Indonesia
Pemungutan pajak di Indonesia secara
umum menganut sistem self assessment.Sistem self assessment adalah sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada
wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus dibayar. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan,
meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(Diana dan Liis Setiawati, 2009: 1-2)
Selain sistem self assessment ada dua sistem lagi yang dipakai di Indonesia
(Ozha, 2011), yakni:
1. Official assessment, yaitu Pajak Terhutang Ditetapkan Oleh Pejabat Pajak. Pajak
dihitung negara, dalam hal ini oleh Petugas Pajak, dan setelah ditetapkan
kemudian Wajib Pajak diwajibkan membayar berdasarkan perhitungan Petugas Pajak.
Di Indonesia, sistem Official Assesment
dianut dalam hal pengenaan pajak, dilakukan berdasarkan Hasil Pemeriksaan Pajak
atau berdasarkan keterangan lainnya.
2. Witholding System, yaitu Pajak Terhutang Dihitung dan Dilaporkan Melalui
Pemotongan dan/atau Pemungutan oleh Pihak Lawan Transaksi. Pajak yang diperoleh
negara melalui sistem pemotongan dan/atau pemungutan. Misalnya, suatu
perusahaan membayar imbalan jasa kepada perusahaan lain, maka atas imbalan jasa
tersebut wajib dipotong pajak dengan persentase tertentu oleh Pihak Lawan
Transaksi.
Konsekuensi sistem self assessment, setiap Wajib Pajak yang
memiliki penghasilan wajib mendaftarkan diri sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP). Lebih lanjut, setiap Wajib Pajak wajib menghitung sendiri dan membayar
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pada
prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai
pajak. Jadi, hutang pajak tidak timbul pada saat dibuatkan Surat Ketetapan
Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan di Indonesia saat
terutangnya pajak tersebut ditetapkan sebagai berikut (Diana dan Lilis
Setiawati, 2009: 2):
1.
Pada
suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga.
2.
Pada
akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang
dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak
atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Pada akhir tahun Pajak, untuk Pajak
Penghsilan.
Jumlah pajak yang terutang yang
telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah
tiba saat atau masa pelunasan pembayaran, oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke
Kas Negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. Jumlah pajak yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jadi, jika Wajib Pajak
telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar, serta
melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan
pajak ataupun Surat Tagihan Pajak. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang
sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang
sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 2-3).
Dengan melihat pelaksanaan pajak yang telah diuraikan di
atas, pengelolaan pajak di Indonesia terbilang sukses. Ini semua tidak lepas
dengan adanya administrasi pajak yang tentunya efisien dan efektif. Menurut
Parwito (2009: 8-9) administrasi pajak yang baik harus meliputi tiga aspek,
yaitu:
1. Fungsi. Administrasi pajak
sebagai fungsi meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan. Dalam fungsi perencanaan, administrasi pajak merencanakan apa yang
akan dicapai oleh fiskus, baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun
jangka panjang. Sebagai fungsi pengorganisasian, administrasi pajak melakukan
pengelompokan tugas, tanggungjawab, wewenang sedemikian rupa sehingga tujuan
yang telah ditetapakan dapat tercapai secara efisien. Fungsi palaksanaan
meliputi pemberian motivasi kerja kepada para pegawai sehingga mereka bekerja
dengan semangat yang tinggi. Sedangkan fungsi pengawasan, administrasi
diperlukan untuk proses pengamatan dan mengupayakan agar apa yang dilakukan sesuai
dengan yang direncanakan sebelumnya, sehingga jika terjadi kesalahan dapat
dilakukan tindakan koreksi atau pembetulan.
2. Sistem. Administrasi pajak
sebagai suatu sistem merupakan subsistem dari keuangan negara. Sedangkan
keuangan negara merupakan suatu sistem dari administrasi negara dan
administrasi negara pun merupakan subsistem dari kehidupan kenegaraan pada
umumnya. Dengan demikian, setiap sistem merupakan suatu subsistem dari sistem
yang lebih luas sehingga satu dengan lainnya saling terkait dalam suatu
lingkungan yang kompleks.
3. Lembaga. Administrasi pajak
sebagai lembaga meliputi badan-badan yang secara khusus
menangani masalah perpajakan. Di Indonesia lembaga tersebut adalah Direktorat
Jenderal Pajak yang dalam operasionalnya dibentuk instansi vertikal berupa
Kantor Wilayah dengan membawahi beberapa Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor
Pemeriksaan Pajak, yang pada perkembangan selanjutnya Kantor Wilayah membawahi
Kantor Pelayanan Pajak yang mempunyai 4 fungsi (fungsi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan) seperti yang telah dijelaskan di
atas.
2.5 Mekanisme Zakat Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP.163/PJ./2003
tentang Perlakuan Zakat atas
Penghasilan dalam Penghitungan Penghasilan Kena
Pajak, dijelaskan dengan tegas
bahwa zakat dapat mengurangi
pajak
setelah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut (Husain, 2010):
1.
Zakat harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam.
2.
Zakat dibayarkan kepada BAZ (Badan Amil Zakat)
atau
LAZ (Lembaga
Amil
Zakat) yang dibentuk atau
disahkan oleh
pemerintah sesuai
ketentuan Undang- undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
3.
Zakat yang dibayarkan adalah penghasilan
yang merupakan objek pajak yang dikenakan pajak penghasilan yang tidak bersifat final.
4.
Zakat penghasilan yang
dibayarkan diakui sebagai pengurangan PPh
pada tahun zakat tersebut dibayarkan.
5.
Melampirkan lembar ke-1 Surat
Setoran zakat atau fotocopinya yang telah dilegalisir oleh BAZ atau LAZ
penerima setoran zakat yang bersangkutan pada SPT tahuna pajak penghasilan
tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut. Selanjutnya Surat Setoran Zakat yang dapat
diakui sebagi bukti,
sekurang-kurangnya harus memuat:
a.
Nama lengkap wajib pajak
b.
Alamat jelas wajib pajak
c.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
d.
Jenis penghasilan yang dibayar zakatnya
e.
Sumber atau jenis penghasilan dan bulan
atau tahun perolehannya
f.
Besarnya penghasilan
g.
Besarnya zakat atas penghasilan
Contoh kasus zakat sebagai pengurang Pajak Penghasilan
(PPh):
2.6
Pendapat Ulama Mengenai
Penerapan Zakat dan Pajak
Pendapat Ulama dalam Hasan (1996: 36-37)
tentang zakat dan pajak sebagai berikut:
1.
Pendapat
Syekh Ulaith
Dalam fatwa beliau dari
mazhab Maliki disebutkan, bahwa beliau pernah memberi fatwa mengenai orang yang
memiliki ternak yang sudah sampai nisabnya. Kepada orang tersebut dipungut uang
setiap tahunnya, tetapi tidak atas nama zakat. Apakah orang itu boleh berniat
atas nama zakat, dan apakah kewajiban berzakat telah gugur karena itu? Beliau
dengan tegas menjawab: “ia tidak boleh berniat zakat. Jika dia berniat zakat,
maka kewajibannya tidak menjadi gugur, sebagaimana telah difatwakan oleh Nasir
al-Haqani dan al-Hatab”.
2.
Fatwa
Syekh Mahmud Syaltut
Dalam masalah yang
dibicarakan ini beliau mengatakan, bahwa zakat bukanlah pajak. Zakat pada
dasarnya adalah ibadah harta. Memang antara zakat dan pajak ada persamaannya,
tetapi ada perbedaanya dalam banyak hal. Pada prinsipnya pendapat beliau itu
sama dengan ulama-ulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas dan
sasarannya. Zakat kewajiban kepada Allah SWT sedang pajak kewajiban kepada
pemerintah.
3.
Pendapat
Syekh Abu Zahrah
Begitu ditanya orang
mengenai pajak dan zakat beliau menjawab, bahwa pajak itu sampai sekarang tidak
memiliki nilai-nilai khusus, yang dapat memberikan jaminan sosial, padahal
tujuan pokok pajak adalah menanggulangi masalah sosial kemasyarakatan. Zakat
dapat memenuhi tuntutan sebagai pajak. Tetapi pajak tidak mungkin dapat
memenuhi tuntutan zakat, karena pajak tidak menanggulangi kebutuhan fakir
miskin yang menuntut untuk dipenuhi. Zakat adalah merupakan kewajiban dari
Allah SWT dan tidak mungkin dihapuskan oleh hamba-Nya. Zakat tetap dipungut
sepanjang zaman, walaupun fakir miskin telah tiada. Pemanfaatannya disalurkan
untuk fi sabilillah.
2.7
Kerangka Berpikir
Pengelolaan zakat secara
efektif
dengan penerapan
konsep pajak
BAB III
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Jenis
penelitian ini tergolong dalam penelitian pustaka atau literatur (Library Research) berupa pencarian
fakta dengan interpretasi yang tepat. Menurut Sangadji dan Sopiah (2010: 28),
“Pengertian penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan
menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan
hasil penelitian dari penelitian terdahulu”.
