1.1 Latar Belakang
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (UU KIP) disahkan pada bulan April 2008. Berbeda dengan
undang-undang lain yang umumnya langsung efektif setelah disahkan, UU KIP baru
akan efektif diberlakukan pada 1 mei 2010 atau dua
tahun setelah diundangkan. Waktu dua tahun tersebut diberikan karena dalam
diyakini Badan-Badan Publik perlu mempersiapkan diri menyongsong implementasi
UU KIP. Diberlakukannya UU KIP ini akan memberi warna baru dalam pelayanan dan
pengelolaa informasi badan publik,
dimana pada consideran UU KIP
ini menyatakan bahwa Informasi merupakan kebutuhan pokok yang merupakan hak
asasi setiap manusia serta sebgai pengoptimalan pengawasan publik terhadap
penyelenggara negara.
- menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
- Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
- Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
- Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
- Mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
- Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
- Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas di indonesia.
UU KIP menjamin serta membuka akses informasi hingga partisipasi masyarakat diharapkan
akan lebih membuka proses transparansi dan keterbukaan, yang pada gilirannya
akan bermuara pada akuntabilitas semua badan publik Tenggang waktu dua tahun
dari mulai disahkan pada tahun 2008 hingga efektif pada tahun 2010 merupakan
waktu yang diberikan untuk Badan-Badan Publik dalam mempersiapkan organisasinya
menyongsong implementasi UU KIP.
Tiap-tiap Badan Publik memiliki tugas pokok
dan fungsi dan struktur organisasi yang berbeda. Maka dari itu UU KIP memberi
keleluasaan bagi Badan Publik untuk menyusun mekanisme pelayanan dan
pengelolaan informasi sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU KIP yakni :
- Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada dibawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
- Badan publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan.
- Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.
- Badan publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik.
- Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, social, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
- Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.
Pada tataran ini adanya perubahan paradigma mengenai
informasi, data dan layanan menjadi tantangan Kementerian Hukum dan HAM dalam menyongsong
pelaksanaan implementasi UU KIP, karena luasnya cakupan tugas pokok dan fungsi
kementerian, budaya organisasi pegawai negeri sipil serta tingginya ekspektasi
masyarakat terhadap keterbukaan akses informasi hukum dan HAM. Meskipun secara
normatif hak dan kewajiban pemohon informasi, pengguna informasi dan badan publik
telah tergambar dalam UU KIP, ada beberapa aspek badan publik yang memerlukan
perhatian yakni perlunya dibentuk sistem untuk memisahkan dan memilah informasi
publik yang dapat diakses dan yang dikecualikan, pendokumentasian, katalogisasi
semua informasi publik, mekanisme pelayanan informasi baik secara internal,
interkoneksi antar lembaga/badan publik dan pihak eksternal, serta persiapan
terkait infrastruktur, baik berupa teknologi informasi, sumber daya manusia dan
sistem (Mandan, AM. 2008 p.14).
Kementerian Hukum dan HAM terdiri dari sebelas unit utama eselon I, yakni Sekretariat Jenderal,
Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal
Peraturan Perundangan, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat
Jenderal Perlindungan HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, dan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Selain
sebelas Unit Utama Eselon I, Kementerian Hukum dan HAM juga memiliki 33 Kanwil
yang berkedudukan di tiap propinsi serta Unit Pelayanan Teknis (UPT)
Pemasyarakatan dan Imigrasi. Tugas pokok dan fungsi masing-masing unit utama
eselon I Kementerian Hukum dan HAM sangat spesifik. Selain itu tiap-tiap unit
utama memiliki otonomi sesuai spesifikasinya. Hal ini menimbulkan pertanyaan
mengenai bagaimana format pengolahan dan pelayanan informasi publik yang dapat
memenuhi standar dalam UU KIP.
1.2 Perumusan Masalah
Undang-undang yang baru ini diharapkan
dapat mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan tak ada lagi
yang ditutup-tutupi oleh pemerintah. Melalui UU KIP ini, seluruh warga negara
dijamin haknya untuk mengetahui proses penyelenggaraan pemerintahan dan
badan-badan publik. Di lain pihak, pemerintah dan badan publik wajib memberikan
informasi secara terbuka kepada publik tentang seluruh kegiatan dan kebijakan
yang dilakukan, sampai laporan keuangannya. Melalui implementasi UU KIP,
seluruh penyelenggaraan pemerintahan dan badan publik dapat diawasi langsung
oleh masyarakat, sehingga akan semakin sulit untuk melakukan penyalahgunaan
anggaran.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah bagaimana kesiapan
Kementerian Hukum dan HAM serta apa yang dipersiapkan menyongsong implementasi
UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan
apa dan bagaimana persiapan organisasi menyongsong implementasi UU KIP,
bagaimana mekanisme (sistem prosedur) yang akan dijalankan, langkah-langkah
antisipatif terhadap tantangan perubahan serta format seperti apa yang akan
menjadi standar pengelolaan dan pelayanan informasi.
1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Tujuan Penelitian
- Bagaimana kesiapan Kementerian Hukum dan HAM menyongsong implementasi UU KIP
- Bagaimana mekanisme standar prosedur pengelolaan dan pelayanan informasi selaras UU KIP yang dipersiapkan Kementerian Hukum dan HAM
- Bagaimana persiapan antisipatif implementasi UU KIP
- Bagaimana format pengolahan informasi Kementerian Hukum dan HAM yang terintegrasi (menyatukan seluruh unit utama eselon I) selaras dengan UU KIP
Signifikansi
Penelitian
a.
Perlu diketahui apa dan
bagaimana langkah-langkah penyusunan kebijakan, implementasi serta pemantauan
dan evaluasi persiapan organisasi karena keterbukaan informasi merupakan
paradigma baru dalam organisasi badan publik.
b.
Melengkapi penelitian empiris
tentang perubahan dan pengembangan organisasi terkait persiapan implementasi
kebijakan yang saat ini belum banyak dilakukan.
c.
Menjadi acuan bagi para
peneliti untuk melakukan studi yang lebih mendalam tentang perubahan dan
pengembangan organisasi terhadap implementasi suatu kebijakan pada masa yang
akan datang.
1.4 Batasan Penelitian
Pembahasan dibatasi pada penelitian kesiapan
dan proses yang berjalan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM dalam rangka
implementasi UU KIP. Penelitian difokuskan pada service unit Kementerian Hukum dan HAM yakni Sekretariat Jenderal. Sekretariat Jenderal memiliki 6 unit penunjang
yakni Biro Kepegawaian, Biro Umum, Biro Keuangan, Biro Perlengkapan, Biro
Perencanaan dan Biro Hubungan Masyarakat dan Hubungan Luar Negeri.
Mengacu pada organisasi dan tata laksana
Kementerian Hukum dan HAM, unit dalam lingkungan Sekretariat Jenderal yang
memiliki tugas pokok dan fungsi terkait informasi adalah Biro Humas dan HLN (Biro Hubungan Masyarakat dan Hubungan Luar
Negeri mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan pelaksanaan hubungan kerja
sama luar negeri serta pemberian informasi dan komunikasi kepada masyarakat
mengenai kegiatan-kegiatan di lingkungan Departemen. Pasal 96 Peraturan
Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor: M.03-Pr.07.10 Tahun 2007 Tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Departemen Hukum Dan Ham R.I). Mengingat suatu kesiapan tidak
dapat dilepaskan dari perencanaan dan anggaran, diketahui bahwa dalam
Sekretariat Jenderal unit yang memiliki tugas pokok dan fungsi terkait
pembinaan, koordinasi penyusunan rencana dan anggaran adalah Biro Perencanaan
(Biro Perencanaan mempuyai tugas melaksanakan pembinaan, koordinasi penyusunan
rencana dan anggaran, pengorganisasian, ketatalaksanaan serta evaluasi dan
penyusunan laporan Departemen berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. . Pasal 08 Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor:
M.03-Pr.07.10 Tahun 2005 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen
Hukum Dan Ham R.I). Maka penelitian ini dibatasi pada Biro Hubungan Masyarakat
dan Hubungan Luar Negeri serta Biro Perencanaan untuk mengetahui kesiapan
organisasi Kementerian Hukum dan HAM menyongsong implementasi UU KIP.
Pembahasan kesiapan organisasi dimaksud adalah dengan
mengarahkan penelitian pada sisi-sisi
manajemen, organisasi, sumber daya manusia, dan sistem informasi. Dasar
pertimbangan dari pembatasan ini adalah karena dari penelitian terhadap
sisi-sisi tersebut akan dapat diketahui bagaimana persiapan yang dilakukan
Kementerian Hukum dan HAM menyongsong
implementasi UU KIP.
1.5 Sistematika Penulisan Penelitian
Sistematika penulisan yang direncanakan oleh peneliti
terbagi atas lima bab, dimana yang satu dengan yang lainnya merupakan suatu
keterikatan dari bab pendahuluan hingga bab kesimpulan. Penyusunan sistematika
ini meliputi :
BAB I : Pendahuluan;
BAB II :
Tinjauan Pustaka;
BAB III :
Metode Penelitian;
BAB IV :
Persiapan Sekretariat Jenderal Dalam Menyongsong Implementasi UU KIP; yang
berisi pembahasan bagaimana kesiapan organisasi terhadap adanya paksaan untuk
berubah. Bab ini berfungsi untuk mengolah hasil wawancara dengan pihak
informan, sehingga diketahui bagaimana pandangan para pembuat kebijakan di
lingkungan Kementerian Hukum dan HAM menyongsong implementasi UU KIP.
BAB V : Kesimpulan, yang berisi kesimpulan dari penelitian ini. Bab
ini berfungsi untuk menyimpulkan penjelasan dan analisa pada bab-bab sebelumnya.
Pada bab ini juga disertakan rekomendasi sebagai hasil penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu tantangan dalam menyongsong implementasi UU
KIP adalah budaya organisasi badan publik yang cenderung tidak terbuka terhadap
informasi. Dalam Seminar “Implementing The Freedom of Information Law in
Indonesia” Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Teten Masduki
menilai implementasi UU KIP akan menghadapi banyak masalah karena mengubah
budaya dan pola kerja badan publik (Kompas,
19 November 2008).
Dalam rangka persiapan implementasi UU KIP, Kementerian
Hukum dan HAM sebagai salah satu badan publik akan menghadapi kebutuhan untuk
menerapkan perubahan, baik strategi, struktur, proses, dan budaya. Dengan kata
lain, Kementerian Hukum dan HAM perlu melakukan perubahan organisasi.
Ada tujuh aspek mengenai kesiapan organisasi menurut
penelitian, yang meliputi : mengubah persepsi anggota organisasi terhadap
perubahan, visi, saling percaya dan menghormati, inisiatif perubahan, dukungan
manajemen, penerimaan, dan bagaimana organisasi mengelola proses perubahan.
Pada intinya, kesiapan perubahan melibatkan transformasi perilaku kognitif
individu anggota organisasi (Armenakis et al., 1993 p. 681). Anggota organisasi
sejatinya adalah sumber daya, kendaraan perubahan, karena mereka adalah orang
yang akan merangkul atau menolak perubahan (Smith, 2005 p. 406). Oleh karena
itu, sangat penting untuk mengetahui kesiapan anggota organisasi sebelum
melakukan perubahan.
Perubahan
organisasi (organizational change)
didefinisikan sebagai pengadopsian ide-ide atau perilaku baru oleh sebuah
organisasi (Cummings dan Worley,2005 p.155). Perubahan organisasi menyangkut
kegiatan-kegiatan yang disengaja untuk mengubah keadaan yang ada sebelumnya
sebagai respon terhadap forces of change.
Pada perkembangannya banyak organisasi yang mencoba melakukan perubahan dengan
struktur horizontal, yang mendorong kerjasama kelompok dan komunikasi yang
lebih cepat. Idenya bahwa dengan struktur yang lebih ramping akan mendorong
fleksibilitas, kreatifitas dan inovasi dalam bereaksi terhadap perubahan
lingkungan yang terjadi.
Cummings dan Worley
(2005 p.156) menjelaskan bahwa meskipun ada keragaman dalam definisi perubahan
organisasi, ada benang merah yang dapat ditarik dari keragaman itu. Secara
tradisional, perubahan organisasi berfokus pada identifikasi sumber-sumber
resistensi serta membuat cara-cara untuk mengatasinya. Selanjutnya, dalam
perkembangan ilmu perubahan organisasi, resistensi tersebut diatasi dengan menciptakan
visi untuk mewujudkan masa depan bersama, mencari dukungan secara politik, dan
mengelola transisi dalam organisasi yang telah memutuskan untuk melakukan
perubahan.
Aktivitas yang dilaksanakan dalam
rangka perubahan organisasi tersebut oleh
Cummings dan Worley dikelompokkan dalam lima kegiatan yakni :
1) motivating change,
2)
creating a vision,
3)
developing political support,
4) managing the transition,
5) sustaining momentum.
Aktivitas pertama perubahan organisasi adalah memotivasi
untuk mengubah termasuk persiapan untuk membuat perubahan di antara anggota
organisasi dan membantu mereka untuk menghadapi perlawanan (resistensi).
Aktivitas kedua adalah kegiatan yang
berhubungan dengan pembuatan visi dan sangat terkait dengan faktor
kepemimpinan. Visi memberikan tujuan dan alasan suatu perubahan. Selanjutnya
Aktivitas ketiga yakni mendapatkan
dukungan secara politis terhadap perubahan. Keempat adalah kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan transisi dari saat ini untuk masa depan yang
dikehendaki. Kegiatan melibatkan perencanaan untuk mengubah kegiatan-kegiatan
pengelolaan serta perencanaan manajemen yang khusus dirancang untuk operasional
organisasi selama masa transisi. Kegiatan kelima merupakan kegiatan untuk
mempertahankan momentum perubahan. Hal ini dimaksudkan agar langkah-langkah
perubahan tetap berada dalam jalurnya, dan bisa diselesaikan sesuai rencana.
Untuk lebih
jelasnya, digambarkan dalam skema seperti dibawah ini :
Sumber : Activities
Contributing to Effective Change Management ( Cummings dan Worley, 2005 p.
156)
Menyandingkan kedua landasan seperti disebut
diatas, dapat diketahui indikator kesiapan dalam persiapan organisasi terhadap perubahan.
Seperti dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1.2
Change Readiness Menurut Armenakis et al serta
Cummings dan Worley
Armenakis et al
|
Cummings dan Worley
|
persepsi anggota organisasi terhadap
perubahan,
|
motivating change
|
visi
|
creating a vision
|
saling percaya dan menghormati
|
developing political support
|
inisiatif perubahan
|
|
dukungan manajemen
|
|
penerimaan
|
|
bagaimana organisasi mengelola proses
perubahan
|
managing the transition, sustaining momentum.
|
Sumber : diolah dari Creating Readiness for organizational change, (Armenakis et al, 1993 p.
681) dan Organizations Development and Change (Cummings dan Worley, 2005
p.155).
Perlu diingat bahwa pengembangan organisasi berorientasi
meningkatkan efektivitas organisasi. Peningkatan efektivitas melibatkan dua asumsi besar. Pertama,
organisasi yang efektif dapat memecahkan sendiri masalahnya dan memfokuskan
perhatian pada sumber daya dalam upaya mencapai tujuan kunci. Kedua, organisasi
yang efektif berkinerja tinggi, termasuk dalam hal finansial, kualitas produk
dan layanan, produktivitas tinggi, dan perbaikan berkelanjutan, serta perbaikan
kualitas kehidupan kerja (Cummings dan Worley, 2005 p.03).
2.1 Persepsi dan Motivasi Terhadap Perubahan (Motivating Change)
Persepsi anggota organisasi terhadap upaya perubahan yang terjadi
dalam perusahaan tersebut merupakan salah satu aspek yang penting kesiapan
perubahan organisasi. Selain itu, persepsi dari anggota terkait kesiapan
mengubah organisasi telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor penting
dalam pemahaman sumber perlawanan terhadap perubahan organisasi (Eby, et al.,
2000 p. 419).
Menurut Schiffman dan Kanuk (2000 p.146):
“ Perception
is process by which an individuals selects, organizers, and interprets stimuli
into the a meaningfull and coherent picture of the world”.
Mengacu
pada definisi Schiffman dan Kanuk, persepsi merupakan suatu proses yang membuat
seseorang untuk memilih, mengorganisasikan dan menginterprestasikan stimulus
yang diterima menjadi suatu gambaran yang berarti dan lengkap tentang dunianya.
Sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa dalam keadaan yang sama, persepsi
seseorang terhadap suatu stimulus dapat berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh
adanya proses seleksi terhadap berbagai stimulus yang ada. Robbins (2003 p.169)
mendefinisikan persepsi sebagai :
“proses yang digunakan individu mengelola dan
menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan
mereka”
Pada hakekatnya persepsi akan berhubungan
dengan perilaku seseorang dalam mengambil sikap sebagai reaksi dari persepsi
terhadap stimulus (Kotler dan Amstrong ,1996 p.156).
