PENDAHULUAN
Saat ini
pendidikan di Indonesia nampaknya sedang mencari-cari formula yang terbaik dan
tepat dalam membawa anak-anak bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Hal ini
terbukti dengan adanya ujicoba berbagai kurikulum yang demikian cepatnya
sehingga di lapangan banyak guru mengeluhkan “baru mau duduk sudah disuruh
berdiri lagi”. Terlepas dari itu, perubahan kurikulum adalah wajar terjadi di
negara manapun, karena sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan yang berlaku
nasional harus selalu disesuaikan dengan perkembangan IPTEK dan tuntutan
masyarakat (Olivia, 1992 : 3). Maklah pendidikan dan sertifikasi guru.
KTSP yang mulai diterapkan di lapangan oleh sebagian
sekolah sebenarnya tidak lain merupakan kelanjutan dari Kurikulum 2004 maupun
KBK. Apapun namanya, sebagai guru haruslah ”tunduk” dan berusaha untuk
melaksanakannya dengan baik. Hal ini karena keberhasilan pelaksanaan kurikulum
sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan guru dalam menangkap perubahan yang
terjadi (Roy Barnes, 2005).
Tak ada seorang gurupun yang tidak menginginkan anak
didiknya menjadi lebih baik dan lebih maju, namun untuk menuju ke arah itu
masing-masing guru memiliki cara & irama kerja yang berbeda. Nampaknya
inilah yang dipahami Pemerintah, dengan KTSP guru diberi keleluasaan untuk
mengembangkan sendiri kurikulum pada tingkat pembela-jaran dalam rangka
menjembatani keberagaman kemampuan guru, sehingga mereka dapat menuangkan ide-idenya
ke dalam proses pembelajaran. Dengan demikian semua guru dapat berkembang
sesuai dengan kemampuan dan tidak ada keterpaksaan dalam melaksanakan, karena
apa yang dilakukan sesuai dengan apa yang direncanakan sendiri.
Dalam rangka memacu kinerja dan profesionalitas guru,
saat inipun telah digulir-kan kebijakan sertifikasi guru. Kebijakan ini menunjukkan
keseriusan dan komitmen yang tinggi Pemerintah dalam upaya meningkatkan
profesionalisme dan penghargaan kepada guru sebagai pelaksana pendidikan di
tingkat pembelajaran yang bermuara akhir pada peningkatan kualitas pendidikan
nasional. Dengan pengujian terhadap kompetensi guru harapannya dapat terbentuk
pribadi guru yang mantap, yang mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab
sebagai pendidik dengan baik dan profesional.
KTSP dan sertifikasi guru adalah dua hal yang berbeda
tetapi saling berkaitan erat. Di satu sisi pelaksanaan KTSP memerlukan
guru-guru yang kreatif, inovatif, dan berpikir maju, di sisi lain untuk
mewujudkan guru yang demikian perlu pengujian terhadap kualitas guru, yaitu
melalui sertifikasi guru. Kenyataan di lapangan menunjukkan berbagai masalah muncul
berkaitan dengan pelaksanaan KTSP dan sertifikasi guru, karena kekurangjelasan
informasi yang diterima guru maupun pihak-pihak yang terkait dengan dunia
pendidikan di daerah masing-masing. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu
forum untuk sharing dan diskusi mengenai hal ini. Melalui forum inilah
kita dapat saling berbagi kebingungan, informasi dan solusi yang bermanfaat
dalam memberikan pencerahan bagi kita semua.
KTSP, HARAPAN DAN KENYATAAN
KTSP tidak berbeda jauh dengan Kurikulum 2004 / KBK, baik
ditinjau dari aspek filosofi, tujuan, materi, proses pembelajaran, maupun cara
penilaian. Perbedaan hanya terletak pada pemberian panduan umum dimana pada
KTSP guru hanya diberi kerangka
dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)
setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang
pendidikan dasar dan menengah yang tercantum dalam Standar Isi (satu dari
delapan standar yang ditetapkan BSNP). Oleh karena itu permasalahan yang belum
tuntas dipecahkan dalam pelaksanaan KBK tetap bergulir sebagai permasalahan
pada pelaksanaan KTSP.
Ketika dilahirkan KTSP pastilah
ada secercah harapan yang ingin diraih bangsa kita dalam dunia pendidikan,
diantaranya agar setiap sekolah mampu menyusun dan mengembangkan kurikulum
sendiri sesuai dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, kebutuhan,
kemampuan sekolah, dan karakteristik siswa, sehingga memungkinkan seko-lah
dapat menyesuaikan program pendidikan yang akan dilaksanakan di lapangan. Namun
untuk mencapai tujuan seperti itu tidak semudah membalik tangan, diperlukan
komitmen Kepala Sekolah dan jajarannya untuk mampu memenuhinya.
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak
setiap sekolah siap untuk melaksanakan apa yang digariskan dalam KTSP sesuai
yang diterbitkan BSNP. Banyak kendala yang dihadapi, baik yang berkaitan dengan
komitmen, kemauan dan kemampuan Kepala Sekolah maupun guru-gurunya. Mulai dari
hal yang sederhana, seperti bagaimana memotivasi guru-guru untuk mau
bersama-sama menciptakan pembelajaran bernuansa KTSP sampai pada penciptaan
lingkungan sekolah yang kondusif untuk memperlancar penerapan berbagai metode
dan pendekatan yang inovatif. Mungkin Pemerintah belum berpikir secara masak
bahwa tidak semua sekolah siap menghadapi loncatan perubahan yang mungkin
dianggap draktis bagi mereka yang sama sekali belum siap. Adanya kesenjangan
antara harapan yang diinginkan Pemerintah dengan kenyataan di lapangan inilah yang
menimbulkan berbagai masalah.