3.2 Jenis dan Sumber Data
3.2.1
Jenis Data
1. Data Kualitatif adalah data
yang tidak dapat diukur atau dinilai dengan angka-angka secara langsung.
2. Data Kuantitatif adalah
data yang dapat diukur atau dinilai dengan angka-angka secara langsung.
Sumber
data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang
diperoleh dari berbagai literatur, seperti buku-buku yang menunjang dengan
obyek penelitian dan berkaitan dengan yang akan diteliti dalam hal ini mengenai
zakat dan pajak, jurnal dan website yang membahas tentang kaitan zakat dan
pajak, dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa Penelitian
Kepustakaan (Library Research). Teknik
ini merupakan bentuk penelitian yang dilakukan peneliti dengan mengumpulkan
sejumlah data dengan jalan membaca dan menulusuri literatur-literatur baik
berupa buku-buku, majalah, dan tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan dengan
masalah yang akan dibahas.
3.4 Teknik Analisis Data
Untuk membahas rumusan masalah yang
pertama yaitu mengenai persamaan dan perbandingan antara konsep zakat dan
konsep pajak, peneliti menggunakan metode deskripsi komparatif. Zakat dan pajak
dianalisis mengenai persamaan dan perbedaannya secara lebih rinci.
Untuk membahas rumusan masalah kedua
yaitu mengenai pendapat/pemikiran ulama mengenai penerapan konsep pajak pada
zakat, peneliti menggunakan metode deskripsi analisis. Dengan mengumpulkan
beberapa pendapat para ulama, dimulai dari pendapat umum para ulama mengenai
zakat dan pajak, ulama yang berpendapat bahwa ada kewajiban lain atas harta
selain zakat, ulama yang berpandapat bahwa pajak itu boleh, ulama yang
berpendapat bahwa pajak itu haram, dan yang terakhir alasan ulama membolehkan
pajak.
Sedangkan untuk membahas rumusan
masalah ketiga mengenai pengelolaan zakat secara efektif dengan penerapan konsep
pajak digunakan metode deskripsi analisis. Dengan memaparkan kelebihan yang
dimiliki konsep pajak terhadap konsep zakat kemudian dilakukan analisis apakah
konsep tersebut dapat diterapkan pada zakat, sehingga diperoleh pengelolaan
zakat secara efektif dengan penerapan konsep pajak.
BAB
IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Persamaan dan Perbedaan Antara Zakat dan
Pajak
4.1.1 Persamaan Antara Zakat dan Pajak
Terdapat beberapa persamaan pokok
antara zakat dan pajak (Hafidhuddin, 2002: 52-55), antara lain:
a.
Unsur
Paksaan
Seorang Muslim yang
memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan zakat, jika melalaikan atau
tidak menunaikannya, penguasa yang diwakili oleh para petugas zakat wajib
memaksanya. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam surat at-Taubah: 103.
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Dalam
sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa
memberikannya (zakat) karena berharap mendapatkan pahala, maka baginya
pahalanya. Dan barang siapa yang enggan mengeluarkannya, kami akan mengambilnya
(zakat), dan setengah untanya, sebagai salah satu ‘uzmah (kewajiban yang
dibebankan kepada para hamba) oleh Allah SWT. Tidak sedikitpun dari harta itu
yang halal bagi keluarga Muhammad SAW.”
Demikian pula halnya
seseorang yang sudah termasuk kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa
padanya, baik secara langsung maupun tidak langsung, jika wajib pajak
melalaikan kewajibannya. Tindakan paksa tersebut dilakukan secara bertingkat
mulai dari peringatan, teguran, surat paksa, sampai dengan penyitaan.
b.
Unsur
Pengelola
Asas
pelaksanaan pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat
dalam surat at-Taubah: 60.
Berdasarkan
ayat tersebut, dapatlah diketahui bahwa pengelolaan zakat bukanlah semata-mata
dilakukan secara individual, dari muzakki diserahkan langsung kepada mustahiq,
akan tetapi dilakukan oleh sebuah lembaga yang khusus yang menangani zakat,
yang memenuhi persyaratan tertentu yang disebut dengan amil zakat. Amil zakat
inilah yang memiliki tugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan
penagihan dan pengambilan, serta mendistribusikannya secara tepat dan benar.
Dalam
bab III Undang-Undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat dikemukakan bahwa organisasi pengelolaan zakat di Indonesia
ada dua macam, yaitu: Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Di
samping berkaitan dengan perintah Al-Qur’an, pengelolaan zakat oleh amil zakat
ini mempunyai beberapa kelebihan atau keunggulan, antara lain:
1. Untuk menjamin kepastian
dan disiplin pembayaran zakat.
2. Menjaga perasaan rendah
diri para mustahiq zakat apabila
berhadapan langsung menerima haknya dari dari para wajib zakat (muzakki).
3. Untuk mencapai efisiensi,
efektivitas, dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala
prioritas yang ada pada suatu tempat.
4. Untuk memperlihatkan syi’ar
Islam dalam semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami.
Sementara
itu dalam Bab II pasal 5 Undang-Undang nomor 38 tahun 1999, dikemukakan bahwa
pengelolaan zakat melalui amil zakat bertujuan:
1. Meningkatkan pelayanan bagi
masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama.
2. Meningkatkan fungsi dan
peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
keadilan sosial.
3. Meningkatkan hasil guna dan
daya guna zakat.
Adapun
pengelolaan zakat, jelas harus diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan
pengertian pajak itu sendiri, yaitu iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan)
yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan
tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum, berhubung dengan tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
c. Dari Sisi Tujuan
Dari
sudut pembangunan kesejahteraan masyarakat, zakat memiliki tujuan yang sangat
mulia, seperti digambarkan oleh Muhammad Said Wahbah, yaitu:
1. Menggalang jiwa dan
semangat saling menunjang dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat Islam.
2. Merapatkan dan mendekatkan
jarak dan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat.
3. Menanggulangi pembiayaan
yang mungkin timbul akibat berbagai bencana, seperti bencana alam maupun
bencana lainnya.
4. Menutup biaya-biaya yang
timbul akibat terjadinya konflik, persengketaan dan berbagai bentuk kekerasan
dalam masyarakat.
5. Menyediakan suatu dana
taktis dan khusus untuk penanggulangan biaya hidup para gelandangan,
pengangguran dan tuna sosial lainnya, termasuk dana untuk membantu orang-orang
yang hendak menikah tetapi tidak memiliki dana untuk itu. Pada akhirnya, zakat
bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman.
Demikian
pula pajak, dalam tujuan relatif sama dengan tujuan di atas, terutama dalam hal
pembiayaan pembangunan negara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat banyak.
Sementara itu, Permono dalam Hafidhuddin (2002: 55) mengemukakan bahwa terdapat
persamaan dalam tujuan zakat dan pajak, yaitu sebagai sumber dana untuk
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata dan berkesinambungan
antara kebutuhunan material dan spiritual.
Lebih
lanjut, menurut Nurhayati dan Wasilah (2009: 270-271) zakat dan pajak mempunyai
beberapa persamaan, yaitu:
1.
Bersifat
wajib dan mengikat atas harta yang ditentukan, dan ada sanksi jika
mengabaikannya.
2.
Zakat
dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai optimalisasi penggalangan
dana maupun penyalurannya.
3.
Zakat
dan pajak memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membantu penyelesaian masalah
ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
4.
Tidak
ada janji akan memperoleh imbalan materi tertentu di dunia.
5.
Zakat
dan pajak dikelolah oleh negara pada pemerintahan Islam.
4.1.2
Perbedaan Antara Zakat dan Pajak
Terdapat
beberapa perbedaan pokok yang menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak
dianggap sama, meskipun dalam beberapa hal terdapat beberapa persamaan di
antara keduanya. Beberapa perbedaan mendasar tersebut antara lain (Hafidhuddin,
2002: 55-59):
a. Dari Segi Nama
Secara
etimologis, zakat berarti bersih, suci, berkah, tumbuh, maslahat, dan
berkembang. Artinya setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan bersih, tumbuh,
berkah dan berkembang. Demikian pula bagi muzakki. Hal ini sejalan
dengan firman Allah SWT. Dalam surat ar-Ruum: 39 dan Surat at-Taubah: 103.
Sedangkan pajak, berasal dari kata al-dharibah yang secara etimologis
berarti beban, seperti dalam kalimat: “Ia telah membebankan kepadanya upeti
untuk dibayarkan”.
Kadangkala
diartikan pula dengan al-Jizyah yang
berarti pajak tanah (upeti), yang diserahkan oleh ahli dzimmah (orang yang tetap dalam kekafiran, tetapi tunduk dalam
aturan Islam) kepada pemerintah Islam. Allah SWT berfirman dalam surat
at-Taubah: 29
Artinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah SWT dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak
mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasulullah SAW. Tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberi
al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam keadaan tunduk.”