Selain persepsi anggota organisasi, fleksibilitas organisasi dalam
menghadapi perubahan juga penting. Persepsi anggota organisasi terhadap
kemampuan organisasi untuk mengakomodasi perubahan, terkait situasi dan kondisi
serta perubahan kebijakan dan prosedur dirasakan sangat terkait dengan kesiapan
untuk berubah (Eby, et al, 2000 p. 420).
Persepsi tersebut sampai pada tingkat bagaimana fleksibilitas
organisasi untuk menerima perubahan dan
sejauh mana mereka dapat aktif dan sungguh-sungguh berpartisipasi dalam
proses ini, juga merupakan hal yang penting dalam mewujudkan perubahan
organisasi (Smith, 2005 p. 406).
Disamping
persepsi, motivasi juga mempengaruhi perilaku anggota organisasi. Handoko (2001 p. 225) mengatakan bahwa:
“ motivasi adalah suatu keadaan dalam pribadi yang mendorong keinginan
individu untuk melakukan keinginan tertentu guna mencapai tujuan.”
Persepsi merupakan hasil dari stimulus. UU KIP menjadi stimulus
dalam perubahan organisasi Kementerian Hukum dan HAM. Persepsi dan motivasi
menjadi landasan dari sikap atau perilaku anggota organisasi terhadap stimulus.
Setelah
persepsi dan motivasi muncul sikap individu dalam menilai suatu obyek. Sikap
sebagai suatu evaluasi yang menyeluruh dan memungkinkan seseorang untuk
merespon dengan cara yang menguntungkan atau tidak terhadap obyek yang dinilai.
Dengan kata lain, setelah persepsi dan motivasi, individu dalam organisasi
membuat keputusan. Sanders dalam Robbins (2006 :180) menjelaskan bahwa
pembuatan keputusan terjadi sebagai reaksi terhadap masalah. Artinya terdapat
penyimpangan antara keadaan yang dialami dan keadaan yang diinginkan, yang
menuntut pemikiran mengenai tindakan alternatif (Robbins, 2006 p.180)
Persepsi,
motivasi dan sikap atau pengambilan keputusan anggota organisasi dalam
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana persepsi anggota
organisasi Kementerian Hukum dan HAM terhadap UU KIP. Bagaimana persepsi
tersebut memotivasi perubahan organisasi, bagaimana sikap organisasi dan
tindakan yang dihasilkan sebagai respon organisasi terhadap stimulus.
2.2 Visi (Creating a Vision)
Mintzberg
menjelaskan bahwa faktor internal yang mempengaruhi struktur organisasi dalam
kerangka perubahan dan pengembangan organisasi
adalah :
-
Visi dan Misi organisasi
-
Strategi Organisasi
-
Model kepemimpinan (leadership model)
-
Kebijakan maupun prosedur
-
Budaya organisasi
-
Sumber Daya Manusia
Dalam
struktur organisasi visi dan misi adalah faktor internal yang menjadi bagian
dan memiliki pengaruh terhadap struktur organisasi. Secara khusus, terkait
penyusunan misi juga harus diketahui cara kerja, otoritas, informasi, dan
proses pengambilan keputusan melalui alur kerja organisasi (Mintzberg, 1979 p. 17).
Mengacu
pada Mintzberg, visi dan misi adalah fokus hingga struktur akan mengikuti apa
yang menjadi visi organisasi. Strategi akan menguraikan langkah-langkah dalam
rangka mewujudkan visi dan misi demikian pula dengan kepemimpinan, kebijakan,
budaya hingga sumber daya manusia dalam organisasi.
Dalam
penelitian kesiapan suatu organisasi menghadapi
perubahan diperlukan pemahaman terhadap peranan visi dalam organisasi.
Visi adalah tujuan dan arah perubahan organisasi (Cummings dan Worley, 2005 p.
156). Dalam kaitannya dengan perubahan organisasi ,visi menyatakan dan
menerangkan arah suatu organisasi. Tanpa visi yang masuk akal, usaha
transformasi dapat tersesat dengan mudah, menjadikan proyek dan kegiatan tidak
sesuai dengan harapan, hingga salah arah dan tidak sampai tujuan (Kotter,
1995).
Oleh karena itu, pemahaman anggota organisasi terhadap visi dan misi perubahan sangat penting. Kotter
(1995) juga menyarankan pentingnya menciptakan sebuah visi tentang bagaimana
perubahan itu, serta menjelaskan kepada anggota organisasi mengapa perubahan
itu diperlukan dan bagaimana perubahan itu dapat tercapai.
Strebel (1996)
memperingatkan bahwa banyak upaya perubahan gagal karena pimpinan dan
staf melihat perubahan secara berbeda. Misalnya, untuk anggota organisasi pada
level manajerial atau yang sudah menempati jabatan tertentu bisa memandang
perubahan sebagai kesempatan. Kesempatan - baik untuk organisasi atau untuk
diri sendiri. Hingga ada kecenderungan untuk memanfaatkan momen perubahan untuk
kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan organisasi. Tetapi untuk banyak
anggota organisasi, perubahan lebih dianggap sebagai gangguan hingga mengganggu
kemapanan dan stabilitas dari kenyamanan comfort
zone (Stadtlander, 2006).
Visi menuntut keterlibatan secara aktif. Melalui keterlibatan aktif
dan terus-menerus berarti dalam proses perubahan orang dapat melihat hubungan
antar pribadi mereka yang bekerja dan sikap dari keseluruhan organisasi. Melalui keterlibatan aktif ini kinerja
karyawan dapat didorong untuk memilah serta merangkul pribadi bertanggung jawab
untuk mencapai perubahan (Smith, 2005). Visi membantu memberi penjelasan kepada
seluruh anggota organisasi tentang perubahan, tujuan perubahan dan bagaimana
mencapainya. Khususnya, setelah anggota organisasi melihat bagaimana perubahan akan
bermanfaat bagi mereka, maka mereka akan mencari cara untuk mendukung transisi
(Bernerth, 2004).
2.3 Membangun Dukungan Perubahan (Developing Political Support)
Setelah memahami bahwa organisasi harus berubah, pihak
yang menjadi pembawa bendera perubahan dan bergerak baik didalam dan diluar
organisasi untuk mendapatkan dukungan untuk mewujudkan visi dan misi organisasi
adalah agen perubahan dan dukungan dari manajemen puncak.
Dalam persiapan organisasi, dukungan manajemen terhadap
perubahan menjadi krusial karena secara stratejik, manajemen adalah serangkaian
keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan dan implementasi
rencana-rencana yang dirancang untuk mewujudkan tujuan organisasi.
Manajemen yang mendukung upaya perubahan adalah faktor penting
dalam menciptakan kesiapan perubahan. Armenakis, et al. (1993) dalam Eby, et
al., (2000). dikemukakan bahwa tingkat
organisasi yang memiliki perspektif kebijakan dan yang mendukung praktek
perubahan juga penting dalam memahami bagaimana anggota organisasi memiliki
persepsi kesiapan untuk berubah. Beckhardt dan Harris (1987) juga berpendapat
demikian, demikian pula Schneider, et al. (1992).
Eby et al. (2000), memasukkan dukungan manajemen berupa kebijakan
dan prosedur yang mengatur fleksibilitas terhadap kondisi transisi, logistik
(misalnya, kualitas peralatan, sumber daya manusia, keuangan). Selain itu,
Armenakis, et al. (1993), serta McManus, et al. (1995) juga menemukan bahwa
tingkat kepercayaan dalam pengelolaan menumbuhkan persepsi bahwa organisasi dapat
menjadi lebih baik melalui perubahan organisasi (Eby et al., 2000).
Tujuan dari rencana perubahan tidak akan sampai tanpa dukungan dan
komitmen agen-agen perubahan. Beckard dan Harris (1987) berpendapat bahwa
kemampuan menyusun ulang organisasi (reshaping)
melibatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan organisasi secara
keseluruhan untuk melaksanakan syarat-syarat yang diperlukan untuk berhasil
melakukan perubahan (Jones, et al., 2005). Turner dan Crawford (1998) membahas
kemampuan yang diperlukan organisasi untuk perubahan. Turner dan Crawford
mengusulkan taksonomi yang mana didalamnya tercakup, keterlibatan,
peningkatan kemampuan, dan manajemen
kinerja. Keterlibatan didasarkan pada informasi dan melibatkan anggota
organisasi dalam upaya mendorong motivasi dan komitmen untuk tujuan dan sasaran
organisasi.
Peningkatan kemampuan melibatkan semua sumber daya dan
mengembangkan sistem yang diperlukan untuk mencapai organisasi yang lebih baik
di masa depan. Sedangkan manajemen kinerja menurut Turner dan Crawford adalah
proaktif mengelola faktor-faktor yang mendorong kinerja organisasi untuk
memastikan pencapaian tujuan secara konsisten dan efektif (Jones, et al.,
2005).
a. Agen Perubahan
Agen perubahan adalah pihak yang bertanggung jawab dalam
mengelola langkah-langkah perubahan organisasi (Robbins, 2008 p.266). Agen
perubahan bisa berasal dari luar atau dari dalam organisasi. Masing-masing
memiliki kelebihan dan kekekurangan. Robbins menerangkan bahwa sebaiknya tim
agen perubahan melibatkan pihak eksternal sebagai konsultan karena dapat lebih
obyektif, sekaligus menyertakan pihak internal karena lebih peduli. Pihak
internal lebih memperhatikan konsekuensi dari tindakan karena mereka harus
berhadapan langsung dengan konsekuensi dari tindakan yang dilakukan.
Pengembangan pemahaman tentang sifat dan alasan untuk berubah pada
tahap awal perubahan organisasi dapat memberikan dasar untuk perubahan yang
lebih besar dan keberanian untuk mengambil risiko dan melebihi batasan yang
ada saat ini (Smith, 2005). Perubahan
merupakan realita yang harus dihadapi dalam organisasi. Adanya kebijakan
tertentu, perubahan sosial, ekonomi dan politik memaksa organisasi untuk
berubah.
Banyak anggota organisasi tidak menyadari manfaat dan keuntungan
dari perubahan. Mereka umumnya hanya menginginkan hasil yang segera. Karena itu
Kotter (1996) menegaskan salah satu tugas agen perubahan adalah mengupayakan
keberhasilan tiap-tiap langkah pendek dalam skema perubahan organisasi tersebut
agar menjadi pemicu untuk mewujudkan keberhasilan secara keseluruhan serta
penerimaan anggota organisasi terhadap realita perubahan.
Agen perubahan membangun koalisi dan mencari dukungan
terhadap skema perubahan serta dalam rangka mewujudkan visi dan misi
organisasi. Terkait dengan peran agen perubahan maka Kotter (1996 p. 21)
menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan agen perubahan untuk menciptakan
perubahan organisasi :
1)
Establishing a sense of urgency
Pada tahap ini agen perubahan meneliti keadaan lapangan
serta realitas yang berlangsung dalam lingkungan organisasi. Selanjutnya agen
perubahan mengidentifikasi serta melakukan pembahasan terhadap baik krisis yang
berlangsung maupun krisis yang potensial terjadi atau kesempatan yang ada. Agen
perubahan memberikan penyadaran mengenai situasi yang membutuhkan perubahan
sesegera mungkin dalam rangka antisipasi kondisi yang sedang berubah.
2)
Creating the guiding coalition
Agen perubahan menjalin koalisi dan kemitraan dengan
kelompok yang memiliki kekuasaan dan keinginan untuk berubah. Lalu, agen
perubahan mengupayakan agar kelompok ini dapar bekerja sama dalam tim untuk
bersama-sama mewujudkan perubahan.
3)
Developing a vision and strategy
Mengembangkan visi dan strategi adalah dengan membuat
visi yang membantu mengarahkan pada usaha untuk berubah. Selanjutnya agen
perubahan membuat strategi untuk mewujudkan visi tersebut.
4)
Communicating the change vision
Agen perubahan juga perlu mengkomunikasikan adanya
perubahan visi dengan rekan-rekannya, baik pada level diatasnya, selevel dan
level dibawahnya. Hal ini diperlukan agar ada pengetahuan yang seragam terhadap
perubahan, serta tidak ada anggota organisasi yang tertinggal. Agen perubahan
bersama tim yang tergabung dalam koalisi juga menjadi contoh yang dapat ditiru
oleh anggota-anggota organisasi yang lain.
5)
Empowering broad-based action
Langkah-langkah pemberdayaan yang dilakukan agen
perubahan dalam organisasi harus berlandaskan pada tindakan. Agen perubahan
menyingkirkan penghalang, berani mengambil risiko serta berani bertindak dengan
bertangung jawab.
6)
Generating short-term wins
Agen perubahan dalam merancang perubahan organisasi
sebaiknya juga membuat langkah-langkah jangka pendek. Keberhasilan tiap-tiap
langkah pendek tersebut dapat menjadi pemicu untuk keberhasilan keseluruhan
program perubahan organisasi. Pada tahap ini agen perubahan harus dalam
mengenali member reward kepada
individu yang berprestasi.
7)
Consolidating gains and producing more change
Agen perubahan medokumentasikan keberhasilan dari
langkah-langkah kegiatan dalam kerangka perubahan organisasi. Dengan kata lain
agen perubahan menciptakan suatu program berkelanjutan dalam platform perubahan organisasi.
Mempromosikan dan mendukung individu yang mampu mengimplemetasikan visi
perubahan dalam organisasi
8)
Anchoring new approaches in the culture
Menciptakan kinerja yang lebih baik melalui kinerja yang
berorientasi pada output. Kepemimpinan yang baik, manajemen yang efektif.
Mempertegas hubungan antara perilaku yang baru dengan organisasi yang sukses
serta mengembangkan performa kepemimpinan dalam transisi dan sukses
pengembangan organisasi. (Kotter, 1996 p.21).
Kegiatan yang dijelaskan oleh Kotter ini dilakukan oleh
agen perubahan dan koalisinya. Keputusan untuk menciptakan pengembangan dan
perubahan organisasi di Kementerian Hukum dan HAM berasal dari manajemen puncak
dengan melibatkan manajemen level menengah dan staf yang memiliki visi terhadap
perubahan organisasi.
Perlu diingat bahwa kesiapan dan kemampuan individu dan organisasi
untuk melakukan perubahan harus berdasarkan saling percaya dan menghargai. Tanpa
ada rasa saling percaya dan menghargai, agen perubahan bisa gagal untuk
menginisiasikan perubahan. Penting bahwa kepercayaan yang cukup dibuat untuk
membuat anggota organisasi secara terbuka menyatakan pandangan secara
demokratis. Menurut Huse dan Cummings (1989), untuk upaya perubahan yang akan
berhasil, anggota organisasi harus percaya bukan hanya pada pengelolaan, tetapi
juga pada rekan kerja (Eby,et al, 2000).
b.
Inisiatif Perubahan
Agen perubahan memiliki tanggung jawab menginisiasi perubahan organisasi
(Robbins, 2008). Agen perubahan menerima mandat ini dari manajemen puncak
organisasi. Meskipun demikian tiap-tiap anggota organisasi juga dapat memiliki
inisiatif terhadap perubahan. Semua anggota organisasi mempunyai hak untuk
mengajukan atau memulai inisiasi terhadap diperlukannya perubahan.
Tetapi pada akhirnya yang memiliki kewenangan untuk menginisiasi
perubahan adalah pemimpin organisasi yang berwenang memutuskan atau melakukan
perubahan yang diperlukan. Pemimpin organisasi, manajemen puncak dapat
mendelegasikan wewenang dan member otoritas kepada agen perubahan atau pemimpin
organisasi dapat langsung bertindak sebagai agen perubahan. Pemimpin organisasi
menjadi pemimpin karena semestinya telah memiliki kompetensi yang dibutuhkan
baik dari sisi keterampilan perencanaan dan kemampuan untuk berkomunikasi serta
menginginkan masa depan yang lebih baik (Zeffane, 1996). Namun, orang-orang di
organisasi juga harus diberi kesempatan untuk terlibat dalam semua aspek
perubahan dan harus diberi kesempatan untuk memberikan umpan balik (Waddel dan
Sohal, 1998). Sinergi antara manajemen puncak, agen perubahan dan keterlibatan
anggota organisasi mendukung terlaksananya perubahan.
2.4 Mengelola
Perubahan Organisasi (Managing Change and
Transition)
Penelitian ini juga melakukan pendalaman terhadap
rencana pengelolaan menuju perubahan
organisasi sesuai dengan amanat dan tujuan dari UU KIP. Langkah
pengorganisasian yang dijalankan serta bagaimana tahap-tahap implementasi dan
manajemen perubahan. Organisasi dirancang untuk beradaptasi dengan perubahan
lingkungan melalui pembaharuan dan pengembangan internal. Perubahan organisasi
dicirikan dengan berbagai usaha penyesuaian disain organisasi di waktu
mendatang. Pengelolaan secara efektif tidak hanya diperlukan bagi kelangsungan
hidup organisasi, tetapi juga sebagai tantangan pengembangan. Perubahan dapat
bersifat reaktif dan proaktif.