PERMASALAHAN KTSP DAN SOLUSINYA
KTSP tidak dilengkapi dengan Garis-garis Besar
Program Pengajaran (GBPP), guru
hanya diberi SK dan KD yang terdapat dalam SI. Dengan SK dan KD tersebut guru
diharapkan mampu mengembangkan silabus dan mengoperasionalkan dalam bentuk RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Namun kenyataannya pemahaman setiap guru
tentang silabus, baik mengenai cara pembuatan dan maknanya dalam pembelajaran
tidak seragam. Hal ini karena setiap ada pelatihan, lokakarya, maupun kegiatan
sejenis, pembicara yang satu dengan yang lain tidak memiliki kesamaan pola
pikir dan pemaknaan tentang silabus. Selain itu, keberadaan contoh model KTSP
dalam panduan BSNP sangat mengganggu proses otonomi sekolah dalam pengembangan
silabus dan RPP, karena meskipun BSNP ”tidak mewajibkan” sekolah untuk
mengikuti contoh tersebut, namun sekolah tetap terpaku padanya. Terlebih bagi
sekolah yang belum mandiri, akan merasa nyaman bila mengikuti contoh model itu
daripada mereka membuat sendiri yang dikhawatirkan tidak sesuai dengan yang
diinginkan BSNP. Selama ini guru telah terbiasa menyusun RPP berdasarkan format
yang berlaku di sekolah mereka, sehingga hadirnya contoh seolah-olah Pemerintah
”menginginkan keseragaman”.
Mungkin menjadi perenungan bagi kita semua, kalau
memang ingin dibebaskan dalam menyusun dan mengembangkan silabus, mengapa
BSNP harus membuat contoh model ? Apakah tidak sebaiknya hanya diberi
batasan tentang apa saja yang harus ada dalam silabus dan RPP tanpa harus
memberi contoh model ? Meski Pemerintah menyatakan bahwa itu sekedar
contoh, namun yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Sekolah-sekolah tetap
mengacu pada model tersebut, karena takut salah jika mereka ingin menampilkan
format yang berbeda. Mungkin Anda setuju, apa arti sebuah model ? Sebenarnya
yang penting bukan yang tertulis hitam di atas putih, tetapi bagaimana
pelaksanaan di lapangan. Bukankah orang yang terlalu banyak berteori tidak
lebih baik dari orang yang tanpa teori tetapi menunjukkan tindakan nyata
?!
Mengingat untuk pelaksanaan KTSP,
terutama yang menyangkut pengembangan silabus, penyusunan SAP dan RPP nantinya
sangat tergantung dari sekolah masing-masing, maka agar tidak terjadi perbedaan
yang mencolok antar sekolah yang masih dalam satu wilayah (Kabupaten / Kota)
sangat diperlukan wadah pertemuan bagi mereka. Oleh karena itu pengaktifan
kembali MGMP dimaksudkan agar terjadi keseragaman persepsi tentang konsep yang
dimaksud dalam KTSP. Melalui MGMP semua perbedaan yang mungkin terjadi dapat
dibicarakan dan dicari jalan keluarnya dengan baik, artinya permasalahan muncul
dari mereka, dibicarakan oleh mereka, dan solusi yang dihasilkan untuk mereka
juga.
Selain mengembangkan silabus,
guru juga diharapkan mampu mengembangkan sistem penilaian, baik untuk aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor. Jika di saat
Kurikulum 2004 pertama kali diberlakukan, guru mengalami kesulitan dalam hal
penilaian, ternyata kesulitan ini terbawa sampai berlakunya KTSP. Hal ini dapat
dipahami, karena ibarat guru belum sempat duduk sudah diminta berdiri lagi
untuk menerima kehadiran kurikulum baru (KTSP). Selain itu kendala di lapangan
yang relatif sulit untuk “diakali” juga banyak dihadapi guru-guru kita, seperti
jumlah jam mengajar yang terlalu padat dan banyaknya kelas yang harus diajar.
Colin Marsh (1996 : 10) menyatakan bahwa salah satu kompe-tensi yang harus
dimiliki guru adalah kemampuannya dalam melakukan penilaian, baik terhadap
proses maupun produk pembelajaran. Oleh karena itu sebaiknya guru sesering
mungkin berdiskusi dan sharing untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan
dengan masalah penilaian. Sesama guru harus saling “ringan sama dijinjing berat
sama dipikul” bila mengalami kesulitan, bukan malah “ringan sama dijinjing
berat sama ditinggal” !.
Pada dasarnya penilaian aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik sudah dilakukan guru jauh sebelum KTSP dikemukakan. Ketika guru
akan memberikan nilai akhir, pasti secara tidak tersurat mempertimbangkan
perilaku dan kerajinan siswa dalam keseharian di sekolah. Bahkan dalam
raport-pun tertulis penilaian terhadap kelakuan, kerajinan, dan kerapian dimana
ketiganya termasuk penilaian afektif dan psikomotor.
Jadi, sistem penilaian yang dianjurkan dalam KTSP
sebenarnya sudah biasa dalam dunia pendidikan, hanya bedanya sekarang ini semua
penilaian harus tertulis dan didokumentasikan. Hal inilah yang menjadi masalah
di lapangan, karena bila kita ingin menjadi guru yang idealis dan ingin
menerapkan KTSP secara sempurna, maka harus selalu melakukan penilaian ketiga
aspek. Bagi guru yang hanya mengajar 1 – 2 kelas mungkin tidak menjadi masalah,
tetapi bagaimana dengan guru yang mengajar > 8 kelas ? Apakah seluruh
waktunya di sekolah maupun di rumah harus dihabiskan untuk membuat soal,
menyusun lembar observasi, dan mengoreksi ? Lalu kapan waktu untuk keluarga ?
