A. Latar Belakang
Herpes zoster telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama dengan varisela, yaitu virus varisela zoster.1,2 Herpes zoster ditandai dengan adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dan nervus kranialis.3,4
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Diperkirakan terdapat antara 1,3-5 per 1000 orang per tahun. Lebih dari 2/3 kasus berusia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% kasus berusia di bawah 20 tahun.
Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi varisela, virus varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius. Herpes zoster pada umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang terpadat. Aktivasi virus varisela zoster laten diduga karena keadaan tertentu yang berhubungan dengan imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor penting untuk pertahanan pejamu terhadap infeksi endogen.
Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten setelah krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, tetapi hampir 1/3 kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion yang terkena secara langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi herpes zoster generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek imunologi karena keganasan atau pengobatan imunosupresi.
Secara umum pengobatan herpes zoster mempunyai 3 tujuan utama yaitu: mengatasi inveksi virus akut, mengatasi nyeri akut ynag ditimbulkan oleh virus herpes zoster dan mencegah timbulnya neuralgia paska herpetik.
B. Tujuan
1.
Untuk memahami definisi,
epidemiologi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis, diagnosis,
penatalaksanaan dan Asuhan keperawatan pada Herpes Zoster
2.
Meningkatkan kemampuan dalam
penulisan asuhan keperawan
3.
Memenuhi salah satu tugas
perkuliahan Patologi di Akademi Perawatan Pemda Cianjur
-
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
-
A. Definisi
Herpes zoster adalah radang kulit akut yang bersifat
khas seperti gerombolan vesikel unilateral, sesuai dengan dermatomanya
(persyarafannya).
Herpes zoster adalah sutau infeksi yang dialami oleh seseorang yang
tidak mempunyai kekebalan terhadap varicella (misalnya seseorang yang
sebelumnya tidak terinfeksi oleh varicella dalam bentuk cacar air).
B. Epidemiolgi
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan antara laki-laki dan perempuan, angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1% setahun.
Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela sebelumnya karena varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama yaitu virus varisela zoster. Setelah sembuh dari varisela, virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak aktif dan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun. Lebih dari 2/3 usia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% usia di bawah 20 tahun. Kurnia Djaya pernah melaporkan kasus hepes zoster pada bayi usia 11 bulan.
C. Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster (VVZ) dan tergolong virus berinti DNA, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes viridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu, sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VVZ dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polimerase dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang disintesis di dalam sel yang terinfeksi.
D. Patogenesis
Infeksi primer dari VVZ ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia permulaan yang sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam Reticulo Endothelial System (RES) yang kemudian mengadakan replikasi kedua yang sifat viremia nya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga menjalar melalui serat-serat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam diri atau laten didalam neuron. Selama antibodi yang beredar didalam darah masih tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu dimana antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah reaktivasi dari virus sehingga terjadi herpes zoster.
E. Gambaran Klinis
Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya erupsi. Gejala konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita (terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi.
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik.
Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. Dua belas hingga dua puluh empat jam kemudian terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi pustula pada hari ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3 minggu.Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anak-anak hanya timbul keluhan ringan dan erupsi cepat menyembuh. Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun krustanya sudah menghilang.
Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%).
Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.
2. Herpes zoster fasialis
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
3.
Herpes zoster brakialis
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
5. Herpes
zoster lumbalis
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
6.
Herpes zoster sakralis
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
F. Diagnosis
Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan
keluhan berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan
timbulnya kelainan kulit.3 Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit didahului
gejala prodromal seperti demam, pusing dan malaise.9 Kelainan kulit tersebut
mula-mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikula yang
dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel
mula-mula jernih, setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur
darah. Jika absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi krusta.
Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan
dengan penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard,
kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya.4 Namun bila erupsi
sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit
pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar
eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.
Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck
membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak.
Demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop
elektron, serta tes serologik.4,9 Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan
sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi
endotel pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi bungkus ganglion.
Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen virus herpes
zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi.