Perubahan reaktif adalah perubahan yang
dilakukan sebagai reaksi terhadap
tanda-tanda bahwa perubahan diperlukan melalui pelaksanaan modifikasi
sedikit-demi sedikit untuk menangani masalah yang timbul. Organisasi membuat
perubahan struktural kecil sebagai reaksi terhadap perubahan dalam lingkungan
mikro dan makro. Perubahan reaktif lebih ditekankan pada perubahan yang
bersifat rutin dengan cakupan yang lebih sempit. Contohnya adalah : revisi
formulir pendaftaran untuk mempermudah calon mahasiswa. Sebaliknya, perubahan
proaktif adalah perubahan yang diarahkan melalui inovasi struktural, kebijakan
atau sasaran baru atau perubahan tujuan organisasi yang dengan sengaja didesain
dan diimplementasikan. Proses dilakukan melalui pelaksanaan berbagai intervensi
terhadap sumber daya organisasi yang berarti mengubah cara-cara operasi
organisasi.
Perubahan selalu memiliki resiko. Perubahan memindahkan keadaan
sekarang kepada suatu realita baru yang
belum dikenal, mengakhiri penggunaan cara-cara lama untuk menyelesaikan suatu
masalah dan harus melakukan cara-cara baru dalam mengerjakan sesuatu. Oleh
karena itu, untuk mengurangi risiko ini, kesiapan organisasi terhadap perubahan
adalah wajib. Kegagalan untuk menilai kesiapan perubahan organisasi dan
individu dapat berakibat pada pengeluaran waktu dan energi yang dikeluarkan
oleh manajer secara signifikan berhubungan dengan perlawanan terhadap perubahan.
Suatu investasi dalam membuat organisasi yang siap berubah dapat menghasilkan
keuntungan ganda. Energi positif masuk ke dalam kesiapan untuk membuat
perubahan dan, pada gilirannya, terjadi
penurunan perlawanan terhadap perubahan dan pengelolaan organisasi
yang sedang berlangsung (Smith, 2005).
Dalam upaya meminimalkan resiko, perubahan organisasi
perlu dikelola dengan baik. Keyakinan bahwa pemimpin organisasi dapat
mengelola perubahan organisasi merupakan landasan penting agar keyakinan anggota organisasi terhadap yang
keberhasilan program perubahan dapat tumbuh. Menurut Armenakis dan Harris
(2001), pelaksanaan perubahan organisasi adalah yang penting, dan yang paling
kurang dipahami ,adalah keterampilan
dari pemimpin. Gilmore, et al. (1997) menemukan bahwa sejumlah organisasi
mengalami peningkatan kinerja yang tidak sesuai keinginan dan reaksi yang tidak
diharapkan dari anggota organisasi terhadap perubahan organisasi yang
benar-benar diperlukan (Armenakis dan Harris, 2001).
a. Kepemimpinan
Pemimpin yang terkemuka dalam mengelola perubahan strategis
memiliki kemampuan untuk belajar dan beradaptasi dengan perubahan. Dalam
proses, organisasi belajar dipupuk dalam lingkungan keterbukaan dan saling
percaya hingga memungkinkan orang untuk merangkul perubahan dan berani mencoba
tanpa merasa terancam (Zeffane, 1996).
Organisasi-organisasi dewasa ini terus berhadapan dengan
perubahan, dari perubahan lingkungan, konstelasi politik, hingga peraturan
perundang-undangan. Para pemimpin dituntut untuk mampu secara terampil
membimbing organisasi menuju arah strategi baru.
Tannebaum et al
( 1961 p. 24) mendefinisikan kepemimpinan sebagai :
“pengaruh antar pribadi, dalam
situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu”
Selain Tannebaum, Goal et al (1957
p.07) memberikan definisi kepemimpinan berupa :
“sikap pribadi, yang memimpin
pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan”
Definisi
kepemimpinan tersebut menggambarkan kepemimpinan sebagai sikap dan perilaku untuk memimpin dan mengarahkan
organisasi mencapai tujuan.
Stoner (1995 p.470) menjelaskan kepemimpinan sebagai
berikut :
1)
Leadeship involves other people
Pemimpin bekerja dengan melibatkan orang lain
Seorang pemimpin selalu terlibat dengan orang lain.
Kesediaan untuk menerima dan menjalankan perintah dari pimpinan adalah peran anggota kelompok
menetapkan status pemimpin dan memungkinkan suatu proses kepemimpinan; tanpa
masyarakat untuk dipimpin, semua kualitas kepemimpinan seorang manajer akan
tidak relevan.
2)
Leadership involves an unequal distribution of power between leaders
and group members.
Kepemimpinan melibatkan distribusi kekuasaan antara
pemimpin dan anggota kelompok.
3)
The ability to use the different forms of power to influence
follower’s behaviors in a number of ways.
Kemampuan untuk menggunakan berbagai bentuk kekuasaan
untuk mempengaruhi perilaku orang/anggota organisasi dengan beberapa cara
4)
This fourth aspect combines the first three and acknowledges that
leadership is about values
Aspek keempat dari definisi Stoner tentang kepemimpinan
menggabungkan ketiga aspek pertama dan mengakui bahwa kepemimpinan adalah
tentang nilai.
Kepemimpinan terkait
erat dengan pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang
pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin,
mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang
untuk mencapai tujuan.
Ilmu manajemen menggambarkan seperti apa peran pemimpin
dalam organisasi. Secara perilaku, Covey
(1992 p.34) memiliki gambaran karakteristik seorang pemimpin sebagai :
1) Seorang
yang belajar seumur hidup
Tidak
hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga informal. Contohnya, belajar
melalui membaca, menulis, observasi, dan mendengar. Mempunyai pengalaman yang
baik maupun yang buruk sebagai sumber belajar.
2) Berorientasi
pada pelayanan
Seorang
pemimpin tidak dilayani tetapi melayani. Dalam memberi pelayanan, pemimpin
seharusnya lebih berprinsip pada pelayanan yang baik. Dalam lingkungan pegawai
negeri sipil yang memiliki tugas sebagai pelayan masyarakat, budaya melayani
harus menjadi ciiri pemimpin dalam organisasi publik.
3) Membawa
energi yang positif
Setiap
orang mempunyai energi. Seorang pemimpin menggunakan energi yang positif
didasarkan pada keikhlasan dan keinginan mendukung kesuksesan. Untuk membangun
hubungan baik dibutuhkan energi positif untuk. Seorang pemimpin harus dapat dan
mau bekerja untuk jangka waktu yang lama dan kondisi tidak ditentukan.
Oleh
karena itu, seorang pemimpin harus dapat menunjukkan energi yang positif,
seperti ;
1)
Percaya pada orang lain
Seorang pemimpin bisa dipercaya sekaligus mempercayai
orang lain termasuk staf bawahannya, sehingga mereka mempunyai motivasi dan
mempertahankan pekerjaan yang baik. Maka dari itu kepercayaan harus diikuti
dengan kepedulian.
2)
Keseimbangan dalam kehidupan
Seorang pemimpin harus dapat menyeimbangkan tugasnya.
Berorientasi kepada prinsip kemanusiaan dan keseimbangan diri antara kerja dan
olah raga, istirahat dan rekreasi. Keseimbangan juga berarti seimbang antara
kehidupan dunia dan akherat. Seorang pemimpin menjadi contoh di lingkungannya,
keseimbangan dalam kehidupan dunia dan akhirat tidak hanya berdampak positif
bagi pribadi seorang pemimpin tetapi
juga memiliki dampak positif bagi lingkungannya
3)
Melihat kehidupan sebagai
tantangan
Dalam hal ini tantangan berarti
kemampuan untuk menikmati hidup dan segala konsekuensinya. Dalam menghadapi
masalah, seorang pemimpin memandang masalah sebagai sesuatu yang perlu
diselesaikan dan tidak menjadikan masalah sebagi penghalang dalam mencapai
tujuan organisasi.
4)
Sinergi
Orang yang berprinsip senantiasa hidup dalam sinergi dan
satu katalis perubahan. Mereka selalu mengatasi kelemahannya sendiri dan
lainnya. Sinergi adalah kerja kelompok
dan memberi keuntungan kedua belah pihak. Seorang pemimpin harus dapat
bersinergis dengan setiap orang, baik
atasan, staf, teman sekerja.
5)
Latihan mengembangkan diri
sendiri
Seorang pemimpin harus dapat
memperbaharui diri sendiri untuk mencapai keberhasilan yang tinggi.
Seorang pemimpin yang tidak memiliki sifat kepemimpinan
yang baik dianggap sebagai pemimpin yang tidak efektif. Ilmu manajemen
menjelaskan bagaimana pemimpin yang ‘buruk’ atau dengan kata lain pemimpin yang
tidak efektif kehilangan respek dari para bawahannya (tidak dihormati)
merintangi organisasi untuk berkinerja. Pemimpin yang tidak efektif gagal mempertahankan pegawai yang baik, dan serta
tidak dapat memotivasi pegawai yang ada.
Axelrod et al dalam Johnson dan Luecke (2005 p.37) menjelaskan bagaimana
pemimpin yang tidak efektif dapat membahayakan organisasi :
“Keeping C performers in
leadership positions lowers the bar for everyone – a clear danger for any
company that wants to create a performance-focused culture. C performers hire
other C performers, and their continued presence discourages the people around
them, makes the company a less attractive place for highly talented people, and
calls into questions the judgment of senior leader”
Menempatkan individu yang kurang bagus akan menurunkan
standar dalam keseluruhan organisasi bahkan juga dapat membahayakan organisasi.
Kecenderungan dari individu yang kurang bagus menurut Axelrod, adalah akan
menjalin mitra dengan individu yang tidak bagus juga, kelanjutannya, keberadaan
mereka menciptakan atmosfer yang tidak baik bagi anggota-anggota organisasi,
secara keseluruhan pemimpin yang buruk menurunkan kinerja organisasi yang
dipimpinnya.
b. Manajemen
Sistem Informasi
Purwanto (2008) memberikan arahan untuk menghasilkan
pengelolaan informasi yang akurat, dalam sistem informasi manajemen perlu
memperhatikan hal-hal berikut :
1)
Proses identifikasi informasi
2)
Proses kategorisasi sumber data
dan informasi termasuk proses penyimpanan dan pengamanan
3)
Perlu ditentukan bagaimana
pendistribusian informasi, baik kepada siapa dan kapan.
4)
Komunikasi informasi secara
tepat dan terpercaya kepada pengambil keputusan (internal) dan masyarakat serta
lembaga yang membutuhkan atau sesuai permintaan (eksternal)
Manajemen mengelola informasi dalam lingkup internal
berdasarkan derajat informasi. Derajat informasi seperti digambarkan dalam
skema yang memperlihatkan bagaimana tingkat kewenangan manajerial memiliki
akses terhadap informasi. Pada tiap-tiap
level manajerial, terdapat tanggung jawab bagaimana informasi didistribusikan
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit yang bersangkutan.
Perlu diperhatikan bahwa UU KIP memiliki fokus pada
informasi yang bisa diakses oleh masyarakat. Sistem informasi manajemen
mengelola informasi organisasi termasuk sampai pada tingkat keamanan informasi,
batasan informasi sebagaimana diatur dalam UU KIP, derajat penggunaan informasi
hingga sampai pada pihak-pihak yang memerlukan.
Badan publik, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM merupakan
organisasi yang mekanistis, instruksi dari manajemen puncak merupakan titik
kendali dari organisasi. Weber dalam Stoner (1996 p.37) menjelaskan bahwa
manajemen yang birokratis menekankan pada kebutuhan akan hirarki yang
ditetapkan dengan ketat untuk mengatur regulasi dan wewenang yang jelas. Oleh sebab
itu, dalam organisasi yang mekanistis, manajemen puncak menjadi pemicu
perubahan, bertanggung jawab dalam pendelegasian dan mandat kepada agen
perubahan, penyusun kebijakan serta quality
control yang akan menjadi standar dalam sistem yang terkena dampak UU KIP.
c. Penegasan Komitmen
Penegasan komitmen
ditunjukkan oleh manajemen puncak melalui penyusunan serangkaian kebijakan yang
mendukung dan menjadi landasan hukum dalam perubahan organisasi. Pada tingkat
departemen maka kebijakan yang dikeluarkan berupa Keputusan Menteri (KepMen)
dan Instruksi Menteri (Insmen). Dessler (1997 p.347) memberikan pedoman khusus untuk
mengimplementasikan sistem manajemen yang dapat meningkatkan komitmen organisasi pada pegawai :
1)
Berkomitmen pada nilai manusia:
Membuat aturan tertulis, memilih manajer yang yang baik dan tepat, dan mempertahankan
komunikasi.
2)
Memperjelas dan
mengkomunikasikan misi: Memperjelas misi dan ideologi; berkharisma; menggunakan
praktik perekrutan berdasarkan nilai; menekankan orientasi berdasarkan nilai
dan pelatihan; membentuk tradisi, dan budaya organisasi.
3)
Menjamin keadilan organisasi:
Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif; menyediakan komunikasi
dua arah yang ekstensif,
4)
Menciptakan rasa komunitas:
Membangun homogenitas berdasarkan nilai; keadilan; menekankan kerja sama,
saling mendukung, dan kerja tim,
5)
Mendukung perkembangan
karyawan: Melakukan aktualisasi; memberikan pekerjaan menantang; memajukan dan
memberdayakan; mempromosikan dari dalam; menyediakan aktivitas perkembangan.
Mengacu
pada Dessler, komitmen organisasi harus dibuat secara tertulis serta
disosialisasikan kepada seluruh anggota organisasi dengan tujuan yang sama,
yakni mempertegas komitmen terhadap rencana perubahan. Melalui penegasan
komitmen anggota organisasi memiliki pemahaman, penegasan komitmen menghasilkan
kejelasan dan membuat lingkungan pekerjaan yang kondusif terhadap pemberdayaan
anggota organisasi.
d. Budaya Organisasi
Organisasi yang sedang mendesain suatu perubahan
sesungguhnya jauh lebih kompleks dari sekedar format struktur yang digambarkan
dalam bagan dan penempatan individu dalam jabatan serta acuan tertulis yang
diberikan oleh manajemen puncak. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah
budaya organisasi (Purwanto, 2008 p.229). Budaya organisasi adalah deskriptif.
Budaya organisasi mendeskripsikan bagaimana organisasi mendorong kerja tim,
serta apakah organisasi menghargai inovasi.
Walaupun tidak ada penjelasan tersurat mengenai budaya organisasi yang
ada di Kementerian Hukum dan HAM, secara disadari atau tidak, budaya ini
membentuk perilaku anggota organisasi.
Shein dalam McKenna dan Beech (1995 p.63) mendefinisikan
budaya organisasi sebagai:
“pola-pola
asumsi yang mendasar di mana kelompok yang ada menciptakan, menemukan atau
berkembang dalam proses belajar untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan
adaptasi eksternal dan integrasi internal.”
Budaya organisasi mengacu pada sistem makna bersama yang
dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari
organisasi-organisasi yang lain. Sistem makna bersama ini merupakan separangkat
karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi (Robbins,2006 p.721).
Alternatif lain mengenai definisi budaya
organisasi juga dijelaskan oleh Moorhead dan Griffin dalam McKenna dan Beech
(1995) yang mendefinisikan budaya organisasi sebagai :
“seperangkat nilai, yang diterima selalu benar, yang membantu
seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat
diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima. Nilai-nilai sering dikomunikasikan
melalui cerita dan cara-cara simbolis lain”
Pada organisasi Kementerian Hukum
dan HAM, terdapat budaya yang dominan dan sub budaya. Budaya dominan ini
mengungkapkan nilai-nilai inti yang dianut oleh mayoritas anggota organisasi.
Sedangkan sub budaya cenderung berkembang dalam subsistem Kementerian Hukum dan
HAM karena terdiferensiasi oleh tugas pokok dan fungsi serta pemisahan
geografis. Dengan kata lain nilai-nilai spesifik yang ada di Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan berbeda dengan yang ada di Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual. Perubahan budaya dari ketertutupan informasi menjadi
keterbukaan informasi menjadi salah satu obyek yang perlu diteliti dalam
penelitian kesiapan Kementerian Hukum dan HAM dalam implementasi UU KIP.
Suatu implementasi strategi menghasilkan perubahan, jika
perubahan itu tidak sesuai dengan budaya organisasi maka proses implementasi
strategi akan sulit dilakukan (Purwanto,2008 p.232). Kotter dan Hesket dalam
Robbins (2006 p. 721) mengidentifikasi dua tingkatan budaya organisasi. Yang
pertama adalah budaya yang terlihat dan yang kedua adalah yang tidak dapat
dilihat, tapi dapat dirasakan. Budaya yang terlihat adalah pola perilaku dan gaya para pegawai, sementara yang tidak
terlihat berupa nilai-nilai bersama dan
asumsi-asumsi yang telah ada dalam
jangka waktu yang panjang. Pada budaya organisasi tingkat dua ini memiliki
kesulitan lebih tinggi untuk diubah.
