KUMPULAN SKRIPSI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERBARU



1.1       Latar Belakang
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disahkan pada bulan April 2008. Berbeda dengan undang-undang lain yang umumnya langsung efektif setelah disahkan, UU KIP baru akan efektif diberlakukan pada 1 mei 2010 atau dua tahun setelah diundangkan. Waktu dua tahun tersebut diberikan karena dalam diyakini Badan-Badan Publik perlu mempersiapkan diri menyongsong implementasi UU KIP. Diberlakukannya UU KIP ini akan memberi warna baru dalam pelayanan dan pengelolaa  informasi badan publik, dimana pada consideran UU KIP ini menyatakan bahwa Informasi merupakan kebutuhan pokok yang merupakan hak asasi setiap manusia serta sebgai pengoptimalan pengawasan publik terhadap penyelenggara negara.
Hal ini dapat kita lihat pada tujuan UUKIP sebagaimana tercantum pada pasal 3 UU KIP yaitu :
  1. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
  2. Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
  3. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
  4. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
  5. Mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
  6. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
  7. Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas di indonesia.
UU KIP menjamin serta membuka akses  informasi hingga partisipasi masyarakat diharapkan akan lebih membuka proses transparansi dan keterbukaan, yang pada gilirannya akan bermuara pada akuntabilitas semua badan publik Tenggang waktu dua tahun dari mulai disahkan pada tahun 2008 hingga efektif pada tahun 2010 merupakan waktu yang diberikan untuk Badan-Badan Publik dalam mempersiapkan organisasinya menyongsong implementasi UU KIP.
Tiap-tiap Badan Publik memiliki tugas pokok dan fungsi dan struktur organisasi yang berbeda. Maka dari itu UU KIP memberi keleluasaan bagi Badan Publik untuk menyusun mekanisme pelayanan dan pengelolaan informasi sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU KIP yakni :
  1. Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada dibawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
  2. Badan publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan.
  3. Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.
  4. Badan publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik.
  5. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, social, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
  6. Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.
Pada tataran ini adanya perubahan paradigma mengenai informasi, data dan layanan menjadi tantangan Kementerian Hukum dan HAM dalam menyongsong pelaksanaan implementasi UU KIP, karena luasnya cakupan tugas pokok dan fungsi kementerian, budaya organisasi pegawai negeri sipil serta tingginya ekspektasi masyarakat terhadap keterbukaan akses informasi hukum dan HAM. Meskipun secara normatif hak dan kewajiban pemohon informasi, pengguna informasi dan badan publik telah tergambar dalam UU KIP, ada beberapa aspek badan publik yang memerlukan perhatian yakni perlunya dibentuk sistem untuk memisahkan dan memilah informasi publik yang dapat diakses dan yang dikecualikan, pendokumentasian, katalogisasi semua informasi publik, mekanisme pelayanan informasi baik secara internal, interkoneksi antar lembaga/badan publik dan pihak eksternal, serta persiapan terkait infrastruktur, baik berupa teknologi informasi, sumber daya manusia dan sistem (Mandan, AM. 2008 p.14).
            Kementerian Hukum dan HAM terdiri dari sebelas unit utama eselon I, yakni Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Badan Pembinaan Hukum Nasional, dan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Selain sebelas Unit Utama Eselon I, Kementerian Hukum dan HAM juga memiliki 33 Kanwil yang berkedudukan di tiap propinsi serta Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyarakatan dan Imigrasi. Tugas pokok dan fungsi masing-masing unit utama eselon I Kementerian Hukum dan HAM sangat spesifik. Selain itu tiap-tiap unit utama memiliki otonomi sesuai spesifikasinya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana format pengolahan dan pelayanan informasi publik yang dapat memenuhi standar dalam UU KIP.
1.2       Perumusan Masalah
            Undang-undang yang baru ini diharapkan dapat mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan tak ada lagi yang ditutup-tutupi oleh pemerintah. Melalui UU KIP ini, seluruh warga negara dijamin haknya untuk mengetahui proses penyelenggaraan pemerintahan dan badan-badan publik. Di lain pihak, pemerintah dan badan publik wajib memberikan informasi secara terbuka kepada publik tentang seluruh kegiatan dan kebijakan yang dilakukan, sampai laporan keuangannya. Melalui implementasi UU KIP, seluruh penyelenggaraan pemerintahan dan badan publik dapat diawasi langsung oleh masyarakat, sehingga akan semakin sulit untuk melakukan penyalahgunaan anggaran.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah bagaimana kesiapan Kementerian Hukum dan HAM serta apa yang dipersiapkan menyongsong implementasi UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan apa dan bagaimana persiapan organisasi menyongsong implementasi UU KIP, bagaimana mekanisme (sistem prosedur) yang akan dijalankan, langkah-langkah antisipatif terhadap tantangan perubahan serta format seperti apa yang akan menjadi standar pengelolaan dan pelayanan informasi. 

1.3       Tujuan dan Signifikansi Penelitian
      Tujuan Penelitian
  1. Bagaimana kesiapan Kementerian Hukum dan HAM menyongsong implementasi UU KIP
  2. Bagaimana mekanisme standar prosedur pengelolaan dan pelayanan informasi selaras UU KIP yang dipersiapkan Kementerian Hukum dan HAM
  3. Bagaimana persiapan antisipatif implementasi UU KIP
  4. Bagaimana format pengolahan informasi Kementerian Hukum dan HAM yang terintegrasi (menyatukan seluruh unit utama eselon I) selaras dengan UU KIP

             Signifikansi Penelitian
a.       Perlu diketahui apa dan bagaimana langkah-langkah penyusunan kebijakan, implementasi serta pemantauan dan evaluasi persiapan organisasi karena keterbukaan informasi merupakan paradigma baru dalam organisasi badan publik.
b.      Melengkapi penelitian empiris tentang perubahan dan pengembangan organisasi terkait persiapan implementasi kebijakan yang saat ini belum banyak dilakukan.
c.       Menjadi acuan bagi para peneliti untuk melakukan studi yang lebih mendalam tentang perubahan dan pengembangan organisasi terhadap implementasi suatu kebijakan pada masa yang akan datang.

1.4       Batasan Penelitian
Pembahasan dibatasi pada penelitian kesiapan dan proses yang berjalan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM dalam rangka implementasi UU KIP. Penelitian difokuskan pada service unit Kementerian Hukum dan HAM yakni Sekretariat Jenderal.  Sekretariat Jenderal memiliki 6 unit penunjang yakni Biro Kepegawaian, Biro Umum, Biro Keuangan, Biro Perlengkapan, Biro Perencanaan dan Biro Hubungan Masyarakat dan Hubungan Luar Negeri.
Mengacu pada organisasi dan tata laksana Kementerian Hukum dan HAM, unit dalam lingkungan Sekretariat Jenderal yang memiliki tugas pokok dan fungsi terkait informasi  adalah Biro Humas dan HLN (Biro Hubungan Masyarakat dan Hubungan Luar Negeri mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan pelaksanaan hubungan kerja sama luar negeri serta pemberian informasi dan komunikasi kepada masyarakat mengenai kegiatan-kegiatan di lingkungan Departemen. Pasal 96  Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor: M.03-Pr.07.10 Tahun 2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum Dan Ham R.I). Mengingat suatu kesiapan tidak dapat dilepaskan dari perencanaan dan anggaran, diketahui bahwa dalam Sekretariat Jenderal unit yang memiliki tugas pokok dan fungsi terkait pembinaan, koordinasi penyusunan rencana dan anggaran adalah Biro Perencanaan (Biro Perencanaan mempuyai tugas melaksanakan pembinaan, koordinasi penyusunan rencana dan anggaran, pengorganisasian, ketatalaksanaan serta evaluasi dan penyusunan laporan Departemen berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. . Pasal 08  Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor: M.03-Pr.07.10 Tahun 2005 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum Dan Ham R.I). Maka penelitian ini dibatasi pada Biro Hubungan Masyarakat dan Hubungan Luar Negeri serta Biro Perencanaan untuk mengetahui kesiapan organisasi Kementerian Hukum dan HAM menyongsong implementasi UU KIP.
Pembahasan kesiapan organisasi dimaksud adalah dengan mengarahkan penelitian pada  sisi-sisi manajemen, organisasi, sumber daya manusia, dan sistem informasi. Dasar pertimbangan dari pembatasan ini adalah karena dari penelitian terhadap sisi-sisi tersebut akan dapat diketahui bagaimana persiapan yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM menyongsong  implementasi UU KIP.

1.5       Sistematika Penulisan Penelitian
Sistematika penulisan yang direncanakan oleh peneliti terbagi atas lima bab, dimana yang satu dengan yang lainnya merupakan suatu keterikatan dari bab pendahuluan hingga bab kesimpulan. Penyusunan sistematika ini meliputi :
BAB I                          : Pendahuluan;
BAB II             : Tinjauan Pustaka;                                                                              
BAB III           :  Metode Penelitian;
BAB IV           : Persiapan Sekretariat Jenderal Dalam Menyongsong Implementasi UU KIP; yang berisi pembahasan bagaimana kesiapan organisasi terhadap adanya paksaan untuk berubah. Bab ini berfungsi untuk mengolah hasil wawancara dengan pihak informan, sehingga diketahui bagaimana pandangan para pembuat kebijakan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM menyongsong implementasi UU KIP.
BAB V : Kesimpulan, yang berisi kesimpulan dari penelitian ini. Bab ini berfungsi untuk menyimpulkan penjelasan dan analisa pada bab-bab sebelumnya. Pada bab ini juga disertakan rekomendasi sebagai hasil penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



Salah satu tantangan dalam menyongsong implementasi UU KIP adalah budaya organisasi badan publik yang cenderung tidak terbuka terhadap informasi. Dalam Seminar “Implementing The Freedom of Information Law in Indonesia” Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Teten Masduki menilai implementasi UU KIP akan menghadapi banyak masalah karena mengubah budaya dan pola kerja badan publik (Kompas, 19 November 2008).
Dalam rangka persiapan implementasi UU KIP, Kementerian Hukum dan HAM sebagai salah satu badan publik akan menghadapi kebutuhan untuk menerapkan perubahan, baik strategi, struktur, proses, dan budaya. Dengan kata lain, Kementerian Hukum dan HAM perlu melakukan perubahan organisasi.
Ada tujuh aspek mengenai kesiapan organisasi menurut penelitian, yang meliputi : mengubah persepsi anggota organisasi terhadap perubahan, visi, saling percaya dan menghormati, inisiatif perubahan, dukungan manajemen, penerimaan, dan bagaimana organisasi mengelola proses perubahan. Pada intinya, kesiapan perubahan melibatkan transformasi perilaku kognitif individu anggota organisasi (Armenakis et al., 1993 p. 681). Anggota organisasi sejatinya adalah sumber daya, kendaraan perubahan, karena mereka adalah orang yang akan merangkul atau menolak perubahan (Smith, 2005 p. 406). Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui kesiapan anggota organisasi sebelum melakukan perubahan.
 Perubahan organisasi (organizational change) didefinisikan sebagai pengadopsian ide-ide atau perilaku baru oleh sebuah organisasi (Cummings dan Worley,2005 p.155). Perubahan organisasi menyangkut kegiatan-kegiatan yang disengaja untuk mengubah keadaan yang ada sebelumnya sebagai respon terhadap forces of change. Pada perkembangannya banyak organisasi yang mencoba melakukan perubahan dengan struktur horizontal, yang mendorong kerjasama kelompok dan komunikasi yang lebih cepat. Idenya bahwa dengan struktur yang lebih ramping akan mendorong fleksibilitas, kreatifitas dan inovasi dalam bereaksi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi.
            Cummings dan Worley (2005 p.156) menjelaskan bahwa meskipun ada keragaman dalam definisi perubahan organisasi, ada benang merah yang dapat ditarik dari keragaman itu. Secara tradisional, perubahan organisasi berfokus pada identifikasi sumber-sumber resistensi serta membuat cara-cara untuk mengatasinya. Selanjutnya, dalam perkembangan ilmu perubahan organisasi, resistensi tersebut diatasi dengan menciptakan visi untuk mewujudkan masa depan bersama, mencari dukungan secara politik, dan mengelola transisi dalam organisasi yang telah memutuskan untuk melakukan perubahan.
Aktivitas yang dilaksanakan dalam rangka perubahan organisasi tersebut oleh  Cummings dan Worley dikelompokkan dalam lima kegiatan yakni :
1) motivating change,
 2) creating a vision,
 3) developing political support,
4) managing the transition,
5) sustaining momentum.
Aktivitas pertama perubahan organisasi adalah memotivasi untuk mengubah termasuk persiapan untuk membuat perubahan di antara anggota organisasi dan membantu mereka untuk menghadapi perlawanan (resistensi). Aktivitas kedua adalah kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan visi dan sangat terkait dengan faktor kepemimpinan. Visi memberikan tujuan dan alasan suatu perubahan. Selanjutnya Aktivitas ketiga yakni  mendapatkan dukungan secara politis terhadap perubahan. Keempat adalah kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan transisi dari saat ini untuk masa depan yang dikehendaki. Kegiatan melibatkan perencanaan untuk mengubah kegiatan-kegiatan pengelolaan serta perencanaan manajemen yang khusus dirancang untuk operasional organisasi selama masa transisi. Kegiatan kelima merupakan kegiatan untuk mempertahankan momentum perubahan. Hal ini dimaksudkan agar langkah-langkah perubahan tetap berada dalam jalurnya, dan bisa diselesaikan sesuai rencana.
            Untuk lebih jelasnya, digambarkan dalam skema seperti dibawah ini :

















Sumber : Activities Contributing to Effective Change Management ( Cummings dan Worley, 2005 p. 156)

               Menyandingkan kedua landasan seperti disebut diatas, dapat diketahui indikator kesiapan dalam persiapan organisasi terhadap perubahan. Seperti dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.2
Change Readiness Menurut Armenakis et al serta Cummings dan Worley

Armenakis et al
Cummings dan Worley
persepsi anggota organisasi terhadap perubahan,
motivating change
visi
creating a vision
saling percaya dan menghormati
developing political support
inisiatif perubahan
dukungan manajemen
penerimaan
bagaimana organisasi mengelola proses perubahan
managing the transition, sustaining momentum.
Sumber : diolah dari Creating Readiness for organizational change, (Armenakis et al, 1993 p. 681) dan Organizations Development and Change (Cummings dan Worley, 2005 p.155).

Perlu diingat bahwa pengembangan organisasi berorientasi meningkatkan efektivitas organisasi. Peningkatan efektivitas  melibatkan dua asumsi besar. Pertama, organisasi yang efektif dapat memecahkan sendiri masalahnya dan memfokuskan perhatian pada sumber daya dalam upaya mencapai tujuan kunci. Kedua, organisasi yang efektif berkinerja tinggi, termasuk dalam hal finansial, kualitas produk dan layanan, produktivitas tinggi, dan perbaikan berkelanjutan, serta perbaikan kualitas kehidupan kerja (Cummings dan Worley, 2005 p.03). 

2.1       Persepsi dan Motivasi Terhadap Perubahan (Motivating Change)
Persepsi anggota organisasi terhadap upaya perubahan yang terjadi dalam perusahaan tersebut merupakan salah satu aspek yang penting kesiapan perubahan organisasi. Selain itu, persepsi dari anggota terkait kesiapan mengubah organisasi telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor penting dalam pemahaman sumber perlawanan terhadap perubahan organisasi (Eby, et al., 2000 p. 419).

            Menurut Schiffman dan Kanuk (2000 p.146):
Perception is process by which an individuals selects, organizers, and interprets stimuli into the a meaningfull and coherent picture of the world”.

Mengacu pada definisi Schiffman dan Kanuk, persepsi merupakan suatu proses yang membuat seseorang untuk memilih, mengorganisasikan dan menginterprestasikan stimulus yang diterima menjadi suatu gambaran yang berarti dan lengkap tentang dunianya. Sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa dalam keadaan yang sama, persepsi seseorang terhadap suatu stimulus dapat berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh adanya proses seleksi terhadap berbagai stimulus yang ada. Robbins (2003 p.169) mendefinisikan persepsi sebagai :
“proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka”

 Pada hakekatnya persepsi akan berhubungan dengan perilaku seseorang dalam mengambil sikap sebagai reaksi dari persepsi terhadap stimulus (Kotler dan Amstrong ,1996 p.156).
Selain persepsi anggota organisasi, fleksibilitas organisasi dalam menghadapi perubahan juga penting. Persepsi anggota organisasi terhadap kemampuan organisasi untuk mengakomodasi perubahan, terkait situasi dan kondisi serta perubahan kebijakan dan prosedur dirasakan sangat terkait dengan kesiapan untuk berubah (Eby, et al, 2000  p. 420).
Persepsi tersebut sampai pada tingkat bagaimana fleksibilitas organisasi untuk menerima perubahan dan  sejauh mana mereka dapat aktif dan sungguh-sungguh berpartisipasi dalam proses ini, juga merupakan hal yang penting dalam mewujudkan perubahan organisasi (Smith, 2005 p. 406).
Disamping persepsi, motivasi juga mempengaruhi perilaku anggota organisasi. Handoko (2001 p. 225) mengatakan bahwa:
motivasi adalah suatu keadaan dalam pribadi yang mendorong keinginan individu untuk melakukan keinginan tertentu guna mencapai tujuan.”

Persepsi merupakan hasil dari stimulus. UU KIP menjadi stimulus dalam perubahan organisasi Kementerian Hukum dan HAM. Persepsi dan motivasi menjadi landasan dari sikap atau perilaku anggota organisasi terhadap stimulus.
Setelah persepsi dan motivasi muncul sikap individu dalam menilai suatu obyek. Sikap sebagai suatu evaluasi yang menyeluruh dan memungkinkan seseorang untuk merespon dengan cara yang menguntungkan atau tidak terhadap obyek yang dinilai. Dengan kata lain, setelah persepsi dan motivasi, individu dalam organisasi membuat keputusan. Sanders dalam Robbins (2006 :180) menjelaskan bahwa pembuatan keputusan terjadi sebagai reaksi terhadap masalah. Artinya terdapat penyimpangan antara keadaan yang dialami dan keadaan yang diinginkan, yang menuntut pemikiran mengenai tindakan alternatif (Robbins, 2006 p.180)
Persepsi, motivasi dan sikap atau pengambilan keputusan anggota organisasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana persepsi anggota organisasi Kementerian Hukum dan HAM terhadap UU KIP. Bagaimana persepsi tersebut memotivasi perubahan organisasi, bagaimana sikap organisasi dan tindakan yang dihasilkan sebagai respon organisasi terhadap stimulus.

