A.
Pendahuluan
Secara
konseptual pengakuan terhadap keberadaan profesi guru mengandung arti
recognition, endorsement, acceptance, trust, dan confidence yang diberikan oleh
masyarakat kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda dan membantu
mengembangkan potensinya secara professional. Kepercayaan, keyakinan, dan
penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru.
Implikasi
dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai.
Tidak hanya pada tataran normatif saja namun mampu mengembangkan kompetensi
yang dimiliki, baik kompetensi personal, professional, maupun kemasyarakatan
dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan.
Hal
tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui
kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya
meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek "guru" dan
tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun
kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.
Tidak
mengherankan apabila Kepala Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Siskandar menyatakan
bahwa penerapan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menuntut kualitas guru
memadai sehingga perlu meng-upgrade kemampuan guru supaya pelaksanaan kurikulum
sesuai dengan harapan.
Data
Balitbang Depdiknas (tahun 2001) saja menunjukkan, dari 1.054.859 guru SD
negeri ternyata hanya 42,4 persen yang layak mengajar. Berarti, sebagian besar
(57,6 persennya) tidak layak mengajar (Depdiknas go.id.com). Sampai-sampai
Sapari (Kompas, 16/8/2002) berani menyimpulkan, rendahnya kualitas guru SD/MI
menyebabkan pemahaman mereka terhadap inovasi pendidikan sepotong-sepotong,
bahkan ada yang sama sekali tidak memahami secara substansial apa yang
dikembangkan pemerintah.
Data
tersebut semakin memperkuat data-data sebelumnya yang menyatakan bahwa kualitas
sumber daya manusia kita pada tahun 2002 menempati angka 110 dari 173 negara,
daya saing kita 47 dari 48 negara, performance system pendidikan kita berada
pada nomor 38 dari 39 negara, penguasaan matematika siswa SLTP pada urutan 34
dan penguasaaan IPA pada urutan ke-32 dari 38 negara (Sucipto, 2003:2).
Secara
mikro, permasalahan peningkatan mutu pendidikan merupakan conditio sine qua non
dan mendesak untuk dipikirkan oleh stakeholder pendidikan. Secara aplikatif,
diperlukan peningkatan profesionalisme guru karena guru merupakan pelaksana
lapangan yang menjadi ujung tombak. Berbagai upaya pemberdayaan dapat dilakukan
di antaranya dengan pembinaan profesionalisme guru melalui supervisi
pengajaran.
Melalui
supervisi pengajaran, seorang kepala sekolah dapat memberi bimbingan, motivasi,
dan arahan agar guru dapat meningkatkan profesionalismenya.
B.
Permasalahan
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang hendak dibahas dalam
makalah ini adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam pembinaan
profesional melalui supervisi pengajaran sebagai upaya peningkatan
profesionalisme guru?
C.
Pembahasan
1.
Konsep Mutu Pendidikan
Proses
pendidikan yang bermutu ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang akan ada di
dalam sekoalh itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut
Townsend dan Butterworth (1992:35) dalam bukunya Your Child's Scholl, ada
sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni:
1)
keefektifan
kepemimpinan kepala sekolah,
2)
partisipasi dan rasa
tanggung jawab guru dan staf,
3)
proses belajar-mengajar
yang efektif,
4)
pengembangan staf yang
terpogram,
5)
kurikulum yang relevan,
6)
memiliki visi dan misi
yang jelas,
7)
iklim sekolah yang
kondusif,
8)
penilaian diri terhadap
kekuatan dan kelemahan,
9)
komunikasi efektif baik
internal maupun eksternal, dan
10) keterlibatan
orang tua dan masyarakat secara instrinsik.
Dalam
konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar
proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan
pendekatan dan kriteria tertentu (Surya, 2002:12).
Dalam
konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output
pendidikan (Depdiknas, 2001:5). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang
harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan
merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan
input sekolah sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan
(enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan
benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Output pendidikan adalah
merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya,
produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya.
Berdasarkan
konsep mutu pendidikan maka dpaat dipahami bahwa pembangunan pendidikan bukan
hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih
memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang
mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan
dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are
necessary but not sufficient condition to improve student achievement).