Hasil dari penelitian yang
dilakukan Kotter dan Hasket mengenai budaya organisasi dan kinerja pegawai memperkuat
argumen bahwa budaya memiliki pengaruh kuat dan memiliki dampak terhadap
peningkatan kinerja organisasi. Penelitian ini menghasilkan empat kesimpulan,
yakni :
1) Budaya dapat memiliki dampak yang signifikan
pada kinerja ekonomi jangka panjang sebuah perusahaan.
2) Budaya mungkin akan menjadi faktor yang lebih
penting dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi.
3) Kuatnya budaya suatu organisasi merintangi
peningkatan kinerja dalam jangka panjang. Tidak jarang, budaya organisasi
melekat demikian kuat bahkan dalam lingkungan yang penuh dengan orang-orang
wajar dan intelek.
4) Walaupun sulit untuk diubah, budaya dapat
dibuat untuk lebih meningkatkan kinerja. (Robbins, 1995 p.188).
Budaya yang kuat menjadi dasar
pelaksanaan organisasi. Kunci-kunci pelaksanaan fungsi organisasi seperti
kualitas layanan, iklim kreativitas sangat dipengaruhi oleh budaya. Demikian
halnya dengan munculnya nilai-nilai baru yang mengintervensi organisasi. Budaya
dapat mendukung mudahnya nilai-nilai baru itu terserap dalam organisasi atau
sebaliknya, menghalangi terjadinya perubahan.
Hubungan budaya organisasi dan
prestasi ditekankan kembali oleh Peters dan Waterman dalam Mckenna dan Beech
(1995 p.64). Inti yang disampaikan Peters dan Waterman adalah : mengadopsikan
manajemen berorientasikan tindakan dan tegas, mengidentifikasikan dan melayani
kebutuhan konsumen organisasi baik eksternal maupun internal, mendorong
interdependensi/saling ketergantungan dan bakat wiraswasta (entrepeneurship), setiap saat
melibatkan orang dalam manajemen dimana
manajemen puncak juga menjalin hubungan dengan pegawai, membatasi aktivitas
organisasi untuk apapun yang dirasa paling baik, menghindari diversifikasi pada
daerah yang tak diketahui, menghindari susunan hirarki yang kompleks, dan mengkombinasikan
perintah pusat dengan otonomi bagi kelompok kerja.
Mengacu pada Peters dan
Waterman keberhasilan ditentukan oleh sejumlah faktor, serta ada perhatian
lebih pada karakteristik perangkat lunak sumber daya manusia, atau dengan kata
lain, budaya atau nilai-nilai bersama adalah salah satu faktor penentu
keberhasilan. Oleh sebab itu sebelum melakukan langkah-langkah strategi yang
dapat mengubah budaya organisasi, perlu diukur akibat yang ditimbulkan dan
dampaknya terhadap budaya dan anggota organisasi. Dalam penentuan alternative
strategi terkait budaya organisasi maka
manajemen dapat memilih opsi sebagai berikut :
1) Menjalankan strategi dengan tidak menghiraukan
budaya organisasi
2) Mengubah budaya organisasi agar sesuai dengan
strategi
3) Mengubah strategi agar sesuai dengan budaya
perusahaan (Purwanto, 2008 p.232).
Alternatif-alternatif ini
ditentukan oleh manajemen puncak dan disusun sebagai kebijakan dalam persiapan Kementerian
Hukum dan HAM dalam implementasi UU KIP.
e. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia dalam organisasi merujuk pada
pemberdayaan pegawai, proses rekruitmen dan pemanfaatan sumber daya manusia
organisasi. Awal dari perencanaan sumber daya manusia adalah penilaian
kebutuhan pegawai dan menentukan ketrampilan yang dibutuhkan. Proses ini
merupakan kerangka kerja yang dibentuk melalui interaksi manajemen sumber daya
manusia dengan strategi organisasi. McKenna dan Beech ( 1995 p.98) menjelaskan tiga segi
perencanaan sumber daya manusia sebagai berikut :
1)
Permintaan
terhadap sumber daya manusia, yang dapat dikumpulkan dari rencana sumber daya
manusia strategik.
2)
Penggunaan
sumber daya manusia secara cost efektif dan efisien.
3)
Penawaran
sumber daya manusia dimanifestasikan dalam jumlah pegawai saat ini (penawaran
internal) dan sejumlah lamaran eksternal kepada organisasi (penawaran
eksternal).
Mengacu pada penjelasan McKenna dan Beech,
perencanaan sumber daya manusia ditekankan kepada analisis lingkungan eksternal
dan menyusun kemungkinan pemanfaatan sumber daya manusia terbaik. Perencanaan
sumber daya manusia mendukung strategi organisasi dalam mencapai tujuan
organisasi serta menjadi faktor penting dalam mewujudkan cita-cita organisasi
melalui operasional atau tahapan-tahapan yang sudah direncanakan.
Dalam perumusan suatu rencana strategik, manajemen
sumber daya manusia berpartisipasi dengan mensuplai informasi dengan kekuatan
dan kelemahan internal organisasi. Tanggung jawab lain dari manajemen sumber
daya manusia adalah terlibat aktif baik dalam formulasi maupun implementasi
strategi organisasi. (Dessler, 1997 p.30).
Stoner (1995 p.376) mendefinisikan manajemen sumber
daya manusia sebagai
“ suatu
prosedur yang berkelanjutan yang bertujuan untuk memasok suatu organisasi atau
perusahaan dengan orang-orang yang tepat untuk ditempatkan pada posisi dan
jabatan yang tepat pada saat organisasi memerlukannya.”
Merujuk pada
definisi Stoner, manajemen sumber daya manusia merujuk pada proses menangani
berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan, pegawai, buruh, manajer dan
tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang aktifitas organisasi atau perusahaan
demi mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Dalam kesiapan Kementerian Hukum dan HAM dalam
implementasi UU KIP perlu diketahui bagaimana manajemen sumber daya manusia Kementerian
Hukum dan HAM terkait tujuan dan sasaran stratejik dalam menyongsong implementasi
UU KIP, meningkatkan kinerja pegawai dan mengembangkan budaya organisasi serta
mendorong inovasi.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kualitatif, penelitian tidak dimulai
dengan menguji teori untuk membuktikan, melainkan sebaliknya. Dalam pendekatan
kualitatif, suatu teori dapat muncul dalam proses penelitian.
Model induktif dalam pendekatan kualitatif yang
digunakan dalam penelitian ini diawali dengan mengembangkan teori atau
membandingkan pola dengan teori lain (Creswell, 2003 p.90). Selanjutnya
peneliti mencari kerangka teori, kemudian membentuk kategori dalam metode,
operasionalisasi konsep, mengajukan pertanyaan dalam wawancara dan mengumpulkan
data dan informasi berhubungan dengan teori-teori tersebut. Pendekatan
kualitatif dipandang sesuai karena dalam pendekatan kualitatif penelitian harus
dilakukan secara teliti, mendalam dan menyeluruh untuk memperoleh gambaran
mengenai prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang berlaku umum sehubungan
dengan gejala-gejala yang ada dalam lokasi penelitian. Karena topik yang
diangkat-implementasi UU KIP- bersifat sangat mendasar sehingga membutuhkan
analisa yang mendalam dari berbagai sudut pandang. Kondisi ini menuntut jawaban
mengenai hakekat yang ada dalam hubungan
di antara gejala-gejala atau konsep. Artinya, alasan penggunaan pendekatan
kualitatif karena penelitian ini bertujuan memahami suatu situasi sosial.
Termasuk didalamnya adanya peristiwa, peran, interaksi dan kelompok. Metode
pendekatan kualitatif merupakan sebuah proses investigasi (Creswell, 2003
p.150)
Selain itu, maksud dari dipilihnya penelitian dengan
jenis kualitatif deskriptif yaitu agar hasil yang dicapai dari penelitian ini
juga dapat menjadi rekomendasi yang baik, jelas, dan berimbang bagi para
pembuat keputusan serta untuk mendukung perencanaan di dalam organisasi.
Melalui penelitian ini, penulis juga bermaksud untuk menjelaskan bagaimana dan
langkah-langkah apa saja yang dapat diambil oleh Kementerian Hukum dan HAM
sebagai badan publik dalam persiapan rencana implementasi UU KIP.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dapat digolongkan berdasarkan empat aspek,
yaitu tujuan, dimensi waktu, manfaat, serta teknik pengumpulan data.
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong jenis penelitian deskriptif.
Definisi penelitian deskriptif adalah suatu jenis penelitian yang teknik dan
prosedur pemecahan masalahnya adalah dengan menyelidiki fakta-fakta yang tampak
sebagaimana adanya untuk kemudian digambarkan dan atau dilukiskan melalui
kata-kata. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat gambaran yang
jelas, menyeluruh, faktual, dan akurat atas topik yang diangkat di dalam
penelitian.
Sedangkan apabila dilihat dari aspek dimensi waktu,
penelitian ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian cross sectional. Penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian
jenis cross sectional karena data
yang dipergunakan diambil dalam satu periode waktu saja.
Berdasarkan manfaatnya, penelitian ini termasuk ke dalam
jenis penelitian murni karena penelitian ini memenuhi kategorisasi jenis
penelitian murni menurut Creswell (2003), yaitu pertama latar belakang masalah
dan topik dipilih secara independen, tanpa tekanan dari pihak manapun. Kedua,
karena meskipun penelitian dijustifikasi secara normatif absolut, namun kadar
keilmuan yang bersifat faktual masih dapat dirasakan. Ketiga, karena tujuan
yang dikehendaki diharapkan akan memiliki kontribusi terhadap dasar dan ilmu
pengetahuan teori.
Sedangkan bila dilihat dari segi teknik pengumpulan
data, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian lapangan, karena
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan juga melalui
data sekunder yang dapat menguatkan hasil yang diperoleh dari wawancara yang
dilakukan.
3.3 Jenis Data
Data kualitatif sendiri dapat
dibagi dalam tiga bentuk yakni interview (wawancara),
observations (pengamatan), dan documents (dokumen) (Patton, 2002, p.4).
Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung. Data primer di dalam
penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung kepada informan. Informan
yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu pejabat atau pihak-pihak yang memiliki
wewenang dan pengaruh terhadap kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Hukum dan
HAM. Wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana pemahaman pejabat terkait
pengelolaan dan pelayanan informasi publik Kementerian Hukum dan HAM terhadap
UU KIP, serta bagaimana persiapan Kementerian Hukum dan HAM dalam implementasi
UU KIP. Sedangkan definisi dari data sekunder adalah data-data yang diperoleh
dari tangan kedua, misalnya data yang diperoleh dari data kepustakaan, Biro
Pusat Statistik (BPS), Lembaga Demografi, ataupun lembaga-lembaga sejenis. Data
sekunder pada penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dalam usaha
mendapat informasi pada tahap awal penelitian serta pada saat melakukan
analisis. Data kepustakaan yang dikumpulkan terdiri dari buku, jurnal, makalah,
artikel surat kabar, dan artikel dari internet terkait UU KIP, kesiapan
organisasi terhadap perubahan, manajemen, perubahan organisasi, dan sistem
informasi.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam suatu penelitian, metode
penelitian merupakan cara untuk mengumpulkan data dengan menggunakan teknik
pengumpulan data yang spesifik. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode
wawancara dan studi kepustakaan.
a.Metode Wawancara
Wawancara dilakukan kepada penentu kebijakan di
lingkungan Kementerian Hukum dan HAM terkait dengan rencana implementasi UU KIP
dengan menggunakan pedoman wawancara sehingga keterlibatan peneliti dalam
penelitian ini hanya sebagai peneliti, artinya peneliti hanya berperan sebagai
pengamat yang keberadaannya tidak mempengaruhi berjalannya upaya persiapan
perencanaan implementasi UU KIP Kementerian Hukum dan HAM.
Metode wawancara kualitatif sebagai salah satu tehnik
untuk mengumpulkan data dan informasi didasarkan pada dua alasan :
1)
Dengan
wawancara peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialamai
subyek yang diteliti, akan tetapi apa yang tersembunyi didalam narasumber dan
informan.
2)
Apa
yang ditanyakan pada narasumber/informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat
lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau, saat ini dan proyeksi serta
harapan informan/narasumber untuk masa yang akan datang (Patilima, 2007 p.65)
Dalam memilih informan yang berada dalam struktur
organisasi, digunakan teknik penarikan sampel secara purposive, yaitu peneliti menentukan pejabat dalam manajemen puncak
Kementerian Hukum dan HAM yang akan diwawancarai. Selain manajemen puncak,
peneliti juga melakukan wawancara dengan narasumber yang memiliki keterkaitan
dengan UU KIP baik dalam perancangan undang-undang maupun dalam
implementasinya.
b.Pedoman
Wawancara
Pedoman wawancara
dimaksudkan sebagai pedoman agar peneliti dapat menggali hal-hal yang perlu
diketahui dalam penelitian ini. Pedoman wawancara dapat menjaga wawancara tetap
terarah pada fokus penelitian.
Pedoman wawancara ditujukan untuk mengetahui bagaimana
persiapan Kementerian Hukum dan HAM dalam menyongsong implementasi UU KIP.
Untuk sederhananya, melalui wawancara diharapkan dapat mengungkap :
1)
Mengetahui dan memahami
persepsi narasumber dan informan terhadap UU KIP dan dampak implementasinya
terhadap badan publik.
2)
Kriteria dan metode-metode yang
dijalankan manajemen puncak untuk memastikan efektivitas persiapan organisasi
dan pengendalian atas proses-proses tersebut.
3)
Bagaimana visi Kementerian
Hukum dan HAM terhadap pengembangan organisasi terkait implementasi UU KIP.
4)
Mengetahui bagaimana dukungan
manajemen puncak terhadap langkah-langkah kesiapan organisasi terhadap
implementasi UU KIP.
5)
Bagaimana pengelolaan tahapan
persiapan Kementerian Hukum dan HAM terhadap implementasi UU KIP.
6)
Ketersediaan dan pengendalian
informasi yang dibutuhkan untuk mendukung proses-proses implementasi kebijakan
dan pemantauan (evaluasi).
7)
Mengukur, memonitor, dan
menganalisis proses-proses dan tindakan implementasinya untuk mencapai hasil
yang telah direncanakan dan continual improvement.
8)
Apakah Kementerian Hukum dan
HAM telah memiliki prosedur-prosedur, baik prosedur operasional dan prosedur
antisipatif terkait pengelolaan dan pelayanan informasi.
Adapun mengenai informan, kendati peneliti mengajukan
informan secara purposive, dalam
organisasi yang memiliki hierarki birokrasi klasik perlu diantisipasi bahwa
manajemen organisasi memiliki kewenangan untuk menunjuk salah satu unit atau
individu dalam organisasi sebagai informan tunggal melalui disposisi dari
pimpinan. Hal ini tidak menjadi acuan bahwa manajemen puncak melakukan
pengalihan tanggung jawab, melainkan menggambarkan realita di lapangan.
Informan dalam penelitian ini adalah: Kepala Biro Humas
dan HLN, Kepala Biro Perencanaan, Deputy National Project Director CAPPLER
Project/ PIK Program Manager, dan UNDP Project Manager serta informan yang
relevan dari departemen lain yakni Departemen Komunikasi dan Informatika
selanjutnya dilakukan cross check dengan
metode triangulasi.
c. Metode
Kepustakaan
Metode kepustakaan yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun dokumen, data,
dan informasi yang relevan dengan topik atau masalah penelitian. Informasi itu
bisa diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, jurnal, karangan
ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan perundangan, ensiklopedia, dan
sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik.
Penelitian ini
menggunakan studi kepustakaan untuk mengelaborasi teori-teori dalam kesiapan
organisasi menghadapi perubahan. Pemahaman teori-teori mengenai langkah-langkah
perubahan dan pengembangan organisasi, manajemen sumber daya manusia, hingga
sistem informasi kedalam tahapan praktikal. Tahapan ini dimaksudkan untuk
mengetahui bagaimana teori yang ada dalam studi kepustakaan diaplikasikan dalam
realitas di lapangan.
Studi
kepustakaan yang dilakukan sebelum melakukan penelitian bertujuan untuk:
1) Menemukan suatu masalah untuk diteliti.
Dalam arti bukti-bukti atau pernyataan bahwa masalah yang akan diteliti itu
belum terjawab atau belum terpecahkan secara memuaskan atau belum pernah
diteliti orang mengenai tujuan, data dan metode, analisa dan hasil untuk waktu
dan tempat yang sama.
2) Mencari informasi yang relevan dengan
masalah yang akan diteliti.
3) Mengkaji beberapa teori dasar yang relevan dengan masalah
yang akan diteliti. Menggali teori-teori yang relevan dengan permasalahan
penelitian dan melakukan komparasi-komparasi dan menemukan konsep-konsep yang
relevan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian.
4) Mencari landasan teori yang merupakan pedoman bagi pendekatan
pemecahan masalah dan pemikiran untuk perumusan hipotesis yang akan diuji dalam
penelitian. Sebab dalam ilmu pengetahuan pada umumnya teori mempunyai dua
fungsi pokok yaitu: a). menerangkan generalisasi empiris yang sudah diketahui;
dan b). meramalkan generalisasi empiris yang belum diketahui. Untuk jenis
-penelitian tertentu, misalnya penelitian eksploratif, mungkin hipotesis tidak
ada, namun demikian tidak akan membebaskan peneliti dan menyajikan penelaahan
kepustakaan.