2.2       Visi (Creating a Vision)
Mintzberg menjelaskan bahwa faktor internal yang mempengaruhi struktur organisasi dalam kerangka perubahan dan pengembangan organisasi  adalah :
-          Visi dan Misi organisasi
-          Strategi Organisasi
-          Model kepemimpinan (leadership model)
-          Kebijakan maupun prosedur
-          Budaya organisasi
-          Sumber Daya Manusia
Dalam struktur organisasi visi dan misi adalah faktor internal yang menjadi bagian dan memiliki pengaruh terhadap struktur organisasi. Secara khusus, terkait penyusunan misi juga harus diketahui cara kerja, otoritas, informasi, dan proses pengambilan keputusan melalui alur kerja organisasi (Mintzberg, 1979  p. 17).
Mengacu pada Mintzberg, visi dan misi adalah fokus hingga struktur akan mengikuti apa yang menjadi visi organisasi. Strategi akan menguraikan langkah-langkah dalam rangka mewujudkan visi dan misi demikian pula dengan kepemimpinan, kebijakan, budaya hingga sumber daya manusia dalam organisasi.
Dalam penelitian kesiapan suatu organisasi menghadapi  perubahan diperlukan pemahaman terhadap peranan visi dalam organisasi. Visi adalah tujuan dan arah perubahan organisasi (Cummings dan Worley, 2005 p. 156). Dalam kaitannya dengan perubahan organisasi ,visi menyatakan dan menerangkan arah suatu organisasi. Tanpa visi yang masuk akal, usaha transformasi dapat tersesat dengan mudah, menjadikan proyek dan kegiatan tidak sesuai dengan harapan, hingga salah arah dan tidak sampai tujuan (Kotter, 1995).
Oleh karena itu, pemahaman anggota organisasi terhadap visi  dan misi perubahan sangat penting. Kotter (1995) juga menyarankan pentingnya menciptakan sebuah visi tentang bagaimana perubahan itu, serta menjelaskan kepada anggota organisasi mengapa perubahan itu diperlukan dan bagaimana perubahan itu dapat tercapai.
Strebel (1996)  memperingatkan bahwa banyak upaya perubahan gagal karena pimpinan dan staf melihat perubahan secara berbeda. Misalnya, untuk anggota organisasi pada level manajerial atau yang sudah menempati jabatan tertentu bisa memandang perubahan sebagai kesempatan. Kesempatan - baik untuk organisasi atau untuk diri sendiri. Hingga ada kecenderungan untuk memanfaatkan momen perubahan untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan organisasi. Tetapi untuk banyak anggota organisasi, perubahan lebih dianggap sebagai gangguan hingga mengganggu kemapanan dan stabilitas dari kenyamanan comfort zone (Stadtlander, 2006).
Visi menuntut keterlibatan secara aktif. Melalui keterlibatan aktif dan terus-menerus berarti dalam proses perubahan orang dapat melihat hubungan antar pribadi mereka yang bekerja dan sikap dari keseluruhan organisasi.  Melalui keterlibatan aktif ini kinerja karyawan dapat didorong untuk memilah serta merangkul pribadi bertanggung jawab untuk mencapai perubahan (Smith, 2005). Visi membantu memberi penjelasan kepada seluruh anggota organisasi tentang perubahan, tujuan perubahan dan bagaimana mencapainya. Khususnya, setelah anggota organisasi melihat bagaimana perubahan akan bermanfaat bagi mereka, maka mereka akan mencari cara untuk mendukung transisi (Bernerth, 2004).
2.3       Membangun Dukungan Perubahan (Developing Political Support)
Setelah memahami bahwa organisasi harus berubah, pihak yang menjadi pembawa bendera perubahan dan bergerak baik didalam dan diluar organisasi untuk mendapatkan dukungan untuk mewujudkan visi dan misi organisasi adalah agen perubahan dan dukungan dari manajemen puncak.
Dalam persiapan organisasi, dukungan manajemen terhadap perubahan menjadi krusial karena secara stratejik, manajemen adalah serangkaian keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan dan implementasi rencana-rencana yang dirancang untuk mewujudkan tujuan organisasi.
Manajemen yang mendukung upaya perubahan adalah faktor penting dalam menciptakan kesiapan perubahan. Armenakis, et al. (1993) dalam Eby, et al., (2000).  dikemukakan bahwa tingkat organisasi yang memiliki perspektif kebijakan dan yang mendukung praktek perubahan juga penting dalam memahami bagaimana anggota organisasi memiliki persepsi kesiapan untuk berubah. Beckhardt dan Harris (1987) juga berpendapat demikian, demikian pula Schneider, et al. (1992).
Eby et al. (2000), memasukkan dukungan manajemen berupa kebijakan dan prosedur yang mengatur fleksibilitas terhadap kondisi transisi, logistik (misalnya, kualitas peralatan, sumber daya manusia, keuangan). Selain itu, Armenakis, et al. (1993), serta McManus, et al. (1995) juga menemukan bahwa tingkat kepercayaan dalam pengelolaan menumbuhkan persepsi bahwa organisasi dapat menjadi lebih baik melalui perubahan organisasi (Eby et al., 2000).
Tujuan dari rencana perubahan tidak akan sampai tanpa dukungan dan komitmen agen-agen perubahan. Beckard dan Harris (1987) berpendapat bahwa kemampuan menyusun ulang organisasi (reshaping) melibatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan organisasi secara keseluruhan untuk melaksanakan syarat-syarat yang diperlukan untuk berhasil melakukan perubahan (Jones, et al., 2005). Turner dan Crawford (1998) membahas kemampuan yang diperlukan organisasi untuk perubahan. Turner dan Crawford mengusulkan taksonomi yang mana didalamnya tercakup, keterlibatan, peningkatan  kemampuan, dan manajemen kinerja. Keterlibatan didasarkan pada informasi dan melibatkan anggota organisasi dalam upaya mendorong motivasi dan komitmen untuk tujuan dan sasaran organisasi.
Peningkatan kemampuan melibatkan semua sumber daya dan mengembangkan sistem yang diperlukan untuk mencapai organisasi yang lebih baik di masa depan. Sedangkan manajemen kinerja menurut Turner dan Crawford adalah proaktif mengelola faktor-faktor yang mendorong kinerja organisasi untuk memastikan pencapaian tujuan secara konsisten dan efektif (Jones, et al., 2005).

a.  Agen Perubahan
Agen perubahan adalah pihak yang bertanggung jawab dalam mengelola langkah-langkah perubahan organisasi (Robbins, 2008 p.266). Agen perubahan bisa berasal dari luar atau dari dalam organisasi. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekekurangan. Robbins menerangkan bahwa sebaiknya tim agen perubahan melibatkan pihak eksternal sebagai konsultan karena dapat lebih obyektif, sekaligus menyertakan pihak internal karena lebih peduli. Pihak internal lebih memperhatikan konsekuensi dari tindakan karena mereka harus berhadapan langsung dengan konsekuensi dari tindakan yang dilakukan.
Pengembangan pemahaman tentang sifat dan alasan untuk berubah pada tahap awal perubahan organisasi dapat memberikan dasar untuk perubahan yang lebih besar dan keberanian untuk mengambil risiko dan melebihi batasan yang ada  saat ini (Smith, 2005). Perubahan merupakan realita yang harus dihadapi dalam organisasi. Adanya kebijakan tertentu, perubahan sosial, ekonomi dan politik memaksa organisasi untuk berubah.
Banyak anggota organisasi tidak menyadari manfaat dan keuntungan dari perubahan. Mereka umumnya hanya menginginkan hasil yang segera. Karena itu Kotter (1996) menegaskan salah satu tugas agen perubahan adalah mengupayakan keberhasilan tiap-tiap langkah pendek dalam skema perubahan organisasi tersebut agar menjadi pemicu untuk mewujudkan keberhasilan secara keseluruhan serta penerimaan anggota organisasi terhadap realita perubahan.
Agen perubahan membangun koalisi dan mencari dukungan terhadap skema perubahan serta dalam rangka mewujudkan visi dan misi organisasi. Terkait dengan peran agen perubahan maka Kotter (1996 p. 21) menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan agen perubahan untuk menciptakan perubahan organisasi :
1)      Establishing a sense of urgency
Pada tahap ini agen perubahan meneliti keadaan lapangan serta realitas yang berlangsung dalam lingkungan organisasi. Selanjutnya agen perubahan mengidentifikasi serta melakukan pembahasan terhadap baik krisis yang berlangsung maupun krisis yang potensial terjadi atau kesempatan yang ada. Agen perubahan memberikan penyadaran mengenai situasi yang membutuhkan perubahan sesegera mungkin dalam rangka antisipasi kondisi yang sedang berubah.
2)      Creating the guiding coalition
Agen perubahan menjalin koalisi dan kemitraan dengan kelompok yang memiliki kekuasaan dan keinginan untuk berubah. Lalu, agen perubahan mengupayakan agar kelompok ini dapar bekerja sama dalam tim untuk bersama-sama mewujudkan perubahan.
3)      Developing a vision and strategy
Mengembangkan visi dan strategi adalah dengan membuat visi yang membantu mengarahkan pada usaha untuk berubah. Selanjutnya agen perubahan membuat strategi untuk mewujudkan visi tersebut.
4)      Communicating the change vision
Agen perubahan juga perlu mengkomunikasikan adanya perubahan visi dengan rekan-rekannya, baik pada level diatasnya, selevel dan level dibawahnya. Hal ini diperlukan agar ada pengetahuan yang seragam terhadap perubahan, serta tidak ada anggota organisasi yang tertinggal. Agen perubahan bersama tim yang tergabung dalam koalisi juga menjadi contoh yang dapat ditiru oleh anggota-anggota organisasi yang lain.
5)   Empowering broad-based action
Langkah-langkah pemberdayaan yang dilakukan agen perubahan dalam organisasi harus berlandaskan pada tindakan. Agen perubahan menyingkirkan penghalang, berani mengambil risiko serta berani bertindak dengan bertangung jawab.
6)   Generating short-term wins
Agen perubahan dalam merancang perubahan organisasi sebaiknya juga membuat langkah-langkah jangka pendek. Keberhasilan tiap-tiap langkah pendek tersebut dapat menjadi pemicu untuk keberhasilan keseluruhan program perubahan organisasi. Pada tahap ini agen perubahan harus dalam mengenali member reward kepada individu yang berprestasi.
7)   Consolidating gains and producing more change
Agen perubahan medokumentasikan keberhasilan dari langkah-langkah kegiatan dalam kerangka perubahan organisasi. Dengan kata lain agen perubahan menciptakan suatu program berkelanjutan dalam platform perubahan organisasi. Mempromosikan dan mendukung individu yang mampu mengimplemetasikan visi perubahan dalam organisasi
8)      Anchoring new approaches in the culture
Menciptakan kinerja yang lebih baik melalui kinerja yang berorientasi pada output. Kepemimpinan yang baik, manajemen yang efektif. Mempertegas hubungan antara perilaku yang baru dengan organisasi yang sukses serta mengembangkan performa kepemimpinan dalam transisi dan sukses pengembangan organisasi. (Kotter, 1996 p.21).
Kegiatan yang dijelaskan oleh Kotter ini dilakukan oleh agen perubahan dan koalisinya. Keputusan untuk menciptakan pengembangan dan perubahan organisasi di Kementerian Hukum dan HAM berasal dari manajemen puncak dengan melibatkan manajemen level menengah dan staf yang memiliki visi terhadap perubahan organisasi.
Perlu diingat bahwa kesiapan dan kemampuan individu dan organisasi untuk melakukan perubahan harus berdasarkan saling percaya dan menghargai. Tanpa ada rasa saling percaya dan menghargai, agen perubahan bisa gagal untuk menginisiasikan perubahan. Penting bahwa kepercayaan yang cukup dibuat untuk membuat anggota organisasi secara terbuka menyatakan pandangan secara demokratis. Menurut Huse dan Cummings (1989), untuk upaya perubahan yang akan berhasil, anggota organisasi harus percaya bukan hanya pada pengelolaan, tetapi juga pada rekan kerja (Eby,et al, 2000).

b.  Inisiatif Perubahan
Agen perubahan memiliki tanggung jawab menginisiasi perubahan organisasi (Robbins, 2008). Agen perubahan menerima mandat ini dari manajemen puncak organisasi. Meskipun demikian tiap-tiap anggota organisasi juga dapat memiliki inisiatif terhadap perubahan. Semua anggota organisasi mempunyai hak untuk mengajukan atau memulai inisiasi terhadap diperlukannya perubahan.
Tetapi pada akhirnya yang memiliki kewenangan untuk menginisiasi perubahan adalah pemimpin organisasi yang berwenang memutuskan atau melakukan perubahan yang diperlukan. Pemimpin organisasi, manajemen puncak dapat mendelegasikan wewenang dan member otoritas kepada agen perubahan atau pemimpin organisasi dapat langsung bertindak sebagai agen perubahan. Pemimpin organisasi menjadi pemimpin karena semestinya telah memiliki kompetensi yang dibutuhkan baik dari sisi keterampilan perencanaan dan kemampuan untuk berkomunikasi serta menginginkan masa depan yang lebih baik (Zeffane, 1996). Namun, orang-orang di organisasi juga harus diberi kesempatan untuk terlibat dalam semua aspek perubahan dan harus diberi kesempatan untuk memberikan umpan balik (Waddel dan Sohal, 1998). Sinergi antara manajemen puncak, agen perubahan dan keterlibatan anggota organisasi mendukung terlaksananya perubahan.

2.4       Mengelola Perubahan Organisasi (Managing Change and Transition)
Penelitian ini juga melakukan pendalaman terhadap rencana pengelolaan  menuju perubahan organisasi sesuai dengan amanat dan tujuan dari UU KIP. Langkah pengorganisasian yang dijalankan serta bagaimana tahap-tahap implementasi dan manajemen perubahan. Organisasi dirancang untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan melalui pembaharuan dan pengembangan internal. Perubahan organisasi dicirikan dengan berbagai usaha penyesuaian disain organisasi di waktu mendatang. Pengelolaan secara efektif tidak hanya diperlukan bagi kelangsungan hidup organisasi, tetapi juga sebagai tantangan pengembangan. Perubahan dapat bersifat reaktif dan proaktif.
Perubahan reaktif adalah perubahan yang dilakukan sebagai reaksi terhadap  tanda-tanda bahwa perubahan diperlukan melalui pelaksanaan modifikasi sedikit-demi sedikit untuk menangani masalah yang timbul. Organisasi membuat perubahan struktural kecil sebagai reaksi terhadap perubahan dalam lingkungan mikro dan makro. Perubahan reaktif lebih ditekankan pada perubahan yang bersifat rutin dengan cakupan yang lebih sempit. Contohnya adalah : revisi formulir pendaftaran untuk mempermudah calon mahasiswa. Sebaliknya, perubahan proaktif adalah perubahan yang diarahkan melalui inovasi struktural, kebijakan atau sasaran baru atau perubahan tujuan organisasi yang dengan sengaja didesain dan diimplementasikan. Proses dilakukan melalui pelaksanaan berbagai intervensi terhadap sumber daya organisasi yang berarti mengubah cara-cara operasi organisasi.
Perubahan selalu memiliki resiko. Perubahan memindahkan keadaan sekarang kepada suatu realita baru  yang belum dikenal, mengakhiri penggunaan cara-cara lama untuk menyelesaikan suatu masalah dan harus melakukan cara-cara baru dalam mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko ini, kesiapan organisasi terhadap perubahan adalah wajib. Kegagalan untuk menilai kesiapan perubahan organisasi dan individu dapat berakibat pada pengeluaran waktu dan energi yang dikeluarkan oleh manajer secara signifikan berhubungan dengan perlawanan terhadap perubahan. Suatu investasi dalam membuat organisasi yang siap berubah dapat menghasilkan keuntungan ganda. Energi positif masuk ke dalam kesiapan untuk membuat perubahan dan, pada gilirannya, terjadi  penurunan perlawanan terhadap perubahan dan pengelolaan organisasi yang  sedang berlangsung (Smith, 2005).
Dalam upaya meminimalkan resiko, perubahan organisasi perlu dikelola dengan baik. Keyakinan bahwa pemimpin organisasi dapat mengelola perubahan organisasi merupakan landasan penting agar  keyakinan anggota organisasi terhadap yang keberhasilan program perubahan dapat tumbuh. Menurut Armenakis dan Harris (2001), pelaksanaan perubahan organisasi adalah yang penting, dan yang paling kurang dipahami ,adalah  keterampilan dari pemimpin. Gilmore, et al. (1997) menemukan bahwa sejumlah organisasi mengalami peningkatan kinerja yang tidak sesuai keinginan dan reaksi yang tidak diharapkan dari anggota organisasi terhadap perubahan organisasi yang benar-benar diperlukan (Armenakis dan Harris, 2001).

a. Kepemimpinan
Pemimpin yang terkemuka dalam mengelola perubahan strategis memiliki kemampuan untuk belajar dan beradaptasi dengan perubahan. Dalam proses, organisasi belajar dipupuk dalam lingkungan keterbukaan dan saling percaya hingga memungkinkan orang untuk merangkul perubahan dan berani mencoba tanpa merasa terancam (Zeffane, 1996).
Organisasi-organisasi dewasa ini terus berhadapan dengan perubahan, dari perubahan lingkungan, konstelasi politik, hingga peraturan perundang-undangan. Para pemimpin dituntut untuk mampu secara terampil membimbing organisasi menuju arah strategi baru.
   Tannebaum et al ( 1961 p. 24) mendefinisikan kepemimpinan sebagai :
pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk  mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu

Selain Tannebaum, Goal et al (1957 p.07) memberikan definisi kepemimpinan berupa :
sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan”

               Definisi kepemimpinan tersebut menggambarkan kepemimpinan sebagai sikap  dan perilaku untuk memimpin dan mengarahkan organisasi mencapai tujuan.
            Stoner (1995 p.470) menjelaskan kepemimpinan sebagai berikut :
1)      Leadeship involves other people
Pemimpin bekerja dengan melibatkan orang lain
Seorang pemimpin selalu terlibat dengan orang lain. Kesediaan untuk menerima dan menjalankan perintah dari pimpinan adalah peran anggota kelompok menetapkan status pemimpin dan memungkinkan suatu proses kepemimpinan; tanpa masyarakat untuk dipimpin, semua kualitas kepemimpinan seorang manajer akan tidak relevan.
2)      Leadership involves an unequal distribution of power between leaders and group members.
Kepemimpinan melibatkan distribusi kekuasaan antara pemimpin dan anggota kelompok.
3)      The ability to use the different forms of power to influence follower’s behaviors in a number of ways.
Kemampuan untuk menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi perilaku orang/anggota organisasi dengan beberapa cara
4)      This fourth aspect combines the first three and acknowledges that leadership is about values
Aspek keempat dari definisi Stoner tentang kepemimpinan menggabungkan ketiga aspek pertama dan mengakui bahwa kepemimpinan adalah tentang nilai.
Kepemimpinan terkait erat dengan pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan.
Ilmu manajemen menggambarkan seperti apa peran pemimpin dalam organisasi. Secara perilaku, Covey  (1992 p.34) memiliki gambaran karakteristik seorang pemimpin sebagai :
1)      Seorang yang belajar seumur hidup
Tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga informal. Contohnya, belajar melalui membaca, menulis, observasi, dan mendengar. Mempunyai pengalaman yang baik maupun yang buruk sebagai sumber belajar.
2)      Berorientasi pada pelayanan
Seorang pemimpin tidak dilayani tetapi melayani. Dalam memberi pelayanan, pemimpin seharusnya lebih berprinsip pada pelayanan yang baik. Dalam lingkungan pegawai negeri sipil yang memiliki tugas sebagai pelayan masyarakat, budaya melayani harus menjadi ciiri pemimpin dalam organisasi publik.

3)      Membawa energi yang positif
Setiap orang mempunyai energi. Seorang pemimpin menggunakan energi yang positif didasarkan pada keikhlasan dan keinginan mendukung kesuksesan. Untuk membangun hubungan baik dibutuhkan energi positif untuk. Seorang pemimpin harus dapat dan mau bekerja untuk jangka waktu yang lama dan kondisi tidak ditentukan. 

Oleh karena itu, seorang pemimpin harus dapat menunjukkan energi yang positif, seperti ;
1)      Percaya pada orang lain
Seorang pemimpin bisa dipercaya sekaligus mempercayai orang lain termasuk staf bawahannya, sehingga mereka mempunyai motivasi dan mempertahankan pekerjaan yang baik. Maka dari itu kepercayaan harus diikuti dengan kepedulian.
2)      Keseimbangan dalam kehidupan
Seorang pemimpin harus dapat menyeimbangkan tugasnya. Berorientasi kepada prinsip kemanusiaan dan keseimbangan diri antara kerja dan olah raga, istirahat dan rekreasi. Keseimbangan juga berarti seimbang antara kehidupan dunia dan akherat. Seorang pemimpin menjadi contoh di lingkungannya, keseimbangan dalam kehidupan dunia dan akhirat tidak hanya berdampak positif bagi pribadi seorang  pemimpin tetapi juga memiliki dampak positif bagi lingkungannya
3)      Melihat kehidupan sebagai tantangan
Dalam hal ini tantangan berarti kemampuan untuk menikmati hidup dan segala konsekuensinya. Dalam menghadapi masalah, seorang pemimpin memandang masalah sebagai sesuatu yang perlu diselesaikan dan tidak menjadikan masalah sebagi penghalang dalam mencapai tujuan organisasi.
4)      Sinergi
Orang yang berprinsip senantiasa hidup dalam sinergi dan satu katalis perubahan. Mereka selalu mengatasi kelemahannya sendiri dan lainnya.  Sinergi adalah kerja kelompok dan memberi keuntungan kedua belah pihak. Seorang pemimpin harus dapat bersinergis dengan setiap orang, baik  atasan, staf, teman sekerja.
5)      Latihan mengembangkan diri sendiri
Seorang pemimpin harus dapat memperbaharui diri sendiri untuk mencapai keberhasilan yang tinggi. 
Seorang pemimpin yang tidak memiliki sifat kepemimpinan yang baik dianggap sebagai pemimpin yang tidak efektif. Ilmu manajemen menjelaskan bagaimana pemimpin yang ‘buruk’ atau dengan kata lain pemimpin yang tidak efektif kehilangan respek dari para bawahannya (tidak dihormati) merintangi organisasi untuk berkinerja. Pemimpin yang tidak efektif gagal   mempertahankan pegawai yang baik, dan serta tidak dapat memotivasi pegawai yang ada.   Axelrod et al dalam Johnson dan Luecke (2005 p.37) menjelaskan bagaimana pemimpin yang tidak efektif dapat membahayakan organisasi :
“Keeping C performers in leadership positions lowers the bar for everyone – a clear danger for any company that wants to create a performance-focused culture. C performers hire other C performers, and their continued presence discourages the people around them, makes the company a less attractive place for highly talented people, and calls into questions the judgment of senior leader”

Menempatkan individu yang kurang bagus akan menurunkan standar dalam keseluruhan organisasi bahkan juga dapat membahayakan organisasi. Kecenderungan dari individu yang kurang bagus menurut Axelrod, adalah akan menjalin mitra dengan individu yang tidak bagus juga, kelanjutannya, keberadaan mereka menciptakan atmosfer yang tidak baik bagi anggota-anggota organisasi, secara keseluruhan pemimpin yang buruk menurunkan kinerja organisasi yang dipimpinnya.