Apabila
gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis. Akan
tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara
lain:
1.
Isolasi virus dengan kultur
jaringan dan identifikasi morfologi dengan mikroskop elektron.
2.
Pemeriksaan antigen dengan
imunofluoresen
3.
Test serologi dengan mengukur imunoglobulin
spesifik.
-
G. Komplikasi
1. Neuralgia paska herpetik
Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10 - 15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya.
Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10 - 15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya.
2. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
3. Kelainan pada mata
Pada herpes zoster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioratinitis dan neuritis optik.
Pada herpes zoster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioratinitis dan neuritis optik.
4. Sindrom Ramsay Hunt
Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.
Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.
5. Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf
yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak munculnya
lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti: di wajah, diafragma, batang
tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh spontan.
-
H. Penatalaksanaan
Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:
1.
Mengatasi infeksi virus akut
2.
Mengatasi nyeri akut yang
ditimbulkan oleh virus herpes zoster
3.
Mencegah timbulnya neuralgia
pasca herpetik.
I. ASUHAN
KEPERAWATAN
Pengkajian
:
1.
Aktifitas
/ istirahat : perubahan aktifitas
2.
Nyeri : ketidaknyamanan, nyeri, Gatal.
3.
Keamanan
: takut, ansietas
1.
Risiko kerusakan integritas
kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit.
2.
Nyeri dan rasa gatal berhubungan
dengan lesi kulit.
3.
Gangguan pola tidur berhubungan
dengan pruritus.
4.
Gangguan citra tubuh
berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.
5.
Kurang pengetahuan tentang
program terapi berhubungan dengan inadekuat informasi.
Tujuan Intervensi/Implementasi
Tujuan askep Herpes Zoster adalah terpeliharanya integritas kulit, meredakan gangguan rasa nyaman: nyeri, tercapainya tidur yang nyenyak, berkembangnya sikap penerimaan terhadap diri, diperolehnya pengetahuan tentang perawatan kulit dan tidak adanya komplikasi.
Tujuan askep Herpes Zoster adalah terpeliharanya integritas kulit, meredakan gangguan rasa nyaman: nyeri, tercapainya tidur yang nyenyak, berkembangnya sikap penerimaan terhadap diri, diperolehnya pengetahuan tentang perawatan kulit dan tidak adanya komplikasi.
1. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan perubahan fungsi barier kulit.
1.1. Lindungi kulit yang sehat dari kemungkinan maserasi
(hidrasi stratum korneum yg berlebihan) ketika memasang balutan basah.
Rasional: Maserasi pada kulit yang sehat dapat menyebabkan pecahnya kulit dan perluasan kelainan primer.
Rasional: Maserasi pada kulit yang sehat dapat menyebabkan pecahnya kulit dan perluasan kelainan primer.
1.2. Hilangkan kelembaban dari kulit dengan penutupan
dan menghindari friksi.
Rasional: Friksi dan maserasi memainkan peranan yang penting dalam proses terjadinya sebagian penyakit kulit.
Rasional: Friksi dan maserasi memainkan peranan yang penting dalam proses terjadinya sebagian penyakit kulit.
1.3. Jaga agar
terhindar dari cidera termal akibat penggunaan kompres hangat dengan suhu
terlalu tinggi & akibat cedera panas yg tidak terasa (bantalan pemanas,
radiator).
Rasional: Penderita dermatosis dapat mengalami penurunan sensitivitas terhadap panas.
Rasional: Penderita dermatosis dapat mengalami penurunan sensitivitas terhadap panas.
1.4.
Nasihati klien untuk
menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
Rasional: Banyak masalah kosmetik pada hakekatnya semua kelainan malignitas kulit dapat dikaitkan dengan kerusakan kulit kronik.
Rasional: Banyak masalah kosmetik pada hakekatnya semua kelainan malignitas kulit dapat dikaitkan dengan kerusakan kulit kronik.
Kriteria keberhasilan
implementasi.