Selama
tahun 2002 dunia pendidikan ditandai dengan berbagai perubahan yang datang
bertubi-tubi, serempak, dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas
sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi
yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun 2002 antara lain adalah
Pendidikan Berbasis Luas (PBL/BBE) dengan life skills-nya, Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK/CBC), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/SBM), Ujian Akhir
Nasional (UAN) pengganti EBTANAS, pembentukan dewan sekolah dan dewan
pendidikan kabupaten/kota. Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan
problematiknya sendiri.
Fenomena
yang menarik adalah perubahan itu umumnya memiliki sifat yang sama, yakni
menggunakan kata berbasis (based). Bila diamati lebih jauh, perubahan yang
"berbasis" itu umumnya dari atas ke bawah: dari pusat ke daerah, dari
pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah, dari pemerintah ke masyarakat, dari
sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Istilah-istilah lain yang
populer dan memiliki nuansa yang sama dengan "berbasis" adalah
pemberdayaan (empowerment), akar rumput (grass-root), dari bawah ke atas
(bottom up), dan sejenisnya. Apa itu artinya?
Simak
saja label-label perubahan yang dewasa ini berseliweran dalam dunia pendidikan
nasional (kadang-kadang dipahami secara beragam): manajemen berbasis sekolah
(school based management), peningkatan mutu berbasis sekolah (school based
quality improvement), kurikulum berbasis kompetensi (competence based
curriculum), pengajaran/pelatihan berbasis kompetensi (competence based
teaching/training), pendidikan berbasis luas (broad based education),
pendidikan berbasis masyarakat (community based education), evaluasi berbasis
kelas (classroom based evaluation), evaluasi berbasis siswa (student based
evaluation) dikenal juga dengan evaluasi portofolio, manajemen pendidikan
berbasis lokal (local based educational management), pembiayaan pendidikan
berbasis masyarakat (community based educational financing), belajar berbasis
internet (internet based learning), dan entah apa lagi.
Fullan & Stiegerbauer (1991: 33) dalam "The New Meaning of Educational
Change" mencatat bahwa setiap tahun guru berurusan dengan sekitar 200.000
jenis urusan dengan karakteristik yang berbeda dan itu merupakan sumber stres
bagi mereka. Mungkin tak aneh bila dilaporkan banyak guru mengalami stres dan
jenuh (burnout).
Supriadi
(2002:17) mengatakan: "orang yang mendalami teori difusi inovasi akan
segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk
dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide
dikembangkan hingga dilaksanakan".
Sejak
awal, berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu
sendiri sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan.
Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan
skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas
kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya
oleh pihak yang melaksanakannya.
Langkah
percepatan dapat saja dilakukan, tetapi dengan risiko kegagalan yang besar
akibat inovasi itu kurang dihayati secara penuh oleh pelaksananya. Saya menilai
bahwa banyak inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia dewasa ini yang
melanggar prinsip-prinsip tersebut, di samping secara konseptual "cacat
sejak lahir", serba tergesa-gesa, serbainstan, targetnya tidak realistik,
didasari asumsi yang linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus
begitu diluncurkan, dan secara implisit dimuati obsesi demi menanamkan
"aset politik" di masa depan.
Profesionalisme
menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari
menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai
karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi
lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan
kemampuan dirinya mengalami stagnasi.
Dewasa
ini banyak guru, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat
sibuk sehingga tidak jarang yang mengingat terhadap tujuan pendidikan yang
menjadi kewajiban dan tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang
atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan
tugas utama yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai
penyampai materi yang berupa fakta-fakta kering yang tidak bermakna karena guru
menang belajar lebih dulu semalam daripada siswanya. Terjadi ketidaksiapan
dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar ketika guru tidak memahami tujuan umum
pendidikan. Bahkan ada yang mempunyai kebiasaan mengajar yang kurang baik yaitu
tiga perempat jam pelajaran untuk basa-basi bukan apersepsi -red- dan
seperempat jam untuk mengajar. Suatu proporsi yang sangat tidak relevan dengan
keadaan dan kebutuhan siswa. Guru menganggap siswa hanya sebagai pendengar
setia yang tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan
kemampuannya.
Banyak
kegiatan belajar mengajar yang tidak sesuai dengan tujuan umum pendidikan yang
menyangkut kebutuhan siswa dalam belajar, keperluan masyarakat terhadap sekolah
dan mata pelajaran yang dipelajari. Guru memasuki kelas tidak mengetahui tujuan
yang pasti, yang penting demi menggugurkan kewajiban. Idealisme menjadi luntur
ketika yang dihadapi ternyata masih anak-anak dan kalah dalam pengalaman.