b. Manajemen Sistem Informasi
Purwanto (2008) memberikan arahan untuk menghasilkan pengelolaan informasi yang akurat, dalam sistem informasi manajemen perlu memperhatikan hal-hal berikut :
1)      Proses identifikasi informasi
2)      Proses kategorisasi sumber data dan informasi termasuk proses penyimpanan dan pengamanan
3)      Perlu ditentukan bagaimana pendistribusian informasi, baik kepada siapa dan kapan.
4)      Komunikasi informasi secara tepat dan terpercaya kepada pengambil keputusan (internal) dan masyarakat serta lembaga yang membutuhkan atau sesuai permintaan (eksternal)
Manajemen mengelola informasi dalam lingkup internal berdasarkan derajat informasi. Derajat informasi seperti digambarkan dalam skema yang memperlihatkan bagaimana tingkat kewenangan manajerial memiliki akses terhadap informasi.  Pada tiap-tiap level manajerial, terdapat tanggung jawab bagaimana informasi didistribusikan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit yang bersangkutan.
Perlu diperhatikan bahwa UU KIP memiliki fokus pada informasi yang bisa diakses oleh masyarakat. Sistem informasi manajemen mengelola informasi organisasi termasuk sampai pada tingkat keamanan informasi, batasan informasi sebagaimana diatur dalam UU KIP, derajat penggunaan informasi hingga sampai pada pihak-pihak yang memerlukan.
Badan publik, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM merupakan organisasi yang mekanistis, instruksi dari manajemen puncak merupakan titik kendali dari organisasi. Weber dalam Stoner (1996 p.37) menjelaskan bahwa manajemen yang birokratis menekankan pada kebutuhan akan hirarki yang ditetapkan dengan ketat untuk mengatur regulasi dan wewenang yang jelas. Oleh sebab itu, dalam organisasi yang mekanistis, manajemen puncak menjadi pemicu perubahan, bertanggung jawab dalam pendelegasian dan mandat kepada agen perubahan, penyusun kebijakan serta quality control yang akan menjadi standar dalam sistem yang terkena dampak UU KIP.

c. Penegasan Komitmen
            Penegasan komitmen ditunjukkan oleh manajemen puncak melalui penyusunan serangkaian kebijakan yang mendukung dan menjadi landasan hukum dalam perubahan organisasi. Pada tingkat departemen maka kebijakan yang dikeluarkan berupa Keputusan Menteri (KepMen) dan Instruksi Menteri (Insmen). Dessler (1997 p.347)  memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen yang dapat meningkatkan komitmen organisasi pada pegawai :
1)         Berkomitmen pada nilai manusia: Membuat aturan tertulis, memilih manajer yang  yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.
2)         Memperjelas dan mengkomunikasikan misi: Memperjelas misi dan ideologi; berkharisma; menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai; menekankan orientasi berdasarkan nilai dan pelatihan; membentuk tradisi, dan budaya organisasi.
3)         Menjamin keadilan organisasi: Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif; menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif,
4)         Menciptakan rasa komunitas: Membangun homogenitas berdasarkan nilai; keadilan; menekankan kerja sama, saling mendukung, dan kerja tim,
5)         Mendukung perkembangan karyawan: Melakukan aktualisasi; memberikan pekerjaan menantang; memajukan dan memberdayakan; mempromosikan dari dalam; menyediakan aktivitas perkembangan.
     Mengacu pada Dessler, komitmen organisasi harus dibuat secara tertulis serta disosialisasikan kepada seluruh anggota organisasi dengan tujuan yang sama, yakni mempertegas komitmen terhadap rencana perubahan. Melalui penegasan komitmen anggota organisasi memiliki pemahaman, penegasan komitmen menghasilkan kejelasan dan membuat lingkungan pekerjaan yang kondusif terhadap pemberdayaan anggota organisasi.

d.  Budaya Organisasi
Organisasi yang sedang mendesain suatu perubahan sesungguhnya jauh lebih kompleks dari sekedar format struktur yang digambarkan dalam bagan dan penempatan individu dalam jabatan serta acuan tertulis yang diberikan oleh manajemen puncak. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah budaya organisasi (Purwanto, 2008 p.229). Budaya organisasi adalah deskriptif. Budaya organisasi mendeskripsikan bagaimana organisasi mendorong kerja tim, serta apakah organisasi menghargai inovasi.  Walaupun tidak ada penjelasan tersurat mengenai budaya organisasi yang ada di Kementerian Hukum dan HAM, secara disadari atau tidak, budaya ini membentuk perilaku anggota organisasi.
Shein dalam McKenna dan Beech (1995 p.63) mendefinisikan budaya organisasi sebagai:
“pola-pola asumsi yang mendasar di mana kelompok yang ada menciptakan, menemukan atau berkembang dalam proses belajar untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan adaptasi eksternal dan integrasi internal.”

Budaya organisasi mengacu pada sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi yang lain. Sistem makna bersama ini merupakan separangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi (Robbins,2006 p.721).
Alternatif lain mengenai definisi budaya organisasi juga dijelaskan oleh Moorhead dan Griffin dalam McKenna dan Beech (1995) yang mendefinisikan budaya organisasi sebagai :
“seperangkat nilai, yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima. Nilai-nilai sering dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lain”

Pada organisasi Kementerian Hukum dan HAM, terdapat budaya yang dominan dan sub budaya. Budaya dominan ini mengungkapkan nilai-nilai inti yang dianut oleh mayoritas anggota organisasi. Sedangkan sub budaya cenderung berkembang dalam subsistem Kementerian Hukum dan HAM karena terdiferensiasi oleh tugas pokok dan fungsi serta pemisahan geografis. Dengan kata lain nilai-nilai spesifik yang ada di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berbeda dengan yang ada di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Perubahan budaya dari ketertutupan informasi menjadi keterbukaan informasi menjadi salah satu obyek yang perlu diteliti dalam penelitian kesiapan Kementerian Hukum dan HAM dalam implementasi UU KIP.
Suatu implementasi strategi menghasilkan perubahan, jika perubahan itu tidak sesuai dengan budaya organisasi maka proses implementasi strategi akan sulit dilakukan (Purwanto,2008 p.232). Kotter dan Hesket dalam Robbins (2006 p. 721) mengidentifikasi dua tingkatan budaya organisasi. Yang pertama adalah budaya yang terlihat dan yang kedua adalah yang tidak dapat dilihat, tapi dapat dirasakan. Budaya yang terlihat  adalah pola perilaku  dan gaya para pegawai, sementara yang tidak terlihat berupa nilai-nilai bersama dan asumsi-asumsi yang telah  ada dalam jangka waktu yang panjang. Pada budaya organisasi tingkat dua ini memiliki kesulitan lebih tinggi untuk diubah.
Hasil dari penelitian yang dilakukan Kotter dan Hasket mengenai budaya organisasi dan kinerja pegawai memperkuat argumen bahwa budaya memiliki pengaruh kuat dan memiliki dampak terhadap peningkatan kinerja organisasi. Penelitian ini menghasilkan empat kesimpulan, yakni :
1)      Budaya dapat memiliki dampak yang signifikan pada kinerja ekonomi jangka panjang sebuah perusahaan.
2)      Budaya mungkin akan menjadi faktor yang lebih penting dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi.
3)      Kuatnya budaya suatu organisasi merintangi peningkatan kinerja dalam jangka panjang. Tidak jarang, budaya organisasi melekat demikian kuat bahkan dalam lingkungan yang penuh dengan orang-orang wajar dan intelek.
4)      Walaupun sulit untuk diubah, budaya dapat dibuat untuk lebih meningkatkan kinerja. (Robbins, 1995 p.188).

Budaya yang kuat menjadi dasar pelaksanaan organisasi. Kunci-kunci pelaksanaan fungsi organisasi seperti kualitas layanan, iklim kreativitas sangat dipengaruhi oleh budaya. Demikian halnya dengan munculnya nilai-nilai baru yang mengintervensi organisasi. Budaya dapat mendukung mudahnya nilai-nilai baru itu terserap dalam organisasi atau sebaliknya, menghalangi terjadinya perubahan.
Hubungan budaya organisasi dan prestasi ditekankan kembali oleh Peters dan Waterman dalam Mckenna dan Beech (1995 p.64). Inti yang disampaikan Peters dan Waterman adalah : mengadopsikan manajemen berorientasikan tindakan dan tegas, mengidentifikasikan dan melayani kebutuhan konsumen organisasi baik eksternal maupun internal, mendorong interdependensi/saling ketergantungan dan bakat wiraswasta (entrepeneurship), setiap saat melibatkan  orang dalam manajemen dimana manajemen puncak juga menjalin hubungan dengan pegawai, membatasi aktivitas organisasi untuk apapun yang dirasa paling baik, menghindari diversifikasi pada daerah yang tak diketahui, menghindari susunan hirarki yang kompleks, dan mengkombinasikan perintah pusat dengan otonomi bagi kelompok kerja.
Mengacu pada Peters dan Waterman keberhasilan ditentukan oleh sejumlah faktor, serta ada perhatian lebih pada karakteristik perangkat lunak sumber daya manusia, atau dengan kata lain, budaya atau nilai-nilai bersama adalah salah satu faktor penentu keberhasilan. Oleh sebab itu sebelum melakukan langkah-langkah strategi yang dapat mengubah budaya organisasi, perlu diukur akibat yang ditimbulkan dan dampaknya terhadap budaya dan anggota organisasi. Dalam penentuan alternative strategi terkait budaya organisasi  maka manajemen dapat memilih opsi sebagai berikut :
1)      Menjalankan strategi dengan tidak menghiraukan budaya organisasi
2)      Mengubah budaya organisasi agar sesuai dengan strategi
3)      Mengubah strategi agar sesuai dengan budaya perusahaan (Purwanto, 2008 p.232).
Alternatif-alternatif ini ditentukan oleh manajemen puncak dan disusun sebagai kebijakan dalam persiapan Kementerian Hukum dan HAM dalam implementasi UU KIP.

e.   Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia dalam organisasi merujuk pada pemberdayaan pegawai, proses rekruitmen dan pemanfaatan sumber daya manusia organisasi. Awal dari perencanaan sumber daya manusia adalah penilaian kebutuhan pegawai dan menentukan ketrampilan yang dibutuhkan. Proses ini merupakan kerangka kerja yang dibentuk melalui interaksi manajemen sumber daya manusia dengan strategi organisasi. McKenna dan Beech  ( 1995 p.98) menjelaskan tiga segi perencanaan sumber daya manusia sebagai berikut :
1)      Permintaan terhadap sumber daya manusia, yang dapat dikumpulkan dari rencana sumber daya manusia strategik.
2)      Penggunaan sumber daya manusia secara cost efektif dan efisien.
3)      Penawaran sumber daya manusia dimanifestasikan dalam jumlah pegawai saat ini (penawaran internal) dan sejumlah lamaran eksternal kepada organisasi (penawaran eksternal).
Mengacu pada penjelasan McKenna dan Beech, perencanaan sumber daya manusia ditekankan kepada analisis lingkungan eksternal dan menyusun kemungkinan pemanfaatan sumber daya manusia terbaik. Perencanaan sumber daya manusia mendukung strategi organisasi dalam mencapai tujuan organisasi serta menjadi faktor penting dalam mewujudkan cita-cita organisasi melalui operasional atau tahapan-tahapan yang sudah direncanakan.
Dalam perumusan suatu rencana strategik, manajemen sumber daya manusia berpartisipasi dengan mensuplai informasi dengan kekuatan dan kelemahan internal organisasi. Tanggung jawab lain dari manajemen sumber daya manusia adalah terlibat aktif baik dalam formulasi maupun implementasi strategi organisasi. (Dessler, 1997 p.30).
Stoner (1995 p.376) mendefinisikan manajemen sumber daya manusia sebagai
suatu prosedur yang berkelanjutan yang bertujuan untuk memasok suatu organisasi atau perusahaan dengan orang-orang yang tepat untuk ditempatkan pada posisi dan jabatan yang tepat pada saat organisasi memerlukannya.”

 Merujuk pada definisi Stoner, manajemen sumber daya manusia merujuk pada proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan, pegawai, buruh, manajer dan tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang aktifitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Dalam kesiapan Kementerian Hukum dan HAM dalam implementasi UU KIP perlu diketahui bagaimana manajemen sumber daya manusia Kementerian Hukum dan HAM terkait tujuan dan sasaran stratejik dalam menyongsong implementasi UU KIP, meningkatkan kinerja pegawai dan mengembangkan budaya organisasi serta mendorong inovasi.
























BAB III
METODE  PENELITIAN


3.1       Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kualitatif, penelitian tidak dimulai dengan menguji teori untuk membuktikan, melainkan sebaliknya. Dalam pendekatan kualitatif, suatu teori dapat muncul dalam proses penelitian.
Model induktif dalam pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini diawali dengan mengembangkan teori atau membandingkan pola dengan teori lain (Creswell, 2003 p.90). Selanjutnya peneliti mencari kerangka teori, kemudian membentuk kategori dalam metode, operasionalisasi konsep, mengajukan pertanyaan dalam wawancara dan mengumpulkan data dan informasi berhubungan dengan teori-teori tersebut. Pendekatan kualitatif dipandang sesuai karena dalam pendekatan kualitatif penelitian harus dilakukan secara teliti, mendalam dan menyeluruh untuk memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang berlaku umum sehubungan dengan gejala-gejala yang ada dalam lokasi penelitian. Karena topik yang diangkat-implementasi UU KIP- bersifat sangat mendasar sehingga membutuhkan analisa yang mendalam dari berbagai sudut pandang. Kondisi ini menuntut jawaban mengenai hakekat yang  ada dalam hubungan di antara gejala-gejala atau konsep. Artinya, alasan penggunaan pendekatan kualitatif karena penelitian ini bertujuan memahami suatu situasi sosial. Termasuk didalamnya adanya peristiwa, peran, interaksi dan kelompok. Metode pendekatan kualitatif merupakan sebuah proses investigasi (Creswell, 2003 p.150)
Selain itu, maksud dari dipilihnya penelitian dengan jenis kualitatif deskriptif yaitu agar hasil yang dicapai dari penelitian ini juga dapat menjadi rekomendasi yang baik, jelas, dan berimbang bagi para pembuat keputusan serta untuk mendukung perencanaan di dalam organisasi. Melalui penelitian ini, penulis juga bermaksud untuk menjelaskan bagaimana dan langkah-langkah apa saja yang dapat diambil oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagai badan publik dalam persiapan rencana implementasi UU KIP.

3.2       Jenis Penelitian
Jenis penelitian dapat digolongkan berdasarkan empat aspek, yaitu tujuan, dimensi waktu, manfaat, serta teknik pengumpulan data. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong jenis penelitian deskriptif. Definisi penelitian deskriptif adalah suatu jenis penelitian yang teknik dan prosedur pemecahan masalahnya adalah dengan menyelidiki fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya untuk kemudian digambarkan dan atau dilukiskan melalui kata-kata. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat gambaran yang jelas, menyeluruh, faktual, dan akurat atas topik yang diangkat di dalam penelitian.
Sedangkan apabila dilihat dari aspek dimensi waktu, penelitian ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian cross sectional. Penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian jenis cross sectional karena data yang dipergunakan diambil dalam satu periode waktu saja.
Berdasarkan manfaatnya, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian murni karena penelitian ini memenuhi kategorisasi jenis penelitian murni menurut Creswell (2003), yaitu pertama latar belakang masalah dan topik dipilih secara independen, tanpa tekanan dari pihak manapun. Kedua, karena meskipun penelitian dijustifikasi secara normatif absolut, namun kadar keilmuan yang bersifat faktual masih dapat dirasakan. Ketiga, karena tujuan yang dikehendaki diharapkan akan memiliki kontribusi terhadap dasar dan ilmu pengetahuan teori.
Sedangkan bila dilihat dari segi teknik pengumpulan data, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian lapangan, karena penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan juga melalui data sekunder yang dapat menguatkan hasil yang diperoleh dari wawancara yang dilakukan.



3.3       Jenis Data
Data kualitatif sendiri dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni interview (wawancara), observations (pengamatan), dan documents (dokumen) (Patton, 2002, p.4). Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung. Data primer di dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung kepada informan. Informan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu pejabat atau pihak-pihak yang memiliki wewenang dan pengaruh terhadap kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Hukum dan HAM. Wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana pemahaman pejabat terkait pengelolaan dan pelayanan informasi publik Kementerian Hukum dan HAM terhadap UU KIP, serta bagaimana persiapan Kementerian Hukum dan HAM dalam implementasi UU KIP. Sedangkan definisi dari data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari tangan kedua, misalnya data yang diperoleh dari data kepustakaan, Biro Pusat Statistik (BPS), Lembaga Demografi, ataupun lembaga-lembaga sejenis. Data sekunder pada penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dalam usaha mendapat informasi pada tahap awal penelitian serta pada saat melakukan analisis. Data kepustakaan yang dikumpulkan terdiri dari buku, jurnal, makalah, artikel surat kabar, dan artikel dari internet terkait UU KIP, kesiapan organisasi terhadap perubahan, manajemen, perubahan organisasi, dan sistem informasi.

3.4       Teknik Pengumpulan Data
Dalam suatu penelitian, metode penelitian merupakan cara untuk mengumpulkan data dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang spesifik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode wawancara dan studi kepustakaan.

a.Metode Wawancara
Wawancara dilakukan kepada penentu kebijakan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM terkait dengan rencana implementasi UU KIP dengan menggunakan pedoman wawancara sehingga keterlibatan peneliti dalam penelitian ini hanya sebagai peneliti, artinya peneliti hanya berperan sebagai pengamat yang keberadaannya tidak mempengaruhi berjalannya upaya persiapan perencanaan implementasi UU KIP Kementerian Hukum dan HAM.
Metode wawancara kualitatif sebagai salah satu tehnik untuk mengumpulkan data dan informasi didasarkan pada dua alasan :
1)      Dengan wawancara peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialamai subyek yang diteliti, akan tetapi apa yang tersembunyi didalam narasumber dan informan.
2)      Apa yang ditanyakan pada narasumber/informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau, saat ini dan proyeksi serta harapan informan/narasumber untuk masa yang akan datang (Patilima, 2007 p.65)
Dalam memilih informan yang berada dalam struktur organisasi, digunakan teknik penarikan sampel secara purposive, yaitu peneliti menentukan pejabat dalam manajemen puncak Kementerian Hukum dan HAM yang akan diwawancarai. Selain manajemen puncak, peneliti juga melakukan wawancara dengan narasumber yang memiliki keterkaitan dengan UU KIP baik dalam perancangan undang-undang maupun dalam implementasinya.

b.Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara dimaksudkan sebagai pedoman agar peneliti dapat menggali hal-hal yang perlu diketahui dalam penelitian ini. Pedoman wawancara dapat menjaga wawancara tetap terarah pada fokus penelitian.
Pedoman wawancara ditujukan untuk mengetahui bagaimana persiapan Kementerian Hukum dan HAM dalam menyongsong implementasi UU KIP. Untuk sederhananya, melalui wawancara diharapkan dapat mengungkap :
1)      Mengetahui dan memahami persepsi narasumber dan informan terhadap UU KIP dan dampak implementasinya terhadap badan publik.
2)      Kriteria dan metode-metode yang dijalankan manajemen puncak untuk memastikan efektivitas persiapan organisasi dan pengendalian atas proses-proses tersebut.
3)      Bagaimana visi Kementerian Hukum dan HAM terhadap pengembangan organisasi terkait implementasi UU KIP.
4)      Mengetahui bagaimana dukungan manajemen puncak terhadap langkah-langkah kesiapan organisasi terhadap implementasi UU KIP.
5)      Bagaimana pengelolaan tahapan persiapan Kementerian Hukum dan HAM terhadap implementasi UU KIP.
6)      Ketersediaan dan pengendalian informasi yang dibutuhkan untuk mendukung proses-proses implementasi kebijakan dan pemantauan (evaluasi).
7)      Mengukur, memonitor, dan menganalisis proses-proses dan tindakan implementasinya untuk mencapai hasil yang telah direncanakan dan continual improvement.
8)      Apakah Kementerian Hukum dan HAM telah memiliki prosedur-prosedur, baik prosedur operasional dan prosedur antisipatif terkait pengelolaan dan pelayanan informasi.