Bila kita menginginkan untuk dapat
melakukan penilaian ketiga aspek, sedangkan waktu yang tersedia sedikit dan
kelas yang harus diampu banyak, maka kita dapat melakukan penilaian secara
bergilir. Sebagai contoh kita mengajar 8 kelas, maka dapat dilakukan penilaian
ketiga aspek sbb :
No.
|
Materi Pokok
|
Kelas
|
|||||||
A
|
B
|
C
|
D
|
E
|
F
|
G
|
H
|
||
1.
|
P
|
Kgn
|
Aft
|
Psm
|
Kgn
|
Aft
|
Psm
|
Kgn
|
Aft
|
2.
|
Q
|
Aft
|
Psm
|
Kgn
|
Aft
|
Psm
|
Kgn
|
Aft
|
Psm
|
3.
|
R
|
Psm
|
Kgn
|
Aft
|
Psm
|
Kgn
|
Aft
|
Psm
|
Kgn
|
4.
|
dst
|
Berdasarkan tabel tersebut nampak bahwa untuk satu materi pokok, guru
dapat melakukan ketiga penilaian pada kelas yang berbeda, sedangkan untuk
materi pokok berikutnya dapat dilakukan jenis penilaian dari aspek lainnya.
Bila masih dirasa berat, guru dapat menggabungkan beberapa materi pokok untuk
dilakukan penilaian, sehingga jumlah penilaian tidak terlalu banyak dan kerja
guru dalam mengoreksi tidak terlalu berat.
Permasalahan lainnya adalah masih
minimnya sarana prasarana pendukung pembelajaran, seperti laboratorium yang apa
adanya dan buku-buku perpustakaan yang sudah ketinggalan jaman. Oleh karena itu
dalam pelaksanaan KTSP ini dianjurkan agar guru menerapkan pendekatan
kontekstual yang mampu mengaitkan materi yang diajar-kannya
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
(Depdiknas, 2002 : 1). Penerapan pendekatan ini menuntut kreativitas guru untuk
dapat merancang aktivitas siswa dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber
belajar. Dengan demikian apapun materi pelajaran yang diberikan, mampu
memotivasi siswa dalam menghubungkan dengan fenomena di sekitarnya.
Ketiadaan koleksi buku yang baru
dapat diatasi dengan cara guru merancang kegiatan pembelajaran yang mampu
mengaktifkan siswa untuk mengkaji pustaka sendiri tanpa terbatas pada pustaka
yang tersedia di sekolah. Semakin banyak pustaka yang dibaca semakin menambah
keluasan dan kedalaman materi yang dibahas. Hal ini sangat menguntungkan siswa
sekaligus guru, karena berarti guru telah mampu mengembangkan materi dan siswa
menjadi bertambah luas wawasannya.
PERMASALAHAN
KHUSUS
KD, Materi Pokok (MP), Kegiatan
Pembelajaran (KP), dan Indikator adalah komponen dalam KTSP yang dapat
dikembangkan setiap sekolah sesuai dengan kondisi sekolah dan karakteristik
siswa. Permasalahannya, bila suatu sekolah hanya melaksana-kan yang tertulis
dalam kurikulum, bagaimana nasib siswanya ketika ia harus mengerja-kan soal
Ulangan Umum yang dibuat oleh wilayah dimana sekolah tersebut berada ? Kalau
soal yang keluar mengikuti standar minimal yang tercantum dalam kurikulum tidak
menjadi masalah, tetapi bila soalnya berisi materi pengembangan yang dilakukan
oleh sebagian besar sekolah yang ada di wilayah tersebut, inilah yang menjadi
masalah !!
Solusi terbaik yang dapat dilakukan
dalam mengatasi masalah ini adalah perlunya pengelompokan sekolah yang memiliki
kondisi sekolah dan karakteristik yang sama yang dilakukan oleh Dinas
Pendidikan setempat, sehingga mereka dapat menetapkan batas ketuntasan sendiri.
Ketika diadakan Ulangan Umum, maka mereka juga melakukannya sendiri. Mengenai
UAN yang dibuat oleh Depdiknas, sebaiknya soal-soal yang dikeluarkan mengacu
pada batas-batas yang tercantum dalam kurikulum.
style="mso-tab-count: 1;"> Pendekatan kontekstual sebagai salah
satu pendekatan yang dianjurkan diterap-kan dalam proses pembelajaran, ternyata
dalam pelaksanaannya hanya sebagian guru yang mampu memahami dan menerapkannya.
Hal ini karena sosialisasi pendekatan ini belum merata ke seluruh sekolah yang
ada di Indonesia. Bagi mereka yang sudah mengikuti sosialisasipun ternyata belum
memperoleh gambaran yang jelas tentang pendekatan kontekstual, baik pengertian
maupun contoh konkritnya dalam pembelajaran.
Solusi dari permasalahan ini adalah
perlunya guru banyak membaca buku, sering berdiskusi dengan teman sejawat, dan
mencari acuan-acuan yang berisi tentang kegiatan yang mungkin dapat
dilaksanakan di sekolah dengan kondisi yang serba minim. Kreativi-tas guru
sangat dituntut agar mampu menyajikan materi yang dapat menyebabkan siswa mampu
menghubungkan dengan fenomena yang terjadi di sekitarnya.
Ketika guru ingin melakukan
penilaian aspek kognitif, mungkin tidak mengalami kendala, karena sudah biasa
dilakukan. Namun ketika akan melakukan penilaian aspek afektif dan psikomotorik,
guru mengalami kendala dalam hal format penilaian yang akan digunakan. Banyak
contoh-contoh format penilaian aspek afektif (sikap, nilai, konsep diri,
motivasi, minat) dan aspek psikomotorik yang dapat diacu dari berbagai buku
maupun hasil penelitian, namun format penilaian tersebut tidak selalu cocok
untuk kondisi sekolah dan siswa kita, sehingga perlu dimodifikasi agar sesuai
dengan informasi yang dibutuhkan guru. Oleh karena penilaian aspek afektif
digunakan sebagai umpan balik bagi guru untuk memperbaiki proses pembelajaran,
maka boleh saja dilakukan tidak sesering penilaian kognitif. Ketika siswa
mengalami penurunan nilai secara draktis, maka sangat tepat bila dilakukan
penilaian aspek afektif untuk melihat aspek afektif yang ada pada diri siswa.