Tafsir
departemen agama Republik Indonesia pada catatan kaki no. 638, memberikan
keterangan bahwa yang dimaksud dengan
jizyah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang
yang bukan Islam sebagai perimbangan bagi jaminan keamanan diri mereka sendiri.
b. Dari Segi Dasar Hukum dan
Sifat Kewajiban
Zakat
ditetapkan berdasarkan dengan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang bersifat
qathi, sehingga kewajibannya bersifat
mutlak atau absolut sepanjang masa. Qardhawi menyatakan bahwa zakat adalah
kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus. Ia akan berjalan terus selama
Islam dan kaum Muslimin ada di muka bumi ini. Kewajiban tersebut tidak akan
dapat dihapuskan oleh siapa pun. Seperti halnya shalat, zakat merupakan tiang
agama dan merupakan pokok ajaran Islam. Ia merupakan ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, karenanya
memerlukan keikhlasan ketika menunaikannya, di samping sebagai ibadah yang
mengandung berbagai hikmah yang sangat penting dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan umat. Allah SWT berfirman dalam surat al-Bayyinah: 5
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$#
Artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah SWT dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Karena
itu, dalam pembahasan fiqhiyyah, kajian zakat dimasukkan dalam bagian ibadah,
bersama dengan kajian thaharah
(bersuci), shalat, shaum, dan ibadah haji. Sedangkan pajak, keberadaannya
sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk
undang-undang. Di Indonesia, misalnya, hukum pajak bersumber dan berdasarkan
pada pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan undang-undang.
c. Dari Sisi Objek, persentase
dan Pemanfaatan
Zakat,
memiliki nisab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku, berdasarkan
ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadits Nabi. Nisab zakat emas perak
adalah senilai 85 gram dan persentase zakatnya adalah 2,5%. Demikian pula zakat
harta perdagangan, pertanian, peternakan, pertambangan, dan komoditas-komoditas
lainnya. Demikian pula pemanfaatan dan penggunaan zakat, tidak boleh keluar
dari asnaf yang delapan golongan, sebagaimana tergambar dalam firman
Allah surat at-Taubah: 60, meskipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang kriteria dari masing-masing mustahiq.
Sedangkan
aturan besar dan pemungutan pajak sangat bergantung kepada peraturan yang ada
serta tergantung pula pada obyek pajaknya. Dalam berbagai literatur dikemukakan
bahwa besarnya pajak sangat bergantung kepada jenis, sifat dan cirinya. Dilihat
dari sifatnya terdapat berbagai macam pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Pajak Pribadi. Dalam hal
ini pengenaan pajak lebih memperhatikan keadaan pribadi seseorang, seperti
istri, jumlah anak, dan kewajiban finansial lainnya (PPh pribadi).
2. Pajak Kebendaan. Yang
diperhatikan adalah obyeknya, pribadi
wajib pajak dikesampingkan (PPh Badan Hukum).
3. Pajak atas Kekayaan. Yang
menjadi obyek pajak adalah kekayaan seseorang atau Badan (PKK).
4. Pajak atas Bertambahnya
Kekayaan. Pengenaannya didasarkan atas seseorang yang mengalami
kenaikan/pertambahan kekayaan, biasanya dikenakan hanya satu kali.
5. Pajak atas Pemakaian
(konsumsi). Pajak atas kenikmatan seseorang (PRT/PPI).
6. Pajak yang Menambah Biaya
Produksi. Yaitu pajak yang dipungut karena jasa negara dengan secara langsung
dapan dinikmati oleh para produsen.
Jika
zakat harus digunakan untuk kepentingan mustahiq yang berjumlah delapan asnaf,
maka pajak dapat dipergunakan dalam seluruh sektor kehidupan, sekalipun
dianggap sama sekali tidak berkaitan dengan ajaran agama.
Menurut Al-Habsyi dalam Hafidhuddin (2002: 59) perbedaan
esensial antara zakat dan pajak, antara lain:
1. Ketentuan kadar zakat yang
diwajibkan oleh syari’at atas masing-masing jenis harta, seperti 2,5%, 5 %,
10%, dan 20% yang tidak sama dengan kadar atau persentase pajak yang ditentukan
oleh setiap pemerintahan atas setiap jenis penghasilan.
2. Niat khusus yang menyertai
pengeluaran zakat sebagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT yang
tidak dapat dipersamakan dengan niat ketika membayar pajak kepada pemerintah.
3. Ketentuan khusus tentang
orang-orang atau lembaga-lembaga tertentu yang diperbolehkan maupun tidak
diperbolehkan menerima zakat, sebagaimana telah dirinci oleh Al-Qur’an dan hadits
Nabi.
Lebih
lanjut menurut Syarwat dalam Nurhayati dan Wasilah (2009: 270) terdapat
beberapa perbedaan antara pajak dan zakat, yaitu:
1. Zakat merupakan manifestasi
ketaatan umat terhadap perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW sedangkan pajak
merupakan ketaatan seorang warga negara kepada ulil amrinya (pemimpinnya).
2. Zakat telah ditentukan
kadarnya dalam Al-Qur’an dan hadits, sedangkan pajak dibentuk oleh hukum negara.
3. Zakat hanya dikeluarkan
oleh kaum Muslimin sedangkan pajak dikeluarkan oleh setiap warga negara tanpa
memandang apa agama dan keyakinannya.
4. Zakat berlaku bagi setiap
Muslim yang telah mencapai nisab tanpa memandang di negara mana ia tinggal,
sedangkan pajak hanya berlaku dalam batas garis teritorial suatu negara saja.
5. Zakat adalah suatu ibadah
yang wajib didahului oleh niat sedangkan pajak tidak memakai niat.
6.
Zakat
harus dipergunakan untuk kepentingan mustahiq
yang berjumlah delapan asnaf
(sasarannya), sedangkan pajak dapat dipergunakan dalam seluruh sektor
kehidupan.
Menurut Qardhawi dalam Husain (2010), terdapat
beberapa perbedaan pokok antara pajak
dan zakat.
Beberapa perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Dari segi nama dan etiketnya/maknanya
Perbedaan dari segi nama dan maknanya,
kata zakat
menurut
bahasa
berarti
suci, tumbuh dan berkah. Syariat Islam memilih kata zakat untuk mengungkapkan arti dan bagian harta yang wajib dikeluarkan untuk
fakir miskin dan mustahiq lainnya. Adapun dharibah (pajak) diambil dari kata dharaba yang berarti utang, pajak tanah, atau upeti,
dan sebagainya, yaitu sesuatu
yang mesti dibayar, sesuatu yang menjadi beban.
2.
Mengenai hakikat dan tujuannya
Perbedaan antara pajak dan zakat adalah bahwa zakat itu ibadah yang diwajibkan kepada orang Islam sebagai tanda syukur kepada
Allah
SWT. Adapun pajak
adalah kewajiban dari negara semata-mata.
3.
Mengenai batas nisab dan ketentuannya
Zakat adalah hak yang
ditentukan Allah SWT, yang
menentukan batas nisab bagi setiap macam benda dan membebaskan kewajiban itu terhadap harta yang kurang
dari nisab. Tidak ada yang boleh mengubah dan
mengganti apa yang telah ditentukan syariat.
Berbeda dengan pajak yang
bergantung
kepada kebijaksanaan
pemerintah dan
kekuatan penguasa, baik mengenai objek,
persentase, harga dan ketentuannya.
4.
Mengenai kelestarian dan kelangsungannya
Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus menerus. Ia akan berjalan selagi Islam dan kaum Muslim ada di muka bumi ini.
Sedangkan pajak, tidak
memiliki
sifat yang
tetap dan terus
menerus, baik mengenai jenis, persentase, maupun
kadarnya.
Tiap pemerintah
dapat mengurangi atau mengubah atas dasar pertimbangan dan rasionalitas ekonomi. Bahkan adanya pajak itu sendiri tidak kekal, ia akan tetap ada
selagi diperlukan dan lenyap bila sudah tidak dibutuhkan lagi.
5.
Mengenai pengeluarannya
Zakat mempunyai sasaran khusus yang ditetapkan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Setiap Muslim dapat membagikan zakatnya sendiri bila diperlukan. Sasaran itu adalah kemanusiaan
dan Islam. Sedangkan pajak dikeluarkan untuk membiayai
pengeluaran umum negara, sebagaimana ditetapkan oleh peraturan penguasa.
6.
Hubungannya dengan penguasa
Dalam kasus pajak,
ada hubungan
antara wajib
pajak
dengan pemerintah yang berkuasa. Karena pemerintah
yang mengadakan, maka pemerintah
pula yang memungutnya dan membuat
ketentuan wajib pajak. Adapun zakat adalah hubungan antara
wajib
zakat dengan Tuhan-Nya. Allah-lah yang memberinya
harta dan mewajibkan membayar
zakat, semata-mata
karena
mengikuti perintah
dan mengharap ridha-Nya.
7.
Maksud dan tujuan
Zakat memiliki
tujuan
spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Tujuan
yang luhur ini tersirat pada kata zakat itu sendiri yang bermakna suci, tumbuh, dan berkah.