Adapun mengenai informan, kendati peneliti mengajukan informan secara purposive, dalam organisasi yang memiliki hierarki birokrasi klasik perlu diantisipasi bahwa manajemen organisasi memiliki kewenangan untuk menunjuk salah satu unit atau individu dalam organisasi sebagai informan tunggal melalui disposisi dari pimpinan. Hal ini tidak menjadi acuan bahwa manajemen puncak melakukan pengalihan tanggung jawab, melainkan menggambarkan realita di lapangan.
Informan dalam penelitian ini adalah: Kepala Biro Humas dan HLN, Kepala Biro Perencanaan, Deputy National Project Director CAPPLER Project/ PIK Program Manager, dan UNDP Project Manager serta informan yang relevan dari departemen lain yakni Departemen Komunikasi dan Informatika selanjutnya dilakukan cross check dengan metode triangulasi.

c. Metode Kepustakaan
Metode  kepustakaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun dokumen, data, dan informasi yang relevan dengan topik atau masalah penelitian. Informasi itu bisa diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, jurnal, karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan perundangan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik.
Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan untuk mengelaborasi teori-teori dalam kesiapan organisasi menghadapi perubahan. Pemahaman teori-teori mengenai langkah-langkah perubahan dan pengembangan organisasi, manajemen sumber daya manusia, hingga sistem informasi kedalam tahapan praktikal. Tahapan ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana teori yang ada dalam studi kepustakaan diaplikasikan dalam realitas di lapangan.
Studi kepustakaan yang dilakukan sebelum melakukan penelitian bertujuan untuk:
1)         Menemukan suatu masalah untuk diteliti. Dalam arti bukti-bukti atau pernyataan bahwa masalah yang akan diteliti itu belum terjawab atau belum terpecahkan secara memuaskan atau belum pernah diteliti orang mengenai tujuan, data dan metode, analisa dan hasil untuk waktu dan tempat yang sama.
2)         Mencari informasi yang relevan dengan masalah yang akan diteliti.
3)         Mengkaji beberapa teori dasar yang relevan dengan masalah yang akan diteliti. Menggali teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian dan melakukan komparasi-komparasi dan menemukan konsep-konsep yang relevan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian.
4)         Mencari landasan teori yang merupakan pedoman bagi pendekatan pemecahan masalah dan pemikiran untuk perumusan hipotesis yang akan diuji dalam penelitian. Sebab dalam ilmu pengetahuan pada umumnya teori mempunyai dua fungsi pokok yaitu: a). menerangkan generalisasi empiris yang sudah diketahui; dan b). meramalkan generalisasi empiris yang belum diketahui. Untuk jenis -penelitian tertentu, misalnya penelitian eksploratif, mungkin hipotesis tidak ada, namun demikian tidak akan membebaskan peneliti dan menyajikan penelaahan kepustakaan.
5)         Untuk membuat uraian teoritik dan empirik yang berkaitan dengan faktor, indikator, variable dan parameter penelitian yang tercermin di dalam masalah-masalah yang ingin dipecahkan.
6)         Memperdalam pengetahuan peneliti tentang masalah dan bidang yang akan diteliti.
7)         Agar peneliti dapat pandai-pandai memanfaatkan informasi dari suatu makalah yang diperlukan bagi penelitiannya, terutama yang terkait dengan objek dan atau sasaran penelitiannya. Sekurang-kurangnya peneliti dapat menyadap tujuan, data dan metode, analisis dan hasil utama penelitian.
8)         Mengkaji hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Artinya hasil penelitian terdahulu mengenai hal yang akan diteliti dan atau mengenai hal lain yang berkaitan dengan hal yang akan diteliti.
9)         Menelaah basil penelitian sebelumnya diarahkan pada sebagian atau seluruh dari unsur-unsur penelitian yaitu: tujuan penelitian, metode, analisis, hasil utama dan kesimpulan. Hasilnya berupa ulasan tentang penelitian yang sama atau serupa dengan masalah yang akan diteliti yang telah dilakukan di tempat lain atau tempat yang sama dengan daerah penelitian. Dan untuk menunjukkan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang-akan dilakukan      
10)       Mendapat informasi tentang aspek-aspek mana dari suatu masalah yang sudah pernah diteliti untuk menghindari agar tidak meneliti hal yang sama. (Kasbalah, 1992 , juga Bintarto, 1992)
Peranan studi kepustakaan sebelum penelitian sangat penting sebab dengan melakukan kegiatan ini hubungan antara masalah, penelitian yang relevan dan teori akan menjadi lebih jelas. Selain itu penelitian akan lebih ditunjang, baik oleh teori-teori yang sudah ada maupun oleh bukti nyata, yaitu hasil pengamatan, wawancara dan realitas yang terjadi dalam penelitian.

3.5       Teknik Analisis Data
Data-data yang diperoleh, baik yang berasal dari data primer maupun data sekunder, akan dianalisa secara kualitatif. Pada analisis data kualitatif, kita membangun analisis dari hasil wawancara atau pengamatan terhadap obyek penelitian untuk dideskripsikan.
Analisis data dengan metode deskriptif menggambarkan secara terperinci melalui data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan penelitian serta menghasilkan rekomendasi kepada para pembuat kebijakan terkait implementasi UU KIP dalam lingkungan Kementerian Hukum dan HAM.
Teknis analisis data kualitatif melalui tahapan-tahapan berikut ini :’
1.      kerangka teori,
2.      operasionalisasi konsep,
3.      mengajukan pertanyaan dalam wawancara dan
4.       mengumpulkan data dan informasi berhubungan dengan teori-teori tersebut.
5.      Analisis data
6.      Kesimpulan  (Patilima, 2007 p.88).

a. Operasionalisasi Konsep
Konsep dalam penelitian ini didefinisikan secara operasional agar lebih mudah dicari hubungannya antara satu konsep dengan lainnya dan membatu mengarahkan fokus penelitian. Operasionalisasi konsep bermanfaat untuk: 1) mengidentifikasi kriteria yang dapat diobservasi yang sedang didefinisikan; 2) menunjukkan bahwa suatu konsep atau objek mungkin mempunyai lebih dari satu definisi operasional; 3) mengetahui bahwa definisi operasional bersifat unik dalam situasi dimana konsep tersebut harus digunakan.


b. Penyajian Data
Penyajian data dalam pendekatan kualitatif berbeda dengan pendekatan kuantitatif. Dalam analisis kualitatif data yang muncul berwujud kata dan bukan rangkaian angka (Miles dan Huberman, 1992 p.15). Analisis kualitatif menggunakan kata-kata yang disusun dalam teks sebagai hasil pengolahan data.
Alur yang digunakan dalam penyajian data penyajian hasil analisis menurut Matthew dan Michael dalam Miles dan Huberman (1992, p.20) dibagi tiga, yakni:
1)      Reduksi data. Reduksi data dalam penelitian ini diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data dari hasil penelitian di lapangan. Pada tahap ini reduksi data merupakan bagian dari analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, memilah data yang diperlukan dan yang tidak, mengorganisasi data dengan cara yang spesifik hingga dapat menarik kesimpulan dan memverifikasi kesimpulan tersebut.
2)      Penyajian data. Penyajian data kualitatif yang dimaksud adalah sekumpulan informasi yang disusun untuk memberi kemungkinan ada penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
3)      Kesimpulan dan verifikasi. Bagian terakhir dalam penyajian data kualitatif dalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan berupa deduksi suatu konfigurasi. Pembuktian kembali atau verifikasi dilakukan untuk mencari pembenaran dan persetujuan sehingga validitas dapat tercapai.













BAB IV
KESIAPAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM
MENYONGSONG IMPLEMENTASI UU NO.14 TAHUN 2008
TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK



4.1       Gambaran Umum Organisasi  Kementerian Hukum dan HAM
            Salah satu keunikan Kementerian Hukum dan HAM  yang membedakannya dengan organisasi publik yang lain salah satunya adalah banyaknya unit organisasi yang bernaung didalamnya. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Kementerian Hukum dan HAM memiliki sebelas Unit Utama Eselon I, 33 Kantor Wilayah, serta 700 Unit Pelaksana Teknis yang tersebar secara nasional.
           
Mengacu pada struktur organisasi Kementerian Hukum dan HAM, maka diketahui bahwa organisasi Kementerian Hukum dan HAM dipimpin pejabat setingkat menteri. Dengan kata lain manajemen puncak atau penentu kebijakan dalam lingkungan Kementerian Hukum dan HAM dipegang oleh Menteri Hukum dan HAM selanjutnya kebijakan pimpinan ditunjang secara administratif melalui Sekretariat Jenderal untuk diimplementasikan oleh Unit-Unit Utama Eselon I. Kantor-Kantor Wilayah merupakan perwakilan Menteri di daerah maka dari itu langsung berhubungan dengan Menteri Hukum dan HAM.

4.2       Tugas Pokok dan Fungsi Kementerian Hukum dan HAM
          Adapun yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Kementerian Hukum dan HAM adalah sebagai berikut :
Tugas Pokok
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Fungsi
1.  perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang hukum dan hak asasi manusia;
2.  pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya;
3.  pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
4.  pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; dan
5.  penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden.
            Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM sebagai serviceunit  dari organisasi terbagi dalam enam biro setingkat eselon II yang memiliki tugas pokok dan fungsi atas nama departemen, tidak dibatasi pada fungsi yang bersifat teknis pelayanan masyarakat. Perlu diketahui bahwa unit utama eselon I Kementerian Hukum dan HAM selain Sekretariat Jenderal ( Imigrasi, Pemasyarakatan, Hak Kekayaan Intelektual, Peraturan Perundangan, Administrasi Hukum Umum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hak Asasi Manusia, Badan Pembinaan Sumber Daya Manusia) terikat pada pelayanan yang bersifat teknis kepada masyarakat. Adapun biro-biro yang menjadi sistem pendukung Sekretariat Jenderal tersebut adalah Biro Perencanaan dan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Biro Kepegawaian, Biro Keuangan, Biro Umum, Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri, dan Biro Perlengkapan. 

4.3       Kesiapan Organisasi Kementerian Hukum dan HAM Menyongsong Implementasi UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

            a. Persepsi dan Motivasi Terhadap Perubahan
            Bagaimana stimulus yakni UU KIP dalam persepsi dan motivasi manajemen Kementerian Hukum dan HAM merupakan salah satu dimensi penelitian. Menjelang implementasi UU KIP seperti apa persepsi manajemen puncak organisasi  serta apakah persepsi itu memberikan motivasi terhadap langkah-langkah persiapan perlu diketahui secara mendalam. Perlu diketahui apakah persepsi dan motivasi positif dapat serta merta mendorong organisasi untuk berkonsolidasi mempersiapkan langkah-langkah perubahan, atau sebaliknya. Karena dalam langkah perubahan dan pengembangan organisasi yang ideal, kegiatan yang berkontribusi dalam manajemen perubahan diawali dengan persepsi dan motivasi positif, selanjutnya perlu disertai dengan tahapan-tahapan berikutnya karena perubahan dan pengembangan organisasi merupakan proses yang berkelanjutan.
            Menurut Kepala Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Djoko Sasongko (Wawancara dengan Djoko Sasongko, tanggal 06 Oktober 2009) keberadaan UU KIP dapat memberi motivasi anggota organisasi terkait pelayanan informasi, yakni:

Djoko Sasongko juga menekankan bagaimana dampak UU KIP terhadap organisasi Biro Humas dan HLN :
            Dampak dari implementasi UU KIP ini ada ada dua, pada satu sisi staff-staff kita bisa dikenakan suatu peringatan/sanksi-sanksi terhadap tidak dilaksanakannya atau apabila ada permasalahan di dalam implementasi UU tersebut. Suatu contoh : masyarakat ada complain tapi tidak dilanjuti, maka kita akan mendapat masalah atau sanksi, bisa teguran atau lainnya sesuai ada tercantum dalam UU itu. Dampak positifnya jelas kita akan terpacu untuk menciptakan atau bisa memotivasi pegawai untuk maju ke depan.”

            Sementara Kepala Bagian Hubungan Luar Negeri Lilik Sri Haryanto yang juga menjabat sebagai Deputy National Project Director CAPPLER Project (Enhancing Communications, Advocacy and Public Participation Capacity for Legal Reforms) (Wawancara dengan Lilik Sri Haryanto tanggal 08 Oktober 2009), memiliki persepsi terhadap UU KIP sebagai berikut :

Informasi merupakan sesuatu yang harus disediakan karena itu merupakan juga tanggung jawab dari organisasi publik beserta aparaturnya  untuk melakukan suatu akuntabilitas dan setiap apa yang dilakukan oleh organisasi publik itu sendiri awalnya itu, kita harus sepakat seperti itu. Namun demikian hal itu yang dulu bisa kita tawar-tawar suatu yang boleh tidak, sekarang menjadi satu keharusan dengan lahirnya undang-undang itu, hingga semua organisasi publik berkewajiban dan semua aparaturnya berkewajiban untuk itu dan apabila sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan itu tidak dipenuhi maka yang bersangkutan itu bisa dikenakan sanksi, baik administratif maupun pidana. Jadi artinya suka atau tidak suka, keterbukaan informasi publik itu harus disediakan oleh aparatur dan juga organisasi publik yang ada didalamnya.”
             
            Sedangkan, Kepala Bagian Pengolahan Data pada Biro Perencanaan Othman Nasution (wawancara dengan Othman Nasution tanggal 12 Oktober 2009) memiliki persepsi terhadap UU KIP sebagai kepastian hukum untuk masyarakat terhadap akses terhadap informasi yang dimiliki badan publik :
            Undang-undang KIP ini menurut saya adalah salah satu undang-undang yang memang memberikan kepastian hukum terhadap pelayanan informasi yang dilakukan oleh instansi pemerintah dan undang-undang ini sebenarnya menurut saya, sebelum disosialisasikan atau diperlakukan memang sebaiknya diadakan dulu pengkajian terhadap kesiapan kelembagaan pemerintah terlebih dengan yang terkait dengan pembangunan e-government. Sebagai salah satu wujud dari pelayanan informasi yang nantinya akan memenuhi apa yang menjadi substansi dari keterbukaan informasi publik. Karena kita lihat sekarang ini kelembagaan terhadap informasi di Kementerian Hukum dan HAM maupun secara umum di instansi pemerintah belum berjalan dengan baik.”

            Berdasarkan hasil wawancara, para informan mengenai UU KIP dan implementasinya dapat diketahui bagaiman persepsi Informan. Secara umum informan tampak  mengetahui keberadaan UU KIP. Bahkan informan memahami bahwa UU KIP pasca efektif suka atau tidak suka harus dijalankan. Informan memposisikan UU KIP sebagai landasan hukum terhadap pengelolaan dan pelayanan informasi badan publik. Hal ini memperkuat persepsi bahwa UU KIP dapat memacu pegawai dalam melakukan tindak lanjut terhadap permintaan masyarakat terhadap informasi karena UU KIP mengatur sanksi apabila suatu badan publik tidak melakukan pelayanan yang semestinya, hingga dinyatakan bersalah dalam sengketa pelayanan informasi.

b. Visi 
            Visi organisasi adalah fokus dan tujuan organisasi hingga misi serta struktur organisasi diarahkan pada terwujudnya visi organisasi. Pada wawancara diketahui bahwa visi organisasi Kementerian Hukum dan HAM telah melalui proses pembahasan. Kepala Hubungan Luar Negeri Lilik Sri Haryanto menjelaskan proses penyusunan visi organisasi Departemen Hukum dan HAM :
“Visi Departemen Hukum dan HAM yang ada sekarang itu kan memang sudah kalau kita mau apa mengkaji secara akademik itu sudah pasti sudah menyimpang dari pekerjaan sehari-hari oleh Departemen Hukum dan HAM. Jadi mengenai supremasi hukum sebagai apa namanya… keywords daripada visi misi kita saya kira itu sudah tidak relevan.
Karena Departemen Hukum dan HAM itu tidak bisa membuat supremasi hukum. Kita hanya pelaksana hukum. Dan, kumpulan pelaksana hukum itu  ya kalau memang berhasil semuanya ya hukum baru bisa supreme. Tapi kita memang bukan organisasi untuk mewujudkan supremasi hukum itu. Karena kita bukan penegak hukum.  Kita ini pelaksana hukum. Dalam konteks hukum administrasi negara yang ada sekarang. Persoalannya ketika dilakukan rencana perubahan visi misi Departemen Hukum dan HAM itu menurut hemat saya, prosesnya itu keliru.
Nah pada waktu itu dilakukan pengundangan kepada semua orang hingga yang hadir pada forum itu begitu luas. Dan kemudian dihadirkan disitu konsultan untuk merumuskannya. Apakah sesuatu yang luas kemudian dirumuskan secara apa dengan waktu yang juga cepat seperti itu pasti menyebabkan kekeliruan-kekeliruan seperti yang sudah digagas oleh para petinggi Departemen Hukum dan HAM kemarin akhirnya terjadilah kelirumologi.
Jadi kekeliruan ilmu yang tidak sesuai dengan bagaimana proses seharusnya. Nah pada waktu itu memang sepertinya pejabat di lingkungan Departemen Hukum dan HAM dalam rangka mewujudkan visi dan kemudian misi itu ada aklamasi untuk ke arah sana. Tapi pada waktu pembahasan akhir perunit ternyata secara akademik dipermasalahkan oleh seorang pejabat eselon I, maka penyusunan visi misi itu kemudian terhenti.
Jadi tidak ada pembicaraan lebih lanjut. Jadi yang penting sekarang dirumuskan dulu program kerjanya, lalu visi misinya belakangan. Hal ini menurut saya juga merupakan hal yang aneh. Sebab kita kan harusnya menetapkan visi misi dulu, baru kita menyusun program kerjanya untuk mewujudkan visi tersebut . Memang kesalahannya itu kan konsultan kita itu kan tidak memahami tugas pokok dan fungsi Departemen Hukum dan HAM. Visi misi itu kan harus berangkat dari tugas pokok dan fungsi sebuah departemen gitu.  Nah kalau visi ini kan jangkanya tidak terbatas, kalau misi itu kan dibatasi. Misi  periode sekarang sampai sekarang mau kemana disitulah baru bisa ketemu jadi sebenarnya harus diawali dari grand strategy Kementerian Hukum dan HAM itu sendiri itu mau ngapain.Sepanjang waktu kehidupannya itu, nah baru kemudian dirumuskan dalam itu. Nah kalau memenuhi proses yang betul seharuskan dirumuskan oleh sekelompok intelektual di lingkungan Departemen Hukum dan HAM dalam format yang kecil kemudian kalau sudah terbentuk baru difloorkan ke dalam forum yang besar  untuk didiskusikan dalam rangka melengkapi itu semua.
Nah Konsultan hadir dalam konteks hanya membantu didalam rangka pemaknaan dari visi dan misi itu sendiri dalam term visi dan misi dan bahasanya bukan mengenai substansinya. Ketika difloorkan kemudian konsultan merumuskan dalam bahasa mereka pasti tidak ketemu, seperti yang terjadi sekarang. Sehingga kita sendiri tidak pernah jelas Jadi sebenarnya kita ini siapa, organisasi Kementerian Hukum dan HAM itu siapa, juga sekarang ini tidak jelas. Menurut saya…”

Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko menjelaskan keberadaan visi dan misi Kementerian Hukum dan HAM yang telah diproyeksikan dalam visi dan misi organisasi 2009-2014, yakni :
Visi Departemen Hukum dan HAM 2009-2014 sudah dibahas bersama-sama dengan unit-unit serta seluruh unit Eselon I dengan para Sesditjen, Sesbadan dan Kepala-kepala kantor Wilayah dan diperkirakan selesai akhir November sesuai dengan transisi pemerintah. Sudah ada visi dan misi yang baru yakni visi dan misi 2009-2014

            Adapun visi, misi dan indikator kinerja Sekretariat Jenderal dapat dilihat pada data dibawah ini :

Gambar 4.2
Indikator Kinerja Sekretariat Jenderal
 Kementerian Hukum dan HAM


KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM


VISI  : Masyarakat Memperoleh Kepastian Hukum
Misi : Melindungi Hak Asasi Manusia.

Values : KIRAP

K epentingan Masyarakat
I ntegritas
R esponsif
A kuntabel
P rofesional

GRAND STRATEGY KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM:

a.          Menciptakan Supremasi Hukum.
b.         Memberdayakan Masyarakat untuk Sadar Hukum dan HAM
c.          Memperkuat Manajemen dan Kelembagaan secara Nasional
d.        Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Hukum  dan HAM

SASARAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

1)      Menciptakan Supremasi Hukum.
a)      Pembentukan peraturan perundang-undangan yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan perkembangan global secara tepat waktu.
b)      Seluruh peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah harmonis dan melindungi kepentingan nasional.
c)      Seluruh pengawasan dan penindakan dilakukan secara konsisten untuk menjamin kepastian hukum.


2)      Memberdayakan Masyarakat untuk Sadar Hukum dan HAM
a)      Seluruh desa sadar hukum & HAM.
b)      Seluruh masyarakat, terutama kelompok rentan dan minoritas, memperoleh perlindungan dan pemenuhan atas hak asasinya.
c)      Hak kekayaan intelektual masyarakat menjadi produk bernilai ekonomi yang diakui secara internasional.


3)      Memperkuat Manajemen dan Kelembagaan secara Nasional:
a)      Seluruh perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan dilakukan secara tepat waktu dan terintegrasi serta berdasarkan data yang akurat.

