BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7
Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai berkenalanan dengan “tradisi” Islam,
meskipun frekuensinya tidak terlalu besar. Pengenalan ini berlangsung sejalan
dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa tempat di Asia Tenggara.
Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim di Asia Tenggara adalah dua buah makam
yang bertarikh sekitar abad ke-5 Hijriah/ke-11 Masehi di Pandurangga (kini
Panrang, Viet Nam) dan di Leran (Gresik, Indonesia).
Kehadiran Islam secara lebih nyata di
Indonesia terjadi pada sekitar abad ke-13 Masehi, yaitu dengan adanya makam
dari Sultan Malik as-Saleh yang mangkat pada bulan Ramadhan 696 Hijriah/1297
Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13 Masehi di Nusantara sudah ada
institusi kerajaan yang bercorak Islam.
Para saudagar Muslim sudah melakukan
aktivitas dagangnya sejak abad ke-7 Masehi. Beberapa kerajaan Hindu dan Buddha
di Nusantara sudah melakukan hubungan dagang dan diplomatik dengan
kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Bukti-bukti arkeologis yang mendukung
ke arah itu ditemukan di Laut Jawa dekat Cirebon. Di antara komoditi
perdagangan yang asalnya dari Timur Tengah ditemukan indikator “keIslaman” yang
berupa sebuah cetakan tangkup (mould) yang bertulisan asma‘ul husnah.
Sejak awal perkembangannya, Islam di
Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang
banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan
agama-agama lain.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara
Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local
genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif
terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru
yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh
budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain:
mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke
dalam budaya asliu; dan memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah
pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap
aktivitas masyarakat Indonesia,
ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai
agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain
budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran
Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna
Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya
lokal dan
Islam.
B. Rumusan Masalah
·
Bagaimana perbedaan konsep agama dan budaya?
·
Bagaimana implikasi masuknya
Islam terhadap budaya di Indonesia?
·
Bagaimana proses asimilasi
Islam dengan masyarakat Indonesia?
·
Bagaimana proses terjadinya
akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara?
C. Tujuan Penulisan.
·
Mengetahui perbedaan konsep agama dan budaya
·
Mengetahui implikasi masuknya
Islam terhadap perubahan budaya di Indonesia
·
Mengetahui proses asimilasi
Islam dengan masyarakat Indonesia
·
Mengetahui proses terjadinya
akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara.
BAB II
KONSEPSI TEORI
A. Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta
dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika
dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam
pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena
itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas
dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas
tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan
oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang
perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam
kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin),
yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio
termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya
dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara
horizontal.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai
terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 :
19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din,
sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia
dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus
syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui
syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini
membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan
doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti
yang dikutip oleh Muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang
agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup
berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab
ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi
keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan
keselamatan disini dan diseberang sana.
B. Agama dan Budaya
Budaya menurut Koentjaraningrat adalah
keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan
yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani,
bertukang, berrelasi dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan
tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam
fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, etos kerja dan
pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya
manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada
pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada
bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan.
Lebih tegas dikatakan
Geertz, bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia
yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok
individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi
juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk
seni suara, ukiran, bangunan.
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang
digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang
diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh
konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi
yang objektif.
Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya
budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama.
Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak
dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara
pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang
tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak.
Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India,
Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga
mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang
sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan
penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa
agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti
mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk
etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada
pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia
sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi
dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru
berdasarkan inspirasi agama.
C. Agama dan budaya Indonesia
Jika kita teliti budaya Indonesia, maka
tidak dapat tidak budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili
oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok
agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya
tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Disamping pengembangan budaya immaterial
tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti
candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu
dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang
budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah
Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda
dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu
menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang
mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten
bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam dan Hindu. Masjid Rao-rao
di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan
hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah
Minangkabau.
Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia
adalah aset bangsa, sebab agama-agama itu telah memberikan sesuatu bagi kita
sebagai warisan yang perlu dipelihara. Kalau pada waktu zaman lampau
agama-agama bekerja sendiri-sendiri maka dalam zaman milenium ke 3 ini agama-agama
perlu bersama-sama memelihara dan mengembangkan aset bangsa tersebut. Tetapi
yang sering terjadi adalah sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai aset
itu bagii pengembangan
budaya Indonesia.