5) Untuk membuat uraian teoritik dan
empirik yang berkaitan dengan faktor, indikator, variable dan parameter
penelitian yang tercermin di dalam masalah-masalah yang ingin dipecahkan.
6) Memperdalam pengetahuan peneliti tentang masalah dan bidang
yang akan diteliti.
7) Agar peneliti dapat pandai-pandai memanfaatkan informasi
dari suatu makalah yang diperlukan bagi penelitiannya, terutama yang terkait
dengan objek dan atau sasaran penelitiannya. Sekurang-kurangnya peneliti dapat
menyadap tujuan, data dan metode, analisis dan hasil utama penelitian.
8) Mengkaji hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada kaitannya
dengan penelitian yang akan dilakukan. Artinya hasil penelitian terdahulu
mengenai hal yang akan diteliti dan atau mengenai hal lain yang berkaitan
dengan hal yang akan diteliti.
9) Menelaah basil penelitian sebelumnya diarahkan pada sebagian
atau seluruh dari unsur-unsur penelitian yaitu: tujuan penelitian, metode,
analisis, hasil utama dan kesimpulan. Hasilnya berupa ulasan tentang penelitian
yang sama atau serupa dengan masalah yang akan diteliti yang telah dilakukan di
tempat lain atau tempat yang sama dengan daerah penelitian. Dan untuk
menunjukkan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang-akan
dilakukan
10) Mendapat informasi tentang aspek-aspek mana dari suatu masalah
yang sudah pernah diteliti untuk menghindari agar tidak meneliti hal yang sama.
(Kasbalah, 1992 , juga Bintarto, 1992)
Peranan studi kepustakaan sebelum
penelitian sangat penting sebab dengan melakukan kegiatan ini hubungan antara
masalah, penelitian yang relevan dan teori akan menjadi lebih jelas. Selain itu
penelitian akan lebih ditunjang, baik oleh teori-teori yang sudah ada maupun
oleh bukti nyata, yaitu hasil pengamatan, wawancara dan realitas yang terjadi
dalam penelitian.
3.5 Teknik Analisis
Data
Data-data yang diperoleh, baik yang berasal dari data
primer maupun data sekunder, akan dianalisa secara kualitatif. Pada analisis
data kualitatif, kita membangun analisis dari hasil wawancara atau pengamatan
terhadap obyek penelitian untuk dideskripsikan.
Analisis data dengan metode deskriptif menggambarkan
secara terperinci melalui data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan
penelitian serta menghasilkan rekomendasi kepada para pembuat kebijakan terkait
implementasi UU KIP dalam lingkungan Kementerian Hukum dan HAM.
Teknis analisis data kualitatif melalui tahapan-tahapan
berikut ini :’
1. kerangka
teori,
2. operasionalisasi
konsep,
3. mengajukan
pertanyaan dalam wawancara dan
4. mengumpulkan data dan informasi berhubungan
dengan teori-teori tersebut.
5. Analisis
data
6. Kesimpulan
(Patilima, 2007 p.88).
a. Operasionalisasi
Konsep
Konsep dalam penelitian ini didefinisikan secara operasional agar lebih
mudah dicari hubungannya antara satu konsep dengan lainnya dan membatu
mengarahkan fokus penelitian. Operasionalisasi konsep bermanfaat untuk: 1)
mengidentifikasi kriteria yang dapat diobservasi yang sedang didefinisikan; 2)
menunjukkan bahwa suatu konsep atau objek mungkin mempunyai lebih dari satu
definisi operasional; 3) mengetahui bahwa definisi operasional bersifat unik
dalam situasi dimana konsep tersebut harus digunakan.
b. Penyajian Data
Penyajian data dalam pendekatan
kualitatif berbeda dengan pendekatan kuantitatif. Dalam analisis kualitatif
data yang muncul berwujud kata dan bukan rangkaian angka (Miles dan Huberman,
1992 p.15). Analisis kualitatif menggunakan kata-kata yang disusun dalam teks
sebagai hasil pengolahan data.
Alur yang digunakan dalam
penyajian data penyajian hasil analisis menurut Matthew dan Michael dalam Miles dan Huberman (1992, p.20) dibagi tiga, yakni:
1)
Reduksi
data. Reduksi data dalam penelitian ini diartikan sebagai proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data
dari hasil penelitian di lapangan. Pada tahap ini reduksi data merupakan bagian
dari analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, memilah data yang
diperlukan dan yang tidak, mengorganisasi data dengan cara yang spesifik hingga
dapat menarik kesimpulan dan memverifikasi kesimpulan tersebut.
2)
Penyajian
data. Penyajian data kualitatif yang dimaksud adalah sekumpulan informasi yang
disusun untuk memberi kemungkinan ada penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
3)
Kesimpulan
dan verifikasi. Bagian terakhir dalam penyajian data kualitatif dalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu
kegiatan berupa deduksi suatu konfigurasi. Pembuktian kembali atau verifikasi
dilakukan untuk mencari pembenaran dan persetujuan sehingga validitas dapat
tercapai.
BAB IV
KESIAPAN KEMENTERIAN HUKUM
DAN HAM
MENYONGSONG IMPLEMENTASI UU NO.14 TAHUN 2008
TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
4.1 Gambaran Umum
Organisasi Kementerian Hukum dan HAM
Salah satu keunikan Kementerian
Hukum dan HAM yang membedakannya dengan
organisasi publik yang lain salah satunya adalah banyaknya unit organisasi yang
bernaung didalamnya. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Kementerian
Hukum dan HAM memiliki sebelas Unit Utama Eselon I, 33 Kantor Wilayah, serta
700 Unit Pelaksana Teknis yang tersebar secara nasional.
Mengacu pada struktur organisasi Kementerian Hukum dan HAM, maka
diketahui bahwa organisasi Kementerian Hukum dan HAM dipimpin pejabat setingkat
menteri. Dengan kata lain manajemen puncak atau penentu kebijakan dalam
lingkungan Kementerian Hukum dan HAM dipegang oleh Menteri Hukum dan HAM
selanjutnya kebijakan pimpinan ditunjang secara administratif melalui
Sekretariat Jenderal untuk diimplementasikan oleh Unit-Unit Utama Eselon I.
Kantor-Kantor Wilayah merupakan perwakilan Menteri di daerah maka dari itu
langsung berhubungan dengan Menteri Hukum dan HAM.
4.2 Tugas Pokok dan Fungsi Kementerian Hukum dan HAM
Adapun yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Kementerian Hukum
dan HAM adalah sebagai berikut :
Tugas Pokok
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu
Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di Bidang Hukum dan
Hak Asasi Manusia.
Fungsi
1. perumusan kebijakan nasional, kebijakan
pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang hukum dan hak asasi manusia;
2. pelaksanaan urusan
pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya;
3. pengelolaan barang
milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
4. pengawasan atas pelaksanaan
tugasnya; dan
5. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan
pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden.
Sekretariat
Jenderal Kementerian Hukum dan HAM sebagai serviceunit dari organisasi terbagi dalam
enam biro setingkat eselon II yang memiliki tugas pokok dan fungsi atas nama
departemen, tidak dibatasi pada fungsi yang bersifat teknis pelayanan
masyarakat. Perlu diketahui bahwa unit utama eselon I Kementerian Hukum dan HAM
selain Sekretariat Jenderal ( Imigrasi, Pemasyarakatan, Hak Kekayaan
Intelektual, Peraturan Perundangan, Administrasi Hukum Umum, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Hak Asasi Manusia, Badan Pembinaan Sumber Daya Manusia) terikat
pada pelayanan yang bersifat teknis kepada masyarakat. Adapun biro-biro yang
menjadi sistem pendukung Sekretariat Jenderal tersebut adalah Biro Perencanaan
dan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Biro Kepegawaian, Biro
Keuangan, Biro Umum, Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri, dan Biro
Perlengkapan.
4.3 Kesiapan Organisasi
Kementerian Hukum dan HAM Menyongsong Implementasi UU No.14/2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik
a. Persepsi dan Motivasi Terhadap Perubahan
Bagaimana stimulus yakni UU
KIP dalam persepsi dan motivasi manajemen Kementerian Hukum dan HAM merupakan
salah satu dimensi penelitian. Menjelang implementasi UU KIP seperti apa
persepsi manajemen puncak organisasi
serta apakah persepsi itu memberikan motivasi terhadap langkah-langkah
persiapan perlu diketahui secara mendalam. Perlu diketahui apakah persepsi dan
motivasi positif dapat serta merta mendorong organisasi untuk berkonsolidasi
mempersiapkan langkah-langkah perubahan, atau sebaliknya. Karena dalam langkah
perubahan dan pengembangan organisasi yang ideal, kegiatan yang berkontribusi
dalam manajemen perubahan diawali dengan persepsi dan motivasi positif,
selanjutnya perlu disertai dengan tahapan-tahapan berikutnya karena perubahan
dan pengembangan organisasi merupakan proses yang berkelanjutan.
Menurut Kepala Biro
Humas dan Hubungan Luar Negeri Djoko Sasongko (Wawancara dengan Djoko Sasongko,
tanggal 06 Oktober 2009) keberadaan UU KIP dapat memberi motivasi anggota
organisasi terkait pelayanan informasi, yakni:
“Melalui Undang-Undang KIP, kita di BiroHumas akan dipacu untuk lebih giat lagi merespon informasi-informasi yang adadan bisa ditindaklanjuti.”
Djoko Sasongko juga menekankan bagaimana dampak UU KIP terhadap
organisasi Biro Humas dan HLN :
“Dampak dari implementasi UU KIP ini ada ada
dua, pada satu sisi staff-staff kita bisa dikenakan suatu peringatan/sanksi-sanksi
terhadap tidak dilaksanakannya atau apabila ada permasalahan di dalam
implementasi UU tersebut. Suatu contoh : masyarakat ada complain tapi tidak
dilanjuti, maka kita akan mendapat masalah atau sanksi, bisa teguran atau
lainnya sesuai ada tercantum dalam UU itu. Dampak positifnya jelas kita akan
terpacu untuk menciptakan atau bisa memotivasi pegawai untuk maju ke depan.”
Sementara Kepala
Bagian Hubungan Luar Negeri Lilik Sri Haryanto yang juga menjabat sebagai
Deputy National Project Director CAPPLER Project
(Enhancing Communications, Advocacy and Public Participation Capacity for Legal
Reforms) (Wawancara
dengan Lilik Sri Haryanto tanggal 08 Oktober 2009), memiliki persepsi terhadap
UU KIP sebagai berikut :
“Informasi
merupakan sesuatu yang harus disediakan karena itu merupakan juga tanggung
jawab dari organisasi publik beserta aparaturnya untuk melakukan suatu akuntabilitas dan
setiap apa yang dilakukan oleh organisasi publik itu sendiri awalnya itu, kita
harus sepakat seperti itu. Namun demikian hal itu yang dulu bisa kita
tawar-tawar suatu yang boleh tidak, sekarang menjadi satu keharusan dengan
lahirnya undang-undang itu, hingga semua organisasi publik berkewajiban dan
semua aparaturnya berkewajiban untuk itu dan apabila sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan itu tidak dipenuhi maka yang bersangkutan itu bisa
dikenakan sanksi, baik administratif maupun pidana. Jadi artinya suka atau
tidak suka, keterbukaan informasi publik itu harus disediakan oleh aparatur dan
juga organisasi publik yang ada didalamnya.”
Sedangkan, Kepala
Bagian Pengolahan Data pada Biro Perencanaan Othman Nasution (wawancara dengan
Othman Nasution tanggal 12 Oktober 2009) memiliki persepsi terhadap UU KIP
sebagai kepastian hukum untuk masyarakat terhadap akses terhadap informasi yang
dimiliki badan publik :
“Undang-undang KIP ini menurut saya adalah
salah satu undang-undang yang memang memberikan kepastian hukum terhadap
pelayanan informasi yang dilakukan oleh instansi pemerintah dan undang-undang
ini sebenarnya menurut saya, sebelum disosialisasikan atau diperlakukan memang
sebaiknya diadakan dulu pengkajian terhadap kesiapan kelembagaan pemerintah
terlebih dengan yang terkait dengan pembangunan e-government. Sebagai salah
satu wujud dari pelayanan informasi yang nantinya akan memenuhi apa yang
menjadi substansi dari keterbukaan informasi publik. Karena kita lihat sekarang
ini kelembagaan terhadap informasi di Kementerian Hukum dan HAM maupun secara
umum di instansi pemerintah belum berjalan dengan baik.”
Berdasarkan hasil
wawancara, para informan mengenai UU KIP dan implementasinya dapat diketahui
bagaiman persepsi Informan. Secara umum informan tampak mengetahui keberadaan UU KIP. Bahkan informan
memahami bahwa UU KIP pasca efektif suka atau tidak suka harus dijalankan.
Informan memposisikan UU KIP sebagai landasan hukum terhadap pengelolaan dan
pelayanan informasi badan publik. Hal ini memperkuat persepsi bahwa UU KIP
dapat memacu pegawai dalam melakukan tindak lanjut terhadap permintaan masyarakat
terhadap informasi karena UU KIP mengatur sanksi apabila suatu badan publik
tidak melakukan pelayanan yang semestinya, hingga dinyatakan bersalah dalam
sengketa pelayanan informasi.
b. Visi
Visi organisasi adalah fokus
dan tujuan organisasi hingga misi serta struktur organisasi diarahkan pada
terwujudnya visi organisasi. Pada wawancara diketahui bahwa visi organisasi
Kementerian Hukum dan HAM telah melalui proses pembahasan. Kepala Hubungan Luar
Negeri Lilik Sri Haryanto menjelaskan proses penyusunan visi organisasi
Departemen Hukum dan HAM :
“Visi Departemen
Hukum dan HAM yang ada sekarang itu kan memang sudah kalau kita mau apa
mengkaji secara akademik itu sudah pasti sudah menyimpang dari pekerjaan
sehari-hari oleh Departemen Hukum dan HAM. Jadi mengenai supremasi hukum
sebagai apa namanya… keywords daripada visi misi kita saya kira itu sudah tidak
relevan.
Karena
Departemen Hukum dan HAM itu tidak bisa membuat supremasi hukum. Kita hanya
pelaksana hukum. Dan, kumpulan pelaksana hukum itu ya kalau memang berhasil semuanya ya hukum
baru bisa supreme. Tapi kita memang bukan organisasi untuk mewujudkan supremasi
hukum itu. Karena kita bukan penegak hukum.
Kita ini pelaksana hukum. Dalam konteks hukum administrasi negara yang
ada sekarang. Persoalannya ketika dilakukan rencana perubahan visi misi
Departemen Hukum dan HAM itu menurut hemat saya, prosesnya itu keliru.
Nah pada waktu
itu dilakukan pengundangan kepada semua orang hingga yang hadir pada forum itu
begitu luas. Dan kemudian dihadirkan disitu konsultan untuk merumuskannya.
Apakah sesuatu yang luas kemudian dirumuskan secara apa dengan waktu yang juga
cepat seperti itu pasti menyebabkan kekeliruan-kekeliruan seperti yang sudah
digagas oleh para petinggi Departemen Hukum dan HAM kemarin akhirnya terjadilah
kelirumologi.
Jadi kekeliruan
ilmu yang tidak sesuai dengan bagaimana proses seharusnya. Nah pada waktu itu
memang sepertinya pejabat di lingkungan Departemen Hukum dan HAM dalam rangka
mewujudkan visi dan kemudian misi itu ada aklamasi untuk ke arah sana. Tapi
pada waktu pembahasan akhir perunit ternyata secara akademik dipermasalahkan
oleh seorang pejabat eselon I, maka penyusunan visi misi itu kemudian terhenti.
Jadi tidak ada
pembicaraan lebih lanjut. Jadi yang penting sekarang dirumuskan dulu program
kerjanya, lalu visi misinya belakangan. Hal ini menurut saya juga merupakan hal
yang aneh. Sebab kita kan harusnya menetapkan visi misi dulu, baru kita
menyusun program kerjanya untuk mewujudkan visi tersebut . Memang kesalahannya
itu kan konsultan kita itu kan tidak memahami tugas pokok dan fungsi Departemen
Hukum dan HAM. Visi misi itu kan harus berangkat dari tugas pokok dan fungsi
sebuah departemen gitu. Nah kalau visi
ini kan jangkanya tidak terbatas, kalau misi itu kan dibatasi. Misi periode sekarang sampai sekarang mau kemana
disitulah baru bisa ketemu jadi sebenarnya harus diawali dari grand strategy Kementerian
Hukum dan HAM itu sendiri itu mau ngapain.Sepanjang waktu kehidupannya itu, nah
baru kemudian dirumuskan dalam itu. Nah kalau memenuhi proses yang betul
seharuskan dirumuskan oleh sekelompok intelektual di lingkungan Departemen
Hukum dan HAM dalam format yang kecil kemudian kalau sudah terbentuk baru
difloorkan ke dalam forum yang besar untuk
didiskusikan dalam rangka melengkapi itu semua.