2.  ROKEU
 
q  Indikator Setjen:
i         
1.ROCANA
 
Persentase perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan dalam kerangka pengeluaran jangka menengah dan berbasis kinerja yang terintegrasi, tepat waktu dan akurat.
(a)    Persentase Rencana Strategis (Renstra), rencana pengeluaran jangka menengah yang  berbasis kinerja dan terintegrasi.
(b)   Persentase penyusunan Rencana Kerja (Renja) Kementerian  dan penyesuaian perencanaan periodik berdasarkan kerangka pengeluaran jangka menengah yang terintegrasi, tepat waktu dan akurat. (termasuk revisi anggaran dan kegiatan)
(c)    Persentase pelaksanaan program dan kegiatan secara terintegrasi, tepat waktu dan akuntabel.
(d)   Persentase unit kerja yang terintegrasi dalam pelaksanaan program dan kegiatan.
(e)    Persentase unit kerja yang memiliki standar pelayanan prima.
ii        Persentase pengelolaan keuangan & pelaksanaan anggaran yang tepat waktu, terintegrasi dan akuntabel.
(a)    Persentase pengujian SPP dan penerbitan SPM yang tepat waktu, terintegrasi dengan DIPA dan akuntabel.
(b)   Persentase administrasi pengelolaan keuangan yang tepat waktu dan akuntabel. (jumlah SK KPA, PPK, bendahara penerima, bendahara pengeluaran, penguji, penandatangan SPM, pemegang UP, TP/TGR dan surat menyurat)
(c)    Persentase akuntansi dan pelaporan keuangan yang tepat waktu, terintegrasi dan akuntabel.
(d)  
3. ROKAP
 
Persentase pelaksanaan anggaran yang tepat waktu, terintegrasi dan akuntabel. (tidak termasuk revisi DIPA)
iii      Persentase pengelolaan barang milik negara yang tepat waktu, terintegrasi dan akuntabel di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM.
(a)    Persentase unit kerja yang terpetakan kebutuhan BMN dan barang persediaan secara terintegrasi dan sesuai standar.
(b)   Persentase kebutuhan unit kerja yang terpenuhi secara tepat waktu dan akuntabel sesuai anggaran.
(c)    Persentase BMN dan barang persediaan yang terpelihara baik dan yang disalurkan secara tepat waktu dan akuntabel.
(d)   Persentase BMN dan barang persediaan yang terinventarisasi secara terintegrasi dan akuntabel.
(e)    Persentase penghapusan BMN yang terintegrasi dan akuntabel.
iv     
PUSBANG YATEL
 
Persentase unit utama dan kantor wilayah yang terintegrasi dalam jaringan data dan informasi.
(a)    Persentase administrasi pusat pengembangan dan pendayagunaan telematika yang tepat waktu dan akuntabel.
(b)   Persentase unit utama dan kantor wilayah yang terintegrasi dalam jaringan data dan informasi.
(c)    Jumlah kebijakan, standarisasi, pedoman dan prosedur yang mendukung integrasi bidang telematika di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. (diusulkan menjadi Bidang Kebijakan dan Standarisasi Telematika)
v       
PUSDAKTI LOSKOPI
 
Persentase penduduk yang terumuskan dan teridentifikasi sidik jarinya.
(a)    Persentase penduduk yang terumuskan dan teridentifikasi sidik jarinya.
(b)   Persentase penduduk yang data dan informasi jati dirinya terintegrasi secara nasional. (Subdit data, informasi dan dokumentasi)
(c)    Persentase data sidik jari yang memiliki dokumentasi dan arsip yang akuntabel. (Subdit dokumentasi dan arsip gabung subdit data informasi dan dokumentasi)
(d)   Persentase administrasi pusat daktiloskopi yang tepat waktu dan akuntabel. (Bagian Umum)

b)      Seluruh unit kerja memenuhi standar pelayanan prima dan mencapai target kinerjanya dengan administrasi yang akuntabel.

q  Indikator Sekjen:
i         
4.  ROHUMAS
 
Terbentuknya citra positif Kementerian Hukum dan HAM di forum nasional dan internasional.
a.       Jumlah lembaga pemerintah dan organisasi kemasyarakatan yang berpartisipasi dalam pelaksanaan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM.
b.      Jumlah negara dan badan internasional yang bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM.
c.       Persentase berita terkait Kementerian Hukum dan HAM yang didistribusikan  atau direspon dalam waktu kurang dari 24 jam secara benar.
d.      Persentase penyelesaian masalah hukum Kementerian Hukum dan HAM dan persentase pelaksanaan administrasi sekretariat majelis pengawas notaris pusat yang akuntabel.

ii       
5.ROUM
 
Persentase pencapaian standar pelayanan prima dalam bidang ketatausahaan dan kerumahtanggaan.
(a)    Persentase administrasi dan pelayanan tugas pimpinan yang akuntabel dan tepat waktu.
(b)   Persentase pelayanan kerumahtanggaan yang memenuhi standar pelayanan prima
(c)    Persentase pelayanan pengamanan departemen yang memenuhi standar pelayanan prima
(d)   Persentase unit kerja departemen yang memenuhi standar pelayanan prima dalam ketatausahaan
(e)    Persentase aparatur yang memperoleh pembinaan sikap mental (akan pindah ke biro pegawaian?)

iii     
PUSJIAN BANG
 
Jumlah rekomendasi peningkatan kinerja dan pelayanan Kementerian Hukum dan HAM.
(a)    Persentase perencanaan, evaluasi dan pelaporan Pusjianbang yang akuntabel dan tepat waktu.
(b)   Jumlah rekomendasi kebijakan Kementerian Hukum dan HAM di bidang hak kekayaan intelektual, keimigrasian, pemasyarakatan, pelayanan hukum dan jasa hukum lainnya serta administratif fasilitatif.
(c)    Persentase administrasi Pusjianbang yang tepat waktu dan akuntabel.

c)      Kementerian Hukum dan HAM  sebagai Law Centre memiliki Kantor Pelayanan Hukum dan HAM  di setiap kabupaten/kota.

q  Indikator Setjen:
i          Persentase pencapaian standar pelayanan prima dan target kinerja dengan administrasi yang akuntabel di tingkat propinsi.
(a)   Persentase administrasi Kanwil yang tepat waktu dan akuntabel.
(b)   Persentase pelayanan dan penindakan hukum yang memenuhi standar pelayanan prima. (sementara minus kesadaran hukum dan pembentukan hukum)


4)      Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM

a)      Seluruh  aparatur  Hukum dan HAM memiliki kompetensi sesuai bidangnya dan memperoleh pengembangan karir yang jelas.
b)      Seluruh unit kerja memiliki SDM profesional sesuai kebutuhan dan kaderisasi yang berkesinambungan.

q 
6. ROPEG
 
Indikator Setjen:
i          Persentase unit kerja yang memiliki SDM profesional sesuai kebutuhan dan kaderisasi yang berkesinambungan.
(a)    Persentase kelengkapan data pegawai secara up-to-date, akurat dan on line.
(b)   Persentase administrasi biro kepegawaian yang akuntabel dan persentase aparatur yang memperoleh pembinaan sikap mental sesuai kebutuhan.(pindahan dari biro umum)
(c)    Persentase unit kerja yang memiliki kaderisasi berkesinambungan dan pegawai yang memperoleh pengembangan karir.
(d)   Persentase unit kerja yang memiliki alokasi SDM profesional sesuai kebutuhan dan persentase pegawai yang memperoleh promosi secara tepat waktu.
(e)    Persentase penyelesaian pelanggaran disiplin pegawai dan persentase penyelesaian permohonan pegawai.

(Sumber : Data Indikator Kinerja Sekretariat Jenderal Biro Perencanaan Kementerian Hukum dan HAM 2009)

Mengacu pada data indikator kinerja tersebut diatas diketahui bahwa Kementerian Hukum dan HAM telah memiliki visi dan misi organisasi. Mengacu pada visi dan misi organisasi tersebut disusun suatu indikator kinerja untuk mewujudkan tujuan organisasi. Nilai yang menjadi perekat dalam penyusunan visi adalah KIRAP, yakni : Kepentingan Masyarakat, Integritas, Responsif, Akuntabel, Profesional. Posisi prinsip keterbukaan informasi ada pada prinsip kepentingan masyarakat, integritas aparatur, responsiveness aparatur dan prinsip akuntabilitas.

c. Membangun Dukungan Terhadap Perubahan
            Perubahan organisasi memerlukan dukungan dari berbagai pihak dalam langkah-langkah tahapannya. Bentuk dukungan manajemen dapat berupa kebijakan dan prosedur yang mengatur fleksibilitas terhadap kondisi transisi, logistik (misalnya, kualitas peralatan, sumber daya manusia, keuangan). Selain itu, beberapa teori mengemukakan bahwa tingkat kepercayaan anggota organisasi dalam pengelolaan persiapan perubahan akan menumbuhkan persepsi bahwa organisasi dapat menjadi lebih baik melalui perubahan organisasi. Dukungan manajemen dapat disampaikan secara lisan dalam pidato serta dikonkritkan dalam bentuk formal, yakni melalui surat keputusan atau persetujuan atas program kegiatan. Unit yang memiliki tugas pokok dan fungsi terkait informasi dan komunikasi perlu melakukan berbagai aktivitas untuk membangun dukungan perubahan. Kegiatan untuk membangun dukungan perubahan telah difasilitasi dalam kerjasama antara Kementerian Hukum dan HAM dengan UNDP melalui berbagai pembahasan, rapat, focus group discussion  dan seminar internal.
Tampaknya manajemen puncak mendukung langkah-langkah persiapan implementasi UU KIP, seperti dinyatakan oleh Djoko Sasongko (wawancara dengan Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko tanggal 06 Oktober 2009) sebagai berikut :
Dukungan pimpinan jelas ada, yakni dari menteri dan dari eselon I Sekretariat Jenderal. Telah ada Dukungan Positif. Menteri dan sekjen memberi arahan dan petunjuk-petunjuk dalam rapat-rapat internal serta ada juga dalam pidato sambutan.

Dukungan manajemen puncak Kementerian Hukum dan HAM belum berbentuk kebijakan formal yang mengatur bagaimana keterbukaan terhadap informasi dikelola. Hal ini dinyatakan oleh Othman Nasution (wawancara dengan Kepala Bagian Pengolahan Data Biro Perencanaan Othman Nasution tanggal 12 Oktober 2009) :
Pasti semua organisasi terpengaruh oleh UU KIP, tapi kita lihat sekarang ini  itu belum disiasati dengan kebijakan yang benar-benar terprogram dengan baik. Dalam suatu kebijakan yang terintegrasi misalnya, dalam kebijakan manajemen, kebijakan pengelolaan SDM, infrastruktur, dan juga pembangunan database. Secara terperinci belum, yang ada setiap unit memang melakukan kegiatan pembangunan e-gov yang dalam arti kata mereka mempunyai website masing-masing,syukur-syukur informasi yang disampaikan melalui website tersebut sudah bersifat informatif sesuai tupoksi, bersifat terbuka dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. karena penyajian informasi yang di website itu tergantung dengan content nya, yang belum menjembatani kebutuhan masyarakat. saat ini lebih terfokus pada interface, atau tampilan yang menarik, sedangkan untuk content nya perlu dikaji ulang. saya yakin belum semua yang mampu memenuhi, karena saya sering mendapat pertanyaan dari berbagai lapisan masyarakat, melalui email misalnya. Perlu manajemen hingga data informasi dapat diolah sehingga itu dapat memberi kontribusi terhadap apa yang menjadi tuntutan masyarakat dengan adanya undang-undang keterbukaan informasi. Sedangkan keterbukaan informasi itu sendiripun menurut saya, tentu harus digariskan  mana yang menjadi keterbukaan informasi dan mana yang menurut undang-undang. informasi yang dirahasiakan. Tidak semuanya kan ? Ada beberapa kategori, kalau saya tidak salah, akan tetapi yang menjadi kepentingan khalayak umum yang benar-benar dapat diperoleh dengan azas keterbukaan itu ada kategori yang harus dirumuskan terlebih dahulu. Dan itu belum dilakukan  oleh Departemen Hukum dan HAM. Belum ada yang merespon ya, baik yang ditingkat Setjen maupun yang di unit utama.

            Pada prinsipnya manajemen mendukung serta memberikan fasilitas terhadap pihak terkait dalam melakukan kegiatan dalam kerangka persiapan implementasi UU KIP.  Secara tersirat memang ada dukungan terhadap persiapan implementasi UU KIP. Hal tersebut dinyatakan oleh pimpinan melalui pidato maupun arahan dalam rapat. Biro Humas dan HLN membuat kebijakan terkait persiapan implementasi dengan memberikan penugasan kepada staf untuk mengikuti pelatihan / workshop / seminar terkait implementasi UU KIP. Penugasan terhadap staf pada satu sisi adalah menciptakan kaderisasi serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pada sisi yang lain, sumber daya tersebut harus dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pihak manajemen agar tidak sia-sia. Demikian pula dengan persetujuan pelaksanaan kegiatan Biro Humas dan HLN tahun 2010 yang akan melakukan sosialisasi UU KIP. pada tahap ini sosialisasi memiliki tujuan terciptanya persamaan pemahaman pada tiap-tiap lini Kementerian Hukum dan HAM terhadap signifikansi UU KIP.
Meskpun demikian dalam persiapan menyongsong implementasi UU KIP aktivitas bersama UNDP dalam CAPPLER Poject yang dikategorikan sebagai agen perubahan untuk membangun dukungan terhadap perubahan tidak dimanfaatkan optimal. Hal itu tercermin dari belum ada dukungan berupa kebijakan yang secara substantif merancang persiapan organisasi dalam implementasi UU KIP karena Baik Biro Perencanaan dan Biro Humas melalui wawancara ini menyatakan hal yang sama: Kebijakan yang ada berupa arahan dalam rapat atau dinyatakan secara lisan dalam pidato, tetapi dukungan yang substantif  dan formal itu belum ada.

            c.1  Agen Perubahan
Perubahan memerlukan intervensi pihak tertentu yang menjadi agen perubahan. Agen perubahan dalam birokrasi klasik merupakan unit atau personel yang diberi atau memiliki kewenangan formal dalam bertindak. Anggota organisasi dalam tatanan birokrasi klasik bersifat terikat pada hierarki organisasi. Hal ini disebabkan oleh perlunya ada suatu wewenang formal untuk menginisiasi perubahan.  Sementara pihak yang berperan sebagai agen perubahan bisa berasal dari dalam atau dari luar organisasi.
Kementerian Hukum dan HAM memiliki kerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP) dengan program CAPPLER (Enhancing Communication, Advocacy and Public Participation Capacity for Legal Reform Project). Terkait dengan implementasi UU KIP, dalam Project Facts UNDP Enhancing Communication, Advocacy and Public Participation Capacity for Legal Reform disebutkan bahwa :
Achievement : Established the MLHR (Ministry of Law and Human Rights) Communication and Information Centre as the gateway of information between the MLHR, the general public, civil society and the media. Now operational, the centre benefits from the development and implementation of standard operating procedures and related communications management processes. The project also trained MLHR staff to manage the centre. The operations of the centre will be fully handed over to the MLHR by end of 2008; Development of MLHR’s public communication strategy in line with the recently enacted law no.14/2008 on Freedom of Information (Sumber : Project Facts UNDP , November 2008).

Pada Project Facts tersebut UNDP menyatakan telah menghasilkan pencapaian sampai pada memberikan manfaat dari pengembangan dan pelaksanaan standar prosedur operasi dan proses manajemen komunikasi terkait, pelatihan kepada staf Kementerian Hukum dan HAM hingga adanya pengembangan strategi komunikasi publik Kementerian Hukum dan HAM sesuai dengan Undang-Undang No.14/2008 mengenai Kebebasan Informasi.
Keberadaan UNDP  dan kerjasamanya dengan Kementerian Hukum dan HAM oleh Lilik Sri Haryanto dijelaskan sebagai berikut :
Awal muasalnya itu memang CAPPLER Project  itu hanya satu ditujukan   kepada keterbukaan informasi publik dan partisipasi publik dalam legal reform, jadi tidak ada kata lain di dalam project itu. Nah  pada waktu itu karena Mas Ota (Mas Ahmad Santosa Senior Advisor UNDP) sebagai senior advisor itu mengusulkan bagaimana kalau project ini tidak seluruhnya menjadi tanggung jawab gedung tengah. Tidak menjadi tanggung jawab sekretariat Jenderal, nah oleh sebab itu karena pada waktu itu yang menandatangani  pun juga adalah Direktorat Jenderal PP, karena pemahaman legal reform itu harus terjadinya di Direktorat Jenderal PP. Nah legal reformnya sendiri itulah yang kemudian melahirkan pemikiran  untuk merumuskan  apa  namanya peraturan Perda, apa namanya untuk supaya harmonis  perancangan peraturan perundang-undangan itu benar-benar bisa terwujud dari tingkat yang paling tinggi hingga tingkat Perda.  Itu harapannya  pada waktu itu. Nah kemudian disepakati. Ini sebenarnya dalam rangka pembagian pekerjaan aja. Pembagian aja supaya ada project di Direktorat Jenderal PPnya sendiri. Nah tapi,penyusunan peraturan Perda itu, Pedoman penyusunan peraturan perda itu hanya merupakan salah satu instrumen  yang diberikan kepada publik agar ikut mengawasi apabila terjadi  pembaharuan hukum  termasuk pembaharuan Perda  itu bisa mendapat partisipasi publik yang sangat luas.
Oleh sebab itu Perda, kenapa karena pada waktu itu asumsinya dua: pertama : orang-orang yang mengelola atau yang merumuskan  peraturan Perda itu sendiri masih banyak yang belum paham tentang bagaimana menyusun Perda yang bener. Yang kedua itu adalah untuk kepentingan masyarakat sebenarnya. Masyarakat luas.Dengan beredarnya buku itu diharapkan tidak hanya penyusunnya tapi juga masyarakat luas bisa mengetahui kesalahan-kesalahan, bisa mengetahui apa namanya, istilahnya tidak terjadinya lex specialis dalam setiap Perda. Meskipun demikian sebenarnya kalau Perda itu seharusnya lex specialis, tetapi harapannya  tetap harmoni meskipun lex specialis. Jadi sebenarnya tetap, pokok utamanya adalah disitu, nah kemudian ketika mau mengakhiri apa namanya, Project CAPPLER 1 , kemudian menuju Project CAPPLER 2 sebenarnya yang ingin dicoba dioptimalkan  ada 2. Yang pertama mengenai  Keterbukaan Informasi Publik itu sendiri, kemudian yang kedua mengenai bagaimana wujud dari harmonisasi. Yang real.
Jadi didalam mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk Perda. Nah ketika keterbukaan informasi publik itu sudah menjadi salah satu bagian, tetapi  pada waktu itu yang disepakati awal itu hanya mengenai pemahaman undang-undang keterbukaan informasi publik itu sendiri. Kemudian sama penyusunan substansi setiap unit utama tentang keterbukaan informasi publik yang harus disediakan dan juga yang dilarang. Itu yang menjadi pokoknya.
Tetapi kemudian karena sekali lagi peranan penasehat begitu kuat dan  juga intensitas peranan pejabat yang lebih tinggi juga lebih kuat gitu kan, maka apa namanya CIC ditinggalkan kemudian lebih diarahkan ke harmonisasi Perda itu, harmonisasilah secara keseluruhan bukan cuma Perda.”


Project Manager UNDP Ruslan Adji (wawancara dengan Program manager UNDP Ruslan Adji, 02 November 2009)  menjelaskan kerjasama antara UNDP dan Kementerian Hukum dan HAM :
            Kerjasama antara UNDP dan Kementerian Hukum dan HAM merupakan kesepakatan Pejabat Tertinggi dari Departemen dan UNDP dengan inisiatif Bappenas. Kesepakatan antara Departemen dan UNDP tertuang dalam substansi yang disusun dalam project document. Dalam project document tertuang substansi proyek, pembiayaan dan jangka waktu”

UNDP dalam kegiatan CAPPLER Project memiliki peranan sebagai agen perubahan yang terikat dengan perjanjian kerjasama formal. UNDP bertindak sebagai fasilitator dengan tidak melakukan intervensi langsung ke dalam kebijakan internal Kementerian Hukum dan HAM. Kerjasama antara UNDP dan Kementerian Hukum dan HAM tersusun dalam Project Document (Prodoc) dimana UNDP bergerak sesuai dengan tujuan yang sudah tercantum dalam Prodoc. Adapun tujuan kerjasama ini disampaikan oleh Ruslan Adji sebagai berikut :
            Ada empat tujuan dalam Prodoc yakni berdiri dan operasionalnya PIK, penyusunan Perda Guidelines, Penyusunan Petunjuk harmonisasi dan Penyusunan Prosedur Partisipasi Publik

Keberadaan dan beroperasionalnya PIK (Pusat Informasi dan Komunikasi) di Kementerian Hukum dan HAM merupakan prakarsa UNDP.  Akan tetapi keberadaan PIK berfungsi bukan sebagai unit yang memiliki kewenangan formal melakukan pengelolaan dan pelayanan informasi.
Lilik Sri Haryanto menegaskan bahwa idealisme Project CAPPLER kerjasama Kementerian Hukum dan HAM dan UNDP adalah keterbukaan informasi publik :
Karena salah satu yang apa namanya dijadikan  idealisme didalam Project CAPPLER itu adalah keterbukaan informasi publik awalnya meskipun, pada waktu itu baru ada pembahasan mengenai RUU Keterbukaan Informasi Publik. Tapi Project CAPPLER itu sendiri sejak tahun 2004 idealismenya adalah keterbukaan informasi publik.”

Keberadaan pihak eksternal sebagai fasilitator dalam implementasi UU KIP tampak signifikan. Bahkan dalam wawancara, Lilik Sri Haryanto menjelaskan bahwa tanpa peran pihak luar, persiapan implementasi UU KIP akan sulit dilaksanakan :

Kerjasama dengan UNDP membuahkan hasil yang tercantum dalam Project Facts yakni rekomendasi atau konsep suatu pengembangan organisasi. Akan tetapi  sistem yang mengelola secara substantif belum ada.
Lilik Sri Haryanto menjelaskan ketiadaan system tersebut dalam wawancara :
Jadi kalau rencana kemarin kalau misalnya UNDP bisa mengakomodir itu kita kan pengennya sudah sampai pada tahap perumusan substansi yang akan di informasi publikkan . dan kemudian juga apa namanya , kita juga sudah dapat memberikan alasan-alasan seandainya undang-undang , apa ...substansi yang tidak bisa dibuka itu bahwa itu termasuk kategori yang secara hukum dibenarkan.sebab itupun juga dalam implementasinya bisa terjadi perbedaan pendapat dalam masyarakat. apakah ini yang harus dirahasiakan, apakah ini yang tidak dirahasiakan. nah ini saya kira akan  berat sekali”

 Berdiri dan berfungsinya PIK sebagai salah satu tujuan dalam kerjasama UNDP dan Kementerian Hukum dan HAM memiliki tugas pokok dan fungsi yang berlandaskan prinsip keterbukaan informasi, meskipun belum cukup tepat untuk bisa dikatakan telah selaras dengan prinsip-prinsip dalam UU KIP.
Tugas pokok dan fungsi PIK kerjasama Kementerian Hukum dan HAM dan UNDP dapat dilihat sebagai berikut :

Mengacu pada wawancara, data dan observasi lapangan UNDP sebagai fasilitator diidentifikasi  sebagai agen perubahan. UNDP menginisiasi suatu task force yang bertindak sebagai unit yang memiliki tugas informasi dan komunikasi. Akan tetapi ada hal yang tidak dapat diintervensi oleh UNDP yakni mengintervensi suatu kebijakan strategis dan formal. Maka dari itu, peran pihak internal sangat penting dalam mengimplementasikan suatu rekomendasi perencanaan ke dalam pelaksanaan.
Apabila disandingkan dengan UU KIP maka dapat diketahui bahwa PIK hanya merupakan embrio yang masih harus dikembangkan agar selaras dengan prinsip keterbukaan informasi publik. Amanat dalam UU KIP jelas mengatur bahwa informasi wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, diumumkan secara serta merta, dan wajib tersedia setiap saat (Bab IV Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan UU KIP). Informasi publik tersebut meliputi :
-          informasi yang berkaitan dengan badan publik,
-          informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik terkait,
-          informasi mengenai laporan keuangan, dan/atau informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 9 Bab IV UU KIP).