Agaknya setiap kelompok agama di Indonesia
sudah waktunya bersama-sama membicarakan masalah-masalah bangsa dan
penanggulangannya.
D. Proses masuknya Islam Ke Indonesia
Berbicara tentang Islamisasi di Nusantara,
pertanyaan kita adalah bilamana Islam masuk ke Nusantara dan siapa yang
membawa atau menyebarkannya. Pertanyaan kemudian, Islam seperti apa yang masuk
dan bagaimana bentuknya yang sekarang? Pertanyaan pertama dan kedua dapat
dijawab secara teoritis melalui bukti-bukti arkeologi mutakhir yang sampai
kepada kita, sedangkan pertanyaan berikutnya dapat dijawab melalui kacamata
budaya yang masih dapat disaksikan di beberapa tempat di Nusantara.
Hingga saat ini tidak ada satupun bukti
tertulis yang secara tersurat menyatakan bahwa Islam masuk di Nusantara pada
tahun atau abad sekian dan yang membawa masuk adalah si Nasruddin (misalnya).
Kajian mengenai dugaan masuknya Islam di Nusantara hingga saat ini baru
didasarkan atas bukti tertulis dari nisan kubur serta beberapa naskah yang
menuliskan para pedagang Islam. yang ditemukan di beberapa tempat di Nusantara,
seperti di Aceh, Barus (pantai barat Sumatra Utara) dan Gresik (Jawa Timur).
Islamisasi di Nusantara erat kaitannya
dengan sejarah Islam yang hingga kini penulisannya belum “lengkap” dan sifatnya
masih parsial. Keadaan seperti ini jauh-jauh hari sudah disinyalir oleh
Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa sikap ulama Indonesia kurang atau
bahkan tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah. Di samping sikap
ulama Indonesia
tersebut, masih ada kendala lain untuk menuliskan sejarah. Kendala itu antara
lain kurangnya data atau sumber-sumber tertulis, serta luasnya geografis Indonesia
sehingga untuk mengintegrasikan data dari berbagai daerah juga sulit.
Mengenai dari mana Islam masuk
Nusantara, ada beberapa pendapat dengan argumennya masing-masing. Ada yang
berteori bahwa Islam datang dari Arab, Persia, India, bahkan ada yang
menyatakan dari Tiongkok. Meskipun pendapat mengenai asalnya Islam
berbeda-beda, namun ada kesamaan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui
“perantaraan” kaum saudagar. Mereka berniaga sambil menyebarkan syi‘ar Islam.
Hal ini sesuai dengan Hadist: “Sampaikanlah dari saya ini walau hanya satu ayat”.
Kemudian sesampainya di Nusantara, barulah disebarkan oleh ulama-ulama lokal
atau para wali seperti di Tanah Jawa ada Wali Songo.
E. Pertemuan Islam dan
Budaya Nusantara
Sejak awal perkembangannya, Islam di
Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang
banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan
agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua
hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam
sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli
sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai
realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local
tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”,
yang dipengaruhi Islam.
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin
original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang
melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini
tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi
pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga
disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate)
adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam
(great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di
dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta
tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara
Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local
genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif
terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru
yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh
budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain:
mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke
dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah
pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap
aktivitas masyarakat Indonesia,
ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam
sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain
budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan
kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan
mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi
budaya”, antara budaya local dan Islam.
Budaya-budaya local yang kemudian
berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000
hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga
dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang
merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India.
Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru
memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya
dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat
Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu
memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi
budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung
Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya
benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam
terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang
bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun
sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung
Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur
buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar
dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana
diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota.
Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan
prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan
perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota
tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat
perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan
kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah
Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat
beragama lain. Para penguasa muslim di Banten
misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama
lain. Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar
pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal
penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan
latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama
lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di
nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan
nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India
dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.
Aspek akulturasi budaya local dengan Islam
juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang
disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan)
tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali
wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian
dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia
yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan
pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran
bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti
kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi
dan peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local
nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain
di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera
Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses
akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah,
tepung tawar, dan Marpangir.