1. Mempertahakan integritas kulit.
2. Tidak ada maserasi.
3. Tidak ada tanda-tanda cidera termal.
4. Tidak ada infeksi.
5. Memberikan obat topikal yang diprogramkan.
6. Menggunakan obat yang diresepkan sesuai jadwal.
1. Mempertahakan integritas kulit.
2. Tidak ada maserasi.
3. Tidak ada tanda-tanda cidera termal.
4. Tidak ada infeksi.
5. Memberikan obat topikal yang diprogramkan.
6. Menggunakan obat yang diresepkan sesuai jadwal.
2. Nyeri dan rasa gatal berhubungan dengan lesi kulit.
2.1. Temukan penyebab nyeri/gatal
Rasional: Membantu
mengidentifikasi tindakan yang tepat untuk memberikan kenyamanan.
2.2. Catat hasil observasi secara rinci.
Rasional: Deskripsi yang
akurat tentang erupsi kulit diperlukan untuk diagnosis dan pengobatan.
2.3. Antisipasi reaksi alergi (dapatkan riwayat obat).
Rasional: Ruam menyeluruh
terutama dengan awaitan yang mendadak dapatmenunjukkan reaksi alergi obat.
2.4. Pertahankan kelembaban (+/- 60%), gunakan alat
pelembab.
Rasional: Kelembaban yang
rendah, kulit akan kehilangan air.
2.5. Pertahankan lingkungan dingin.
Rasional: Kesejukan mengurangi gatal.
2.6. Gunakan sabun ringan (dove)/sabun yang dibuat untuk
kulit yang sensitive
Rasional: Upaya ini mencakup tidak adanya detergen, zat
pewarna.
2.7. Lepaskan kelebihan pakaian/peralatan di tempat tidur
Rasional: Meningkatkan lingkungan yang sejuk.
2.8. Cuci linen tempat tidur dan pakaian dengan sabun.
Rasional: Sabun yang "keras" dapat menimbulkan
iritasi.
2.9. Hentikan pemajanan berulang terhadap detergen,
pembersih dan pelarut.
Rasional: Setiap subtansi yang menghilangkan air, lipid,
protein dari epidermis akan mengubah fungsi barier kulit
2.10. Kompres hangat/dingin.
Rasional: Pengisatan air yang bertahap dari kasa akan
menyejukkan kulit dan meredakan pruritus.
2.11. Mengatasi kekeringan (serosis).
Rasional: Kulit yang kering meimbulkan dermatitis:
redish, gatal.lepuh, eksudat.
2.12. Mengoleskan lotion dan krim kulit segera setelah
mandi.
Rasional: Hidrasi yang cukup pada stratum korneum
mencegah gangguan lapisan barier kulit.
2.13. Menjaga agar kuku selalu terpangkas (pendek).
Rasional: Mengurangi kerusakan kulit akibat garukan
2.14. Menggunakan terapi topikal.
Rasional: Membantu meredakan gejala.
2.15. Membantu klien menerima terapi yang lama.
Rasional: Koping biasanya meningkatkan kenyamanan.
2.16. Nasihati klien untuk menghindari pemakaian salep
/lotion yang dibeli tanpa resep Dokter.
Rasional: Masalah klien dapat disebabkan oleh
iritasi/sensitif karena pengobatan sendiri
Kriteria keberhasilan implementasi.
1. Mencapai peredaan gangguan rasa nyaman: nyeri/gatal.
2. Mengutarakan dengan kata-kata bahwa gatal telah reda.
3. Memperllihatkan tidak adanya gejala ekskoriasi kulit karena garukan.
4. Mematuhi terapi yang diprogramkan.
5. Pertahankan keadekuatan hidrasi dan lubrikasi kulit.
6. Menunjukkan kulit utuh dan penampilan kulit yang sehat .
Kriteria keberhasilan implementasi.