Nah Konsultan
hadir dalam konteks hanya membantu didalam rangka pemaknaan dari visi dan misi
itu sendiri dalam term visi dan misi dan bahasanya bukan mengenai substansinya.
Ketika difloorkan kemudian konsultan merumuskan dalam bahasa mereka pasti tidak
ketemu, seperti yang terjadi sekarang. Sehingga kita sendiri tidak pernah jelas
Jadi sebenarnya kita ini siapa, organisasi Kementerian Hukum dan HAM itu siapa,
juga sekarang ini tidak jelas. Menurut saya…”
Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko menjelaskan keberadaan visi
dan misi Kementerian Hukum dan HAM yang telah diproyeksikan dalam visi dan misi
organisasi 2009-2014, yakni :
“Visi Departemen
Hukum dan HAM 2009-2014 sudah dibahas bersama-sama dengan unit-unit serta
seluruh unit Eselon I dengan para Sesditjen, Sesbadan dan Kepala-kepala kantor
Wilayah dan diperkirakan selesai akhir November sesuai dengan transisi
pemerintah. Sudah ada visi dan misi yang baru yakni visi dan misi 2009-2014”
Adapun
visi, misi dan indikator kinerja Sekretariat Jenderal dapat dilihat pada data
dibawah ini :
Gambar 4.2
Indikator Kinerja
Sekretariat Jenderal
Kementerian Hukum dan HAM
KEMENTERIAN HUKUM DAN
HAM
|
|||||||||||||||||
VISI :
Masyarakat Memperoleh Kepastian Hukum
Misi : Melindungi Hak Asasi Manusia.
|
|||||||||||||||||
Values : KIRAP
|
K epentingan Masyarakat
I ntegritas
R esponsif
A kuntabel
P rofesional
|
||||||||||||||||
GRAND STRATEGY KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM:
|
a.
Menciptakan Supremasi Hukum.
b.
Memberdayakan Masyarakat
untuk Sadar Hukum dan HAM
c.
Memperkuat Manajemen dan
Kelembagaan secara Nasional
d.
Meningkatkan Kualitas
Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM
|
||||||||||||||||
SASARAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM
|
1)
Menciptakan Supremasi Hukum.
a)
Pembentukan peraturan
perundang-undangan yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan perkembangan
global secara tepat waktu.
b)
Seluruh peraturan
perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah harmonis dan melindungi
kepentingan nasional.
c)
Seluruh pengawasan dan penindakan dilakukan secara konsisten untuk
menjamin kepastian hukum.
|
||||||||||||||||
2)
Memberdayakan Masyarakat untuk Sadar Hukum dan HAM
a)
Seluruh desa sadar hukum
& HAM.
b)
Seluruh masyarakat, terutama
kelompok rentan dan minoritas, memperoleh perlindungan dan pemenuhan atas hak
asasinya.
c)
Hak kekayaan intelektual
masyarakat menjadi produk bernilai ekonomi yang diakui secara internasional.
|
|||||||||||||||||
3)
Memperkuat Manajemen dan Kelembagaan secara Nasional:
a)
Seluruh perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan dilakukan secara tepat waktu dan
terintegrasi serta berdasarkan data yang akurat.
|
|||||||||||||||||
|
q Indikator Setjen:
i
(a) Persentase Rencana Strategis (Renstra),
rencana pengeluaran jangka menengah yang
berbasis kinerja dan terintegrasi.
(b)
Persentase penyusunan Rencana
Kerja (Renja) Kementerian dan
penyesuaian perencanaan periodik berdasarkan
kerangka pengeluaran jangka menengah yang terintegrasi, tepat waktu dan
akurat. (termasuk revisi anggaran dan kegiatan)
(c)
Persentase pelaksanaan
program dan kegiatan secara terintegrasi, tepat waktu dan akuntabel.
(d)
Persentase unit kerja yang
terintegrasi dalam pelaksanaan program dan kegiatan.
(e)
Persentase unit kerja yang
memiliki standar pelayanan prima.
ii
Persentase pengelolaan
keuangan & pelaksanaan anggaran yang tepat waktu, terintegrasi dan
akuntabel.
(a)
Persentase pengujian SPP dan
penerbitan SPM yang tepat waktu, terintegrasi dengan DIPA dan akuntabel.
(b)
Persentase administrasi
pengelolaan keuangan yang tepat waktu dan akuntabel. (jumlah SK KPA, PPK,
bendahara penerima, bendahara pengeluaran, penguji, penandatangan SPM,
pemegang UP, TP/TGR dan surat menyurat)
(c)
Persentase akuntansi dan
pelaporan keuangan yang tepat waktu, terintegrasi dan akuntabel.
(d)
iii
Persentase pengelolaan barang
milik negara yang tepat waktu, terintegrasi dan akuntabel di lingkungan
Kementerian Hukum dan HAM.
(a)
Persentase
unit kerja yang terpetakan kebutuhan BMN dan barang persediaan secara
terintegrasi dan sesuai standar.
(b)
Persentase kebutuhan unit
kerja yang terpenuhi secara tepat waktu dan akuntabel sesuai anggaran.
(c)
Persentase BMN dan barang
persediaan yang terpelihara baik dan yang disalurkan secara tepat waktu dan
akuntabel.
(d)
Persentase BMN dan barang
persediaan yang terinventarisasi secara terintegrasi dan akuntabel.
(e)
Persentase penghapusan BMN
yang terintegrasi dan akuntabel.
iv
(a)
Persentase administrasi pusat
pengembangan dan pendayagunaan telematika yang tepat waktu dan akuntabel.
(b)
Persentase
unit utama dan kantor wilayah yang terintegrasi dalam jaringan data dan
informasi.
(c)
Jumlah kebijakan,
standarisasi, pedoman dan prosedur yang mendukung integrasi bidang telematika
di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. (diusulkan
menjadi Bidang Kebijakan dan Standarisasi Telematika)
v
(a)
Persentase penduduk yang
terumuskan dan teridentifikasi sidik jarinya.
(b)
Persentase
penduduk yang data dan informasi jati dirinya terintegrasi secara nasional. (Subdit data, informasi dan
dokumentasi)
(c)
Persentase data sidik jari yang memiliki
dokumentasi dan arsip yang akuntabel. (Subdit dokumentasi dan arsip gabung subdit data
informasi dan dokumentasi)
(d)
Persentase
administrasi pusat daktiloskopi yang tepat waktu dan akuntabel. (Bagian Umum)
b) Seluruh unit kerja memenuhi standar pelayanan prima dan mencapai target
kinerjanya dengan administrasi yang akuntabel.
q Indikator Sekjen:
i
a.
Jumlah lembaga pemerintah dan
organisasi kemasyarakatan yang berpartisipasi dalam pelaksanaan kebijakan
Kementerian Hukum dan HAM.
b.
Jumlah negara dan badan
internasional yang bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM.
c.
Persentase berita terkait
Kementerian Hukum dan HAM yang didistribusikan atau direspon dalam waktu kurang dari 24
jam secara benar.
d. Persentase penyelesaian masalah hukum
Kementerian Hukum dan HAM dan persentase pelaksanaan administrasi sekretariat
majelis pengawas notaris pusat yang akuntabel.
ii
(a) Persentase
administrasi dan pelayanan tugas pimpinan yang akuntabel dan tepat waktu.
(b) Persentase
pelayanan kerumahtanggaan yang memenuhi standar pelayanan prima
(c) Persentase
pelayanan pengamanan departemen yang memenuhi standar pelayanan prima
(d) Persentase
unit kerja departemen yang memenuhi standar pelayanan prima dalam ketatausahaan
(e)
Persentase aparatur yang memperoleh pembinaan sikap mental (akan
pindah ke biro pegawaian?)
iii
(a) Persentase
perencanaan, evaluasi dan pelaporan Pusjianbang yang akuntabel dan tepat
waktu.
(b) Jumlah
rekomendasi kebijakan Kementerian Hukum dan HAM di bidang hak kekayaan
intelektual, keimigrasian, pemasyarakatan, pelayanan hukum dan jasa hukum
lainnya serta administratif fasilitatif.
(c) Persentase
administrasi Pusjianbang yang tepat waktu dan akuntabel.
c)
Kementerian Hukum dan HAM
sebagai Law Centre memiliki Kantor Pelayanan Hukum dan HAM di setiap kabupaten/kota.
q Indikator Setjen:
i
Persentase pencapaian standar pelayanan
prima dan target kinerja dengan administrasi yang akuntabel di tingkat propinsi.
(a)
Persentase administrasi Kanwil yang tepat waktu dan akuntabel.
(b) Persentase pelayanan dan penindakan hukum yang memenuhi
standar pelayanan prima. (sementara
minus kesadaran hukum dan pembentukan hukum)
|
||||||||||||||||
4) Meningkatkan
Kualitas Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM
a) Seluruh aparatur Hukum dan HAM memiliki
kompetensi sesuai bidangnya dan memperoleh pengembangan
karir yang jelas.
b) Seluruh unit
kerja memiliki SDM profesional
sesuai kebutuhan dan kaderisasi yang berkesinambungan.
q
i
Persentase unit kerja yang memiliki SDM profesional sesuai
kebutuhan dan kaderisasi yang berkesinambungan.
(a) Persentase
kelengkapan data pegawai secara up-to-date, akurat dan on line.
(b) Persentase
administrasi biro kepegawaian yang akuntabel dan persentase aparatur yang memperoleh pembinaan sikap
mental sesuai
kebutuhan.(pindahan dari biro umum)
(c) Persentase
unit kerja yang memiliki kaderisasi berkesinambungan dan pegawai yang
memperoleh pengembangan karir.
(d) Persentase
unit kerja yang memiliki alokasi SDM profesional sesuai kebutuhan dan
persentase pegawai yang memperoleh promosi secara tepat waktu.
(e) Persentase
penyelesaian pelanggaran disiplin pegawai dan persentase penyelesaian
permohonan pegawai.
|
(Sumber : Data Indikator Kinerja
Sekretariat Jenderal Biro Perencanaan Kementerian Hukum dan HAM 2009)
Mengacu pada data indikator kinerja tersebut diatas diketahui bahwa Kementerian Hukum dan HAM telah memiliki visi dan misi organisasi.
Mengacu pada visi dan misi organisasi tersebut disusun suatu indikator kinerja
untuk mewujudkan tujuan organisasi. Nilai yang menjadi perekat dalam penyusunan
visi adalah KIRAP, yakni : Kepentingan Masyarakat, Integritas, Responsif, Akuntabel, Profesional. Posisi prinsip keterbukaan informasi ada pada prinsip
kepentingan masyarakat, integritas aparatur, responsiveness aparatur dan
prinsip akuntabilitas.
c. Membangun
Dukungan Terhadap Perubahan
Perubahan organisasi
memerlukan dukungan dari berbagai pihak dalam langkah-langkah tahapannya. Bentuk dukungan
manajemen dapat berupa kebijakan dan prosedur yang mengatur fleksibilitas
terhadap kondisi transisi, logistik (misalnya, kualitas peralatan, sumber daya
manusia, keuangan). Selain itu, beberapa teori mengemukakan bahwa tingkat
kepercayaan anggota organisasi dalam pengelolaan persiapan perubahan akan
menumbuhkan persepsi bahwa organisasi dapat menjadi lebih baik melalui
perubahan organisasi. Dukungan manajemen dapat disampaikan secara lisan dalam
pidato serta dikonkritkan dalam bentuk formal, yakni melalui surat keputusan
atau persetujuan atas program kegiatan. Unit yang memiliki tugas pokok dan
fungsi terkait informasi dan komunikasi perlu melakukan berbagai aktivitas
untuk membangun dukungan perubahan. Kegiatan untuk membangun dukungan perubahan
telah difasilitasi dalam kerjasama antara Kementerian Hukum dan HAM dengan UNDP
melalui berbagai pembahasan, rapat, focus
group discussion dan seminar
internal.
Tampaknya manajemen puncak mendukung langkah-langkah
persiapan implementasi UU KIP, seperti dinyatakan oleh Djoko Sasongko
(wawancara dengan Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko tanggal 06 Oktober
2009) sebagai berikut :
“Dukungan
pimpinan jelas ada, yakni dari menteri dan dari eselon I Sekretariat Jenderal.
Telah ada Dukungan Positif. Menteri dan sekjen memberi arahan dan petunjuk-petunjuk
dalam rapat-rapat internal serta ada juga dalam pidato sambutan.”
Dukungan manajemen puncak Kementerian Hukum dan HAM belum
berbentuk kebijakan formal yang mengatur bagaimana keterbukaan terhadap
informasi dikelola. Hal ini dinyatakan oleh Othman Nasution (wawancara dengan
Kepala Bagian Pengolahan Data Biro Perencanaan Othman Nasution tanggal 12
Oktober 2009) :
“Pasti semua organisasi terpengaruh oleh UU KIP, tapi kita lihat
sekarang ini itu belum disiasati dengan
kebijakan yang benar-benar terprogram dengan baik. Dalam suatu kebijakan yang
terintegrasi misalnya, dalam kebijakan manajemen, kebijakan pengelolaan SDM,
infrastruktur, dan juga pembangunan database. Secara terperinci belum, yang ada
setiap unit memang melakukan kegiatan pembangunan e-gov yang dalam arti kata
mereka mempunyai website masing-masing,syukur-syukur informasi yang disampaikan
melalui website tersebut sudah bersifat informatif sesuai tupoksi, bersifat
terbuka dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. karena penyajian informasi yang
di website itu tergantung dengan content nya, yang belum menjembatani kebutuhan
masyarakat. saat ini lebih terfokus pada interface, atau tampilan yang menarik,
sedangkan untuk content nya perlu dikaji ulang. saya yakin belum semua yang
mampu memenuhi, karena saya sering mendapat pertanyaan dari berbagai lapisan
masyarakat, melalui email misalnya. Perlu manajemen hingga data informasi dapat
diolah sehingga itu dapat memberi kontribusi terhadap apa yang menjadi tuntutan
masyarakat dengan adanya undang-undang keterbukaan informasi. Sedangkan
keterbukaan informasi itu sendiripun menurut saya, tentu harus digariskan mana yang menjadi keterbukaan informasi dan
mana yang menurut undang-undang. informasi yang dirahasiakan. Tidak semuanya
kan ? Ada beberapa kategori, kalau saya tidak salah, akan tetapi yang menjadi
kepentingan khalayak umum yang benar-benar dapat diperoleh dengan azas
keterbukaan itu ada kategori yang harus dirumuskan terlebih dahulu. Dan itu
belum dilakukan oleh Departemen Hukum
dan HAM. Belum ada yang merespon ya, baik yang ditingkat Setjen maupun yang di
unit utama.”
Pada prinsipnya manajemen
mendukung serta memberikan fasilitas terhadap pihak terkait dalam melakukan
kegiatan dalam kerangka persiapan implementasi UU KIP. Secara tersirat memang ada dukungan terhadap
persiapan implementasi UU KIP. Hal tersebut dinyatakan oleh pimpinan melalui
pidato maupun arahan dalam rapat. Biro Humas dan HLN membuat kebijakan terkait
persiapan implementasi dengan memberikan penugasan kepada staf untuk mengikuti
pelatihan / workshop / seminar
terkait implementasi UU KIP.
Penugasan terhadap staf pada satu sisi adalah menciptakan kaderisasi serta
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pada sisi yang lain, sumber daya
tersebut harus dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pihak manajemen agar
tidak sia-sia. Demikian pula dengan persetujuan pelaksanaan kegiatan Biro Humas
dan HLN tahun 2010 yang akan melakukan sosialisasi UU KIP. pada tahap ini
sosialisasi memiliki tujuan terciptanya persamaan pemahaman pada tiap-tiap lini
Kementerian Hukum dan HAM terhadap signifikansi UU KIP.
Meskpun demikian dalam persiapan menyongsong
implementasi UU KIP aktivitas bersama UNDP dalam CAPPLER Poject yang
dikategorikan sebagai agen perubahan untuk membangun dukungan terhadap perubahan
tidak dimanfaatkan optimal. Hal itu tercermin dari belum ada dukungan berupa
kebijakan yang secara substantif merancang persiapan organisasi dalam
implementasi UU KIP karena Baik Biro Perencanaan dan Biro Humas melalui
wawancara ini menyatakan hal yang sama: Kebijakan yang ada berupa arahan dalam
rapat atau dinyatakan secara lisan dalam pidato, tetapi dukungan yang
substantif dan formal itu belum ada.
c.1 Agen Perubahan
Perubahan memerlukan intervensi pihak tertentu yang
menjadi agen perubahan. Agen perubahan dalam birokrasi klasik merupakan unit
atau personel yang diberi atau memiliki kewenangan formal dalam bertindak.
Anggota organisasi dalam tatanan birokrasi klasik bersifat terikat pada
hierarki organisasi. Hal ini disebabkan oleh perlunya ada suatu wewenang formal
untuk menginisiasi perubahan. Sementara
pihak yang berperan sebagai agen perubahan bisa berasal dari dalam atau dari
luar organisasi.