Pajak tidak memiliki
tujuan luhur seperti zakat. Para ahli
keuangan berabad-abad lamanya menolak adanya tujuan lain pada pajak,
selain untuk
menghasilkan
pembiayaan (uang) untuk mengisi kas negara.
8.
Dari sisi objek dan persentase serta pemanfaatannya
Zakat memiliki nisab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadits
Nabi.
Demikian pula
pemanfaatan dan penggunaan zakat, tidak boleh keluar dari
asnaf yang delapan, sebagaimana tergambar
dalam
firman
Allah SWT dalam Al-Qur’an surat at-Taubah [9]: 60.
4.2 Pendapat Ulama Mengenai Penerapan Zakat dan
Pajak
4.2.1 Pendapat Ulama Tentang Zakat dan Pajak
Pendapat
Ulama dalam Hasan (1996: 36-37) tentang zakat dan pajak sebagai berikut:
1.
Pendapat
Syekh Ulaith
Dalam fatwa beliau dari
mazhab Maliki disebutkan, bahwa beliau pernah memberi fatwa mengenai orang yang
memiliki ternak yang sudah sampai nisabnya. Kepada orang tersebut dipungut uang
setiap tahunnya, tetapi tidak atas nama zakat. Apakah orang itu boleh berniat
atas nama zakat, dan apakah kewajiban berzakat telah gugur karena itu? Beliau
dengan tegas menjawab: “ia tidak boleh berniat zakat. Jika dia berniat zakat,
maka kewajibannya tidak menjadi gugur, sebagaimana telah difatwakan oleh Nasir
al-Haqani dan al-Hatab”.
2.
Fatwa
Syekh Mahmud Syaltut
Dalam masalah yang
dibicarakan ini beliau mengatakan, bahwa zakat bukanlah pajak. Zakat pada
dasarnya adalah ibadah harta. Memang antara zakat dan pajak ada persamaannya,
tetapi ada perbedaannya dalam banyak hal. Pada prinsipnya pendapat beliau itu
sama dengan ulama-ulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas dan
sasarannya. Zakat kewajiban kepada Allah SWT sedang pajak kewajiban kepada
pemerintah.
3.
Pendapat
Syekh Abu Zahrah
Begitu ditanya orang
mengenai pajak dan zakat beliau menjawab, bahwa pajak itu sampai sekarang tidak
memiliki nilai-nilai khusus, yang dapat memberikan jaminan sosial, padahal
tujuan pokok pajak adalah menanggulangi masalah sosial kemasyarakatan. Zakat
dapat memenuhi tuntutan sebagai pajak. Tetapi pajak tidak mungkin dapat
memenuhi tuntutan zakat, karena pajak tidak menanggulangi kebutuhan fakir
miskin yang menuntut untuk dipenuhi. Zakat adalah merupakan kewajiban dari
Allah SWT dan tidak mungkin dihapuskan oleh hamba-Nya. Zakat tetap dipungut
sepanjang zaman, walaupun fakir miskin telah tiada. Pemanfaatannya disalurkan
untuk fi sabilillah.
4.2.2 Ulama Yang
Berpendapat Bahwa ada Kewajiban Lain atas Harta Selain Zakat
Menurut Gusfahmi (2007: 179-181),
beberapa ulama berpendapat bahwa ada kewajiban lain atas harta selain zakat,
yaitu:
1.
Qadhi
Abu Bakr al-Arabi seorang ahli fikih bermazhab Maliki, berkata dalam Ahkam
Al-Qur’an, bahwa:
Pada
harta tak ada kewajiban selain zakat. Apabila telah diselesaikan, kemudian
sesudah itu datang kebutuhan mendesak, maka wajib bagi orang kaya mengeluarkan
hartanya untuk keperluan tersebut.
2.
Imam
Malik dalam Ahkam Al-Qur’an berkata:
Wajib
kepada seluruh kaum Muslim menebus tawaran mereka, meskipun harta mereka akan
habis karenanya. Demikian pula apabila pemerintah menolak membagikan zakat
kepada para mustahik setelah dilakukan pemungutan, apakah orang kaya wajib
membantu orang miskin. Sudah barang tentu masalah demikian perlu dipikirkan.
Menurut pendapat saya, yang paling tepat ialah, wajib menolong mereka.
3.
Imam
Qurtubi dalam Tafsir al-Qurtubi, memperkuat pendapat Imam Malik. Ia berkata:
Para
ulama sependapat bila datang satu kebutuhan mendesak kepada kaum Muslimin setelah membayar zakat, maka wajib kepada
mereka yang kaya mengeluarkan hartanya untuk menanggulangi keperluan tersebut.
4.
Imam
al-Syatibi dalam al-I’tisham berkata:
Apabila
harta Baitul Maal kosong, kemudian keperluan biaya militer meningkat, maka Imam
bila ia adil hendaklah membebankan biaya itu kepada mereka yang kaya sekiranya
dapat mencukupi keperluan tersebut, sehingga Baitul Maal berisi kembali.
5.
Ibnu
Taimiyah dalam al-kabir, waktu menafsirkan kalimat “Tidak ada hak dalam harta
selain zakat,” berkata:
Bagi
seseorang tidak ada yang wajib ditunaikan karena adanya harta selain zakat.
Oleh karena itu, ia punya kewajiban yang bukan disebabkan oleh adanya harta,
seperti kewajiban memberi nafkah kepada kerabat dekat, istri, hamba sahaya dan
hewan ternak. Juga wajib menanggung orang yang kena denda (diah), ikut membantu
orang berutang dan orang yang ditimpa musibah. Dan wajib juga memberi makan
orang yang kelaparan, memberi pakaian mereka yang tak punya pakaian dan
kewajiban lain yang bersifat materi yang disebabkan adanya suatu sebab. Bagi
orang yang wajib naik haji, harta merupakan syarat utama, sedangkan badan sebab
utama dan kesanggupan menjadi syarat. Harta dalam zakat merupakan sebab, maka
wajib zakat bila ada harta, sehingga bila di negerinya tidak ada mustahiknya, hendaklah dipindahkan
ke lain, karena zakat adalah hak yang diwajibkan Allah SWT.
6.
Mahmud
Syaltut dalam Al-Fatawa berkata:
Apabila pemerintah atau
pemimpin rakyat tidak mendapat dana untuk menunjang kemaslahatan umum, seperti
pembangunan sarana pendidikan, balai pengobatan, perbaikan jalan dan saluran
air, serta mendirikan industri alat pertahanan negara di mana kaum hartawan
masih diam membelenggu tangannya, maka dibolehkan bagi pemerintah, untuk
memungut pajak dari kaum hartawan, untuk meringankan pelaksanaan rencana
pembangunan itu.
4.2.3 Ulama Yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Boleh
Menurut Gusfahmi (2007:
183-186), sejumlah Fuqaha dan ekonom Islam menyatakan bahwa pemungutan pajak
itu diperbolehkan, antara lain:
1.
Abu
Yusuf, dalam
kitabnya al-Kharaj, menyebutkan bahwa:
Semua
khulafaurrasyidin, terutama Umar, Ali dan Umar Ibnu Abdul Aziz dilaporkan telah
menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak
diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan sampai
membuat mereka tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Abu Yusuf mendukung hak penguasa
untuk meningkatkan atau menurunkan pajak menurut kemampuan rakyat yang
terbebani.
2.
Ibnu
Kaldun dalam kitabnya Muqaddimah, dengan cara yang sangat bagus merefleksikan
arus pemikiran para sarjana Muslim yang hidup pada zamannya berkenaan dengan
distribusi beban pajak yang merata dengan mengutip sebuah surat dari Thahir
Ibnu Husain kepada anaknya yang menjadi seorang gubernur di salah satu
provinsi:
Oleh
karena itu, sebarkanlah pajak pada semua orang dengan keadilan dan pemerataan,
perlakuan semua orang sama dan jangan memberi perkecualian kepada siapa pun
karena kedudukannya di masyarakat atau kekayaan, dan jangan mengecualikan
kepada siapa pun sekalipun petugasmu sendiri atau kawan akrabmu atau
pengikutmu. Dan jangan kamu menarik pajak dari orang melebihi kemampuan membayar.
3.
Marghinani
dalam kitabnya al-Hidayah, berpendapat bahwa:
Jika
sumber-sumber negara tidak mencukupi, negara harus menghimpun dana dari rakyat
untuk memenuhi kepentingan umum. Jika manfaat itu memang dinikmati rakyat,
kewajiban mereka membayar ongkosnya.
4.
M.
Umer Chapra, menyatakan:
Hak negara Islam untuk meningkatkan sumber-sumber
daya lewat pajak disamping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah fuqaha yang
pada prinsipnya telah mewakili semua mazhab fiqih. Hal ini disebabkan karena
dana zakat dipergunakan pada prinsipnya untuk kesejahteraan kaum miskin,
padahal negara memerlukan sumber-sumber dana yang lain agar dapat melakukan
fungsi-fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara efektif.
5.