Badan publik wajib mengumumkan secara serta merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum (Pasal 10 Bab IV UU KIP).
Informasi publik yang wajib ditampilkan setiap saat meliputi :
-          daftar seluruh informasi publik yang berada di bawah penguasaannya,
-          hasil keputusan badan publik dan pertimbangannya,
-          seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya,
-          rencana kerja proyek termasuk didalamnya perkiraan pengeluaran tahunan badan publik,
-          perjanjian badan publik dengan pihak ketiga,
-          informasi dan kebijakan yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum,
-          prosedur kerja badan publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat; dan/atau
-          laporan mengenai pelayanan akses informasi publik sebagaimana diatur dalam UU KIP (Pasal 11 UU KIP).

Unit Pusat Informasi Komunikasi (PIK) masih memerlukan banyak  pengembangan agar dapat diselaraskan dengan prinsip keterbukaan informasi dalam UU KIP.

c.2  Inisiatif Perubahan
            Kementerian Hukum dan HAM sebagai organisasi yang hirarkis mekanis, keputusan dibuat oleh pimpinan puncak. Meskipun demikian dalam teori inisiatif perubahan bisa dimulai dari siapa saja.  Kadang pimpinan puncak tidak atau belum memahami situasi dan realita di lapangan. Maka solusi yang diberikan oleh pimpinan  walaupun sudah ada, dapat saja  belum sufficient dengan kenyataan di lapangan.
            Dalam wawancara dengan Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko, diketahui bagaimana dan sejauh mana inisiatif Biro Humas dan HLN sebagai bentuk persiapan implementasi UU KIP :
“Tahapan-tahapan persiapan  berupa pengajuan anggaran melalui pra RKAKL dimana kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh struktur baru diajukan ke Rocana. Lalu dilanjutkan dengan mengajukan orta baru sesuai dengan UU KIP dari Biro Humas ke Rocana untuk dilanjutkan ke Menpan. Tahapan ini sudah dilaksanakan.”

            Sedangkan terkait dengan inisiatif perubahan, Lilik Sri Haryanto menjelaskan bahwa inisiatif perubahan semestinya berasal dari Biro Perencanaan :
Nah struktur organisasi yang menjadi inisiator ya tentu adalah Biro Perencanaan gitu. Karena, apa namanya mengenai hal ini kan harus apa ya .. harus betul-betul dipahami oleh Biro Perencanaan dan kemudian baru dilemparkan struktur organisasi masing-masing untuk menyiapkan substansinya jadi substansi-substansi apa  yang menurut undang-undang yang harus dibuka kepada publik dan juga kalau misalnya ada satu substansi atau satu kerja dari organisasi publik itu yang memang dikategorikan tidak bisa dibuka ya kita juga harus menyiapkan apa alasannya .Nah kalau kita lihat dari kondisi kita sekarang tahun 2010 itu menurut saya tidak akan menjadi sesuatu yang diharapkan. Undang-undang no. 14 2008 itu tidak ada harapan itu.”

            Sementara, Othman Nasution menjelaskan meskipun ada kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM yang telah berusaha menerapkan prinsip keterbukaan informasi publik dengan membangun Pusat Informasi di lingkungan Kanwil, hal itu berupa inisiatif, sementara tetap diperlukan suatu mekanisme yang standar dan terintegrasi agar metode pelayanan dan pengelolaan informasi berada dalam koridor yang sama :
            “Sebenarnya kalau untuk itu saya rasa bisa inisiatif aja yang diinformasikan di Kanwil itu tentunya terkait substansi tugas pokok dan fungsi Kanwil. Masing-masing kanwil itu mungkin tugasnya sama. Tugasnya memang wakil menteri, tetapi kegiatannya kan beda.Memang seharusnya dimotori oleh Sekjen. Untuk tingkat pusat dan tingkat wilayah. Itu yang saya katakan perlu ada kebijakan yang terintegrasi. Kalau nanti memang penataan sistem informasi bukan menjadi domain Humas, menjadi domain pusat pengembangan dan pemberdayaan maka kita akan melakukan. Tapi sekarang belum bisa..”

Usulan perubahan Orta dan perubahan organisasi memang telah dibahas dalam merancang indikator kinerja Kementerian Hukum dan HAM. UU KIP menjelaskan bahwa badan publik harus menunjuk seorang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara cepat , mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan informasi publik yang berlaku secara nasional (Pasal 13 UU KIP). Keberadaan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi serta pengembangan sistem penyediaan layanan informasi merupakan dua hal signifikan dalam UU KIP yang belum dimiliki Kementerian Hukum dan HAM.
            Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Suprawoto menjelaskan (wawancara dengan Suprawoto 08 Oktober 2009) bahwa dalam penunjukkan PPID dalam suatu organisasi publik, tidak diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai petunjuk pelaksanaan :
Undang-undang ini dibuat minim sekali PP saat ini belum ada. PPnya 2, satu mengenai masa berlaku rahasia, apakah lima tahun dan sebagainya, sepuluh tahun apa limabelas tahun.. dan mekanisme dan pertanggungan jawab mengenai denda. Dua  PP itu masih belum ada. PPID itu cukup kepala unitnya masing-masing. Menterinya nanti yang buat. Jadi Menteri menunjuk PPID. Nah sekarang mungkin dibuatkan surat tugas dulu aja, jangan langsung surat keputusan dulu, karena nanti akan ada petunjuk dari Komisi Informasi,”

Melalui wawancara diketahui bahwa meskipun inisiatif terkait persiapan implementasi UU KIP sejauh ini berasal dari Biro Humas dan HLN tetap perlu diakomodir oleh Biro Perencanaan dalam bentuk suatu rencana yang secara substantif yang mampu mengatur bagaimana pengelolaan informasi di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Inisiatif ini perlu mendapat dukungan manajemen dan bersifat formal. Terkait dengan penunjukkan PPID, mau tidak mau tetap merupakan wewenang manajemen puncak. Penjelasan dari Suprawoto memperlihatkan bahwa penunjukkan PPID merupakan wewenang pimpinan, dalam hal ini penunjukkan PPID adalah wewenang Menteri Hukum dan HAM.

d. Mengelola Perubahan
            Dalam persiapan untuk menyongsong implementasi UU KIP, Biro Humas dan HLN memahami bahwa perubahan tersebut diperlukan untuk mengakomodasi apa-apa saja prinsip keterbukaan informasi dalam UU KIP. Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko dalam wawancara menegaskan :
Jelas diperlukan restrukturisasi di dalam pengelola manajemen dalam persiapan UU KIP, dan Biro Humas juga akan mengusulkan perubahan struktur dan ORTA ke Biro Perencanaan. Yang sudah dilakukan berupa penambahan struktural dan fungsional serta penempatan jabatannya.


            Biro Humas dan HLN mengajukan usulan perubahan struktural dan ORTA kepada Biro Perencanaan untuk mengakomodir indikator kinerja. Telah diketahui pula bahwa organisasi Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan pembentukan ulang organisasi (reshaping). Terlihat pada data indikator kinerja akan hadir dua unit baru dalam lingkungan Sekretariat Jenderal yakni Pusbangyatel (Pusat Pengembangan dan Pelayanan Telematika) dan Pusat Daktiloskopi. Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan perubahan dan pengembangan organisasi yang diupayakan selaras dengan reformasi birokrasi, meskipun didalamnya ada prinsip transparansi dan akuntabilitas serta keberadaan unit-unit baru ini bukan berarti Kementerian Hukum dan HAM telah siap untuk menyongsong implementasi UU KIP. Bahkan, data indikator kinerja Biro Humas dan HLN tidak mencerminkan keberadaan kinerja pengelolaan dan pelayanan informasi.
Perubahan dan pengembangan organisasi Kementerian Hukum dan HAM sejauh ini masih perlu dirumuskan oleh masing-masing unit, Kepala Bagian Pengolahan Data Othman Nasution dalam wawancara menjelaskan :
            jadi nanti, dengan  kinerja yang tiga ini seluruh kegiatan menyangkut sistem penasihat dirumuskan oleh masing-masing katakan unit atau bagian atau biro ... biro lah ...atau pusat harus merumuskan untuk mencapai kinerja ini. apa yang harus mereka siapkan? ya semua.manajemen apapun bentuknya, change managementnya, perangkatnya, sdmnya, kebutuhan pelatihannya... kualifikasinya harus mereka susun

 Othman Nasution mempertegas bahwa meskipun indikatornya sifatnya lebih ke dalam pengembangan sistem dan mekanisme, sumber daya manusia serta apa dan siapa yang bertanggung jawab menyampaikan informasi tersebut kepada masyarakat lebih sesuai apabila dirumuskan oleh masing-masing unit. Tiap-tiap unit dipandang lebih memahami bagaimana kondisi internal hingga lebih mudah dalam pemetaan serta pemisahan informasi yang dikecualikan.
                Terkait adanya unit baru yakni Pusbangyatel yang merupakan peningkatan eselonitas Bagian Pengolahan Data, dijelaskan oleh Othman Nasution dalam wawancara :

            Kesiapan Kementerian Hukum dan HAM untuk mengembangkan dan merubah organisasi menyongsong UU KIP masih ada pada tahap awal. Perubahan organisasi yang sedang berlangsung masih pada tahap penyusunan indikator kinerja. Belum ada persiapan lain yang dilakukan. Dalam wawancara dengan informan yakni Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko, Kepala Bagian Hubungan Luar Negeri merangkap Deputy National Project Director CAPPLER Project dan Program Manager PIK Lilik Sri Haryanto, Kepala Bagian Pengolahan Data Biro Perencanaan (Disposisi Kepala Biro Perencanaan) Othman Nasution, Staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika dan wakil pemerintah dalam penyusunan UU KIP Suprawoto, CAPPLER Project Manager UNDP Ruslan Adji, memperlihatkan bahwa persiapan organisasi Kementerian Hukum dan HAM masih berada pada tahap yang sangat awal karena Kementerian Hukum dan HAM belum memiliki PPID, belum memiliki kebijakan dan dukungan formal manajemen puncak, serta belum membangun suatu system informasi manajemen yang terintegrasi.
Perubahan organisasi menitikberatkan pada  pengelolaan perubahan yang direncanakan.  Sementara organisasi  cenderung member penekanan pada proses adaptif perencanaan dan pelaksanaan perubahan bukan penyusunan satu blue print untuk hal-hal yang seharusnya dilakukan. Perubahan organisasi melibatkan perencanaan untuk mendiagnosa dan memecahkan masalah yang dihadapi organisasi. Kreatifitas merupakan salah satu ciri perubahan organisasi yang kemudian dipergunakan untuk memperkuat rangkaian program pengelolaan perubahan. Blue print  perubahan dan pengembangan organisasi menjadi hal yang diperlukan karena bisa menjadi panduan bagi organisasi publik, khususnya Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan langkah-langkah persiapan untuk menyongsong UU KIP.
Dalam Seminar Kehumasan “Keterbukaan Informasi Publik Menuju Pelayanan Publik Yang Berkualitas (Jakarta, 06 Agustus 2009)” yang diselenggarakan oleh Bappenas, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta dalam sambutannya menyampaikan bahwa proses pembangunan kepemerintahan yang baik melalui paradigma keterbukaan informasi publik tersebut adalah terciptanya peningkatan kualitas pelayanan publik secara menyeluruh. Dengan arus informasi yang lancar dan terbuka, diharapkan akan tercipta satu proses birokrasi yang berkualitas yang dapat : (1) mengurangi (bahkan) menghilangkan kesenjangan peran antara organisasi pusat dengan organisasi pelaksana yang ada di lapangan; (2) melakukan efisiensi dan penghematan alokasi penggunan keuangan; (3) rasionalisasi; (4) mendekatkan birokrasi dengan masyarakat. Cita-cita good governance hanya dapat dicapai dengan relasi antara pemerintahan yang bersih dan keterbukaan informasi bagi publik. Dalam sambutan tersebut, Kepala Bappenas Paskah Suzetta menegaskan bahwa signifikansi pelayanan publik yang baik dengan keterbukaan informasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik. Pelayanan kepada masyarakat terkait informasi dan akses informasi membangun mekanisme kontrol dan menciptakan partisipasi publik.
Pada pelatihan “Budaya Dokumentasi Dalam Rangka Implementasi UU No.14 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (27-28 Oktober 2009)” yang diselenggarakan oleh  Depkominfo dan ANRI dijelaskan bahwa keterbukaan informasi publik memiliki beberapa undang-undang sebagai landasan. UU KIP  bukanlah satu-satunya undang-undang yang mengatur tranparansi untuk mewujudkan reformasi birokrasi. Undang-undang         yang menjadi landasan pengelolaan dan pelayanan informasi selain  UU KIP,  adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Pelayanan Publik, Undang-Undang Kearsipan dan Undang-Undang Rahasia Negara (masih dalam pembahasan).           
            Mengacu pada hasil pelatihan tersebut dapat diasumsikan bahwa Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) harus menyusun sistem pelayanan dan pengelolaan informasi yang ternyata juga dilandasi dengan prinsip UU ITE, UU Pelayanan Publik dan UU Kearsipan.
            Kementerian Hukum dan HAM belum memiliki sistem pelayanan dan pengelolaan informasi, maka dari itu, format manajemen sistem informasi yang akan disusun sudah harus dapat mengakomodir undang-undang tersebut. Dalam usaha membuat framework sistem informasi dalam penelitian ini yang pertama-tama akan dilihat adalah permasalahan yang dihadapi manajemen.
            Indikator kesehatan organisasi akan terlihat pada lancar tidaknya pencapaian tujuan organisasi. Tidak tercapainya suatu tujuan karena terhambatnya komunikasi merupakan gambaran dari suatu kebijakan atau keputusan yang tidak mampu menjawab persoalan yang sedang dihadapi. Proses komunikasi internal yang tidak tepat sasaran yang bisa jadi merupakan kesalahan internal, atau merupakan kesalahan analisis hingga penyajian laporan yang keliru atau hal-hal lain terkait dengan proses manajemen organisasi publik.
            Pengertian sistem informasi manajemen dalam penelitian ini akan digunakan dalam konteks pengelolaan data dan pelayanan informasi yang bersifat mengatur informasi yang ada dalam internal organisasi kepada pihak eksternal.
Kemajuan teknologi pada era teknologi informasi sekarang ini memungkinkan terwujudnya suatu proses pengolahan data secara cepat, efisien dan mudah diakses. Teknologi informasi memungkinkan output informasi yang bervariasi, dengan kata lain, informasi dapat dikustomisasi sesuai dengan permintaan dalam waktu yang cepat.
Uraian di atas menegaskan bahwa untuk mewujudkan pelayanan informasi yang efisien diperlukan penanganan informasi modern. Pada satu sisi meskipun teknologi informasi dan komputerisasi bagi organisasi publik telah menjadi kebutuhan pokok baik dalam menyelesaikan pekerjaan rutin maupun membantu memberikan pelayanan kepada masyarakat, penanganan informasi modern tidak dapat dilakukan hanya dengan komputerisasi atau pengadaan computer, tetapi juga melalui pengembangan organisasi. Dengan kata lain pengembangan organisasi merupakan upaya organisasi melakukan penyesuaian terhadap perubahan.

d.1 Kepemimpinan
Mengacu pada definisi konsep birokrasi klasik, Kementerian Hukum dan HAM memiliki apa yang disebut dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) dari unit-unit yang ada didalamnya. Tugas pokok dan fungsi ini disusun dalam panduan yang disebut dengan Organisasi dan Tata Laksana (Orta). Dalam menjalankan organisasi, Tupoksi dan Orta menjadi panduan yang mengikat. Organisasi birokrasi klasik memiliki sifat kaku/rigid serta pola manajemen top down. Akibatnya perubahan selalu berasal dari inisiatif manajemen puncak. Hal ini dikenal melalui frase : “dengan mengikuti petunjuk dan arahan pimpinan”.
Dukungan manajemen terhadap perubahan tercermin dalam kepemimpinan yang efektif. kepemimpinan yang efektif melibatkan pemantauan perubahan, sehingga dapat segera diketahui apabila diperlukan koreksi, dan pemimpin efektif mengetahui kapan diperlukan visi baru.
 Pemimpin yang terkemuka yang mengelola perubahan strategis memiliki kemampuan untuk belajar dan beradaptasi dengan perubahan. Dalam proses, organisasi belajar dipupuk dalam lingkungan keterbukaan dan saling percaya hingga memungkinkan orang untuk merangkul perubahan dan berani mencoba tanpa merasa terancam.
Organisasi-organisasi dewasa ini terus berhadapan dengan perubahan, dari perubahan lingkungan, konstelasi politik, hingga peraturan perundang-undangan. Para pemimpin dituntut untuk mampu secara terampil membimbing organisasi menuju arah strategi baru.
Kepemimpinan terkait erat dengan pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan. Sebagai tambahan dalam organisasi birokrasi, pemimpin melekat pada jabatan dan tugas, dengan kata lain seorang pemimpin memiliki wewenang dan tanggung jawab tugas yang diatur secara formal.
Wewenang formal  masih perlu ditambah dengan sifat kepemimpinan yang baik. Seorang pemimpin yang tidak memiliki sifat kepemimpinan yang baik dianggap sebagai pemimpin yang tidak efektif. Ilmu manajemen menjelaskan bagaimana pemimpin yang ‘buruk’ atau dengan kata lain pemimpin yang tidak efektif merintangi organisasi untuk berkinerja.
Bagaimana pola kepemimpinan yang ada di lingkungan Sekretariat Jenderal perlu diketahui secara mendalam. Output yang dihasilkan dalam masa transisi menjelang implementasi UU KIP, perubahan dan pengembangan organisasi, indikator kinerja masih menunjukkan adanya missing link dalam persiapan organisasi menyongsong UU KIP. Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko dalam wawancara bagaimana persiapan organisasi Biro Humas dan HLN menjelaskan bahwa :

Indikator kinerja menegaskan adanya penambahan struktural dalam Biro Humas dan HLN tetapi penambahan struktural itu tidak memperlihatkan adanya upaya untuk mengakomodasi prinsip keterbukaan informasi dalam UU KIP :

q  Indikator Sekjen:
4.  ROHUMAS
 
Terbentuknya citra positif Kementerian Hukum dan HAM di forum nasional dan internasional.
a.      Jumlah lembaga pemerintah dan organisasi kemasyarakatan yang berpartisipasi dalam pelaksanaan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM.
b.      Jumlah negara dan badan internasional yang bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM.
c.       Persentase berita terkait Kementerian Hukum dan HAM yang didistribusikan  atau direspon dalam waktu kurang dari 24 jam secara benar.
d.      Persentase penyelesaian masalah hukum Kementerian Hukum dan HAM dan persentase pelaksanaan administrasi sekretariat majelis pengawas notaris pusat yang akuntabel.

(Sumber : Indikator Kinerja Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM)

Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko mengatakan bahwa Biro Humas dan HLN sudah melakukan penambahan struktural, sedangkan Kepala Bagian Hubungan Luar Negeri sekaligus Deputy National Project Director CAPPLER Project Lilik Sri Haryanto mengatakan :
“Perencanaan itu kan boleh dibilang yang menyiapkan segala sesuatunya, Biro Keuangan itu yang membudget, nah kalau dua-dua  organisasi ini  tidak memahami materi dan juga tidak memahami message dari undang-undang maupun klausula-klausula yang diatur di dalam undang-undang keterbukaan informasi publik itu yang sudah fatal gitu. Artinya apapun yang direncanakan oleh pemerintah itu dimasa yang akan datang itu pelaksanaannya tahun 2010 nanti sepanjang itu tidak diakomodir oleh dua unit itu ya  tidak ada apa-apa. Tidak akan bisa dilaksanakan gitu. kita menyampaikan sesuatu ya tidak ada gunanya memang itu bisa dirumuskan dengan baik pada saat organisasi atau struktur-struktur dalam organisasi itu juga memahami hal yang sama.”