Banyak guru enggan meningkatkan kualitas pribadinya dengan kebiasaan membaca
untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang secara rutin pergi ke perpustakaan
untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebiasaan membeli buku menjadi
suatu kebiasaan yang mustahil dilakukan karena guru sudah merasa puas mengajar
dengan menggunakan LKS ( Lembar Kegiatan Siswa ) yang berupa soal serta sedikit
ringkasan materi.
Dapat
dilihat daftar pengunjung di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan umum,
jarang sekali guru memberi contoh untuk mengunjungi perpustakaan secara rutin.
Lebih banyak pengunjung yang berseragam sekolah daripada berseragam PSH. Kita
masih harus "Khusnudhon" bahwa dirumah mereka berlangganan koran
harian yang siap disantap setiap pagi. Tetapi ada juga kekhawatiran bahwa yang
lebih banyak dibaca adalah berita-berita kriminal yang menempati peringkat
pertama pemberitaan di koran maupun televisi. Sedangkan berita-berita mengenai
pendidikan, penemuan-penemuan baru tidak menarik untuk dibaca dan tidak menarik
perhatian. Kebiasaan membaca saja sulit dilakukan apalagi kebiasaan menulis
menjadi lebih mustahil dilakukan. Ini adalah realita dilapangan yang patut
disesalkan.
Sarana
dan prasarana penunjang pelajaran yang kurang memadai, terutama di daerah
terpencil. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa dengan sarana yang
minimpun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin agar mendaptkan hasil yang
bagus. Terkadang kita juga harus memakai prisip ekonomi yang ternyata dapat
membawa kemajuan. Yang sering dijumpai adalah sudah ada sarana tetapi tidak
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Peta
dunia hanya dipajang di depan kelas, globe atau bola dunia dibiarkan berkarat
tidak pernah tersentuh, buku-buku pelajaran diperpustakaan dimakan rayap
alat-alat praktek di laboratorium hanya tersimpan rapi alamari tidak pernah
dipergunakan. Media pengajaran yang sudah ada jangan dibiarkan rusak atau
berkarat gara-gara disimpan. Lebih baik rusak karena digunakan untuk praktek
siswa. Guru dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam pemakaian sarana dan
media yang ada demi peningkatan mutu pendidikan. Sekolah juga tidak harus
bergantung pada bantuan dari pemerintah mengingat kebutuhan masing-masing
sekolah tidaklah sama.
Tingkat
kesejahteraan guru yang kurang mengakibatkan banyak guru yang malas untuk
berprestasi karena disibukkan mencari tambahan kebutuhan hidup yang semakin
berat. Anggaran pendidikan minimal 20 % harus dilaksanakan dan diperjuangkan
unutk ditambah karena pendidikan menyangkut kelangsungan hidup suatu bangsa.
Apabila tingkat kesejahteraan diperhatikan, konsentrasi guru dalam mengajar
akan lebih banyak tercurah untuk siswa.
Penataran
dan pelatihan mutlak diperlukan demi meningkatkan pengetahuan, wawasan dan
kompetensi guru. Kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi
hasilnya juga akan seimbang jika dilaksanakan secara baik. Jika kegiatan
penataran, pelatihan dan pembekalan tidak dilakuakan, guru tidak akan mampu
mengembangkan diri, tidak kreatif dan cenderung apa adanya. Kecenderungan ini
ditambah dengan tidak adanya rangsangan dari pemerintah atau pejabat terkait terhadap
profesi guru. Rangsangan itu dapat berupa penghargaan terhadap guru-guru yang
berprestasi atau guru yang inovatif dalam proses belajar mengajar.
Guru
harus diberi keleluasaan dalam menetapkan dengan tepat apa yang digagas,
dipikirkan, dipertimbangkan, direncanakan dan dilaksanakan dalam pengajaran
sehari-hari, karena di tangan gurulah keberhasilan belajar siswa ditentukan,
tidak oleh Bupati, Gubernur, Walikota, Pengawas, Kepala Sekolah bahkan Presiden
sekalipun.
Mutlak
dilakukan ketika awal menjadi guru adalah memahami tujuan umum pendidikan,
mamahami karakter siswa dengan berbagai perbedaan yang melatar belakanginya.