Portofolio yang dianjurkan dalam KTSP pada kenyataannya di lapangan
banyak yang kesulitan untuk melakukannya. Kendala yang utama adalah kelas yang
diampu oleh guru bukanlah kelas kecil yang hanya terdiri dari 10 – 15 siswa,
tetapi kelas besar dengan jumlah siswa 30 – 50. Hal ini tentunya memerlukan
kerja ekstra guru untuk mengumpulkan setiap hasil karya dan kerja tiap-tiap
siswa dalam satu file yang saling terpisah. Kerja ini dapat diperingan dengan
cara memberikan tugas yang sama atau sejenis, sehingga mempermudah dalam
koreksi. Hal ini karena kerja terberat dalam portofolio bukan pada
pengumpulannya, tetapi pada pengoreksian hasil karya tersebut.
Selain portofolio, pada KTSP guru
juga harus mampu memberikan muatan life skills pada setiap kegiatan
belajar siswa. Masalah yang timbul terletak pada pemahaman guru terhadap life
skills itu sendiri, yang sebenarnya pengertiannya sangat sederhana tetapi
istilahnya terlalu ‘tinggi”. Padahal sebenarnya life skills yang
di-Indonesia-kan sebagai kecakapan hidup adalah segala kemampuan yang dapat
ditanamkan kepada siswa yang nantinya bermanfaat dalam menghadapi permasalahan
kehidupan secara wajar. Kecakapan berkomunikasi, menggali informasi, bekerja sama,
dan mengolah informasi adalah beberapa kecakapan yang termasuk dalam life
skills.
Dengan demikian bila siswa terbiasa dengan aktivitas belajar yang dapat memun-culkan berbagai bentuk kecakapan hidup akan berdampak positif terhadap perkembangan mental maupun daya pikir mereka. Siswa beraktivitas melakukan sesuatu berarti siswa belajar untuk menggali potensi diri. Setelah ia dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka muncul kesadaran adanya potensi diri, dan ini berdampak pada munculnya percaya diri. Seperti kita ketahui, percaya diri sangat diperlukan dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan. Aktivitas yang dilakukan siswa secara langsung akan membantu perkembangan daya pikirnya. Hal inilah yang diharapkan KTSP.
SERTIFIKASI GURU, HARAPAN DAN KENYATAAN
Munculnya UU RI No.14 / 2005 tentang
Guru dan Dosen (UUGD) tak lain bertujuan untuk mewujudkan guru yang
profesional, berkualitas, bermartabat, dan sejahtera. Hal ini karena keberadaan
guru merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem, iklim, dan praktik pendidikan
yang berkualitas. Selama ini kualitas guru yang menyangkut berbagai
kompetensi yang harus dimiliki seorang guru belum pernah diuji secara langsung,
kalaupun ada hanya formalitas atasan untuk mengawasi kinerja guru secara
sepintas. Akibatnya guru sebagai ujung tombak peningkatan kualitas pendidikan tidak
terintervensi untuk meningkatkan kualitas mereka, baik yang berkaitan dengan
penguasaan ilmu maupun pengajarannya.
Salah satu amanat UUGD adalah Pemerintah melaksanakan
sertifikasi guru yang bertujuan menstandarisasi kompetensi guru dan sekaligus
memberikan angin segar bagi guru untuk mendapatkan tambahan penghasilan dalam
bentuk tunjangan profesi 1 bulan gaji. Sertifikasi guru yang diamanatkan oleh
UU No. 20/2003 maupun UU No. 14/2005 juga merupakan jawaban atas permasalahan rendahnya
kualitas guru di Indonesia, Harapannya melalui sertifikasi, kualitas guru terjamin,
karena hanya guru yang profesional yang dapat memperoleh sertifikat pendidik
dan diijinkan mengelola proses pembelajaran.
Sertifikasi akan dilaksanakan dengan 2 sistem /
mekanisme, yaitu untuk calon guru melalui pendidikan profesi yang setara
dengan S2 dan untuk guru sebagai sertifikasi guru dalam jabatan.
Permasalahannya, untuk sistem yang kedua, dalam pelaksanaannya diperlukan biaya
yang mahal, rumit dan sulit karena diperlukan tes tulis, portofolio, dan tes
kinerja. Mengingat bahwa waktu, geografis, tenaga, dan anggaran tidak
memungkinkan untuk melaksanakan sistem ini, maka diambil keputusan untuk
melaksanakan sertifikasi dengan portofolio saja yang pelaksanaannya dapat
Kriteria yang menjadi acuan untuk penyeleksian peserta
meliputi masa kerja, usia, golongan, beban mengajar, tugas tambahan, dan
prestasi kerja. Semua kriteria harus terpenuhi, jika seorang guru ingin lolos
mengikuti sertifikasi sampai masuk dalam daftar peserta pada tingkat nasional.
Jika ditinjau dari tujuan sertifikasi memang sangat
mulia, karena selain ingin meningkatkan kualitas guru, juga memperhatikan
kesejahteraan mereka dengan cara pemberian tunjangan bagi yang lulus
sertifikasi. Pemberian tunjangan ini sangat besar pengaruhnya dalam memotivasi
guru untuk mengikuti ujian sertifikasi, mengingat selama ini kesejahteraan guru
kurang mendapat perhatian dari Pemerintah.
Namun pada kenyataannya, apa yang diimpikan indah di
depan mata kita, tak seindah dalam pelaksanaannya. Banyak permasalahan yang
muncul dengan adanya sertifikasi ini,
baik permasalahan di awal pelaksanaan yang menyangkut kesiapan seluruh komponen
yang terlibat dalam penyelenggaraan sertifikasi maupun model penyeleksian yang
memerlukan orang-orang yang jujur dan bertanggung jawab. Bahkan sampai saat
inipun Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan sertifikasi belum
diterbitkan, sehingga sertifikasi belum dapat dilaksanakan.