Hasan
al-Banna, dalam bukunya Majmuatur-Rasa’il, mengatakan:
Melihat
tujuan keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang merata, maka sistem
perpajakan progresif tampaknya seirama dengan sasaran-sasaran Islam.
6.
Ibnu
Taimiyah, dalam Majmuatul fatawa, mengatakan:
Larangan
penghindaran pajak sekalipun itu tidak adil berdasarkan argumen bahwa tidak
membayar pajak oleh mereka yang berkewajiban akan mengakibatkan beban yang
lebih besar bagi kelompok lain.
7.
Abdul
Qadim Zallum, dalam Al-Anwal fi Daulah al-Khilafah, mengatakan:
Berbagai pos pengeluaran yang tidak tercukupi oleh
Baitul Maal adalah menjadi kewajiban kaum Muslimin. Jika berbagai kebutuhan dan
pos-pos pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan atas kaum
Muslimin, padahal Allah SWT juga telah mewajibkan negara dan umat untuk
menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum Muslimin. Jika terjadi kondisi
tersebut, negara mewajibkan kaum Muslimin untuk membayar pajak, hanya untuk
menutupi kekurangan biaya terhadap berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran
yang diwajibkan, tanpa berlebihan.
8.
Sayyid
Rasyid Ridha, yang pernah ditanya mengenai pungutan orang Nasrani (Inggris) di
India terhadap tanah, ada yang separuh dan ada yang seperempat dari tanah
tersebut. Bolehkah hal itu dianggap sebagai kewajiban zakat, seperti 1/10 atau
1/20? Beliau menjawab:
Sesungguhnya yang wajib
dari 1/10 atau 1/20 itu dari hasil bumi adalah harta zakat yang wajib
dikeluarkan pada delapan sasaran (delapan asnaf) menurut nash. Apabila dipungut
oleh amil dari Imam dalam negara Islam, maka bebaslah pemilik tanah itu dari
kewajibannya dan Imam atau amilnya wajib membagikan zakat itu kepada
mustahiknya. Apabila tidak dipungut oleh amil, maka wajib kepada pemilik harta
untuk mengeluarkannya, sesuai dengan perintah Allah SWT. Harta yang dipungut
oleh Nasrani tadi, dianggap sebagai pajak dan tidak menggugurkan kewajiban
zakat. Orang itu tetap mengeluarkan zakat. Hal ini berarti bahwa pajak tidak
dapat dianggap sebagai zakat.
4.2.4 Ulama Yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Haram
Menurut Hasan Turobi dalam Gusfahmi
(2007: 186), “Pemerintahan yang ada di dunia Muslim dalam sejarah yang begitu
lama pada umumnya tidak sah. Karena itu, para fuqaha khawatir jika
diperbolehkan menarik pajak akan disalahgunakan dan menjadi suatu alat
penindasan”.
4.2.5 Alasan Ulama Membolehkan Pajak
Menurut Gusfahmi (2007: 186-188), ada beberapa
ulama yang memberi alasan untuk membolehkan pajak, yaitu:
1.
Zallum
berpendapat:
“Anggaran
belanja negara pada saat ini sangat berat dan besar, setelah meluaskan tanggung
jawab ulil amri dan bertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi,
kadangkala pendapatan umum yang merupakan hak baitul mal seperti fa’i, jiziyah, kharaj, ‘usyur dan khumus
tidak memadai untuk anggaran belanja negara, seperti yang pernah terjadi di
masa lalu, yaitu masa Rasulullah SAW, masa Khulafaurrasyidin, masa Mu’awiyah,
masa Abbasiyah, sampai masa Ustmaniyah, di mana sarana kehidupan semakin
berkembang. Oleh karena itu, negara harus mengupayakan cari lain yang mampu
menutupi kebutuhan pembelanjaan baitul mal, baik dalam kondisi ada harta maupun
tidak”.
2.
Maliki
berpendapat:
“Karena
menjaga kemaslahatan umat melalui berbagai sarana-sarana seperti keamanan,
pendidikan dan kesehatan adalah wajib, sedangkan kas negara tidak mencukupi,
maka pajak itu menjadi wajib. Walaupun demikian, syara’ mengharamkan negara
menguasai harta benda rakyat dengan kekuasaannya. Jika negara mengambilnya
dengan menggunakan kekuatan dan cara paksa, berarti itu merampas, sedang
merampas hukumnya haram.”
3.
Umer
Chapra berpendapat:
“Sungguh tidak realistis bila
sumber perpajakan (pendapatan) negara-negara Muslim saat ini harus terbatas
hanya pada lahan pajak (pos-pos penerimaan) yang telah dibahas oleh para
fuqaha. Situasi telah berubah dan mereka perlu melengkapi sistem pajak (baru)
dengan menyertakan realitas perubahan, terutama kebutuhan massal terhadap
infrastruktur sosial dan fisik bagi sebuah negara berkembang dan perekonomian
modern yang efisien serta komitmen untuk merealisasikan maqashid dalam konteks
hari ini. Sambil melengkapi sistem pajak, kita perlu memikirkan bahwa sistem
tersebut tidak saja harus adil, tetapi juga harus menghasilkan, tanpa berdampak
buruk pada dorongan untuk bekerja, tabungan dan investasi, serta penerimaan
yang memadai sehingga memungkinkan negara Islam melaksanakan tanggung jawabnya
secara kolektif.”
4.3
Pengelolaan Zakat Secara
Efektif Dengan Menerapkan Konsep Pajak
Menurut peneliti kelebihan dari konsep
pajak sehingga pengelolaan pajak lebih sukses dari pada pengelolaan zakat,
yaitu:
1. Adanya sanksi yang tegas
terhadap wajib pajak yang lalai dalam membayar pajak sedangkan pada zakat tidak
ada sanksi bagi muzakki (wajib zakat)
karena pembayaran hanya didasarkan pada kesukarelaan.
2. Penerimaan karyawan pada
lembaga pajak adalah sumber daya manusia
berkualitas yang mempunyai pengetahuan perpajakan yang matang tidak
demikian pada lembaga zakat, pekerjaan menjadi seorang pengelola
zakat (amil) belumlah menjadi tujuan hidup atau profesi dari seseorang, bahkan
dari lulusan ekonomi syariah sekalipun. Para pemuda ini meskipun dari lulusan
ekonomi syariah lebih memilih untuk berkarir di sektor keuangan seperti
perbankan atau asuransi, akan tetapi hanya sedikit orang yang memilih untuk
berkarir menjadi seorang pengelola zakat. Menjadi seorang amil belumlah menjadi
pilihan hidup dari para pemuda kita, karena tidak ada daya tarik berkarir di
sana. Padahal lembaga amil membutuhkan banyak sumber daya manusia yang
berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional, amanah, akuntabel dan
transparan.
3. Sudah terprogram dan terencananya dengan baik administrasi
perpajakan yang terdiri dari: fungsi, sistem dan lembaga sedangkan pada zakat
masih belum jelas. Misalnya, saja pada fungsi terkait masalah fungsi yang
berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, serta pengawasan belum ada pemisahan tugas
diantaranya dan belum dijalankan secara serius. Dari sistem, kebanyakan lembaga
pengelola zakat belum memiliki atau tidak memahami pentingnya sebuah sistem
dalam kinerja organisasinya serta belum terjalin komunikasi yang baik antara
amil zakat yang satu dengan amil zakat yang lain karena keterbatasan SDM yang
paham akan teknologi. Dari sisi lembaga, banyaknya lembaga zakat yang masih
belum jelas keberadaannya, sehingga ini semua dapat mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga zakat yang ada.
Menurut Arrsa (2008) adapun
bentuk-bentuk kelemahan dalam pengelolaan zakat di Indonesia, yaitu:
1.
Kelemahan Pengelolaan Zakat dari Aspek Yuridis
Berdasarkan aspek yuridis terdapat
kelemahan di dalam pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
yaitu: pertama, UU No.
38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dinilai berpotensi menghambat
perkembangan zakat. Salah satunya adalah tidak adanya pemisahan yang jelas
antara fungsi regulasi, pengawasan, dan pelaksanaan dalam mengelola zakat.
Kondisi tersebut dikhawatirkan memberikan dampak negatif bagi pengembangan
zakat. Oleh sebab itu di dalam praktik terdapat kondisi yang tidak sehat.
Misalnya, tidak ada pemisahan antara fungsi regulator, pengawas, dan operator. Kedua, berdasarkan ketentuan pasal 11 ayat 3
UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yang berbunyi, “Zakat yang telah dibayarkan kepada badan
amil zakat atau lembaga amil
zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut zakat hanya berlaku
sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) sehingga tidak berdampak
signifikan dalam mendorong perkembangan zakat di Indonesia. Ketiga, berkaitan dengan
aturan organik mengenai teknis pelaksanaan dari UU No. 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat hanya dalam bentuk keputusan dan instruksi menteri. Keputusan
tersebut adalah Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan
Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah diikuti dengan Instruksi Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil
Zakat, Infaq, dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan
Shadaqah. Oleh sebab itu pengaturan organik mengenai teknis pengelolaan zakat
di dalam undang-undang perlu disesuaikan dengan hirarki peraturan
perundang-undangan sebagaimana tertuang di dalam pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
2.