Sangatlah penting untuk memahami bahwa siswa balajar dalam berbagai cara yang
berbeda, beberapa siswa merespon pelajaran dalam bentuk logis, beberapa lagi
belajar dengan melalui pemecahan masalah (problem solving), beberapa senang
belajar sendiri daripada berkelompok.
Cara
belajar siswa yang berbeda-beda, memerlukan cara pendekatan pembelajaran yang
berbeda. Guru harus mempergunakan berbagai pendekatan agar anak tidak cepat
bosan. Kemampuan guru untuk melakukan berbagai pendekatan dalam belajar perlu
diasah dan ditingkatkan. Jangan cepat merasa puas setelah mengajar, tetapi
lihat hasil yang didapat setelah mengajar. Sudahkah sesuai dengan tujuan umum
pendidikan. Perlu juga dipelajari penjabaran dari kurikulum ang dipergunakan
agar yang diajarkan ketika di kelas tidak melencenga dari GBBP/kurikulum yang
sudah ditentukan.
Guru
juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang psikologi pendidikan dalam
menghadapai siswa yang berneka ragam. Karena tugas guru tidak hanya sebagai
pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang akan membentuk jiwa dan
kepribadian siswa. Maju dan mundur sebuah bangsa tergantung pada keberhasilan
guru dalam mendidik siswanya.
Pemerintah
juga harus senantiasa memperhatikan tingkat kesejahteraan guru, karena mutlak
diperlukan kondisi yang sejahtera agar dapat bekerja secara baik dan
meningkatkan profesionalisme.
Makin
kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di
Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Seperti Amerika Serikat, isu
tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan tyahun 1980-an.
Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1933
menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional.
Menurut
Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki
lima hal, yakni:
a.
Guru mempunyai komitmen
pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru
adalah kepada kepentingan siswanya.
b.
Guru menguasai secara
mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada
siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
c.
Guru bertanggung jawab
memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara
pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
d.
Guru mampu berpikir
sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya.
Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi
terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia
harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada
proses belajar siswa.
e.
Guru seyogianya
merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya
PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).
Dalam
konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat diwujudkan dalam
penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:
1.
Menguasai bahan,
meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan
pengayaan/penunjang bidang studi.
2.
Mengelola program
belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan
menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program
belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
3.
Mengelola kelas,
meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim
belajar-mengajar yang serasi.
4.
Penggunaan media atau
sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat
bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses
belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan
lapangan.
5.
Menguasai
landasan-landasan pendidikan.
6.
Mengelola interaksi-interaksi
belajar-mengajar.
7.
Menilai prestasi siswa
untuk kepentingan pelajaran.
8.
Mengenal fungsi layanan
bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi dan layanan
program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan
konseling.
9.
Mengenal dan
menyelenggarakan administrasi sekolah.
10. Memahami
prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan
pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5).
3.
Supervisi Pengajaran
Nealey
and Evans in their book of “ Hand book for supervision of instruction” …….. the
term “ supervision “is used to describe those activities which are primarily
and directly concerned with studying and improving the conditions which
surround the learning and growth of the pupil and teacher.
Secara umum tujuan supervisi pengajaran
adalah:
(1)
meningkatkan
efektivitas dan efisiensi belajar-mengajar,
(2)
mengendalikan
penyelenggaraan bidang teknis edukatif di sekolah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan,
(3)
menjamin agar kegiatan
sekolalah berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga segala
sesuatunya berjalan lancar dan diperoleh hasil yang optimal,
(4)
menilai keberhasilan
sekolah dalam pelaksanaan tugasnya, dan
(5)
memberikan bimbingan
langsung untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kekilafan serta membantu
memecahkan masalah yang dihadapi sekolah sehingga dapat dicegah kesalahan
dan
penyimpangan yang lebih jauh (Suprihatin, 1989:305).
Tujuan
supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas
mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar
siswa. Bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tetapi juga mengembangkan
potensi kualitas guru (Sahertian, 2000:19).
Permasalahan
yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar
adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif
menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan
situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek
yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan
berdasarkan data, fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).
Supandi
(1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi
dalam proses pendidikan.
a.