Kementerian Hukum dan HAM memiliki kerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP)
dengan program CAPPLER (Enhancing
Communication, Advocacy and Public Participation Capacity for Legal Reform
Project). Terkait dengan implementasi UU KIP, dalam Project Facts UNDP Enhancing Communication, Advocacy and Public
Participation Capacity for Legal Reform disebutkan bahwa :
Achievement : Established
the MLHR (Ministry of Law and Human Rights) Communication and Information
Centre as the gateway of information between the MLHR, the general public,
civil society and the media. Now operational, the centre benefits from the
development and implementation of standard operating procedures and related
communications management processes. The project also trained MLHR staff to
manage the centre. The operations of the centre will be fully handed over to
the MLHR by end of 2008; Development of MLHR’s public communication strategy in
line with the recently enacted law no.14/2008 on Freedom of Information (Sumber : Project Facts
UNDP , November 2008).
Pada Project Facts
tersebut UNDP menyatakan telah menghasilkan pencapaian sampai pada
memberikan manfaat dari pengembangan dan pelaksanaan standar prosedur operasi
dan proses manajemen komunikasi terkait, pelatihan kepada staf Kementerian
Hukum dan HAM hingga adanya pengembangan strategi komunikasi publik Kementerian
Hukum dan HAM sesuai dengan Undang-Undang No.14/2008 mengenai Kebebasan
Informasi.
Keberadaan UNDP
dan kerjasamanya dengan Kementerian Hukum dan HAM oleh Lilik Sri
Haryanto dijelaskan sebagai berikut :
“Awal muasalnya
itu memang CAPPLER Project itu hanya
satu ditujukan kepada keterbukaan
informasi publik dan partisipasi publik dalam legal reform, jadi tidak ada kata
lain di dalam project itu. Nah pada
waktu itu karena Mas Ota (Mas Ahmad Santosa Senior Advisor UNDP) sebagai senior
advisor itu mengusulkan bagaimana kalau project ini tidak seluruhnya menjadi
tanggung jawab gedung tengah. Tidak menjadi tanggung jawab sekretariat
Jenderal, nah oleh sebab itu karena pada waktu itu yang menandatangani pun juga adalah Direktorat Jenderal PP,
karena pemahaman legal reform itu harus terjadinya di Direktorat Jenderal PP.
Nah legal reformnya sendiri itulah yang kemudian melahirkan pemikiran untuk merumuskan apa
namanya peraturan Perda, apa namanya untuk supaya harmonis perancangan peraturan perundang-undangan itu
benar-benar bisa terwujud dari tingkat yang paling tinggi hingga tingkat
Perda. Itu harapannya pada waktu itu. Nah kemudian disepakati. Ini
sebenarnya dalam rangka pembagian pekerjaan aja. Pembagian aja supaya ada
project di Direktorat Jenderal PPnya sendiri. Nah tapi,penyusunan peraturan
Perda itu, Pedoman penyusunan peraturan perda itu hanya merupakan salah satu
instrumen yang diberikan kepada publik
agar ikut mengawasi apabila terjadi
pembaharuan hukum termasuk
pembaharuan Perda itu bisa mendapat
partisipasi publik yang sangat luas.
Oleh sebab itu
Perda, kenapa karena pada waktu itu asumsinya dua: pertama : orang-orang yang
mengelola atau yang merumuskan peraturan
Perda itu sendiri masih banyak yang belum paham tentang bagaimana menyusun Perda
yang bener. Yang kedua itu adalah untuk kepentingan masyarakat sebenarnya.
Masyarakat luas.Dengan beredarnya buku itu diharapkan tidak hanya penyusunnya
tapi juga masyarakat luas bisa mengetahui kesalahan-kesalahan, bisa mengetahui
apa namanya, istilahnya tidak terjadinya lex specialis dalam setiap Perda.
Meskipun demikian sebenarnya kalau Perda itu seharusnya lex specialis, tetapi
harapannya tetap harmoni meskipun lex
specialis. Jadi sebenarnya tetap, pokok utamanya adalah disitu, nah kemudian
ketika mau mengakhiri apa namanya, Project CAPPLER 1 , kemudian menuju Project
CAPPLER 2 sebenarnya yang ingin dicoba dioptimalkan ada 2. Yang pertama mengenai Keterbukaan Informasi Publik itu sendiri,
kemudian yang kedua mengenai bagaimana wujud dari harmonisasi. Yang real.
Jadi didalam
mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk Perda. Nah ketika
keterbukaan informasi publik itu sudah menjadi salah satu bagian, tetapi pada waktu itu yang disepakati awal itu hanya
mengenai pemahaman undang-undang keterbukaan informasi publik itu sendiri.
Kemudian sama penyusunan substansi setiap unit utama tentang keterbukaan
informasi publik yang harus disediakan dan juga yang dilarang. Itu yang menjadi
pokoknya.
Tetapi kemudian
karena sekali lagi peranan penasehat begitu kuat dan juga intensitas peranan pejabat yang lebih
tinggi juga lebih kuat gitu kan, maka apa namanya CIC ditinggalkan kemudian
lebih diarahkan ke harmonisasi Perda itu, harmonisasilah secara keseluruhan bukan
cuma Perda.”
Project Manager UNDP Ruslan Adji (wawancara dengan
Program manager UNDP Ruslan Adji, 02 November 2009) menjelaskan kerjasama antara UNDP dan
Kementerian Hukum dan HAM :
“Kerjasama antara UNDP dan Kementerian Hukum
dan HAM merupakan kesepakatan Pejabat Tertinggi dari Departemen dan UNDP dengan
inisiatif Bappenas. Kesepakatan antara Departemen dan UNDP tertuang dalam
substansi yang disusun dalam project document. Dalam project document tertuang
substansi proyek, pembiayaan dan jangka waktu”
UNDP dalam kegiatan CAPPLER Project memiliki peranan
sebagai agen perubahan yang terikat dengan perjanjian kerjasama formal. UNDP
bertindak sebagai fasilitator dengan tidak melakukan intervensi langsung ke
dalam kebijakan internal Kementerian Hukum dan HAM. Kerjasama antara UNDP dan
Kementerian Hukum dan HAM tersusun dalam Project
Document (Prodoc) dimana UNDP bergerak sesuai dengan tujuan yang sudah
tercantum dalam Prodoc. Adapun tujuan kerjasama ini disampaikan oleh Ruslan
Adji sebagai berikut :
“Ada empat tujuan dalam Prodoc yakni berdiri
dan operasionalnya PIK, penyusunan Perda Guidelines, Penyusunan Petunjuk
harmonisasi dan Penyusunan Prosedur Partisipasi Publik”
Keberadaan dan beroperasionalnya PIK (Pusat Informasi
dan Komunikasi) di Kementerian Hukum dan HAM merupakan prakarsa UNDP. Akan tetapi keberadaan PIK berfungsi bukan
sebagai unit yang memiliki kewenangan formal melakukan pengelolaan dan
pelayanan informasi.
Lilik Sri Haryanto menegaskan bahwa idealisme Project
CAPPLER kerjasama Kementerian Hukum dan HAM dan UNDP adalah keterbukaan
informasi publik :
“Karena salah
satu yang apa namanya dijadikan
idealisme didalam Project CAPPLER itu adalah keterbukaan informasi
publik awalnya meskipun, pada waktu itu baru ada pembahasan mengenai RUU
Keterbukaan Informasi Publik. Tapi Project CAPPLER itu sendiri sejak tahun 2004
idealismenya adalah keterbukaan informasi publik.”
Keberadaan pihak eksternal sebagai fasilitator dalam
implementasi UU KIP tampak signifikan. Bahkan dalam wawancara, Lilik Sri
Haryanto menjelaskan bahwa tanpa peran pihak luar, persiapan implementasi UU
KIP akan sulit dilaksanakan :
Kerjasama dengan UNDP membuahkan hasil yang tercantum
dalam Project Facts yakni rekomendasi
atau konsep suatu pengembangan organisasi. Akan tetapi sistem yang mengelola secara substantif belum
ada.
Lilik Sri Haryanto menjelaskan ketiadaan system tersebut
dalam wawancara :
“Jadi kalau
rencana kemarin kalau misalnya UNDP bisa mengakomodir itu kita kan pengennya
sudah sampai pada tahap perumusan substansi yang akan di informasi publikkan .
dan kemudian juga apa namanya , kita juga sudah dapat memberikan alasan-alasan
seandainya undang-undang , apa ...substansi yang tidak bisa dibuka itu bahwa
itu termasuk kategori yang secara hukum dibenarkan.sebab itupun juga dalam
implementasinya bisa terjadi perbedaan pendapat dalam masyarakat. apakah ini
yang harus dirahasiakan, apakah ini yang tidak dirahasiakan. nah ini saya kira
akan berat sekali”
Berdiri dan
berfungsinya PIK sebagai salah satu tujuan dalam kerjasama UNDP dan Kementerian
Hukum dan HAM memiliki tugas pokok dan fungsi yang berlandaskan prinsip
keterbukaan informasi, meskipun belum cukup tepat untuk bisa dikatakan telah
selaras dengan prinsip-prinsip dalam UU KIP.
Tugas pokok dan fungsi PIK kerjasama Kementerian Hukum
dan HAM dan UNDP dapat dilihat sebagai berikut :
Mengacu pada wawancara, data dan observasi lapangan UNDP
sebagai fasilitator diidentifikasi
sebagai agen perubahan. UNDP menginisiasi suatu task force yang bertindak sebagai unit yang memiliki tugas
informasi dan komunikasi. Akan tetapi ada hal yang tidak dapat diintervensi
oleh UNDP yakni mengintervensi suatu kebijakan strategis dan formal. Maka dari
itu, peran pihak internal sangat penting dalam mengimplementasikan suatu
rekomendasi perencanaan ke dalam pelaksanaan.
Apabila disandingkan dengan UU KIP maka dapat diketahui
bahwa PIK hanya merupakan embrio yang masih harus dikembangkan agar selaras
dengan prinsip keterbukaan informasi publik. Amanat dalam UU KIP jelas mengatur
bahwa informasi wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, diumumkan secara
serta merta, dan wajib tersedia setiap saat (Bab IV Informasi yang Wajib
Disediakan dan Diumumkan UU KIP). Informasi publik tersebut meliputi :
-
informasi yang berkaitan dengan
badan publik,
-
informasi mengenai kegiatan dan
kinerja badan publik terkait,
-
informasi mengenai laporan
keuangan, dan/atau informasi lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan (Pasal 9 Bab IV UU KIP).
Badan publik wajib mengumumkan secara serta merta suatu
informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum
(Pasal 10 Bab IV UU KIP).
Informasi publik yang wajib ditampilkan setiap saat
meliputi :
-
daftar seluruh informasi publik
yang berada di bawah penguasaannya,
-
hasil keputusan badan publik
dan pertimbangannya,
-
seluruh kebijakan yang ada
berikut dokumen pendukungnya,
-
rencana kerja proyek termasuk
didalamnya perkiraan pengeluaran tahunan badan publik,
-
perjanjian badan publik dengan
pihak ketiga,
-
informasi dan kebijakan yang
disampaikan pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum,
-
prosedur kerja badan publik
yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat; dan/atau
-
laporan mengenai pelayanan
akses informasi publik sebagaimana diatur dalam UU KIP (Pasal 11 UU KIP).
Unit Pusat Informasi Komunikasi (PIK) masih memerlukan
banyak pengembangan agar dapat
diselaraskan dengan prinsip keterbukaan informasi dalam UU KIP.
c.2 Inisiatif Perubahan
Kementerian Hukum dan HAM
sebagai organisasi yang hirarkis mekanis, keputusan dibuat oleh pimpinan
puncak. Meskipun demikian dalam teori inisiatif perubahan bisa dimulai dari
siapa saja. Kadang pimpinan puncak tidak
atau belum memahami situasi dan realita di lapangan. Maka solusi yang diberikan
oleh pimpinan walaupun sudah ada, dapat
saja belum sufficient dengan kenyataan di lapangan.
Dalam wawancara
dengan Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko, diketahui bagaimana dan sejauh
mana inisiatif Biro Humas dan HLN sebagai bentuk persiapan implementasi UU KIP
:
“Tahapan-tahapan
persiapan berupa pengajuan anggaran
melalui pra RKAKL dimana kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh struktur
baru diajukan ke Rocana. Lalu dilanjutkan dengan mengajukan orta baru sesuai
dengan UU KIP dari Biro Humas ke Rocana untuk dilanjutkan ke Menpan. Tahapan
ini sudah dilaksanakan.”
Sedangkan terkait
dengan inisiatif perubahan, Lilik Sri Haryanto menjelaskan bahwa inisiatif
perubahan semestinya berasal dari Biro Perencanaan :
“Nah struktur
organisasi yang menjadi inisiator ya tentu adalah Biro Perencanaan gitu.
Karena, apa namanya mengenai hal ini kan harus apa ya .. harus betul-betul
dipahami oleh Biro Perencanaan dan kemudian baru dilemparkan struktur
organisasi masing-masing untuk menyiapkan substansinya jadi substansi-substansi
apa yang menurut undang-undang yang
harus dibuka kepada publik dan juga kalau misalnya ada satu substansi atau satu
kerja dari organisasi publik itu yang memang dikategorikan tidak bisa dibuka ya
kita juga harus menyiapkan apa alasannya .Nah kalau kita lihat dari kondisi
kita sekarang tahun 2010 itu menurut saya tidak akan menjadi sesuatu yang
diharapkan. Undang-undang no. 14 2008 itu tidak ada harapan itu.”
Sementara, Othman
Nasution menjelaskan meskipun ada kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM yang
telah berusaha menerapkan prinsip keterbukaan informasi publik dengan membangun
Pusat Informasi di lingkungan Kanwil, hal itu berupa inisiatif, sementara tetap
diperlukan suatu mekanisme yang standar dan terintegrasi agar metode pelayanan
dan pengelolaan informasi berada dalam koridor yang sama :
“Sebenarnya kalau untuk itu saya rasa bisa
inisiatif aja yang diinformasikan di Kanwil itu tentunya terkait substansi
tugas pokok dan fungsi Kanwil. Masing-masing kanwil itu mungkin tugasnya sama.
Tugasnya memang wakil menteri, tetapi kegiatannya kan beda.Memang seharusnya
dimotori oleh Sekjen. Untuk tingkat pusat dan tingkat wilayah. Itu yang saya
katakan perlu ada kebijakan yang terintegrasi. Kalau nanti memang penataan
sistem informasi bukan menjadi domain Humas, menjadi domain pusat pengembangan
dan pemberdayaan maka kita akan melakukan. Tapi sekarang belum bisa..”
Usulan perubahan Orta dan perubahan organisasi memang
telah dibahas dalam merancang indikator kinerja Kementerian Hukum dan HAM. UU
KIP menjelaskan bahwa badan publik harus menunjuk seorang Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan membuat dan
mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara cepat , mudah, dan
wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan informasi publik yang
berlaku secara nasional (Pasal 13 UU KIP). Keberadaan Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi serta pengembangan sistem penyediaan layanan informasi
merupakan dua hal signifikan dalam UU KIP yang belum dimiliki Kementerian Hukum
dan HAM.
Staf Ahli Menteri
Komunikasi dan Informatika Suprawoto menjelaskan (wawancara dengan Suprawoto 08
Oktober 2009) bahwa dalam penunjukkan PPID dalam suatu organisasi publik, tidak
diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai petunjuk pelaksanaan :
“Undang-undang ini dibuat minim sekali PP saat
ini belum ada. PPnya 2, satu mengenai masa berlaku rahasia, apakah lima tahun
dan sebagainya, sepuluh tahun apa limabelas tahun.. dan mekanisme dan
pertanggungan jawab mengenai denda. Dua
PP itu masih belum ada. PPID itu cukup kepala unitnya masing-masing.
Menterinya nanti yang buat. Jadi Menteri menunjuk PPID. Nah sekarang mungkin
dibuatkan surat tugas dulu aja, jangan langsung surat keputusan dulu, karena
nanti akan ada petunjuk dari Komisi Informasi,”
Melalui wawancara diketahui
bahwa meskipun inisiatif terkait persiapan implementasi UU KIP sejauh ini
berasal dari Biro Humas dan HLN tetap perlu diakomodir oleh Biro Perencanaan
dalam bentuk suatu rencana yang secara substantif yang mampu mengatur bagaimana
pengelolaan informasi di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Inisiatif ini
perlu mendapat dukungan manajemen dan bersifat formal. Terkait dengan
penunjukkan PPID, mau tidak mau tetap merupakan wewenang manajemen puncak.
Penjelasan dari Suprawoto memperlihatkan bahwa penunjukkan PPID merupakan
wewenang pimpinan, dalam hal ini penunjukkan PPID adalah wewenang Menteri Hukum
dan HAM.
d. Mengelola Perubahan
Dalam persiapan untuk
menyongsong implementasi UU KIP, Biro Humas dan HLN memahami bahwa perubahan
tersebut diperlukan untuk mengakomodasi apa-apa saja prinsip keterbukaan
informasi dalam UU KIP. Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko dalam
wawancara menegaskan :
“Jelas diperlukan
restrukturisasi di dalam pengelola manajemen dalam persiapan UU KIP, dan Biro
Humas juga akan mengusulkan perubahan struktur dan ORTA ke Biro Perencanaan.