Kelemahan Pengelolaan Zakat dari Aspek Sosiologis
Berdasarkan dari aspek sosiologis
kelemahan yang terdapat pada pengelolaan zakat yaitu: pertama, terbatasnya pengetahuan masyarakat yang
berkaitan dengan ibadah zakat. Pengetahuan masyarakat tentang ibadah hanya
shalat, puasa, dan haji. Kedua, konsepsi
zakat yang masih dirasa terlalu sederhana dan tradisional. Sehingga di dalam
pelaksanaanya hanya cukup dibagikan langsung sendiri lingkungannya atau kepada
kyai yang disenangi. Ketiga, kepercayaan
muzakki kepada lembaga amil zakat
masih rendah yang mana terdapat indikasi kekhawatiran dari masyarakat bahwa
zakat yang diserahkan tidak sampai kepada yang berhak menerimanya (mustahiq).
Berdasarkan survey PIRAC menyatakan bahwa masyarakat masih menyalurkan zakatnya
ke panitia penampung zakat sekitar tempat tinggal 63,6%, masyarakat langsung
menyalurkan dana zakat kepada yang berhak menerima sebesar 20%, dan yang
menyalurkan ke BAZ, LAZ, dan yayasan sosial sebesar 12,5 %.
3. Kelemahan
Pengelolaan Zakat Dari Aspek Institusi Dan Manajemen Zakat
Terdapat dualisme di dalam institusi
pengelola zakat dalam menjalankan proses pengumpulan dan pendistribusian dana
zakat. Sebagaimana tertuang di dalam UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Zakat dan Pasal 1 Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat,
menyebutkan bahwa institusi pengelola zakat yaitu: pertama, Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola
zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan
pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat
sesuai dengan ketentuan agama contoh BAZNAS, BAZDA. Kedua, Lembaga Amil Zakat
adalah institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan
oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Contoh: Dompet dhuafa, Pos
Keadilan Peduli Ummat, YDSF, Rumah Zakat. Berdasarkan realita kedua lembaga
tersebut sama-sama memiliki fungsi pengumpul dan penyalur dana zakat. Sehingga
fungsi yang demikian di rasa kurang efektif dalam implementasinya di
masyarakat. Berdasarkan aspek manajemen kelemahan pada pengelolaan zakat yaitu:
pertama, lemahnya penerapan
prinsip manajemen organisasi di dalam pengelolaan dana zakat sehingga
menyebabkan tingkat kepercayaan (trust) dari masyarakat masih rendah. Kedua, rendahnya penguasaan teknologi
oleh institusi amil zakat.
Lebih
lanjut menurut Mas’udi dalam Arif (2012), ada tiga kelemahan dasar praktek
zakat di kalangan umat Islam, yaitu :
1.
Kelemahan Filosofis dan
Epistomologis
Kelemahan pada sisi filosofis ini telah berlangsung lama
sehingga menyebabkan zakat, sebagaimana shalat, menjadi sekedar ritual belaka yang terlepas dari
konteks sosial yang melatarbelakangi diwajibkannya zakat. Zakat dilaksanakan
sekedar untuk memenuhi kewajiban agama dan menggugurkan kewajiban saja.
Akibatnya ajaran zakat tercabut dari konteks sosial ekonomi atau dengan kata
lain zakat yang sarat dimensi sosial tersebut beralih menjadi persoalan
individu yang dampak sosialnya tidak terasa secara signifikan.
2.
Kelemahan Struktur Kelembagaan
Kelemahan dari segi filosofis berakibat pada kelemahan
berikutnya, yaitu kelemahan struktur zakat. Misalnya tentang konsep zakat itu
sendiri, objek atau harta yang harus dizakatkan, tarif zakat, sasaran zakat,
dan hal-hal lain yang selama ini menjadi monopoli pembahasan ahli fiqih dengan
pendekatan yang legal formalistik. Tak heran kemudian definisi zakat yang
dikemukakan oleh para ahli Sayyid Sabiq bahwa zakat adalah nama bagi harta yang
dikeluarkan manusia dari hak Allah SWT kepada para fakir. Zakat pada satu sisi
dipandang secara kelembagaan yang seharusnya tidak immune (kebal) terhadap perubahan, pada sisi lain zakat merupakan
suatu “paket” aturan dari Tuhan dan tidak dapat diotak-atik menurut
rasionalitas manusia. Dengan kata lain, zakat merupakan suatu konsep aturan
yang pasti ketentuan objek, tarif, dan sasaran pendistribusiannya, tanpa perlu
perekaan ulang sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Dengan
pemahaman seperti ini, maka jenis harta yang wajib dizakatkan bersifat tetap
dan tidak mengalami perubahan dari jenis harta yang dikenai zakat pada masa
Rasulullah SAW meskipun konteks ruang dan waktunya berbeda dengan keadaan
sekarang.
3.
Kelemahan Manajemen Operasional
Zakat merupakan sumber pendapatan yang paling utama bagi
negara pada masa Rasulullah SAW. Dengan demikian, zakat dipungut oleh negara
dan didistribusikan oleh negara menurut pos-pos yang telah ditentukan. Begitu
pula pada masa Abu Bakar as-Shidiq dan Umar bin Khattab, zakat masih tetap
dipertahankan sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Pada masa Usman bin
Affan, pengelolaan zakat tidak lagi menjadi urusan negara, tetapi diserahkan
kepada para pemilik harta untuk menaksir zakatnya dan mendistribusikan kepada
para mustahiq. Hal ini bertujuan
untuk mengamalkan zakat dari gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan
yang tidak jelas oleh beberapa pengumpul zakat yang nakal, sehingga Usman
kemudian mendelegasikan pengumpulan zakat kepada pemilik harta. Dengan
demikian, dimulailah era baru, dimana zakat terpisah dari negara dan menjadi
urusan pribadi. Agar kas negara tetap terisi, pemerintah memusatkan perhatian
kepada sumber penerimaan negara lainnya yang secara ekonomis memadai dan dari
sudut politis lebih murah, yaitu kharaj dan
jizyah. Berbeda untuk kasus
Indonesia, khususnya di daerah Jawa, pemegang “kekuasaan” tersebut adalah para
kyai atau ajengan yang dipandang sebagai tokoh-tokoh spiritual yang paling
berpengaruh di daerah pedesaan. Posisi mereka pun disamakan dengan kedudukan
penguasa formal dipemerintahan, hanya saja wilayah kekuasaannya berbeda, yang
pertama mengurusi rohani, sedangkan yang kedua mengurusi hal-hal duniawi. Dari
segi penggunaannya, dana zakat lebih diarahkan kepada pembangunan sarana fisik
peribadatan seperti sarana fisik peribadatan seperti pembangunan mesjid dan
perayaan-perayaan peringatan keagamaan. Padahal, seharusnya zakat tersebut
ditujukan kepada sasaran-sasaran zakat yang telah ditentukan menurut skala
prioritas.
Melihat paparan diatas mengenai
kelebihan konsep pajak terhadap zakat serta kelemahan praktek zakat. Maka konsep
pajak yang perlu diterapkan sehingga diperoleh pengelolaan zakat yang efektif
menurut peneliti, yaitu:
1. Setidaknya zakat mengikuti
konsep pajak dalam hal pemberian sanksi pada wajib pajak yang lalai dalam
membayar pajak. Dalam hal ini pemberian sanksi pada wajib zakat yang lalai
dalam membayar zakatnya, karena menunaikan zakat adalah suatu kewajiban
sebagaimana pada zaman Abu Bakar ash-Shidiq memerangi orang yang tidak mau
membayar zakat. Sehingga diperoleh pengumpulan zakat yang maksimal.
2. Penerimaan karyawan dalam
sebuah lembaga zakat sebaiknya adalah SDM yang berkualitas yang betul paham
akan akuntansi syariah dan dilengkapi pengetahuan teknologi yang memadai
ataupun kalau perlu penerimaan karyawan ini harus lulusan mahasiswa jurusan
akuntasi syariah.
3. Administrasi pajak yang
efisien dan efektif menurut Ciptoherijanto dan Abidin dalam Abdalla (2010: 8-9)
yang terdiri dari fungsi (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawasan), sistem dan lembaga juga harus ada pada konsep zakat.