BAB III
STUDI KASUS
Keragaman budaya menjadi salah satu ciri
utama yang dimiliki masyarakat Indonesia. Dari zaman ketika kerajaan-kerajaan
masih hadir menghidupi ruang sejarah negeri ini hingga era modern seperti kini,
keragaman itu tetap ada, bahkan nampak semakin bertambah. Ketidaksamaan itu
kini tidak lagi memonopoli perkotaan besar yang biasanya menjadi tempat
bermuaranya berbagai macam budaya dan agama. Di setiap penjuru nusantara ini,
telah diisi dengan berbagai rupa-rupa yang berbeda begitulah Indonesia
perjalanan panjang sebagai sebuah bangsa yang majemuk, membekaskan sebuah
citraan pada diri tubuh multikultur ini. Indonesia merupakan salah satu tempat
bersinggungan berbagai macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau akulturasi
sering nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa kehidupan yang ada di dalamnya.
Sebut saja misalnya budaya Islam Jawa.
Gerak hidup Islam di Jawa memiliki keunikan
tersendiri disbanding dengan Islam lainnya di negeri ini, meskipun hal ini
tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki
karakteristik tertentu di antara yang lain. Bahkan Gertz seorang antropolog
terkenal dunia sampai melakukan studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk
membaca wajah Islam di Jawa. Dengan sampling masyarakat Islam Mojokuto, Gertz
berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya, santri,
abangan, dan priyayi. Meskipun banyak mendapat kritik, dalam beberapa hal saya
piker Gertz memang benar. Bukankah studi antropologi memang tidak pernah
menyatakan adanya objektifitas dalam hasil yang diperoleh. Yang kemungkinan
bisa muncul adalah intersubjektifitas dari sebuah fenomena. Begitulah kiranya
Gertz yang mampu membaca Islam Jawa dari sudut pandang yang tak tentu sama
dengan kita, dan lagi-lagi itu membawa kebenarannya sendiri.
Keunikan Islam Jawa menurut tesis Gertz
menurut saya terletak pada gerak spritualitas yang dilakukan oleh Golongan
Abangan. Di akar budaya yang dimiliki oleh golongan ini, kekerasan budaya tidaklah
nampak begitu menonjol. Bahkan dalam pertemuan antara Islam dan budaya Jawa
dalam diri mereka terlihat begitu mesra. Baik unsure Islam maupun Jawa,
terlihat ada saling mengerti. Gerusan-gerusan yang mungkin dapat dikatakan
sebagai sinkretisme budaya ini berjalan pelan dan akhirnya menjadi sinergi.
Contoh menarik adalah peringatan tahun baru 1429 hijriah beberapa waktu lalu di
daerah Sragen, Jawa Tengah. Acara menarik itu dilakukan di komplek makam
Pangeran Samudera. Seorang tokoh keramat bagi masyarakat setempat. Sejarah
pasti budaya memohon berkah di tempat ini masih nampak kabur. Yang jelas budaya
ini ada sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nuansa kedua unsure
ini begitu kental, bercampur memunculkan satu tradisi baru yang tidak meninggalkan
akar rumput yang dimilikinya.
Acara itu sendiri merupakan ritual
pergantian selambu yang menyelubungi makam Pangeran Samudera. Kegiatan rutin
yang dilakukan setiap pergantian tahun baru Jawa maupun Islam yang memang
diperingati berbarengan Pergantian selambu makam ini menjadi menarik karena
serangkaian ceremonial yang ada di dalamnya. Setelah selambu menyelubungi makam
selama setahun dibuka, acara dilanjutkan ke Waduk Kedung Ombo. Di waduk yang
juga dianggap keramat ini, selambu tadi dicelupkan, satu lambing penyucian diri
seperti halnya tubuh manusia yang perlu dibersihkan. Ketika selambu telah
selesai dibasahi dengan air Waduk ini, kain inipun segera dibawa kembali ke
komplek makam. Biasanya para warga yang mengharapkan berkah, segera berebut tetesan
air selambu yang baru saja direndam tadi. Tetesan air itu biasanya digunakan
untuk mengusap wajah atau bagian tubuh lainnya.
Ketika sampai kembali ke komplek makam,
acara berikut dilanjutkan dengan ritual pembilasan. Air yang digunakan untuk
membilas selambu ini, adalah air yang berasal dari tujuh mata air disekitar
komplek makam Pangeran Samudera. Tujuh air ini ditempatkan di tujuh tong yang
berbeda. Dan secara bergantian ketujuh tong tadi menjadi tempat pembilasan
selambu. Acara diakhiri dengan do’a yang bernafaskan Islam, disinilah bentuk
akulturasi itu muncul. Ritual semacam ini yang sebelum kedatangan Islam diisi
dengan do’a-do’a Hindu atau Budha, setelah Islam dating diganti dengan
do’a-do’a yang bersumber dari kitab suci Islam.