1. Mencapai peredaan gangguan rasa nyaman: nyeri/gatal.
2. Mengutarakan dengan kata-kata bahwa gatal telah reda.
3. Memperllihatkan tidak adanya gejala ekskoriasi kulit karena garukan.
4. Mematuhi terapi yang diprogramkan.
5. Pertahankan keadekuatan hidrasi dan lubrikasi kulit.
6. Menunjukkan kulit utuh dan penampilan kulit yang sehat .
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritus.
3.1. Nasihati klien untuk menjaga kamar tidur agar tetap
memiliki ventilasi dan kelembaban yang baik.
Rasional: Udara yang kering membuat kulit terasa gatal,
lingkungan yang nyaman meningkatkan relaksasi.
3.2. Menjaga agar kulit selalu lembab.
Rasional: Tindakan ini mencegah kehilangan air, kulit yang kering
dan gatal biasanya tidak dapat disembuhkan tetapi bisa dikendalikan.
3.3. Mandi hanya diperlukan, gunakan sabun lembut,
oleskan krim setelah mandi.
Rasional: memelihara kelembaban kulit
3.4. Menjaga jadual tidur yg teratur.
3.5. Menghindari minuman yang mengandung kafein menjelang tidur.
Rasional: kafein memiliki efek puncak 2-4 jam setelah dikonsumsi.
3.6.
Melaksanakan gerak badan secara
teratur.
Rasional: memberikan efek menguntungkan bila dilaksanakan di sore
hari.
3.7.
Mengerjakan hal ritual
menjelang tidur.
Rasional: Memudahkan peralihan dari keadaan terjaga ke keadaan
tertidur.
Kriteria Keberhasilan
Implementasi
1. Mencapai tidur yang nyenyak.
2. Melaporkan gatal mereda.
3. Mempertahankan kondisi lingkungan yang tepat.
4. Menghindari konsumsi kafein.
5. Mengenali tindakan untuk meningkatkan tidur.
6. Mengenali pola istirahat/tidur yang memuaskan.
1. Mencapai tidur yang nyenyak.
2. Melaporkan gatal mereda.
3. Mempertahankan kondisi lingkungan yang tepat.
4. Menghindari konsumsi kafein.
5. Mengenali tindakan untuk meningkatkan tidur.
6. Mengenali pola istirahat/tidur yang memuaskan.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.
4.1. Kaji adanya gangguan citra diri (menghindari kontak
mata,ucapan merendahkan diri sendiri.
Rasional:
Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit/keadaan yang tampak nyata
bagi klien, kesan orang terhadap dirinya berpengaruh terhadap konsep diri.
4.2.
Identifikasi stadium psikososial
terhadap perkembangan.
Rasional:
Terdapat hubungan antara stadium perkembangan, citra diri dan reaksi serta
pemahaman klien terhadap kondisi kulitnya.
4.3. Berikan kesempatan pengungkapan perasaan.
Rasional:
klien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami.
4.4. Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan klien, bantu
klien yang cemas mengembangkan kemampuan untuk menilai diri dan mengenali
masalahnya.
Rasional:
Memberikan kesempatan pada petugas untuk menetralkan kecemasan yang tidak perlu
terjadi dan memulihkan realitas situasi, ketakutan merusakadaptasi klien .
4.5. Dukung upaya klien untuk memperbaiki citra diri , spt merias,
merapikan.
Rasional:
membantu meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi.
4.6. Mendorong sosialisasi dengan orang lain.
Rasional: membantu meningkatkan penerimaan diri dan
sosialisasi.
Kriteria
Keberhasilan Implementasi
1. Mengembangkan peningkatan kemauan untuk menerima
keadaan diri.
2. Mengikuti dan turut berpartisipasi dalam tindakan
perawatan diri.
3. Melaporkan perasaan dalam pengendalian situasi.
4. Menguatkan kembali dukungan positif dari diri
sendiri.
5. Mengutarakan perhatian terhadap diri sendiri yang
lebih sehat.
6. Tampak tidak meprihatinkan kondisi.
7. Menggunakan teknik penyembunyian kekurangan dan
menekankan teknik untuk meningkatkan penampilan
5. Kurang pengetahuan tentang
program terapi
5.1. Kaji
apakah klien memahami dan salah mengerti tentang penyakitnya.