Dari sisi fungsi:
a. Dalam hal perencanaan,
berkaitan dengan persiapan lembaga dalam menghadapi masa depan, menetapkan
sasaran, menetapkan strategi, mengembangkan kebijakan pengumpulan dan
penyaluran zakat. Melalui desain perencanaan yang kuat akan dapat menentukan
kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang apa saja yang akan dihadapi dalam
proses pengambilan dan penyaluran dana zakat sebagai manifestasi dana umat
untuk dan kembali untuk kepentingan umat.
b. Dalam hal pengorganisasian
berkaitan dengan tugas lembaga untuk menyusun struktur tugas, hubungan
wewenang, desain organisasi, spesialisasi pekerjaan, uraian pekerjaan, desain
dan analisis pekerjaan. Melihat kondisi pengelolan zakat di Indonesia belum
menunjukkan adanya bangunan organisasi yang kuat hal ini tampak pada kerancuan
diantara Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat swasta. Akibat yang
di timbulkan adalah akuntabilitas lembaga zakat menjadi paradigma yang
terkesampingkan. Sebagaimana di dalam pasal 6 UU No. 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat secara ekspilisit menunjukkan adanya ketimpangan dalam proses
pembentukan Badan Amil Zakat baik dalam skala nasional maupun skala daerah dan
swasta. Oleh sebab itu sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam rangka
pengelolaan dana umat diperlukan adanya sentralisasi pembentukan organisasi dan
pengelolaan zakat. Sehingga hubungan yang tercipta tidak hanya sekedar
koordinatif dan informatif akan tetapi juga bersifat instruktif.
c. Dalam hal pengendalian,
pengendalian lembaga berkaitan dengan pengendalian mutu pelayanan, pengendalian
keuangan, pengendalian mustahiq,
pengendalian biaya, analisis penyimpangan antara rencana dan realisasi.
Dari sisi lembaga:
a. Memberikan tanggung jawab
kepada amil zakat atau Badan Amil Zakat (BAZ) untuk bertindak dan bertanggung
jawab memungut zakat terhadap muzakki.
b. BAZ harus dibebankan
tanggung jawab meneliti dan menghitung harta muzakki.
c. Harus ada mekanisme yang
jelas apabila muzakki membagi-bagi
zakatnya kepada mustahiq, perlunya
memberikan bukti pembayaran zakat kepada BAZ, kemudian disahkan oleh BAZ, dan
semestinya bisa digunakan sebagai bukti ketika membayar pajak, guna mendapatkan
pengurangan sesuai dengan besar zakat yang telah dikeluarkan.
d.
Lembaga pengelola zakat perlu
mempunyai mekanisme pengaturan diri, mulai dari penerapan kode etik amil zakat
sampai sertifikasi dan akreditasi lembaga. Sertifikasi dan akreditasi
lembaga pengelola zakat di Indonesia merupakan salah satu upaya yang perlu
dijajaki. Melalui mekanisme ini lembaga pengelola zakat akan dinilai oleh
pihak ketiga, dengan kriteria tertentu, mulai dari akuntabilitas keuangan,
keterbukaan atau transparansi, tata pengelolaan internal, dan
sebagainya. Upaya ini bisa dimulai dengan menerapkan rating terhadap
lembaga-lembaga amil zakat di Indonesia. Rating ini mempunyai beberapa
tujuan. Pertama, untuk melakukan evaluasi kinerja lembaga-lembaga amil
zakat. Kedua, memotivasi lembaga amil zakat untuk meningkatkan profesionalitas,
akuntabilitas, dan transparansi. Ketiga, memberikan panduan bagi muzakki atau donatur dalam menyalurkan
dananya. Dengan model rating ini nantinya masyarakat akan mengetahui
lembaga mana yang amanah dan profesional, dan mana yang tidak.
4. Perlu ada sistem informasi zakat, disini Lembaga Amil Zakat
harus mampu menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpadu antar amil.
Sehingga para Lembaga Amil Zakat ini saling terintegrasi satu dengan lainnya.
Sebagai contoh, penerapan ini adalah pada database muzakki dan mustahiq.
Dengan adanya sistem informasi ini tidak akan terjadi pada muzakki yang sama didekati oleh beberapa lembaga amil, atau mustahiq yang sama diberi bantuan oleh
beberapa Lembaga Amil Zakat. Namun bukan berarti dengan adanya sistem informasi
zakat ini, maka tidak ada lagi rahasia dan strategi khas antar institusi. Sebab
kehadiran sistem informasi zakat adalah hanya untuk mempermudah mengenali
titik-titik lokasi yang telah digarap oleh suatu lembaga, dan titik lokasi mana
yang belum menerima bantuan. Hal ini dapat mencegah dimana akan terdapat lokasi
pemberdayaan yang “gemuk” dan ada lokasi yang “kurus”. Karena tujuan utama
kehadiran Lembaga Amil Zakat selain untuk mengelola dana zakat, namun harus
pula mampu mengkoordinasikan agar zakat tersebut manfaat dan pengaruhnya dapat
terasa bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi sistem
informasi ini haruslah dikelola oleh suatu institusi independen, dan idealnya
dikelola oleh negara.
5. Pembentukan
direktorat zakat sebagai regulator dan pengawas kinerja dari organisasi
pengelola zakat dengan sistem kerja baru yang lebih efektif. Lembaga ini
diperlukan untuk mengatur segala sesuatu terkait dengan pengelolaan zakat serta
mengintegrasikan kinerja anatar lembaga pengelola zakat. Direktorat zakat ini
diharapkan dapat bekerja sama dengan lembaga keuangan sehingga dana zakat yang
terkumpul dapat disalurkan sesuai dengan peruntukannya (mustahiq).
6. Pembentukan
lembaga independen yang berperan sebagai auditor yang khusus mengevaluasi
kinerja lembaga pengelola zakat berupa pengauditan laporan alokasi penyaluran
dana zakat yang telah terkumpul. Selanjutnya, hasil audit lembaga pengelola
zakat dipublikasikan kepada masayarakat. Hal ini dianggap penting sebagai
bagian dari akuntabilitas lembaga pengelola zakat tersebut. Kepercayaan masyarakat memang merupakan faktor
utama yang menentukan besarnya dana zakat yang bisa dikelola.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Mengenai penerapan konsep
pajak pada zakat haruslah mengetahui terlebih dahulu apakah zakat dan pajak itu, kemudian apa persamaan dan
perbedaan antara keduanya sehingga hal yang lebih dari konsep pajak dapat
diterapkan pada zakat sehingga dapat diperoleh pengelolaan zakat yang efektif.
Zakat sendiri adalah suci, tumbuh, berkembang. Berarti zakat itu mengeluarkan
harta agar menjadi suci kembali, tumbuh dan berkembang agar harta tersebut tidak
hanya berada dalam genggaman satu orang saja melainkan mengalir kepada
tangan-tangan lain yang berhak untuk mendapatkan harta tersebut. Pajak sendiri
adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh warga negara kepada negara untuk
kepentingan negara.
Mengenai
perbedaan dan persamaan antara zakat dan pajak banyak pemikir yang berbeda
pandangan, salah satunya Hafidhuddin yang mengatakan bahwa zakat dan pajak
mempunyai persamaan yakni mengandung unsur paksaan dan unsur pengelola. Namun
terdapat perbedaan diantara keduanya dari segi nama, dasar hukumnya yang mana
zakat berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi sedangkan pajak berdasarkan
ketentuan pemerintah yang tertuang dalam undang-undang, dan yang terakhir dari
segi objek, tarif dan pemanfaatannya. Zakat, memiliki nisab (kadar minimal) dan
persentase yang sifatnya baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam
berbagai hadits Nabi. Nisab zakat emas perak, harta perdagangan, pertanian,
peternakan, pertambangan, dan komoditas-komoditas lainnya adalah senilai 85 gram
dan persentase zakatnya adalah 2,5%. Pemanfaatan dan penggunaan zakat, tidak
boleh keluar dari asnaf yang delapan golongan. Sedangkan aturan
pemungutan pajak sangat bergantung kepada peraturan yang ada serta tergantung
pula pada obyek pajaknya. Dalam berbagai literatur dikemukakan bahwa besarnya
pajak sangat bergantung kepada jenis, sifat dan cirinya.
Adapun
konsep pajak yang dapat diterapkan pada zakat sehingga diperoleh pengelolaan
zakat yang efektif, antara lain:
1. Setidaknya zakat mengikuti
konsep pajak dalam hal pemberian sanksi pada wajib pajak yang lalai dalam
membayar pajak.
2. Penerimaan karyawan dalam
sebuah lembaga zakat sebaiknya adalah SDM yang berkualitas yang betul paham
akan akuntansi syariah dan dilengkapi pengetahuan teknologi yang memadai ataupun
kalau perlu penerimaan karyawan ini harus lulusan mahasiswa jurusan akuntansi
syariah.
3. Harus terbentuk
administrasi zakat yang efisien dan efektif yang terdiri dari fungsi, sistem
dan lembaga yang betul-betul telah tersusun dan terprogram dengan baik.
4. Perlu ada sistem informasi zakat, disini Lembaga Amil Zakat
harus mampu menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpadu antar amil.
5. Pembentukan
direktorat zakat sebagai regulator dan pengawas kinerja dari organisasi
pengelola zakat dengan sistem kerja baru yang lebih efektif.
6. Pembentukan
lembaga independen yang berperan sebagai auditor yang khusus mengevaluasi
kinerja lembaga pengelola zakat berupa pengauditan laporan alokasi penyaluran
dana zakat yang telah terkumpul.
5.1
Saran
Berikut
peneliti sampaikan beberapa saran sebagai pokok pikiran yang dapat peneliti
sumbangkan dengan harapan saran tersebut dapat bermanfaat bagi kita semua.