BAB IV
ANALISIS DAN KESIMPULAN
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia
membawa perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi
dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul mesjid, surau, dan
makam. System kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta
bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Para seniman ukir kemudian menekuni
pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta
melahirkan ragam hias stiliran. Kota-kota mempunyai komponen dan tata ruang
baru, bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Caka dan
Hijriah. Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan,
sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya.
Masjid dan cunggup makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti mesjid Agung
Demak, yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana
tampak pada beberapa relief candi. Demikian pula menara mesjid tempat muazin
menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di Kudus. Bentuk dasarnya
tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa Timur yang langsing dan tinggi, tetapi
detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa bangunan terbuka, relung-relungnya
dangkal karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti dengan tempelan
piring porselin.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di
Indnesia kala itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam
berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam
Fatimah bin Maimun dan Makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda
yang diimpr dalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada
prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam
berikutnya dibuat di Indonesia
oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang
digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di pemakaman raja-raja
Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang yang
dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di
jawa, juga dapat dilihat adanya perubahan dan kesinambungan. Di civic centre
kota-kota tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata
menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain, serta
pemukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis
pekerjaan, asal, dan status social.
Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan
memang lazim mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak
kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu
terjadi karena ada kontak dengan kebudayaan lain, atau dengan kata lain karena
ada kekuatan dari luar. Hubungan antara para pendukung dua kebudayaan yang
berbeda dalam waktu yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang
mencerminkan adanya pihak pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi
percampuran unsure-unsur kedua kebudayaan yang bertemu tersebut. Mula-mula
unsure-unsurnya masih dapat dikenali dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan
muncul sifat-sifat baru yang tidak ada dalam kebudayaan induknya. Rupanya
proses seperti diuraikan di atas berulang kali terjadi di Indonesia, termasuk ketika Islam masuk dan
berkembang di Indonesia.
Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha, Prasejarah, dan Islam
(kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan
bertahap. Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta
konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi.
Factor pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta kelenturan
kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan Islam dan pra-Islam.
Salah satu contohnya adalah bangunan mesjid. Akulturasi juga memicu kreativitas
seniman, sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang sebelumnya belum pernah
ada, juga way of life baru.
Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi
dan perubahan sehingga terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu
dipikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini dan masa mendatang. Dalam
hal budaya materi memang harus dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai
dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa
meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam
memperkaya kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan. Namun,
tetap dengan cirri-ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya
mata rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata
rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan
yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu
dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam
keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat
Indonesia sendiri.
Hubungan perdagangan antara
kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan Persia (Iran) diduga sudah berlangsung
sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah. Dari hubungan perdagangan ini,
kemudian berdampak pada pemikiran keagamaan terutama sufisme atau tasawwuf
dengan tarekat-tarekatnya. Selain itu berdampak juga pada unsur-unsur kebudayaan.
Beberapa tradisi Syi‘ah dan tarekatnya masih tetap dipelihara oleh kelompok
masyarakat tertentu di Indonesia. Dalam susastra dan bahasa beberapa karya
sastra yang berbau Sufi dan kosa kata Persia diadopsi pada karya sastra Melayu
dan kosa kata dalam bahasa Indonesia.
Mungkin masih banyak lagi unsur kebudayaan
lainnya yang belum terekam dalam kehidupan bangsa Indonesia yang mendapat
pengaruh Persia. Semua ini memerlukan penelitian dari berbagai disiplin
ilmu-ilmu humaniora dan sosial, seperti arkeologi dan sejarah, antropologi,
sosiologi, agama, linguistik, dan kesusasteraan.