PERMASALAHAN
SERTIFIKASI DAN SOLUSINYA
Permasalahan pertama yang muncul dalam rangka pelaksanaan
sertifikasi guru adalah jumlah guru di Indonesia yang luar biasa banyaknya,
yaitu sekitar 2,7 juta dan semuanya harus selesai disertifikasi dalam tempo 10
tahun (2006 – 2016). Perhatikan tabel
target penuntasan program sertifikasi guru berikut ini :
Seperti diketahui, anggaran untuk pendidikan di Indonesia
hanya 20%, inipun tidak seluruhnya dapat dialokasikan untuk pelaksanaan
sertifikasi. Jadi, memang berat perma-lahan yang harus dihadapi dunia
pendidikan di Indonesia. Di satu
sisi ingin memajukan guru, di sisi lain terbentur masalah pendanaan.
Permasalahan krusial lainnya adalah apakah ada jaminan
bahwa sertifikasi pasti akan meningkatkan kualitas guru ? Jangan-jangan
guru-guru berbondong-bondong ikut sertifikasi bukan karena ingin menjadi guru
yang lebih baik, maju, dan berkualitas, tetapi hanya mengejar tunjangan yang
akan diberikan ketika lulus sertifikasi. Kalau demikian yang terjadi berarti
kita membuang berjuta-juta uang hanya untuk hal yang tidak diinginkan. Bisa
jadi akan muncul bentuk KKN baru, lantaran banyak guru yang ingin lulus dan di
pihak lain penguji berdalih kasihan sambil menerima uang tanda terima kasih.
Pertanyaan ini sangat penting kita jawab dengan
bijaksana, kritis, dan analitis, bukan berdasar prasangka buruk dengan kata
“jangan-jangan” atau “bisa jadi”. Seperti diketahui, bahwa uji sertifikasi dengan
portofolio menghasilkan data yang sangat variatif. Hal ini karena penilaian
portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru yang berupa
kumpulan dokumen yang mendeskripsikan : kualifikasi akademik, pendidikan dan
pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembe-lajaran,
penilaian dari atasan, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikut-sertaan
dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi, dan penghargaan di bidang pendi-dikan
yang semua itu memerlukan pedoman penilaian yang andal dan akurat. Oleh karena
itu perlu dipersiapkan secara matang dan. mantap bagaimana cara pengolahan
hasil uji sertifikasi agar diperoleh keseragaman dalam menentukan guru yang
layak dan tidak.
Ada beberapa hal yang perlu dikaji dan dipikirkan secara
mendalam dalam hubungannya dengan penjaminan hasil sertifikasi berupa
peningkatan kualitas kompetensi guru, diantaranya adalah :
1. Perlu adanya kesadaran dan pemahaman yang benar bagi
semua pihak bahwa sertifikasi merupakan sarana / instrumen untuk menuju
kualitas kompetensi guru, sehingga apapun aktivitas yang dilakukan semua
mengarah pada pencapaian kualitas. Dengan demikian ketika ikut uji setifikasi,
guru akan mempersiapkan diri dengan baik dan tidak akan mencari jalan pintas. Sebagai konsekuensinya guru akan merasakan kepuasan batin
karena merasa telah memiliki kompetensi yang disyaratkan dan konsekuensi
logisnya memperoleh tunjangan profesi.
2. Perlu konsistensi dan ketegaran Pemerintah dalam
menghadapi tantangan dan tuntutan berbagai pihak dalam pelaksanaan sertifikasi
yang dapat menyebabkan kecemburuan antar pihak, sehingga diperlukan ketegasan,
kebijaksanaan, dan objektivitas dalam menghadapi berbagai gejolak yang ada.
Sebagai contoh, pada penunjukan LPTK yang berhak melaksanakan uji sertifikasi, LPTK
Swasta dan LPTK Negeri di luar Jawa pasti akan menuntut diberi hak. Tuntutan
juga akan datang dari guru yang merasa senior maupun yang tidak memenuhi syarat
agar diberi kemudahan.
3. Perlu ketegasan hukum, karena dalam setiap pelaksanaan
kebijakan pasti ada berba-gai penyimpangan dari aturan main yang ditetapkan.
Penyimpangan dapat dilakukan oleh guru untuk mencari jalan pintas agar dapat
lulus sertifikasi, oknum LPTK yang diberi hak uji sertifikasi, sehingga
Pemerintah harus bertindak tegas sesuai hukum.
4. Perlu penegasan standar nasional yang harus dipenuhi
tanpa memandang perbedaan letak daerah maupun tingkat pendidikannya. Waktu
transisi kemungkinan masih dapat ditoleransi, tetapi standar tidak dapat
ditawar / ditoleransi, karena ini masalah kualitas.
5. Pemerintah Pusat dan Daerah perlu menyediakan anggaran
yang memadai untuk pelaksanaan sertifikasi dan pemberian tunjangan. Jika tidak,
maka dapat dipastikan sertifikasi terhenti di tengah jalan dan gejolak
“kemarahan” guru akan tercetus.
PENUTUP
Dengan adanya perubahan kurikulum yang diikuti dengan diberlakukannya
sertifikasi guru di Indonesia, berarti kita telah maju selangkah lagi dalam
pembenahan pendidikan. Namun demikian perlu usaha sungguh-sungguh dari semua
pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya, karena menciptakan sistem, iklim, dan
praktik pendidikan yang berkualitas memang diperlukan keseriusan, komitmen,
kesadaran, konsistensi, ketegaran, ketegasan, baik dari pihak Pemerintah
sebagai pembuat kebijakan maupun pihak-pihak yang terkait dalam menyukseskan
pelaksanaannya di lapangan. Wajar rasanya bila kita ingin meraih sesuatu yang
lebih baik banyak kendala, tuntutan, tantangan dan permasalahan yang dihadapi,
karena harapan sering tidak sejalan dengan kenyataan. Sekali melangkah pantang
untuk mundur, mari kita bangun bangsa kita melalui pendi-dikan, agar kemakmuran
masyarakat yang telah lama kita impikan terwujud.