1. Apabila kita selaku umat
Muslim yang dibebani kewajiban ganda yaitu membayar zakat selaku umat Islam dan
membayar pajak selaku warga negara maka kita harus mematuhinya meskipun tujuan
di antara keduanya berbeda, pajak dan zakat tidak dapat dipisahkan bagai roh
dan badan, zakat adalah ruhnya dan pajak adalah badannya.
2. Pemerintah perlu lebih
serius dalam menangani masalah perzakatan yang ada. Salah satunya dengan pembentukan lembaga pendukung seperti lembaga audit serta
peningkatan kinerja direktorat zakat. Pemerintah
juga diharapkan memberikan sosialisasi melalui berbagai media mengenai zakat
kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kewajibannya
membayar zakat.
3. Masyarakat harus berperan aktif dalam mengawasi proses
pengelolaan zakat oleh organisasi zakat. Hal ini dapat meningkatkan kinerja
organisasi tersebut sehingga zakat dapat terkelola dengan baik. Selain itu,
kesadaran masyarakat dalam pembayaran zakat sangat diharapkan sehingga zakat
yang terkumpul dapat meningkat. Sebaik apapun kinerja organisasi pengelola
zakat, bila tidak ada peran aktif dari masyarakat maka zakat tetap tidak akan
terkelola dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Abdalla, Taufiq Umar. 2010. Analisis
Kesiapan Administrasi Pemungutan Pajak Bumi dan bangunan Berdasarkan
Undang-Undang No. 28 tahun 2009. Skripsi. Depok: Program Pascasarjana Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
Al-Ba’ly, Abdul Al-Hamid
Mahmud. 2006. Ekonomi Zakat: Sebuah
Kajian Moneter dan Keuangan Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Al-Habsyi, Muhammad Bagir.
1999. Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan Anggota IKAPI.
Aliboron. 2010. Pengelolaan Zakat di Indonesia: Perspektif
Peran Negara, (Online), (http://aliboron.wordpress.com/2010/10/26/pengelolaan-zakat-di
indonesia-perspektif-peran-negara, diakeses 14 April 2012).
Anida, Ida. 2010. Pengaruh Pengendalian Intern Terhadap Efektivitas
Pendayagunaan Dana Zakat. Skripsi. Bandung: Program Pascasarjana Fakultas
Ekonomi Universitas Komputer Indonesia.
Arian. 2011. Zakat,
Macam-Macam Zakat dan Pengertian Zakat, (Online), (http://arian-rasta.blogspot.com/2011/12/zakat-macam-macam-zakat-pengertian.html, diakses 30 Mei 2012).
Arif.
2012. Zakat dan Pajak Suatu Upaya
Pengintegrasian, (Online), http://arif1501.blogspot.com/2012/06/zakat-dan-pajak-suatu
upaya.html diakses
10 September 2012).
Arizta.
2011. Jenis-Jenis Zakat, (Online), (http://arizta.mywapblog.com/jenis-jenis-zakat.xhtml, diakses 30 Mei 2012).
Arrsa. 2008. Peran Negara Dalam Merevitalisasi Pengelolaan Zakat Sebagai Upaya
Strategis Menanggulangan Kemiskinan di Indonesia, (Online), http://www.legalitas.org/?q=content/peran-negara-dalam-merevitalisa-si-pengelolaan-zakat-sebagai-upaya-strategis-menanggulangan-kemiskinan-di-indonesia, diakses 10
September 2012).
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2006. Pedoman Zakat. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra.
Azizy, A. Qodri. 2004. Membangun Fondasi Ekonomi Ummat: Meneropong
Prospek Perkembangannya Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Bamz. 2011. Pengertian dan Macam-Macam Zakat, (Online),
http://www.bamz.us/2011/12/pengertian-zakat-dan-macam-zakat.html,
diakses 30 Mei 2012).
Cahaya. 2008. Administrasi Masa Umar, (Online), (http://cahayamt.blogspot.com,
diakses 15 April 2012).
Chapra, M. Umar. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi
Ekonomi Kontemporer. Surabaya: Risalah Gusti.
Diana, Anastasia dan Lilis
Setiawati. 2009. Perpajakan Indonesia:
Konsep, Aplikasi dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Djazuli, H. A. 2003. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat
dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Bandung: Prenada Media.
Ekhardhi. 2010. Landasan Filosofis dan Asas-Asas Pemungutan Pajak, (Online), (http://ekhardhi.blogspot.com/2010/12/landasan-filosofis-dan-asas-asas.html,
diakses 22 Juni 2012).
Gusfahmi. 2007. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta:
Gema Insani.
Hasan, M. Ali. 1996. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan
Lembaga Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Husain. 2010. Zakat Penghasilan Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak,
(Online), (http://risalah.fhunmul.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/2.-Zakat-Penghasilan-Sebagai-Pengurang-Penghasilan-Kena-Pajak-Safarni-Husain.pdf,
diakses 10 September 2012).
Ikatan
Akuntan Indonesia. 2009. Exprosure Draft
PSAK Syariah No. 109.
Ja’far, Muhammadiyah. 1997.
Tuntunan Praktis Ibadah Zakat Puasa dan
Haji. Cetakan ketiga. Jakarta Pusat: Kalam Mulia.
Kara, Muslimmin et al. 2009. Pengantar Ekonomi Islam. Makassar: Alauddin Pers.
Karim, Adiwarman Azwar.
2008. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi
3. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Kurnia, Hikmat dan A.
Hidayat. 2008. Panduan Pintar Zakat. Jakarta:
Qultum Media.
Mannan, M. Abdul. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta:
Andi.
Metwally, M. M. 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta:
PT. Bangkit Daya Insana.
Muhammad. 2009. Lembaga Ekonomi Mikro Syari’ah: Pergulatan
Melawan Kemiskinan dan Penetrasi Ekonomi Global. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muhammad, Rifqi. 2008. Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan
Implementasi PSAK Syariah. Yogyakarta: P3EI Press.
Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Edisi 1. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Mofidrabbani. 2011. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa
Khulafaurrasyidin, (Online), (http://mofidrabbani.blogspot.com/2011/04/sistem-ekonomi-dan-fiskal-pada-masa_26.html,
diakses 15 April 2012).
Nasution, Mustafa Edwin et al. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Nurhayati, Sri dan Wasilah.
2009. Akuntansi Syari’ah di Indonesia. Jakarta:
Salemba Empat.
Nuruddin, Amiur. 2010. Dari Mana Sumber Hartamu: Renungan tentang
Bisnis Islami dan Ekonomi Syariah. Jakarta: Erlangga.
Ozha, Aulia Sandra. 2011. Pajak dan Zakat di Indonesia, (Online), http://auliasandra.wordpress.com/2011/05/28/pajak-dan-zakat-diIndonesia , diakses 15 April 2012).
Parwito, Andri. 2009.
Analisis Atas Pengaruh Pemanfaatan Sistem E-Filing Terhadap Cost of Compliance.
Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.
Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam. 2008. Ekonomi
Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Qardhawi, Yusuf. 1995. Kiat Islam Mengatasi Kemiskinan. Jakarta:
Gema Insani Press.
________. 2005. Spektrum Zakat: Dalam Membangun Ekonomi
Kerakyatan. Jakarta: Zikrul Hakim.
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Terjemahan oleh
Nastangin Soeroyo. 1996. Yoyakarta:
PT. Dana Bhakti Wakaf.
Resmi, Siti. 2003. Perpajakan: Teori dan Kasus. Jakarta:
Salemba Empat.
Rifa’i, Moh. 1999. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV.
Toha Putra.
Sangadji, Etta Mamang dan
Sopiah. 2010. Metodologi Penelitian:
Pendekatan Praktis dalam Penelitian. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Sukardji, Untung. 2004. Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai
Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Suprayitno, Eko. 2005. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro
Islam dan Konvensional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Undang-Undang
Republika Indonesia No.38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
Wahyu.
2010. Asal Muasal dan Sejarah Pajak, (Online),
(http://wahyumedia19.blogspot.com/2010/04/asal-muasal-pajak.html,
diakses, 22 Juni 2012).
Yolina, Meilani S. 2009. Dasar-Dasar Akuntansi Perpajakan.Yogyakarta:
Tabora Media.
http://ekonomikieta.blogspot.com/2009/05/sejarah-perpajakan-di-indonesia
secara.html, diakses 22 Juni 2012.
http://nasional.inilah.com/read/detail/1769621/menyelami-filosofi-zakat, diakses 22 Juni 2012.
http://jakarta45.wordpress.com/2009/07/19/sejarah-zakat-dari-zaman-pra-islam,
diakses 22 Juni 2012.
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat, diakses
22 Juni 2011
0 Response to "SKRIPSI EKONOMI AKUNTANSI PENERAPAN KONSEP PAJAK PADA ZAKAT (SEBAGAI ALTERNATIF PENGELOLAAN ZAKAT SECARA EFEKTIF)"
Posting Komentar