Rasional: memberikan data dasar untuk
mengembangkan rencana penyuluhan
5.2. Jaga
agar klien mendapatkan informasi yang benar, memperbaiki kesalahan
konsepsi/informasi.
Rasional: Klien harus memiliki perasaan bahwa sesuatu dapat mereka
perbuat, kebanyakan klien merasakan manfaat.
5.3. Peragakan penerapan
terapi seperti, kompres basah, obat topikal.
Rasional: memungkinkan klien memperoleh cara yang tepat untuk
melakukan terapi.
5.4.
Nasihati klien agar kulit teap
lembab dan fleksibel dengan tindakan hidrasi dan pengolesan krim serta losion
kulit.
Rasional: stratum korneum memerlukan air agar tetap fleksibel. Pengolesan krim/lotion akan melembabkan kulit dan mencegah kulit tidak kering, kasar, retak dan bersisik.
Rasional: stratum korneum memerlukan air agar tetap fleksibel. Pengolesan krim/lotion akan melembabkan kulit dan mencegah kulit tidak kering, kasar, retak dan bersisik.
5.5.
Dorong klien untuk mendapatkan
nutrisi yang sehat.
Rasional: penampakan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang, perubahan pada kulit menandakan status nutrisi yang abnormal.
Kriteria Keberhasilan Implementasi
1. Memiliki pemahaman terhadap perawatan kulit.
2. Mengikuti terapi dan dapat menjelaskan alasan terapi.
3 Melaksanakan mandi, pembersihan dan balutan basah sesuai program.
4. Menggunakan obat topikal dengan tepat.
5. Memahami pentingnya nutrisi untuk kesehatan kulit.
Rasional: penampakan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang, perubahan pada kulit menandakan status nutrisi yang abnormal.
Kriteria Keberhasilan Implementasi
1. Memiliki pemahaman terhadap perawatan kulit.
2. Mengikuti terapi dan dapat menjelaskan alasan terapi.
3 Melaksanakan mandi, pembersihan dan balutan basah sesuai program.
4. Menggunakan obat topikal dengan tepat.
5. Memahami pentingnya nutrisi untuk kesehatan kulit.
6. Mencegah Infeksi
6.1. Miliki indeks kecurigaan yang
tinggi terhadap suatu infeksi pada klien yang sistem kekebalannya terganggu.
Rasional: setiap keadaan yg mengganggu imun akan memperbesar risiko infeksi kulit.
Rasional: setiap keadaan yg mengganggu imun akan memperbesar risiko infeksi kulit.
6.2. Berikan petunjuk yang jelas dan
rinci kepada klien mengenai program terapi.
Rasional: Pendidikan klien yang efektif bergantung pada keterampilan interpesonal profesional kesehatan dan pada pemberian instruksi yang jelas.
Rasional: Pendidikan klien yang efektif bergantung pada keterampilan interpesonal profesional kesehatan dan pada pemberian instruksi yang jelas.
6.3. Laksanakan kompres basah sesuai
program untuk mengurangi intensitas inflamasi.
Rasional: vasokonstriksi pembuluh darah kulit dapat mengurangi eritema dan membantu debridemen vesikel dan krusta serta mengendalikan inflamasi.
Rasional: vasokonstriksi pembuluh darah kulit dapat mengurangi eritema dan membantu debridemen vesikel dan krusta serta mengendalikan inflamasi.
6.4. Sediakan terapi rendaman sesuai
program.
Rasional: melepas eksudat dan krusta.
Rasional: melepas eksudat dan krusta.
6.5. Berikan antibiotik sesuai order.
Rasional: membunuh dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme.
Rasional: membunuh dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme.
6.6. Gunakan obat topikal yang
mengandung kortikosteroid sesuai order.
Rasional: memiliki kerja antiinflamasi, sehingga mampu menimbulkan vasokonstriksi pd pembuluh darah kecil dalam dermis lapisan atas.