Perkembangan kurikulum
merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering menimbulkan
perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut
memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal
ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan
kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat
terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan
mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang
diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum,
masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih
harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan
demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di
tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam memenuhi
tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.
b.
Pengembangan personel,
pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu
organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan
informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan
melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan
pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan
secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan
seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya.
Kegiatan
supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh
kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal
tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti
dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan
utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung
serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang
berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena
kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses
pembelajaran.
Secara
umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran,
yakni:
a.
Supervsi yang dilakukan
oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru SD.
Secara
rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada
guru-guru SD dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran
yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung
ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk
Rencana Pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang
dilakukan guru.
Saat
kegiatan supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan leembar observasi
yang sudah dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri
atas APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk
menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.
b.
Supervisi yang
dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk
meningkatkan kinerja.
Menurut
Suryaman ; “Kepemimpinan yang kuat adalah kemempuan yang memiliki vision (visi)
yang jelas, dalam arti sebenarnya maupun dalam arti arti singkatan”.
Kegiatan
supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus
Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya
terdiri atas 5-8 Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika
melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di
antaranya administrasi sekolah, meliputi:
1)
Bidang Akademik,
mencakup kegiatan:
(1)
menyusun program
tahunan dan semester,
(2)
mengatur jadwal
pelajaran,
(3)
mengatur pelaksanaan
penyusunan model satuan pembelajaran,
(4)
menentukan norma
kenaikan kelas,
(5)
menentukan norma
penilaian,
(6)
mengatur pelaksanaan
evaluasi belajar,
(7)
meningkatkan perbaikan
mengajar,
(8)
mengatur kegiatan kelas
apabila guru tidak hadir, dan
(9)
mengatur disiplin dan
tata tertib kelas.
2)
Bidang Kesiswaan,
mencakup kegiatan:
(1)
mengatur pelaksanaan
penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan siswa baru,
(2)
mengelola layanan
bimbingan dan konseling,
(3)
mencatat kehadiran dan
ketidakhadiran siswa, dan
(4)
mengatur dan mengelola
kegiatan ekstrakurikuler.
3)
Bidang Personalia,
mencakup kegiatan:
(1)
mengatur pembagian
tugas guru,
(2)
mengajukan kenaikan
pangkat, gaji, dan mutasi guru,
(3)
mengatur program
kesejahteraan guru,
(4)
mencatat kehadiran dan
ketidakhadiran guru, dan
(5)
mencatat masalah atau
keluhan-keluhan guru.
4)
Bidang Keuangan,
mencakup kegiatan:
(1)
menyiapkan rencana
anggaran dan belanja sekolah,
(2)
mencari sumber dana
untuk kegiatan sekolah,
(3)
mengalokasikan dana
untuk kegiatan sekolah, dan
(4)
mempertanggungjawab-kan
keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5)
Bidang Sarana dan
Prasarana, mencakup kegiatan:
(1)
penyediaan dan seleksi
buku pegangan guru,
(2)
layanan perpustakaan
dan laboratorium,
(3)
penggunaan alat peraga,
(4)
kebersihan dan keindahan
lingkungan sekolah,
(5)
keindahan dan
kebersihan kelas, dan
(6)
perbaikan kelengkapan
kelas.
6)
Bidang Hubungan
Masyarakat, mencakup kegiatan:
(1)
kerjasama sekolah
dengan orangtua siswa,
(2)
kerjasama sekolah
dengan Komite Sekolah,
(3)
kerjasama sekolah
dengan lembaga-lembaga terkait, dan
(4)
kerjasama sekolah
dengan masyarakat sekitar (Depdiknas 1997).
Sedangkan
ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan
administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya:
a.
Penggunaan program semester
b.
Penggunaan rencana
pembelajaran
c.
Penyusunan rencana
harian
d.
Program dan pelaksanaan
evaluasi
e.
Kumpulan soal
f.
Buku pekerjaan siswa
g.
Buku daftar nilai
h.
Buku analisis hasil
evaluasi
i.
Buku program perbaikan
dan pengayaan
j.
Buku program Bimbingan
dan Konseling
k.
Buku pelaksanaan
kegiatan ekstrakurikuler
D.