Sertifikat pendidik akan diberikan kepada seseorang yang
telah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus ujian
sertiifikasi. Ujian inilah yang digunakan sebagai kontrol mutu hasil
pendidikan, karena hanya mereka yang diyakini mampu melaksanakan tugas
mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil belajar siswa yang
akan diberi sertifikat.
Adapun tujuan sertifikasi guru adalah untuk meningkatkan
mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen
pembela-jaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sedangkan
manfaat ujian sertifikasi guru adalah :
1. Melindungi
profesi guru dan praktik-praktik yang tidak kompeten yang dapat merusak citra
profesi guru.
2. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan
yang tidak berkualitas dan profesional.
3. Menjadi wahana penjaminan mutu bagi LPTK, kontrol mutu
dan jumlah guru bagi pengguna layanan pendidikan.
4. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan (LPTK) dari
keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan
yang berlaku.
5. Memperoleh
tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi.
Adanya tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian
sertifikasi merupakan niat baik Pemerintah agar kesejahteraan guru yang selama
ini kurang mendapat perhatian menjadi terpenuhi, sehingga mereka tidak
disibukkan dengan urusan memenuhi hidup sehari-hari dan dapat berkonsentrasi
menjalankan tugas menga-jar. Hal ini dapat dipahami karena salah satu masalah
guru di Indonesia adalah gajinya yang kurang memadai untuk hidup layak, padahal
gaji adalah salah satu faktor penentu kinerja seorang guru. Bahkan berbagai
studi yang dilakukan, menunjukkan tingkat kesejahteraan merupakan penentu yang
amat penting bagi kinerja guru dalam menjalankan tugasnya (Dedi Supriadi, 1998
: 7, 44). Di Amerika, Australia, Inggris, Perancis, dan Skandinavia, dalam
usahanya mening-katkan mutu pendidikan negaranya, langkah pertama yang
dilakukan adalah meningkatkan kesejahteraan guru. Dalam jurnal PAT (2001)
dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru
Pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji yang diseimbangkan dengan beban
kerjanya.
Dalam rangka pelaksanaannya, dibuat persyaratan ujian
sertifikasi, yaitu persyaratan akademik dan non akademik. Bagi guru SMA,
persyaratan akademik meliputi kualifikasi akademik minimal D4/S1,
latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan
mata pelajaran yang diajarkan. Bagi guru yang memiliki prestasi istimewa dalam
bidang akademik dapat diusul-kan mengikuti ujian sertifikasi berdasarkan
rekomendasi dari Kepala Sekolah, Dewan Guru, diketahui dan disahkan oleh Kepala
Cabang Dinas dan Kepala Dinas Pendidikan.
Sebagai persyaratan non akademik adalah prioritas
keikutsertaan dalam ujian sertifikasi bagi guru didasarkan pada jabatan
fungsional, masa kerja, pangkat / golongan. Jumlah guru yang dapat mengikuti
ujian sertifikasi di tiap wilayah ditentukan oleh Ditjen PMPTK berdasarkan
prioritas kebutuhan. Adanya persya-ratan guru yang boleh mengikuti ujian
sertifikasi adalah mereka yang memiliki masa kerja lebih dari 20 tahun
nampaknya bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Pamela Grossman &
Clarissa Thompson (2004) yang meneliti tentang bagaimana peranan kebijakan
distrik mengenai kurikulum, pengembangan profe-sional, dan mentoring dalam
memberikan kesempatan kepada guru pemula belajar tentang pembelajaran. Menurut
kedua peneliti ini, guru pemula seharusnya lebih diperhatikan dalam peningkatan
kualitas pendidikan, karena mereka masih muda, lebih mudah diarahkan, lebih
inovatif, antisipatif terhadap perubahan, dan umum-nya mau diajak maju karena
semangatnya yang masih tinggi. Pernyataan ini bila dihubungkan dengan
sertifikasi guru yang akan dilakukan di Indonesia, nampak-nya tidak sejalan,
dimana sertifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesionalisme guru
dan pendidikan lebih mengutamakan guru-guru yang termasuk senior (kelompok guru
dengan masa kerja > 20 tahun) daripada guru pemula. Hal ini kemungkinan
besar dikarenakan sertifikasi guru yang akan dilakukan di Indonesia lebih
mengedepankan penghargaan bagi guru-guru yang telah mengabdi lama dibandingkan
tinjauan yang dilakukan Pamela & Clarissa.
Penyelenggaraan ujian sertifikasi guru melibatkan unsur
lembaga, sumber daya manusia, dan sarana pendukung. Lembaga penyelenggara
adalah LPTK yang terakreditasi dan ditunjuk Pemerintah yang anggotanya dari
LPTK, lembaga pengguna (Ditjen, Didasmen, Ditjen PMPTK, Dinas Pendidikan
Provinsi), dan unsur asosiasi profesi pendidik.
Sumber daya manusia yang dimaksud adalah pakar dan
praktisi dalam berbagai bidang keahlian dan latar belakang pendidikan yang
relevan. Sarana pendukung yang diperlukan dalam penyelenggaraan ujian
sertifikasi adalah sarana akademik, praktikum dan administratif yang
disesuaikan dengan bidang keahlian, bidang studi, rumpun bidang studi yang menjadi
tujuan ujian yang dilaksanakan.
Instrumen ujian sertifikasi terdiri atas kelompok
instrumen tes dan non tes. Kelompok instrumen tes terdiri atas tes tertulis
dalam bentuk pilihan ganda yang meliputi kompetensi pedagogik dan profesional
dan tes kinerja dalam bentuk real teaching dengan menggunakan IPKG I dan
IPKG II yang mencakup juga indi-kator untuk mengukur kompetensi pribadi dan
sosial. Kelompok instrumen non tes meliputi self-appraisal dan
portofolio, yang keduanya memberi kesempatan guru untuk menilai diri sendiri
dalam aktivitasnya sebagai guru. Setiap pernyataan dalam melakukan sesuatu atau
berkarya harus dapat dibuktikan dengan bukti fisik berupa dokumen yang relevan.