Ada satu hal yang patut kita syukuri dalam
kehidupan beragama di Tanah Air Indonesia. Di Tanah Air umat Islam dari
berbagai aliran dapat hidup rukun. Keadaan seperti ini sudah “tercipta” sejak
masa awal kedatangan Islam di Nusantara. Para
penyiar agama melakukan penyampaian dengan cara persuasif dan menyesuaikan
dengan budaya setempat, misalnya Wali Sanga menyampaikan syiar Islam dengan
cara menggunakan sarana wayang. Tidak ada sedikitpun unsur pemaksaan. Sementara
itu di belahan dunia lain, kita lihat bagaimana Libanon, Irak, dan Afghanistan
sampai hancur-hancuran sebagai akibat pertikaian sesama umat Islam yang mungkin
disebabkan karena adu domba pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA
Andito, 1998, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas
Konflik, Pustaka Hidayah: Bandung
Azyumardi Azra, 1999, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman
Islam, Paramadina: Jakarta
Badri Yatim, 2006, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada:
Jakarta
Geertz, Clifford, 1992, Kebudayaan dan Agama, Kanisius: Yogyakarta
Hamka, 1975, Sejarah Umat Islam IV, Bulan Bintang: Jakarta
Hasan Muarif Ambary, 1998, Menemukan Peradaban Islam: Arkeologi dan
Islam di Indonesia: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Jakarta
Koentjaraningrat, 1980, Pokok-Pokok Antropologi Sosial, Penerbitan
Universitas: Jakarta
Mulyono Sumardi, 1982, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran,
Pustaka Sinar Harapan: Jakarta
Poerbatjaraka, R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I, Yayasan
Pembangunan: Jakarta
Soerjanto Poespowardoyo, 1986, Pengertian Local Genius dan
Relevansinya Dalam Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa (local genius)”,
Pustaka Jaya: Jakarta
Daftar Kata Sukar
Arkeologi : (n)1. ilmu tt kehidupan dan kebudayaan zaman
kuno berdasarkan benda peninggalannya, spt patung dan perkakas rumah tangga; ilmu purbakala
Fenomenologis
: (n) 1. ilmu tt perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sbg ilmu yg
mendahului ilmu filsafat atau bagian dr filsafat
Interpretasi :
(n) 1. pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis thd sesuatu;
tafsiran;
meng·in·ter·pre·ta·si·kan v menafsirkan;
peng·in·ter·pre·ta·si·an n proses, cara, perbuatan meng-interpretasikan;
peng·in·ter·pre·ta·sian orang yg menginterpretasikan
meng·in·ter·pre·ta·si·kan v menafsirkan;
peng·in·ter·pre·ta·si·an n proses, cara, perbuatan meng-interpretasikan;
peng·in·ter·pre·ta·sian orang yg menginterpretasikan
Kausal : (adj) 1. bersifat menyebabkan suatu kejadian;
bersifat saling menyebabkan: hubungan -- , hubungan yg bersebab akibat
Kausalitas : (n) 1. perihal kausal; perihal sebab
akibat: kalau kita hendak berbuat sesuatu, harus kita perhatikan
hukum --
Konsepsi : (n) 1. 1 pengertian; pendapat (paham); 2
rancangan (cita-cita dsb) yg telah ada dl pikiran; 3 Bio
percampuran antara inti sel jantan dan inti sel betina; pembuahan benih
Mould : kb. 1 cetakan (for cookies). 2 jamur (on books).
-kkt. 1 membentuk (character). 2 mencetak, membentuk (dough). -molding kb. papan
hias tembok.
Multikultur : (n) 1. 1 berbagai jenis kultur (tanaman); tumbuhan
aneka tanaman; 2 Tan pola pertanaman yg dl suatu urutan musim pd tanah yg sama ditanami
beberapa jenis tanaman (msl pd musim kemarau ditanami palawija dan pd musim
hujan ditanami padi)
Parsial : (adj) 1. berhubungan atau merupakan bagian dr
keseluruhan
Praksis : (n)1. praktik (bidang kehidupan dan kegiatan
praktis manusia)
Prototype
: salah satu metode pengembangan perangat lunak yang banyak digunakan. Dengan
metode prototyping ini pengembang dan pelanggan dapat saling berinteraksi
selama proses pembuatan sistem. Sering terjadi seorang pelanggan hanya
mendefinisikan secara umum apa yang dikehendakinya tanpa menyebutkan secara
detal output apa saja yang dibutuhkan, pemrosesan dan data-data apa saja yang
dibutuhkan.
Ragam hias
stiliran : (penggambaran bentuk-bentuk binatang atau figurative bersifat
lambang atau kiasan makna yang dibentuk dari rangkaian ragam hias sulur-suluran
jenis tumbuh-tumbuhan yang menjalar dengan sulurnya pada batang pohon lain).
Ragam hias tersebut dipergunakan untuk menghias candid an artefak lain seperti
benda dari logam dan gerabah.
Zoomorphic : perpaduan
antara arsitektur dan biology”
0 Response to "CONTOH MAKALAH BUDAYA DENGAN JUDUL AGAMA DAN KEBUDAYAAN"
Posting Komentar