KESIMPULAN
Kebijakan
pendidikan harus ditopang oleh pelaku pendidikan yang berada di front terdepan
yakni guru melalui interaksinya dalam pendidikan. Upaya meningkatkan mutu
pendidikan perlu dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada rencana
strategis. Keterlibatan seluruh komponen pendidikan (guru, Kepala Sekolah,
masyarakat, Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, dan isntitusi) dalam perencanaan
dan realisasi program pendidikan yang diluncurkan sangat dibutuhkan dalam
rangka mengefektifkan pencapaian tujuan.
Implementasi
kemampuan professional guru mutlak diperlukan sejalan diberlakukannya otonomi
daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan professional guru akan terwujud
apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam mengelola
interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan memiliki kontribusi terhadap
upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran makro.
Salah
satu upaya peningkatan profesional guru adalah melalui supervisi pengajaran.
Pelaksanaan supervisi pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh kepala
sekolah dan pengawas sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru
agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Dalam
pelaksanaannya, baik kepala sekolah dan pengawas menggunakan lembar pengamatan
yang berisi aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kinerja guru
dan kinerja sekolah. Untuk mensupervisi guru digunakan lembar observasi yang
berupa alat penilaian kemampuan guru (APKG), sedangkan untuk mensupervisi
kinerja sekolah dilakukan dengan mencermati bidang akademik, kesiswaan,
personalia, keuangan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat.
Implementasi
kemampuan professional guru mensyaratkan guru agar mampu meningkatkan peran
yang dimiliki, baik sebagai informator, organisator, motivator, director,
inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator sehingga
diharapkan mampu mengembangkan kompetensinya.
Mewujudkan
kondisi ideal di mana kemampuan professional guru dapat diimplementasikan
sejalan diberlakukannya otonomi daerah, bukan merupakan hal yang mudah. Hal
tersebut lantaran aktualisasi kemampuan guru tergantung pada berbagai komponen
system pendidikan yang saling berkolaborasi. Oleh karena itu, keterkaitan berbagai
komponen pendidikan sangat menentukan implementasi kemampuan guru agar mampu
mengelola pembelajaran yang efektif, selaras dengan paradigma pembelajaran yang
direkomendasiklan Unesco, "belajar mengetahui (learning to know), belajar
bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together),
dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be)".
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Depdiknas. 2001. Data
Standardisasi Kompetensi Guru. http://www.depdiknas.go.id.html).
Berliner, David. 2000. Educational
Reform in an Era of Disinformation. http://www.olam.asu.edu/epaa/v1n2.html).
Depdiknas. 1997. Petunjuk Pengelolaan
Adminstrasi Sekolah Dasar.Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta: Depdiknas.
Fullan & Stiegerbauer.1991. The New
Meaning of Educational Change. Boston: Houghton Mifflin Company.
Sapari, Achmad. 2002. Pemahaman Guru
Terhadap Inovasi Pendidikan. Artikel. Jakarta: Kompas (16 Agustus 2002).
Sahertian, Piet A. 2000. Konsep-Konsep
dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sucipto. 2003. Profesionalisasi Guru
Secara Internal, Akuntabiliras Profesi. Makalah Seminar Nasional. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
Supandi. 1996. Administrasi dan
Supervisi Pendidikan. Jakarta: Departemen Agama Universitas Terbuka.
Supriadi, Dedi. 1999. Mengangkat Citra
dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Supriadi, Dedi. 2002. Laporan Akhir
Tahun Bidang Pendidikan & Kebudayaan. Artikel. Jakarta : Kompas.
Suprihatin, MD. 1989. Administrasi
Pendidikan (Fungsi dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah sebagai Administrator dan
Supervisor Sekolah. Semarang: IKIP Semarang Press.
Surya, Mohamad. 2002. Peran Organisasi
Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Seminar Lokakarya Internasional.
Semarang : IKIP PGRI.
Suryasubrata.1997. Proses Belajar
Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Wardani, IGK. 1996. Alat Penilaian
Kemampuan Guru (APKG). Jakarta: Dirjen Dikti.
Townsend, Diana & Butterworth. 1992.
Your Child's Scholl. New York: A Plime Book.
Usman, Moh Uzer. 2000. Menjadi Guru
Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suryaman, 2010. Pengantar Manajemen
Nealey and Evans in their book of “ Hand
book for supervision of instruction”
0 Response to "MAKALAH PEMBINAAN PROFESIONAL MELALUI SUPERVISI PENGAJARAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU"
Posting Komentar