Meskipun dalam wawancara Lilik Sri Haryanto menyatakan bahwa Biro Perencanaan harus menyiapkan segala sesuatunya, Lilik Sri Haryanto juga menyatakan bahwa Biro Humas dan HLN bersama-sama dengan UNDP telah menyertakan Biro Perencanaan, Biro Umum dan Biro Keuangan dalam pembahasan mengenai UU KIP :
Kalau khusus Departemen Hukum dan HAM sesungguhnya Biro Humas beserta teman-teman dari UNDP pada waktu menyusun program mengenai CAPPLER Project itu sudah merupakan bagian tidak terpisahkan dari pada itu. Kemudian tidak kurang-kurangnya Kepala Biro Perencanaan, Kepala Biro Umum, dan juga Kepala Biro Keuangan itu selalu kita undang bersama-sama untuk ikut melakukan pemikiran-pemikiran tentang persiapan dalam rangka keterbukaan informasi publik itu. “

Hal yang menarik adalah telah ada pembahasan bersama-sama dengan Biro Perencanaan, Biro Umum, dan Biro Keuangan, serta UNDP, tapi mengapa tidak ada tindak lanjut. Sebagaimana dikemukakan oleh Project Manager Ruslan Adji, bahwa sudah ada strategi komunikasi yang merupakan hasil pembahasan, tetapi tidak dilaksanakan :

              “Loh kan PIK ini sudah punya strategi komunikasi... pelajari dong. Iya itu... bukunya dokumennya tebel banget tuh yang di bikin oleh PIK memberikannya dengan bambu dua itu dengan unit-unit di seluruh unit Departemen Hukum.. pelajari dulu apa yang sudah dihasilkan ..sudah merupakan dokumennya PIK itu dan mestinya ingin kita kan begitu setelah ini.. strategic planningnya sudah dipunyai... dikerjai itu... tapi tidak ada.. ngomong tentang itu aja nggak ada acan-acan.. masa anda tidak dilatih oleh bapak bambu dua itu? adalah ini loh gambaran umum problem yang ada di Kementerian Hukum dan HAM.. oleh karena itu problem tree nya begini... ini pohon ... ini solution treenya begini... lalu ini kita...visi dan misi kita..saya dengerin waktu itu... cumaaan..memang dokumen itu sangat kalian lupakan... Cuma disimpen tapi tidak pernah dipelajari, dibaca, diterjemahkan, menjadi action”.

            Sesuai dengan pola organisasi birokrasi, pada pemimpin atau pejabat yang memiliki kewenangan formal terdapat tugas pokok dan fungsi serta tanggung jawab yang melekat. Apabila dipetakan kembali, hal ini memperlihatkan ketergantungan yang tinggi terhadap pimpinan.
Faktanya, sudah ada pejabat yang memiliki wewenang formal dalam pengelolaan PIK dimana Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko menunjuk Kepala Bagian Hubungan Luar Negeri Lilik Sri Haryanto sebagai Pimpinan Pusat Informasi dan Komunikasi (PIK), pada saat yang sama Lilik Sri Haryanto juga menjabat sebagai Deputy National Project Director CAPPLER Project, serta program manager PIK. 
Dalam wawancara dengan Lilik Sri Haryanto terkait kapasitasnya sebagai Deputy National Project Director CAPPLER Project dan Program Manager PIK, Lilik Sri Haryanto menjelaskan :
“Sebenarnya dari konsultan sendiri termasuk UNDP itu hasil kerja konsultan saat terakhir termasuk rekomendasi UNDP dan tentu rekomendasi dari pelaksana PIK pada waktu itu adalah Deputy CAPPLER Project itu rekomendasinya memang harus segera distrukturkan. Dan strukturnya harus setingkat eselon 2. Kenapa setingkat eselon 2, ini supaya bisa menjadi payung daripada semua PIK-PIK, atau CIC-CIC, atau mini CIC yang ada di unit utama eselon 1 maupun  di kantor wilayah. Yang rencananya akan ditingkatkan setingkat eselon 3.Nah, persoalannya adalah pada waktu direkomendasikan hal itu, yang berkeberatan itu adalah disampaikan secara langsung adalah dari perencanaan. Pada waktu itu sesungguhnya pak Sekjen berkali-kali sudah menyetujui hal itu, kemudian karena persepsi  keliru dari Biro Perencanaan itulah yang menyebabkan ini menjadi tidak terwujud. Nah, persepsi keliru yang pertama itu adalah dibangun bahwa kalau mau membuat suatu struktur organisasi seperti ini waktunya lama, panjang, butuh waktu yang tahunan, gitu. Itu persepsi yang pertama, keliru. Padahal sesungguhnya, kalau ada kehendak dari kementerian untuk setingkat eselon 2 itu tidak perlu dimintakan persetujuan kepada presiden. Itu bisa langsung dibuat. Bahkan sekarang untuk setingkat eselon 3 pun, rancangan yang sudah berubah menjadi setingkat eselon 3 pun, karena ternyata Biro Perencanaan sudah punya rencana, punya niat sendiri untuk menjadikan Biro Pullahta menjadi suatu Biro tersendiri jadi kemudian, kepentingan itu menjadi tidak sinkron. Nah sesungguhnya itu bisa digabungkan, satu : pullahta itu bisa digabungkan dengan Pusat Informasi dan Komunikasi. Karena itu adalah apa namanya, pusat pengolahan data yang diolah kan informasi. Kecuali ada pemahaman yang berbeda. Kita juga ga tahu. Nah persepsi yang pertama itu tentang waktu yang panjang. Persepsi yang kedua, yang keliru itu adalah menempatkan informasi dan komunikasi itu bukan hal yang penting. Meskipun sudah ada undang-undang keterbukaan informasi publik itu sendiri. Nah, pameo atau apa namanya ideologi Biro Perencanaan yang selalu mengatakan : 'kecil struktur kaya fungsi' kadang-kadang itu juga dipersepsikan keliru,  Nah ini satu hal yang menurut saya sangat fatal. Dia selalu mengatakan ' sebaiknya dalam suatu organisasi publik itu, apa namanya 'kecil struktur, kaya fungsi' itu yang salah. Kan, oke struktur kecil, boleh asal fungsinya sama, misalnya kebo sama telor , atau sapi sama telor, atau ayam sama telor. ini yang sering keliru dipahami. Oke,boleh kecil struktur tapi mewadahi fungsi-fungsi yang sama.Fungsi-fungsi yang satu sama lain terkait. Kalau tidak, ya susah. Kalau sekarang misalnya sekarang humas dicampur dengan datin, humas dicampur dengan P2L, humas dicampur dengan apa, itu menjadi tidak relevan. Gitu lho. Jadi ada hal yang memang bisa begitu, ada hal yang ga bisa begitu. Kemudian kecilnya struktur itu harus dapat dipertimbangkan, berapa struktur lagi yang akan diakomodasi. Tapi kalau misalnya kita mau memayungi eselon 3 sementara kita sendiri strukturnya eselon 4 bagaimana itu bisa terjadi. Mungkin bisa diwujudkan suatu mekanisme kebersamaan yang terorganisasi dimana PIK menjadi bagian yang itu.”

Lilik Sri Haryanto mengakui bahwa ada strategi komunikasi yang telah diusulkan kepada Biro Perencanaan. Akan tetapi menurut Lilik Sri Haryanto, terjadi resistensi karena Biro Perencanaan akan mengembangkan unit baru yakni Pusbangyatel yang merupakan peningkatan eselonitas serta tugas pokok dan fungsi dari Bagian Pullahta. Adapun dalam indikator kinerja terlihat apa fungsi dari Pusbangyatel :

PUSBANG YATEL
 
Persentase unit utama dan kantor wilayah yang terintegrasi dalam jaringan data dan informasi.
(a)   Persentase administrasi pusat pengembangan dan pendayagunaan telematika yang tepat waktu dan akuntabel.
(b)   Persentase unit utama dan kantor wilayah yang terintegrasi dalam jaringan data dan informasi.
(c)    Jumlah kebijakan, standarisasi, pedoman dan prosedur yang mendukung integrasi bidang telematika di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. (diusulkan menjadi Bidang Kebijakan dan Standarisasi Telematika)
(Sumber : Indikator Kinerja Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM)

Kepala Bagian Pullahta Othman Nasution mengatakan bahwa saat ini memang belum ada kebijakan terkait UU KIP secara terintegrasi, akan tetapi saat ini, penataan sistem informasi itu bukan merupakan domain dari Pullahta :
“Itu yang saya katakan perlu ada kebijakan yang terintegrasi. Kalau nanti memang penataan sistem informasi bukan menjadi domain Humas, menjadi domain pusat pengembangan dan pemberdayaan maka kita akan melakukan. Tapi sekarang belum bisa.”

Penjelasan dari Othman Nasution menegaskan bahwa penataan sistem informasi masih menjadi domain Humas. Sementara penjelasan dari Lilik Sri Haryanto terkait resistensi Biro perencanaan terhadap strategi rekomendasi menegaskan bahwa Biro Perencanaan tidak setuju terhadap berdirinya unit baru Pusat Informasi dan Komunikasi setingkat Eselon II. Hal itu lebih disebabkan pada tugas pokok dan fungsi PIK memiliki banyak kemiripan dengan tugas pokok dan fungsi Biro Humas dan HLN, jadi yang disetujui adalah penataan ulang Biro Humas dan HLN agar sesuai dengan strategi komunikasi PIK, bukan membangun unit baru.
Terkait resistensi dari Biro Perencanaan, Lilik Sri Haryanto menjelaskan :
“Sekarang yang mengelola informasi itu macam-macam. Misalnya contohnya di HAM. Yang mengelola informasi itu setingkat eselon 2. Nah di unit lain, ada yang eselon 3, ada yang eselon 4, ada yang eselon 2. Jadi yang mana ? Lagi di imigrasi itu apa namanya, humas PPL, PPL sendiri itu kan mengkaji  segala macam laporan gitu kan dan kemudian mewujudkan laporan tentang kegiatan-kegiatan. Sementara informasi dan komunikasi itu hal-hal yang lain. Tidak semua informasi yang ditaruh disana bisa ditaruh disini. Dan tidak semua informasi itu bisa dikomunikasikan. Nah ini adalah pemikiran-pemikiran yang selama ini keliru. Dari nomenklatur yang dibangun dan juga fungsi-fungsi yang dibangun dalam setiap satu struktur. Nah ini saya kira pengkajian yang dilakukan oleh Biro Humas pada waktu itu, melalui Rakor Kehumasan itu sesungguhnya harus ditindaklanjuti. Tapi sampai sekarang rekomendasi itu tidak pernah ditindaklanjuti oleh pimpinan. Kemudian perintah undang-undang no.14 thun 2008 juga tidak diikuti dalam rangka restrukturisasi. Di sana kan diharapkan bahwa setiap organisasi publik mempunyai badan, setingkat eselon 1 bahkan, bukan cuma sekedar eselon 2, tapi sampai hari ini, mungkin saya tidak tahu apakah departemen lain pernah membicarakan hal yang sama atau tidak. Tapi yang pasti Departemen Hukum dan HAM tidak akan pernah berpikir ke sana. Kita sudah menyampaikan berkali-kali, mestinya begini, tapi ya sepanjang Biro Perencanaan tidak mengakomodasi, ya tidak pernah akan terjadi.”

Lilik Sri Haryanto menyatakan bahwa dalam UU KIP diharapkan bahwa dalam  setiap organisasi publik mempunyai badan setingkat eselon I bahkan, bukan cuma sekedar eselon II. Sementara dalam UU KIP yang menjadi kewajiban badan publik adalah :
1)   Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada dibawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
2)   Badan publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan.
3)   Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.
4)   Badan publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik.
5)   Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, social, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
6)   Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.
(Bagian keempat Kewajiban Badan Publik Pasal 7 UU No.14/2008)

            Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik secara spesifik mengatur bahwa untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID); dan membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara cepat, mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan informasi publik yang berlaku secara nasional (Pasal 13 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik).  Dalam UU KIP tidak ada secara spesifik menegaskan harus berdiri suatu badan setingkat eselon I yang khusus mengelola dan melayani informasi. Undang-undang ini memberikan otonomi kepada badan publik untuk melakukan transformasi sesuai dengan kondisi badan publik.
            Resistensi Biro Perencanaan terhadap rencana menjadikan PIK sebagai unit pengelola informasi setingkat eselon I dikemukakan oleh Lilik Sri Haryanto dalam wawancara sebagai salah satu penyebab ketidaksiapan organisasi menyongsong implementasi UU KIP. Selain resistensi dari Biro Perencanaan, Lilik Sri Haryanto juga mengungkapkan bahwa UNDP tidak mengakomodir rencana persiapan sampai pada tahap perumusan substansi UU KIP, hingga persiapan organisasi menyongsong implementasi UU KIP akan sulit sekali. Sementara Project Manager CAPPLER Project Ruslan Adji menegaskan bahwa substansi Keterbukaan Informasi Publik bukan ranah Kementerian Hukum dan HAM melainkan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Tapi belakangan setelah diketahui bahwa keterbukaan itu bukan ranahnya Kementerian Hukum dan HAM. Kita mengikuti kebenaran yang baru itu. Dalam pertemuan project board, mereka menyangka bahwa keterbukaan informasi publik itu ranahnya Departemen Hukum dan HAM. Ternyata bukan. Kalau ranahnya Departemen Hukum dan HAM, memang tepat di Pusat Informasi Komunikasi tapi ternyata di Menkominfo. Apa lagi pertanyaannya... satu tadi adalah mendirikan PIK ya... mendirikan PIK menurut kami dari proyek itu sudah tercapai... sudah kita serahkan ke Kementerian Hukum dan HAM.. kita malah ingin tahu sekarang apakah masih berfungsi sebagaimana waktu kita tinggalkan apa tidak..”

Pihak UNDP dalam hal ini dinyatakan oleh Ruslan Adji menyatakan bahwa sebagai mitra organisasi, UNDP terikat pada kesepakatan serta fakta yang berlaku. Konsep keterbukaan informasi dalam CAPPLER Project berada pada pendirian PIK dan penyusunan prosedur partisipasi publik, bukan menyusun suatu mekanisme yang berlaku nasional, karena itu adalah ranah organisasi lain. Ruslan Adji juga menyatakan pernah ada ketidakefisienan penggunaan keuangan mengakibatkan penyusunan prosedur partisipasi publik tujuan keempat dalam CAPPLER Project belum tercapai.
            penyusunan prosedur partisipasi publik.... belom tercapai belom dimulai itu... karena konsep kami dulu kan bahwa inilah bagian tugas dari salah satu unit implementing partnernya adalah Pusat Informasi Komunikasi.. nanti bersama dengan pak syaf..tapi sampai sekarang karena dulu pemakaian uangnya tidak efisien.. jaman saya belum masuk itu  uangnya habis tujuan yang keempat belum dicapai karena menyusun perda guideline itu aku masuk kan udah proyek sudah dua tahun tapi belom apa-apa.

Keberadaan pimpinan yang efektif     merupakan aktivitas pengembangan organisasi yang diperlukan untuk mempertahankan momentum perubahan. Hal ini dimaksudkan agar dalam kepemimpinan yang efektif, langkah-langkah perubahan tetap berada dalam jalurnya, dan bisa diselesaikan sesuai rencana atau berlaku dinamis dalam menyikapi adanya masalah menuju pencapaian tujuan.
Banyak upaya perubahan gagal karena anggota organisasi pada level manajerial atau yang sudah menempati jabatan tertentu memandang perubahan sebagai kesempatan. Kesempatan - baik untuk organisasi atau untuk diri sendiri. Hingga ada kecenderungan untuk memanfaatkan momen perubahan untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan organisasi. Momentum dalam perubahan organisasi bisa terlewati begitu saja apabila ada hal-hal yang terkait kepentingan pribadi mendominasi apa yang sesungguhnya menjadi kepentingan organisasi.
            Pemimpin dalam pengelolaan perubahan dan transisi organisasi bertugas menyikapi momen perubahan agar dapat mencapai tujuan organisasi. Apabila konsep PIK adalah berupaya mewujudkan keterbukaan informasi dan meningkatkan partisipasi publik, semestinya tidak ada misconduct dari prodoc, atau dengan kata lain, seorang pemimpin dapat mengawal prodoc bersama mitra terkait dalam hal ini UNDP untuk mewujudkan tujuan dari hal-hal yang telah disepakati bersama. Terkait dengan UU KIP, perubahan memang menimbulkan resistensi, hal ini perlu disikapi dengan penyesuaian perencanaan agar tetap dapat sampai pada tujuan utama yakni mempersiapkan organisasi menyongsong UU KIP. Kesiapan organisasi dalam mempersiapkan diri bukan semata-mata membangun satu unit baru setingkat eselon I melainkan membangun sistem pengelolaan dan pelayanan informasi yang selaras dengan UU KIP.
            Pemimpin yang ideal dalam manajemen perubahan mampu memandang hambatan sebagai tantangan, dan tidak menjadikan suatu hambatan sebagai alasan untuk melalaikan tanggung jawab. Penolakan atau resistensi yang pasti terjadi dalam upaya perubahan dipandang secara positif tentunya dapat disikapi secara kreatif agar tujuan organisasi dapat tercapai.
            Ketiadaan pemimpin yang efektif dan dihormati dapat menghambat kinerja organisasi. Sementara, dalam UU KIP  Badan Publik diperintahkan untuk menunjuk PPID yang akan menjadi pimpinan dalam penyusunan baik sistem informasi maupun mekanisme pelayanan dan pengelolaan informasi, sampai saat ini Kementerian Hukum dan HAM belum menunjuk PPID.

d.2  Manajemen Sistem Informasi
Dalam UU KIP diwajibkan bagi badan publik untuk membangun sistem penyediaan layanan informasi secara cepat, mudah, dan wajar. Pembangunan sistem ini termasuk pengelolaan database, pengarsipan dan pendokumentasian informasi publik dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 8 UU KIP). Pengelolaan keterbukaan informasi juga didukung dengan keberadaan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik dan UU No. 43/2009 tentang Kearsipan. Dalam wawancara dengan Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko (wawancara dengan Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko, 06 Oktober 2009) manajemen sistem informasi Kementerian Hukum dan HAM adalah :
“Manajemennya berupa pengendalian informasi. Pengendalian informasi berupa melakukan inventarisasi permasalahan di dalam informasi itu sendiri dimana kita harus bedakan mana yang rahasia dan yang tidak rahasia. Mana yang wajib dipublikasikan dan mana yang tidak boleh. Membentuk PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) sesuai dengan undang-undang KIP. Standar indikator, kriteria untuk menghasilkan target yang diinginkan dalam rangka persiapan implementasi UU KIP. Kementerian Hukum dan HAM masih mempersiapkan proses operasional dan antisipatif.”

Menurut Djoko Sasongko, organisasi masih mempersiapkan proses operasional dan antisipatif serta pengendalian informasi. Sementara menurut Kepala Bagian Pullahta Othman Nasution (wawancara dengan Kepala Bagian Pullahta Othman Nasution, 12 Oktober 2009) di Kementerian Hukum dan HAM belum ada suatu sistem yang terintegrasi sebagai persiapan implementasi UU KIP.
            Secara terperinci belum, yang ada setiap unit memang melakukan kegiatan pembangunan e-gov yang dalam arti kata mereka mempunyai website masing-masing,syukur-syukur informasi yang disampaikan melalui website tersebut sudah bersifat informatif sesuai tupoksi, bersifat terbuka dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. karena penyajian informasi yang di website itu tergantung dengan content nya, yang belum menjembatani kebutuhan masyarakat. saat ini lebih terfokus pada interface, atau tampilan yang menarik, sedangkan untuk content nya perlu dikaji ulang. saya yakin belum semua yang mampu memenuhi, karena saya sering mendapat pertanyaan dari berbagai lapisan masyarakat, melalui email misalnya. Perlu manajemen hingga data informasi dapat diolah sehingga itu dapat memberi kontribusi terhadap apa yang menjadi tuntutan masyarakat dengan adanya undang-undang keterbukaan informasi. Sedangkan keterbukaan informasi itu sendiripun menurut saya, tentu harus digariskan  mana yang menjadi keterbukaan informasi dan mana yang menurut undang-undang. informasi yang dirahasiakan. Tidak semuanya kan ? Ada beberapa kategori, kalau saya tidak salah, akan tetapi yang menjadi kepentingan khalayak umum yang benar-benar dapat diperoleh dengan azas keterbukaan itu ada kategori yang harus dirumuskan terlebih dahulu. Dan itu belum dilakukan  oleh Departemen Hukum dan HAM. Belum ada yang merespon ya, baik yang ditingkat Setjen maupun yang di unit utama.”

Keterangan dari Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko dan Kepala Bagian Pullahta Othman Nasution mengindikasikan bahwa sistem informasi yang akan menjadi landasan keterbukaan informasi Kementerian Hukum dan HAM masih belum jelas keberadaannya.
Secara teori, manajemen yang birokratis menekankan pada kebutuhan akan hirarki yang ditetapkan dengan ketat untuk mengatur regulasi dan wewenang yang jelas. Apabila belum ada wewenang dalam organisasi yang mekanistis, maka belum bisa ditentukan siapa yang akan bertanggung jawab dalam pendelegasian, penyusunan kebijakan serta quality control yang akan menjadi standar dalam sistem yang terkena dampak UU KIP.

d.3  Penegasan Komitmen
Penegasan komitmen ditunjukkan oleh manajemen organisasi Kementerian Hukum dan HAM. Melekat pada sistem yang birokratis, bahwa kebijakan yang disusun dan diformalkan menjadi landasan hokum dalam persiapan organisasi menyongsong implementasi UU KIP. Kebijakan yang dikeluarkan dapat berupa Keputusan Menteri (Kepmen) atau surat tugas. Kebutuhan akan penegasan komitmen dan kewenangan ditegaskan oleh Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Suprawoto (wawancara dengan Suprawoto, 08 Oktober 2009) :

Penjelasan Suprawoto berimplikasi positif dengan teori yang dikemukakan Dessler bahwa komitmen organisasi harus dibuat secara tertulis untuk mempertegas komitmen organisasi. Meskipun demikian, dalam organisasi Kementerian Hukum dan HAM belum ada penegasan komitmen yang dilakukan oleh pimpinan. Sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Bagian Pullahta Othman Nasution (wawancara dengan Othman Nasution, 12 Oktober 2009) :
            “Ini baru dalam tahap penyusunan indikator dan indikator ini nilai yang sebenarnya yang nanti akan dicapai, maka sekarang tahap berikutnya dari reformasi birokrasi ini adalah menyusun kegiatan. kita belum melakukan ini. apa untuk mencapai indikator kinerja pusat pendayagunaan dan pengembangan telematika, tepat waktu dan akuntabel itu apa yang mau dilakukan.”