Bukti fisik tersebut menjadi bagian penilaian portofolio.
Sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 28 UU RI No
19/2005, seorang guru harus memiliki empat jenis kompetensi. Pertama,
kompetensi pribadi yaitu kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik,
dan berakhlak mulia. Kedua, kompetensi pedagogik yaitu kemampuan yang
berkaitan dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang
mendidik dan dialogis. Ketiga, kompetensi profesional yaitu kemampuan
yang berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas
dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata
pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum
tersebut, serta menam-bah wawasan keilmuan sebagai guru. Keempat, kompetensi
sosial yaitu kemam-puan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orangtua / wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Keempat kompetensi tersebut dibuktikan secara formal
dengan sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik minimum diperoleh melalui
pendidikan tinggi, sedangkan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah
menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus ujian sertifikasi
pendidik. Ujian ini bertujuan sebagai kontrol kualitas hasil pendidikan,
sehingga harapannya seseo-rang yang dinyatakan lulus diyakini mampu
melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil
belajar peserta didik. Menurut Houston W. R (1974 : 7), tingkat kompetensi
seseorang tidak hanya menunjuk pada kuantitas kerja, tetapi sekaligus menunjuk
pada kualitas kerjanya. Hal ini berarti seseorang yang telah lulus sertifikasi,
selain kuantitas kerjanya memadai, kualitas kerjanya juga baik.
Berdasarkan data dari Direktorat Tenaga Kependidikan 2004
(Fasli Jalal, 2006) dikemukakan satu bukti bahwa guru kimia masih banyak yang
belum layak dan kompeten dalam mengajar. Hal ini ditunjukkan dengan hasil ujian
tertulis mata uji kimia pada beberapa guru kimia dimana dari 40 soal yang
diujikan diperoleh rerata 22,33 dengan Standar Deviasi 4,91, nilai terendah 8
dan nilai tertinggi 38. Penelitian yang dilakukan Muh. Rofi & Dakir (2004)
menemukan adanya sebagian kinerja guru yang belum sesuai dengan yang
diharapkan, diantaranya seperti persiapan mengajar yang tidak lengkap,
kemampuan dan keterampilan mengajar yang kurang, komitmen dan kedisiplinan yang
kurang, dan persepsi terhadap tugasnya belum seperti yang diharapkan. Berkaitan
dengan hal ini, maka tepatlah bila masalah guru menjadi sorotan bagi rencana
strategis Depdiknas tahun 2005 – 2009, terutama mengenai kelayakan seorang guru
dalam mengajar. Hal ini dapat dipahami, karena selama ini penilaian terhadap
kompetensi guru belum pernah dilakukan Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas.
Kenyataan
menunjukkan banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan kesarjanaannya dan
tidak berlatar belakang dari Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan atau LPTK (Dedi Supriadi, 1998 : 182). Hal
ini terutama terjadi di daerah-daerah yang kekurangan guru, sehingga untuk
mengajarkan ilmu kimia terkadang harus diampu oleh guru yang tidak berlatar
belakang sarjana kimia. Penelitian yang dilakukan Rebecca A. Kruse &Gillian H. Roehrig menun-jukkan bahwa guru kimia yang tidak berlatar belakang
sarjana kimia mempunyai keterbatasan dan kekakuan dalam mengajar dan secara
statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan guru kimia yang berlatar
belakang sarjana kimia setelah diuji pemahamannya tentang konsep kimia. Bahkan
di Amerika terdapat sekitar 50% guru kimia yang memiliki sertifikat bidang ilmu
biologi, sehingga terjadi out of field (Constance Blasie & George
Palladino, 2005). Di Indonesia, pada jenjang SMA, persentase guru yang belum
memiliki kualifikasi minimal yang memadai sebanyak 33%. Secara nasional guru
SMA yang dinyatakan tidak layak sebanyak 15,4% untuk guru SMA Negeri dan 17,5%
untuk guru SMA Swasta (Renstra Depdiknas 2005 – 2009). Hal ini merupakan
masalah yang harus ditangani dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan.
Berdasarkan
permasalahan yang berkaitan dengan guru tersebut, maka sudah sewajarnya bila
Pemerintah secara serius ingin membenahi kualitas profesi-onal guru melalui
sertifikasi guru. Selain bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
sertifikasi ini juga memberikan tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian
sertifikasi, sehingga kesejahteraan guru akan tercipta. Dengan adanya hubungan
antara sertifikasi dengan peningkatan kesejahteraan ini, Pemerintah berharap
guru-guru terpacu dan termotivasi untuk dapat menjadi tenaga pendidik yang
profesional yang dibuktikan secara formal melalui kelulusan sertifikasi.
Layaknya guru yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya sangat membantu
mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Direktorat Profesi Pendidik, 2006 : 3).
Pemerintah, dalam
hal ini Depdiknas mengemukakan adanya berbagai masalah yang berkaitan dengan
kondisi guru, diantaranya (1) adanya kebera-gaman kemampuan guru dalam proses
pembelajaran dan penguasaan pengeta-huan, (2) belum adanya alat ukur yang
akurat untuk mengetahui kemampuan guru, (3) pembinaan guru yang dilakukan belum
mencerminkan kebutuhan, dan (4) kesejahteraan guru yang belum memadai (Depdiknas,
2004 : 1). Oleh karena itu, komitmen Pemerintah untuk melakukan sertifikasi
guru merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah kondisi guru
di Indonesia. Profesionali-sasi jabatan guru diharapkan akan membuahkan
peningkatan mutu pendidikan dalam sistem persekolahan yang akhirnya akan
menghasilkan lulusan yang memiliki karakter yang kuat (T. Raka Joni, 2006 : 1).
Dalam rangka
pelaksanaan standardisasi kompetensi guru melalui sertifikasi guru tentunya
diperlukan instrumen sertifikasi, baik yang berupa instrumen tes maupun nontes.