Rasional: memiliki kerja antiinflamasi, sehingga mampu menimbulkan vasokonstriksi pd pembuluh darah kecil dalam dermis lapisan atas.
6.7. Nasihati klien untuk menghentikan
pemakaian setiap obat kulit yang memperburuk masalah.
Rasional: dermatitis kontan atau reaksi alergi dapat terjadi akibat setiap unsur yang ada dalam obat tersebut.
Rasional: dermatitis kontan atau reaksi alergi dapat terjadi akibat setiap unsur yang ada dalam obat tersebut.
Kriteria Keberhasilan Implementasi
1. Tetap bebas dari infeksi.
2. Mengungkapkan tindakan perawatan
kulit yang meningkatkan kebersihan dan mencegah kerusakan kulit.
3. Mengidentifkasi tanda dan gejala
infeksi.
4. Mengidentifikasi efek kerugian obat
5. Berpartisipasi dalam tindakan
perawatan kulti: ganti balutan, mandi.
J. PENGOBATAN
1. Pengobatan Umum
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat
menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang
dengan defisiensi imun.
Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
2. Pengobatan Khusus
A. Sistemik
A.1. Obat
Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya,
misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan peroral ataupun intravena.
Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis asiklovir
peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui
intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau
penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai
terapi herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan 3×1000 mg/hari
selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir
juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase.
Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari.
A.2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh
virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis
asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga
dipakai seperlunya ketika nyeri muncul.
A.3. Kortikosteroid
Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay Hunt.
Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa
diberikan ialah prednison dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu dosis
diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan
tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat antivirus.
B.
Pengobatan
topikal
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium
vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel
agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka.
Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salap antibiotik
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan
reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer.
Berdasarkan lokasi lesi, herpes zoster dibagi atas: herpes zoster oftalmikus, fasialis, brakialis, torakalis, lumbalis, dan sakralis. Manifestasi klinis herpes zoster dapat berupa kelompok-kelompok vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak syaraf yang terinfeksi virus.
Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium sederhana, yaitu tes Tzanck dengan menemukan sel datia berinti banyak.
Pada umumnya penyakit herpes zoster dapat sembuh sendiri (self limiting disease), tetapi pada beberapa kasus dapat timbul komplikasi. Semakin lanjut usia, semakin tinggi frekuensi timbulnya komplikasi.
Berdasarkan lokasi lesi, herpes zoster dibagi atas: herpes zoster oftalmikus, fasialis, brakialis, torakalis, lumbalis, dan sakralis. Manifestasi klinis herpes zoster dapat berupa kelompok-kelompok vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak syaraf yang terinfeksi virus.
Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium sederhana, yaitu tes Tzanck dengan menemukan sel datia berinti banyak.
Pada umumnya penyakit herpes zoster dapat sembuh sendiri (self limiting disease), tetapi pada beberapa kasus dapat timbul komplikasi. Semakin lanjut usia, semakin tinggi frekuensi timbulnya komplikasi.
-
Saran
1.
Memberikan edukasi yang jelas
kepada pasien tentang penyakitnya untuk mencegah penularan dan mempercepat
penyembuhan.
2.
Penatalaksanaan yang efektif
dan efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan mencegah
terjadinya komplikasi.
-
-
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
-
1.
Hartadi, Sumaryo S. Infeksi
Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta:
Hipokrates, 2000; 92-4.
2.
Handoko RP. Penyakit Virus.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2005; 110-2.
3.
Martodihardjo S. Penanganan
Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001.
4.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI,
Setiowulan W. Penyakit Virus. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ke-3. Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius. 2000, 128-9.
5.
Lynda Juall carpernito, Rencana
Asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan
Masalah Kolaboratif, ed. 2, EGC, Jakarta, 1999.
6.
Marilynn E. Doenges, Rencana
Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien, ed.3,
EGC, Jakarta,
1999.
0 Response to "DOWNLOAD MAKALAH KESEHATAN VIRUS HERPES ZOSTER"
Posting Komentar