Kepala Bagian Pullahta Othman Nasution menegaskan bahwa perubahan dan pengembangan organisasi berada pada tahap penyusunan indikator kinerja. Indikator kinerja mengacu pada reformasi birokrasi dan belum secara eksplisit kepada keterbukaan informasi. Sementara indikator kinerja Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini Biro Humas dan HLN belum mencerminkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi sebagaimana diamanatkan dalam UU KIP.                      
            Dalam prakteknya, belum ada penegasan komitmen yang telah diformalisasi oleh pimpinan puncak organisasi. Bahkan indikator kinerja yang disusun juga belum mencerminkan pemberian wewenang kepada salah satu unit dalam lingkungan Sekretariat Jenderal sebagai pengelola dan pelayanan informasi publik.
            Meskipun dalam teori, komitmen organisasi harus dibuat secara tertulis serta disosialisasikan, dalam prakteknya belum tentu. Seperti yang ada pada Kementerian Hukum dan HAM, dimana sampai saat ini, belum ada penegasan komitmen tertulis yang dilakukan oleh manajemen puncak atau pimpinan organisasi.

            d.4  Budaya Organisasi
            Paradigma baru keterbukaan informasi yang diamanatkan dalam UU KIP  memaksa perubahan budaya kerja badan publik. Keterbukaan informasi memaksa badan publik untuk melakukan beberapa perubahan dalam rangka mewujudkan informasi yang harus dapat diakses siapa saja dengan mudah, cepat, murah.  Menghilangkan birokrasi berbelit-belit untuk mendapat informasi, memperkuat prinsip pelayanan, menggeser paradigma lama dimana informasi publik bukan sekedar public relations, propaganda dan pencitraan pemerintah, melainkan penyediaan informasi yang dapat diakses. Petugas informasi dan humas memiliki peran yang lebih penting dari sebelumnya, karena kini petugas informasi dan humas memiliki posisi strategis karena menjadi pusat informasi serta memiliki akses terhadap data badan publik.
            Budaya organisasi perlu mendapat perhatian lebih karena bagi organisasi yang sedang merancang suatu perubahan, sesungguhnya budaya organisasi jauh lebih kompleks dari sekedar format struktur dalam bagan organisasi, penempatan jabatan hingga penyusunan acuan tertulis oleh manajemen atau pihak yang berwenang, Budaya organisasi disadari atau tidak membentuk perilaku anggota organisasi.
            Dalam wawancara dengan Lilik Sri Haryanto terkait kesiapan organisasi, Lilik Sri Haryanto memberikan penekanan terhadap peran sponsorship untuk mendukung persiapan implementasi UU KIP :
Saya kira kalau tidak ada ..apa namanya tidak ada pemikiran yang kearah sana kemudian juga apa namanya tidak ditunjang oleh sponsorship dari organisasi non publik itu saya kira ya akan sulit untuk persiapan 2010 sementara di dalam anggaran kita yang ada sekarang itu hanya baru setahap mengenai sosialisasi dan itupun sifatnya sangat kecil sekali
           
            Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko memberikan penekanan pada anggaran terkait persiapan yang dilakukan Biro Humas dan HLN :
Tahapan-tahapan persiapan  berupa pengajuan anggaran melalui pra RKAKL dimana kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh struktur baru diajukan ke Rocana.”

            Sementara Kepala Bagian Pullahta memberi penekanan pada belum adanya kebijakan yang terperinci mengenai persiapan organisasi menyongsong implementasi UU KIP :
Pasti semua organisasi terpengaruh oleh UU KIP, tapi kita lihat sekarang ini  itu belum disiasati dengan kebijakan yang benar-benar terprogram dengan baik. Dalam suatu kebijakan yang terintegrasi misalnya, dalam kebijakan manajemen, kebijakan pengelolaan SDM, infrastruktur, dan juga pembangunan database.”

            Manajemen Kementerian Hukum dan HAM memiliki penekanan masing-masing terkait persiapan yang perlu dilakukan organisasi. Penekanan tersebut tampak berhubungan dengan bidang tugas dan jabatan masing-masing. Ketiadaan suatu konsep yang utuh dalam mempersiapkan organisasi, bahkan ketiadaan ketersinggungan mengenai budaya organisasi memperlihatkan suatu pemahaman parsial terhadap konsep kesiapan organisasi serta apa yang perlu dipersiapkan menyongsong implementasi UU KIP.

d.5  Sumber Daya Manusia
UU KIP dapat berjalan dengan baik dan efektif jika badan publik memiliki kesiapan pelayanan informasi dan masyarakat mau dan mampu menggunakan haknya untuk memperoleh informasi. Paradigma penyelenggaraan pemerintahan baru mensyaratkan adanya perubahan dalam mekanisme komunikasi pemerintah yang semula kurang responsive dan akomodatif kepada masyarakat menjadi lebih terbuka, produktif, efektif dan efisien (Thohari, 2009).  Relevansi praktis keterbukaan informasi adalah menjadi instrumen pencegahan korupsi, kolusi, dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Dengan diundangkannya UU tentang Pelayanan Publik, secara yuridis, perundang-undangan dalam rangka peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan masyarakat menjadi semakin baik.
Posisi strategis keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan negara memerlukan kesiapan sumber daya manusia sebagai pengelolanya. Dalam perumusan rencana strategis serta pengelolaan perubahan organisasi, keberadaan sumber daya manusia yang kompeten menjadi salah satu faktor kunci yang memastikan kontinuitas perubahan organisasi dalam persiapan menyongsong implementasi UU KIP.
Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko terkait pengembangan sumber daya manusia memfokuskan pada peningkatan kualitas pegawai dengan mengikutsertakan pegawai pada berbagai pelatihan terkait UU KIP :
Bentuk dukungan manajemen terhadap persiapan implementasi UU KIP pada lingkungan Biro Humas diantaranya berupa : Langkah pertama berupa peningkatan kemampuan staff dalam pemahaman UU KIP dimana apabila ada workshop staff-staff kita selalu diikutkan untuk turut serta”

Sejauh ini tampaknya persiapan organisasi dalam manajemen sumber daya manusia masih sangat terbatas. Peningkatan kemampuan staff merupakan salah satu yang dilakukan organisasi, akan tetapi manajemen sumber daya manusia dapat berperan lebih. Dalam teori yang dikemukakan Dessler, manajemen sumber daya manusia berpartisipasi dengan mensuplai informasi terkait kekuatan dan kelemahan internal organisasi. Dengan kata lain manajemen sumber daya manusia perlu terlibat aktif baik dalam formulasi maupun implementasi strategi yang dipersiapkan organisasi.
Dalam pembahasan mengenai persiapan keterbukaan informasi publik, Lilik Sri Haryanto memberi penekanan pada Biro Perencanaan dan Biro Keuangan. Manajemen sumber daya manusia pada Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM dikelola oleh Biro Kepegawaian.
Nah ini kan jadi persoalan, sementara itu kesiapan kita dalam rangka melaksanakan undang-undang keterbukaan informasi publik, undang-undang 14 tahun 2008 itu semuanya diawali dengan pemahaman persepsi yang begitu dalam pada dua organisasi ini, perencanaan dan keuangan itu.Perencanaan itu kan boleh dibilang yang menyiapkan segala sesuatunya, Biro Keuangan itu yang membudget, nah kalau dua-dua  organisasi ini  tidak memahami materi dan juga tidak memahami message dari undang-undang maupun klausula-klausula yang diatur di dalam undang-undang keterbukaan informasi publik itu yang sudah fatal gitu.”

            Bahkan menurut Lilik Sri Haryanto, Unit Eselon II Sekretariat Jenderal yang diundang dalam pembahasan persiapan keterbukaan informasi publik adalah Biro Umum, Biro Perencanaan dan Biro Keuangan :
Pada waktu menyusun program mengenai CAPPLER Project itu sudah merupakan bagian tidak terpisahkan dari pada itu. Kemudian tidak kurang-kurangnya Kepala Biro Perencanaan, Kepala Biro Umum, dan juga Kepala Biro Keuangan itu selalu kita undang bersama-sama untuk ikut melakukan pemikiran-pemikiran tentang persiapan dalam rangka keterbukaan informasi publik itu.

Merujuk pada teori manajemen sumber daya manusia, perencanaan sumber daya manusia ditekankan kepada analisis lingkungan eksternal dan menyusun kemungkinan pemanfaatan sumber daya manusia terbaik. Perencanaan sumber daya manusia mendukung strategi untuk mencapai tujuan organisasi.
Meskipun demikian, hal-hal yang tampak ideal pada teori kadang tidak sama halnya dengan praktek. Karena dalam kesiapan organisasi Kementerian Hukum dan HAM tidak terlihat manajemen sumber daya manusia yang optimal, bahkan unit yang memiliki tugas pokok dan fungsi terkait sumber daya manusia dalam organisasi tidak dilibatkan  dalam pembahasan persiapan organisasi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN



5.1       Kesimpulan
Dalam penelitian Kesiapan Organisasi Kementerian Hukum dan HAM Menyongsong Implementasi UU KIP dapat disimpulkan bahwa :
a.    Pada saat ini Kementerian Hukum dan HAM belum siap dalam menyongsong implementasi UU KIP.
Ketidaksiapan organisasi Kementerian Hukum dan HAM terlihat dari :
-          Kementerian Hukum dan HAM belum menunjuk secara siapa atau unit apa yang menjadi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
-          Belum adanya rencana implementasi yang substantif disebabkan oleh manajemen puncak tidak memberikan wewenang formal kepada salah satu unit serta komunikasi yang tidak lancar pada internal organisasi.
-          Dalam birokrasi klasik diperlukan suatu inisiatif dari pimpinan tertinggi organisasi (Menteri Hukum dan HAM) dalam rangka mempersiapkan organisasi ke dalam paradigma baru keterbukaan, pengelolaan dan pelayanan informasi. Meskipun UU KIP telah memberikan mandat pada pimpinan organisasi publik untuk menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), hal itu tidak ada artinya apabila tidak dilakukan tindak lanjut oleh manajemen organisasi.
-          Dukungan manajemen yang sampat saat ini berupa arahan dan petunjuk perlu dikonkritkan dalam suatu perencanaan terintegrasi, dimana selanjutnya manajemen memberikan dukungan baik secara kebijakan juga secara logistic dan finansial.

b.   Belum ada standar prosedur pengelolaan dan pelayanan informasi yang dirancang sesuai dengan prinsip keterbukaan informasi dalam UU KIP.
-          Manajemen Kementerian Hukum dan HAM belum merancang blue print implementasi UU KIP agar tiap-tiap Unit Utama, Kanwil dan Unit Pelayanan Teknis bergerak dalam koridor yang sama. Akibatnya, belum ada format bagaimana system operasional prosedur yang akan dijalankan oleh organisasi.

c.       Meskipun sudah ada persiapan antisipatif terkait implementasi UU KIP, masih terlihat kurang optimal. Walaupun dalam hal ini optimal berarti telah memenuhi kaidah teoritis kesiapan perubahan organisasi.
-          Meskipun organisasi telah bermitra dengan Agen Perubahan atau Unit apabila memiliki wewenang terkait perubahan organisasi, masih perlu dilakukan pengendalian dan pengawalan kebijakan agar proses dapat berjalan hingga sampai tujuan. Keberadaan fasilitas dari agen perubahan tidak dikelola dengan baik oleh manajemen organisasi hingga manfaatnya kurang terlihat.
-          Langkah antisipatif yang telah dijalankan Kementerian Hukum dan HAM adalah memberikan penugasan kepada kepada pegawai untuk mengikuti pelatihan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan pegawai sebagai bentuk pengembangan sumber daya manusia.
-          Keberadaan pimpinan yang efektif merupakan hal krusial dalam mewujudkan tujuan organisasi. Seorang pemimpin yang tidak efektif, tidak hanya dapat menggagalkan tercapainya tujuan, juga menyebabkan organisasi yang dipimpinnya gagal berkinerja.

d.      Belum ada sistem informasi yang terpadu atau menyatukan unit-unit utama eselon I dalam organisasi Kementerian Hukum dan HAM

5.2       Saran
a.                   Membangun mekanime pelayanan dan pengelolaan informas sesuai prinsip keterbukaan informasi dalam reformasi birokrasi yang ternyata tidak hanya dikawal oleh UU KIP, melainkan juga oleh UU ITE, UU Pelayanan Publik dan UU Kearsipan.
b.                  Memberikan pemahaman kepada pimpinan organisasi mengenai signifikansi keterbukaan informasi, agar penyusun kebijakan dapat membuat kebijakan yang memadai.
c.                   Formalisasi dukungan dalam bentuk Surat Keputusan atau Instruksi Menteri. Menkonkritkan dukungan yang telah ada saat ini dalam suatu perencanaan terintegrasi, agar tersusun perencanaan yang diperkuat dengan kebijakan juga secara logistik dan finansial.
d.                  Memilih pemimpin yang efektif dan bertanggung jawab serta membangun sistem appraisal dan remunerasi agar kinerja tetap terjaga dan terpantau. Memberikan wewenang kepada pejabat terpilih untuk menyusun rencana implementasi yang substantive dengan melibatkan unit-unit terkait agar terjalin komunikasi yang lancar.
e.                   Merancang blue print implementasi keterbukaan informasi yang selaras dengan prinsip-prinsip UU KIP, UU ITE, UU Pelayanan Publik dan UU Kearsipan  agar tiap-tiap Unit Utama, Kanwil dan Unit Pelayanan Teknis bergerak dalam koridor yang sama.
f.                   Pejabat yang terpilih sesuai wewenangnya terkait perubahan organisasi perlu melakukan pengendalian dan pengawalan kebijakan agar proses dapat berjalan hingga sampai tujuan.

5.3       Rekomendasi
Organisasi dapat dikatakan siap untuk berubah jika sudah memenuhi minimal tiga kondisi utama, yakni : (1) pemimpin yang efektif, (2) organisasi memiliki sistem imbalan yang tepat, (3) organisasi non hierarkis dan orang-orang dapat bekerja kolaboratif. Penunjukkan PPID dengan surat keputusan tim pelaksana kegiatan melalui peraturan Menteri memiliki konsekuensi pemberian honorarium yang diatur dalam Standar Biaya Umum Departemen Keuangan, yaitu : berkisar Rp.750.000,- /bulan sampai Rp. 1.500.000,-/bulan (Permenkeu : No.01/PM.2/2009 tentang Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 2010). Dalam kewenangannya PPID dapat menyusun mekanisme yang lebih terdesentralisasi dimana unit-unit kerja memiliki otonomi yang lebih besar dibanding sebelumnya serta harus memberikan peluang kolaborasi mengingat mekanisme yang ada akan melibatkan orang-orang dari berbagai unit utama eselon I, kantor wilayah dan unit pelaksana teknis, apalagi orang-orang ini mungkin berada pada jenjang struktural yang berbeda.
Tugas PPID perlu diformalkan dalam Surat Keputusan dengan melekat didalamnya tugas pokok dan fungsi serta kompensasi. PPID perlu didukung dengan tim kerja yang dapat membantu PPID dalam membangun sistem informasi serta melakukan pertimbangan permohonan informasi, uji konsekuensi serta memberikan konsultasi baik kepada unit utama maupun unit pelaksana teknis. PPID menjadi penghubung antara badan publik dengan Komisi Informasi.



DAFTAR PUSTAKA



Buku
Beckhardt, R. and Harris, R.T. (1987). Organizational transitions : managing complex change. Reading : Addison-Wesley.

Covey, Stephen R. (1992), Principle of Centered Leadership. New York : Fireside.

Creswell. J.W. (2009). Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 2nd ed. Thousand Oaks, CA : Sage Publications.

Cummings, G.Thomas dan Worley, G. Christopher. (2005). Organization Development and Change. Ohio : Thomson.

Dessler, Gary. (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia Terjemahan. Jakarta : Prenhallindo.

Gaspersz, Vincent. (2004). Perencanaan Stratejik untuk Peningkatan Kinerja Sektor Publik. Jakarta : Gramedia.

Handoko, T. (2003). Manajemen. Yogyakarta : BPFE.

Jessup, Leonard dan Valacich, Joseph. (2008). Informations Sistems Today. New Jersey : Pearson Prentice Hall.

Johnson, L.K and Luecke, R. (2005). The Essential of Managing Change and Transitions. Boston, Massachusetts : Harvard Business School Press.

Kotter, John P. (1996). Leading Change.  Boston, Massachusetts : Harvard Business School Press.

Kotler, Philip, Amstrong, Garry. (1996). Priciple of Marketing 9th Edition, Upper Saddle River, New Jersey.Inc :  Prentice Hall

Mandica-Nur, Notrida G.B. (2009). Panduan Keterbukaan Informasi Publik untuk Petugas Pengelola dan Pemberi Informasi di Badan Publik. Jakarta : Indonesian Research and Development Institute (IRDI).

McKenna, E dan Beech, Nir. (1995). The Essence of Manajemen Sumber Daya Manusia Terjemahan. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Miles, M.B., dan A.M. Huberman (1994). Qualitative Data Analysis 2nd ed. Thousand Oaks, CA : Sage Publications.

Mintzberg, Henry. (1973) The Nature of Managerial Work. New York : Harper and Row.

Patilima, Hamid. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Purwanto, Iwan. (2008). Manajemen Strategi. Bandung : Yrama Widya.

Robbins, Stephen P. (2006). Perilaku Organisasi Terjemahan. Jakarta : Gramedia.

Robbins, Stephen P., Judge, T.A. (2008). Essentials of Organizational Behavior 9th edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall.

Robbins, Stephen P.,Coulter, Mary (2002).Management 7th edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall.

Schiffman, Leon G. Kanuk,L.L. ( 2000) Consumer Behavior, 7th Edition, Upper Saddle River, New Jersey : Prentice Hall Inc.

Simanjuntak,Payaman. (2005). Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suparlan,Parsudi, Phd. (1994). Metode Penelitian Kwalitatif. Jakarta : Program Kajian Wilayah Amerika – Universitas Indonesia.

Stoner, James A.F., Freeman. Edward R., Gilbert Jr, Daniel R. (1995). Management. New Jersey : Pearson Prentice Hall.

Prawirosentono, Suyadi (2007). Manajemen Operasi. Jakarta : Bumi Aksara.

Turner,D. and Crawford,M. (1998). Change Power : capabilities that drive corporate renewal. Sydney : Business and Professional Publishing.



Jurnal

Armenakis, A.A., and Harris,S.G. (2002). Crafting a change message to create transformational readiness, Journal of Organizational Change Management, 15 (Number 2), 169 -183.

Armenakis, A.A., Harris,S.G., and Mossholder, K.W. (1993). Creating readiness for organizational change, Human Relations, 46 (June), 681 -703

Bienerth, Jeremy. (2004). Expanding our understanding of the change message, Human Resource Development Review, 3 (March), 36-52.

Eby, Lilian T., Adams, Danielle M., Russel, Joyce E.A., and Gaby, Stephen H. (2000). Perceptions of organizational readiness : factor related to employees’ reaction to the implementation of team based selling, Human Relation, 53 (March), 419-442.

Lacey,Anna,. Luff,Donna.( 2001). Trent Focus for Research and Development in primary Health Care : Qualitative Data Analysis. Sheffield : Trent Focus.

Schneider, B., Wheeler, J.K., and Cox, J.F. (1992). A Passion for service : using content analysis to explicate service climate themes. Journal of Applied Psychology, 77 (October), 705-716.

Smith, Ian (2005). Continuing professional development and workplace learning 11: managing the “people” side of organizational change, Library Management, 26 (March), 152-155.

Smith, Ian. (2005). Achieving readiness for organizational change, Library Management,26 (June), 406-412.

Stadtlander, Christian (2006). Strategic balanced change ; a key factor in modern management, Electronic Journal of Business Ethic and Organization Studies, 11 (May), 17-25.

Strebel, P (1996). Why do employees resist change ?, Harvard Business Review, 74 (May), 86-92.

Waddeal, Dianne and Sohal, Amrik S. (1998). Resistance : a constructive tool for change management, Management Decisions, 36 (Number 8),543-548.

Zeffane, Rachid. (1996). Dynamics of Strategic Change : critical issues in fostering positive organizational change, Leadership and Organization Development Journal, 17 (Number 7), 36-43.


Artikel

MZW, “Badan Publik Perlu Mempersiapkan Diri”. Kompas, 19 November 2008.




Makalah

Thohari, Hajriyanto Y (2009). Signifikansi UU KIP Untuk Pelayanan Publik Yang Berkualitas. Makalah dipresentasikan pada Seminar Keterbukaan Informasi Publik Menuju Pelayanan Publik Berkualitas, Bappenas 06 Agustus 2009.

Mandan, Arief Mudatsir (2009). Sekilas Tentang UU KIP. Makalah dipresentasikan pada Seminar UU KIP Departemen Hukum dan HAM 12 Maret 2009.

McManus,S.E., Russel, J.E.A., D.M. and Rotricht, M.T. (1995). Factors related to employees’ perceptions of organizational readiness for change. Makalah dipresentasikan dalam pertemuan tahunan The Academy of Management, Vanvouver, BC, Canada

0 Response to "KUMPULAN SKRIPSI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERBARU "

Posting Komentar

wdcfawqafwef

BACKLINK OTOMATIS GRATIS JURAGAN.