Kelompok instrumen tes yang harus dipersiapkan diantaranya tes tertulis yang
meliputi tes kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial, serta
tes kinerja dalam bentuk real teaching. Saat ini Depdiknas, dalam hal
ini Direktorat Profesi Pendidik telah melakukan penyusunan instrumen tes
tertulis untuk mengukur keempat kompetensi dan telah diujicobakan. Namun
demikian dalam rangka pelaksanaan sertifikasi yang sesungguhnya nampaknya
instrumen tersebut masih memerlukan pembenahan. Oleh karena itu, sumbangan
pemikiran untuk perbaikan dan pembenahan instrumen tes tertulis kemungkinan
besar sangat diperlukan demi kesempurnaan instrumen tersebut, baik dari segi
isi dan kekom-prehensifan materi yang diujikan. Penelitian ini akan mencoba
mengembangkan model evaluasi berupa instrumen tes untuk mengevaluasi kompetensi
kepribadian, pedagogik, profesional, dan kepribadian yang diharapkan memenuhi
kriteria kualitas tes yang baik dan layak digunakan, sehingga dapat digunakan
untuk mengetahui kompetensi guru seperti yang diinginkan Pemerintah, dalam hal
ini Depdiknas.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar waktu guru
dihabis-kan untuk mengajar dari satu kelas ke kelas lain, sehingga terkadang
untuk persiapan mengajarpun mereka merasa tidak memiliki waktu lagi. Dengan
demikian satu-satunya jalan yang dapat dilakukan adalah melalui berbagi
pengalaman dengan sesama dalam satu waktu yang terencana, sehingga mereka bisa
saling sharing pengalaman tanpa harus menghabiskan banyak energi untuk
mencari inovasi dan referensi yang terkadang memang sulit dijumpai. Oleh karena
itu perlu digalakkan keberadaan MGMP dan organisasi sejenisnya yang dapat
mempertemukan guru-guru se-bidang ilmu, sehingga permasalahan diantara mereka
dapat didiskusikan dan dicarikan jalan keluarnya.
Menjadi golongan idealis memang
ideal dan pasti mendapat pujian, sehingga sebenanrnya kita ingin dapat masuk
dalam golongan itu. Namun bila kita ingin melaksana-kan KTSP secara sempurna
seperti yang dianjurkan dalam kurikulum tersebut, apakah hal itu dapat
dilakukan secara wajar dan tidak merupakan beban bagi kita ? Sebaliknya,
menjadi kaum minimalis yang hanya melaksanakan tugas apa adanya, dengan prinsip
“bisaku ya hanya begini” merupakan penghambat inovasi dalam dunia pendidikan.
Lalu sebaiknya kita bersikap bagaimana ? Sebaik-baiknya perkara adalah yang di
tengah-tengah, artinya kita jangan menjadi golongan idealis dan juga minimalis,
tetapi jadilah diantara kedua golongan itu. Bagaimana caranya ?
KTSP tentunya menginginkan adanya
perubahan di dunia pendidikan. Sebagai guru seharusnya kita mendukung keinginan
dan harapan Pemerintah dengan berusaha melaksanakannya, namun harus sesuai
dengan kemampuan kita masing-masing. Kita berusaha semampunya melaksanakan KTSP
dengan baik, tetapi tidak perlu terlalu ngoyo di luar kemampuan kita,
sehingga tidak menjadi beban dalam menjalankan tugas mengajar. Dengan kata
lain, yang penting tidak berjalan di tempat atau masa bodoh dengan perubahan
kurikulum, tetapi juga tidak terlalu berpikir untuk melaksanakan secara
sempurna tanpa mengukur kemampuan.
Manusia adalah individu yang unik, artinya setiap manusia
memiliki karakteristik yang berbeda (motivasi, minat, kecerdasan, dan lain-lain
yang berbeda), meskipun semua diberi akal pikiran yang sama oleh Tuhan
(Abdullah A dan Eny R, 2000 :2). Namun ketika kita telah memilih pekerjaan guru
sebagai profesi, maka hal ini membawa konsekuensi pada berbagai sikap dan
perilaku bahkan pola pikir yang harus berubah menjadi profesional. Guru harus
mampu meninggalkan keunikan diri yang dimiliki yang berkaitan dengan tanggung
jawab profesinya sebagai guru. Sifat guru yang unik yang tidak sesuai, seperti
acuh / tidak peduli dengan perubahan sekitar, kebal inovasi, masa bodo,
egois, dan lain-lain yang sebenarnya
sah-sah saja dimiliki seseorang sebagai individu, harus dibuang jauh-jauh
ketika kita memilih profesi guru, karena sifat-sifat itu hanya akan menghambat
proses menuju peningkatan pendidikan.
Sejalan dengan profesional guru, maka saat ini dunia
pendidikan juga diramaikan oleh adanya kebijakan sertifikasi guru. Hal ini
sejalan dengan arah kebijakan SPN Pasal 42 UU RI No 20/2003 yang mensyaratkan
pendidik (guru) harus memiliki kualifikasi akademik minimum dan sertifikasi
sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, dan memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan
dalam Pasal 28 ayat 1 PP No 19/ 2005 dan Pasal 8 UU RI No 14/2005 yang mengamanatkan
guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4/S1
dan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi kepribadian,
pedagogik, profesional, dan sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Colin
Marsh. (1996). Handbook for beginning teachers. Sydney : Addison Wesley
Longman Australia Pry Limited.
Depdiknas.
(2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning).
Jakarta : Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Olivia,
Peter, F.. (1992). Developing the Curriculum. New York : Harper Collins
Publishers.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
Roy
Barnes. (2005). Moving towards technology education : Factors that
facilitated teachers’ implementation of a technology curriculum. Journal of
Technology Education. 17 (1), 6 – 18.
Undang –
Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang - Undang RI Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
0 Response to "DOWNLOAD MAKALAH PENDIDIKAN KTSP DAN SERTIFIKASI GURU, ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN"
Posting Komentar