Yang sudah dilakukan berupa penambahan struktural dan fungsional serta
penempatan jabatannya.”
Biro Humas dan HLN
mengajukan usulan perubahan struktural dan ORTA kepada Biro Perencanaan untuk
mengakomodir indikator kinerja. Telah diketahui pula bahwa organisasi Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan pembentukan
ulang organisasi (reshaping).
Terlihat pada data indikator kinerja akan hadir dua unit baru dalam lingkungan
Sekretariat Jenderal yakni Pusbangyatel (Pusat Pengembangan dan Pelayanan
Telematika) dan Pusat Daktiloskopi. Kementerian Hukum
dan HAM telah melakukan perubahan dan pengembangan organisasi yang diupayakan
selaras dengan reformasi birokrasi, meskipun didalamnya ada prinsip
transparansi dan akuntabilitas serta keberadaan unit-unit baru ini bukan
berarti Kementerian Hukum dan HAM telah siap untuk menyongsong implementasi UU
KIP. Bahkan, data indikator kinerja Biro Humas dan HLN tidak mencerminkan
keberadaan kinerja pengelolaan dan pelayanan informasi.
Perubahan dan pengembangan organisasi Kementerian Hukum
dan HAM sejauh ini masih perlu dirumuskan oleh masing-masing unit, Kepala Bagian
Pengolahan Data Othman Nasution dalam wawancara menjelaskan :
“jadi nanti, dengan kinerja yang tiga ini seluruh kegiatan
menyangkut sistem penasihat dirumuskan oleh masing-masing katakan unit atau
bagian atau biro ... biro lah ...atau pusat harus merumuskan untuk mencapai
kinerja ini. apa yang harus mereka siapkan? ya semua.manajemen apapun
bentuknya, change managementnya, perangkatnya, sdmnya, kebutuhan
pelatihannya... kualifikasinya harus mereka susun”
Othman Nasution mempertegas
bahwa meskipun indikatornya sifatnya lebih ke dalam pengembangan sistem dan
mekanisme, sumber daya manusia serta apa dan siapa yang bertanggung jawab
menyampaikan informasi tersebut kepada masyarakat lebih sesuai apabila
dirumuskan oleh masing-masing unit. Tiap-tiap unit dipandang lebih memahami
bagaimana kondisi internal hingga lebih mudah dalam pemetaan serta pemisahan
informasi yang dikecualikan.
Terkait adanya
unit baru yakni Pusbangyatel yang merupakan peningkatan eselonitas Bagian
Pengolahan Data, dijelaskan oleh Othman Nasution dalam wawancara :
“Ini baru dalam tahap penyusunan indikatordan indikator ini nilai yang sebenarnya yang nanti akan dicapai, maka sekarangtahap berikutnya dari reformasi birokrasi ini adalah menyusun kegiatan. kitabelum melakukan ini. Apa untuk mencapai indikator kinerja pusat pendayagunaandan pengembangan telematika, tepat waktu dan akuntabel itu apa yang maudilakukan.”
Kesiapan
Kementerian Hukum dan HAM untuk mengembangkan dan merubah organisasi
menyongsong UU KIP masih ada pada tahap awal. Perubahan organisasi yang sedang
berlangsung masih pada tahap penyusunan indikator kinerja. Belum ada persiapan
lain yang dilakukan. Dalam wawancara dengan informan yakni Kepala Biro Humas
dan HLN Djoko Sasongko, Kepala Bagian Hubungan Luar Negeri merangkap Deputy
National Project Director CAPPLER Project dan Program Manager PIK Lilik Sri
Haryanto, Kepala Bagian Pengolahan Data Biro Perencanaan (Disposisi Kepala Biro
Perencanaan) Othman Nasution, Staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika dan wakil
pemerintah dalam penyusunan UU KIP Suprawoto, CAPPLER Project Manager UNDP
Ruslan Adji, memperlihatkan bahwa persiapan organisasi Kementerian Hukum dan
HAM masih berada pada tahap yang sangat awal karena Kementerian Hukum dan HAM
belum memiliki PPID, belum memiliki kebijakan dan dukungan formal manajemen
puncak, serta belum membangun suatu system informasi manajemen yang
terintegrasi.
Perubahan organisasi menitikberatkan pada pengelolaan perubahan yang direncanakan. Sementara organisasi cenderung member penekanan pada proses
adaptif perencanaan dan pelaksanaan perubahan bukan penyusunan satu blue print untuk hal-hal yang seharusnya
dilakukan. Perubahan organisasi melibatkan perencanaan untuk mendiagnosa dan
memecahkan masalah yang dihadapi organisasi. Kreatifitas merupakan salah satu
ciri perubahan organisasi yang kemudian dipergunakan untuk memperkuat rangkaian
program pengelolaan perubahan. Blue
print perubahan dan pengembangan
organisasi menjadi hal yang diperlukan karena bisa menjadi panduan bagi
organisasi publik, khususnya Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan
langkah-langkah persiapan untuk menyongsong UU KIP.
Dalam Seminar Kehumasan “Keterbukaan Informasi Publik
Menuju Pelayanan Publik Yang Berkualitas (Jakarta, 06 Agustus 2009)” yang diselenggarakan
oleh Bappenas, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta dalam sambutannya menyampaikan
bahwa proses pembangunan kepemerintahan yang baik melalui paradigma keterbukaan
informasi publik tersebut adalah terciptanya peningkatan kualitas pelayanan
publik secara menyeluruh. Dengan arus informasi yang lancar dan terbuka,
diharapkan akan tercipta satu proses birokrasi yang berkualitas yang dapat :
(1) mengurangi (bahkan) menghilangkan kesenjangan peran antara organisasi pusat
dengan organisasi pelaksana yang ada di lapangan; (2) melakukan efisiensi dan
penghematan alokasi penggunan keuangan; (3) rasionalisasi; (4) mendekatkan
birokrasi dengan masyarakat. Cita-cita good
governance hanya dapat dicapai dengan relasi antara pemerintahan yang
bersih dan keterbukaan informasi bagi publik. Dalam sambutan tersebut, Kepala
Bappenas Paskah Suzetta menegaskan bahwa signifikansi pelayanan publik yang
baik dengan keterbukaan informasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintah yang
baik. Pelayanan kepada masyarakat terkait informasi dan akses informasi
membangun mekanisme kontrol dan menciptakan partisipasi publik.
Pada pelatihan “Budaya Dokumentasi Dalam Rangka
Implementasi UU No.14 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (27-28 Oktober 2009)”
yang diselenggarakan oleh Depkominfo dan
ANRI dijelaskan bahwa keterbukaan informasi publik memiliki beberapa
undang-undang sebagai landasan. UU KIP
bukanlah satu-satunya undang-undang yang mengatur tranparansi untuk
mewujudkan reformasi birokrasi. Undang-undang yang menjadi
landasan pengelolaan dan pelayanan informasi selain UU KIP,
adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),
Undang-Undang Pelayanan Publik, Undang-Undang Kearsipan dan Undang-Undang
Rahasia Negara (masih dalam pembahasan).
Mengacu pada hasil pelatihan
tersebut dapat diasumsikan bahwa Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
(PPID) harus menyusun sistem pelayanan dan pengelolaan informasi yang ternyata
juga dilandasi dengan prinsip UU ITE, UU Pelayanan Publik dan UU Kearsipan.
Kementerian Hukum
dan HAM belum memiliki sistem pelayanan dan pengelolaan informasi, maka dari
itu, format manajemen sistem informasi yang akan disusun sudah harus dapat
mengakomodir undang-undang tersebut. Dalam usaha membuat framework sistem informasi dalam penelitian ini yang pertama-tama
akan dilihat adalah permasalahan yang dihadapi manajemen.
Indikator kesehatan
organisasi akan terlihat pada lancar tidaknya pencapaian tujuan organisasi.
Tidak tercapainya suatu tujuan karena terhambatnya komunikasi merupakan
gambaran dari suatu kebijakan atau keputusan yang tidak mampu menjawab
persoalan yang sedang dihadapi. Proses komunikasi internal yang tidak tepat
sasaran yang bisa jadi merupakan kesalahan internal, atau merupakan kesalahan
analisis hingga penyajian laporan yang keliru atau hal-hal lain terkait dengan
proses manajemen organisasi publik.
Pengertian sistem
informasi manajemen dalam penelitian ini akan digunakan dalam konteks
pengelolaan data dan pelayanan informasi yang bersifat mengatur informasi yang
ada dalam internal organisasi kepada pihak eksternal.
Kemajuan teknologi pada era teknologi informasi sekarang
ini memungkinkan terwujudnya suatu proses pengolahan data secara cepat, efisien
dan mudah diakses. Teknologi informasi memungkinkan output informasi yang
bervariasi, dengan kata lain, informasi dapat dikustomisasi sesuai dengan
permintaan dalam waktu yang cepat.
Uraian di atas menegaskan bahwa untuk mewujudkan
pelayanan informasi yang efisien diperlukan penanganan informasi modern. Pada
satu sisi meskipun teknologi informasi dan komputerisasi bagi organisasi publik
telah menjadi kebutuhan pokok baik dalam menyelesaikan pekerjaan rutin maupun
membantu memberikan pelayanan kepada masyarakat, penanganan informasi modern
tidak dapat dilakukan hanya dengan komputerisasi atau pengadaan computer,
tetapi juga melalui pengembangan organisasi. Dengan kata lain pengembangan
organisasi merupakan upaya organisasi melakukan penyesuaian terhadap perubahan.
d.1 Kepemimpinan
Mengacu pada definisi konsep birokrasi klasik, Kementerian
Hukum dan HAM memiliki apa yang disebut dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)
dari unit-unit yang ada didalamnya. Tugas pokok dan fungsi ini disusun dalam
panduan yang disebut dengan Organisasi dan Tata Laksana (Orta). Dalam
menjalankan organisasi, Tupoksi dan Orta menjadi panduan yang mengikat.
Organisasi birokrasi klasik memiliki sifat kaku/rigid serta pola manajemen top down. Akibatnya perubahan selalu
berasal dari inisiatif manajemen puncak. Hal ini dikenal melalui frase :
“dengan mengikuti petunjuk dan arahan pimpinan”.
Dukungan manajemen terhadap perubahan tercermin dalam kepemimpinan
yang efektif. kepemimpinan yang efektif melibatkan pemantauan perubahan,
sehingga dapat segera diketahui apabila diperlukan koreksi, dan pemimpin
efektif mengetahui kapan diperlukan visi baru.
Pemimpin yang terkemuka
yang mengelola perubahan strategis memiliki kemampuan untuk belajar dan
beradaptasi dengan perubahan. Dalam proses, organisasi belajar dipupuk dalam
lingkungan keterbukaan dan saling percaya hingga memungkinkan orang untuk
merangkul perubahan dan berani mencoba tanpa merasa terancam.
Organisasi-organisasi dewasa ini terus berhadapan dengan
perubahan, dari perubahan lingkungan, konstelasi politik, hingga peraturan
perundang-undangan. Para pemimpin dituntut untuk mampu secara terampil
membimbing organisasi menuju arah strategi baru.
Kepemimpinan terkait
erat dengan pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin.
Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai
kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang untuk
mencapai tujuan. Sebagai tambahan dalam organisasi birokrasi, pemimpin melekat
pada jabatan dan tugas, dengan kata lain seorang pemimpin memiliki wewenang dan
tanggung jawab tugas yang diatur secara formal.
Wewenang formal masih perlu ditambah dengan sifat
kepemimpinan yang baik. Seorang pemimpin yang tidak memiliki sifat kepemimpinan
yang baik dianggap sebagai pemimpin yang tidak efektif. Ilmu manajemen
menjelaskan bagaimana pemimpin yang ‘buruk’ atau dengan kata lain pemimpin yang
tidak efektif merintangi organisasi untuk berkinerja.
Bagaimana pola kepemimpinan yang ada di lingkungan
Sekretariat Jenderal perlu diketahui secara mendalam. Output yang dihasilkan
dalam masa transisi menjelang implementasi UU KIP, perubahan dan pengembangan
organisasi, indikator kinerja masih menunjukkan adanya missing link dalam persiapan organisasi menyongsong UU KIP. Kepala
Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko dalam wawancara bagaimana persiapan
organisasi Biro Humas dan HLN menjelaskan bahwa :
Indikator kinerja menegaskan adanya penambahan
struktural dalam Biro Humas dan HLN tetapi penambahan struktural itu tidak
memperlihatkan adanya upaya untuk mengakomodasi prinsip keterbukaan informasi
dalam UU KIP :
q Indikator
Sekjen:
|
a.
Jumlah lembaga pemerintah dan organisasi kemasyarakatan yang
berpartisipasi dalam pelaksanaan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM.
b.
Jumlah negara dan badan internasional yang bekerjasama dengan
Kementerian Hukum dan HAM.
c.
Persentase berita terkait Kementerian Hukum dan HAM yang
didistribusikan atau direspon dalam
waktu kurang dari 24 jam secara benar.
d.
Persentase
penyelesaian masalah hukum Kementerian Hukum dan HAM dan persentase pelaksanaan
administrasi sekretariat majelis pengawas notaris pusat yang akuntabel.
(Sumber : Indikator Kinerja Sekretariat Jenderal
Departemen Hukum dan HAM)
Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko mengatakan
bahwa Biro Humas dan HLN sudah melakukan penambahan struktural, sedangkan
Kepala Bagian Hubungan Luar Negeri sekaligus Deputy National Project Director
CAPPLER Project Lilik Sri Haryanto mengatakan :
“Perencanaan itu
kan boleh dibilang yang menyiapkan segala sesuatunya, Biro Keuangan itu yang
membudget, nah kalau dua-dua organisasi
ini tidak memahami materi dan juga tidak
memahami message dari undang-undang maupun klausula-klausula yang diatur di
dalam undang-undang keterbukaan informasi publik itu yang sudah fatal gitu.
Artinya apapun yang direncanakan oleh pemerintah itu dimasa yang akan datang
itu pelaksanaannya tahun 2010 nanti sepanjang itu tidak diakomodir oleh dua
unit itu ya tidak ada apa-apa. Tidak
akan bisa dilaksanakan gitu. kita menyampaikan sesuatu ya tidak ada gunanya
memang itu bisa dirumuskan dengan baik pada saat organisasi atau
struktur-struktur dalam organisasi itu juga memahami hal yang sama.”
Meskipun dalam wawancara Lilik Sri Haryanto menyatakan bahwa Biro
Perencanaan harus menyiapkan segala sesuatunya, Lilik Sri Haryanto juga
menyatakan bahwa Biro Humas dan HLN bersama-sama dengan UNDP telah menyertakan
Biro Perencanaan, Biro Umum dan Biro Keuangan dalam pembahasan mengenai UU KIP
:
“Kalau khusus
Departemen Hukum dan HAM sesungguhnya Biro Humas beserta teman-teman dari UNDP
pada waktu menyusun program mengenai CAPPLER Project itu sudah merupakan bagian
tidak terpisahkan dari pada itu. Kemudian tidak kurang-kurangnya Kepala Biro
Perencanaan, Kepala Biro Umum, dan juga Kepala Biro Keuangan itu selalu kita
undang bersama-sama untuk ikut melakukan pemikiran-pemikiran tentang persiapan
dalam rangka keterbukaan informasi publik itu. “
Hal yang menarik adalah telah ada pembahasan bersama-sama dengan
Biro Perencanaan, Biro Umum, dan Biro Keuangan, serta UNDP, tapi mengapa tidak
ada tindak lanjut. Sebagaimana dikemukakan oleh Project Manager Ruslan Adji,
bahwa sudah ada strategi komunikasi yang merupakan hasil pembahasan, tetapi
tidak dilaksanakan :
“Loh kan PIK ini sudah punya strategi
komunikasi... pelajari dong. Iya itu... bukunya dokumennya tebel banget tuh
yang di bikin oleh PIK memberikannya dengan bambu dua itu dengan unit-unit di
seluruh unit Departemen Hukum.. pelajari dulu apa yang sudah dihasilkan ..sudah
merupakan dokumennya PIK itu dan mestinya ingin kita kan begitu setelah ini..
strategic planningnya sudah dipunyai... dikerjai itu... tapi tidak ada..
ngomong tentang itu aja nggak ada acan-acan.. masa anda tidak dilatih oleh
bapak bambu dua itu? adalah ini loh gambaran umum problem yang ada di Kementerian
Hukum dan HAM.. oleh karena itu problem tree nya begini... ini pohon ... ini
solution treenya begini... lalu ini kita...visi dan misi kita..saya dengerin
waktu itu... cumaaan..memang dokumen itu sangat kalian lupakan... Cuma disimpen
tapi tidak pernah dipelajari, dibaca, diterjemahkan, menjadi action”.
Sesuai dengan pola organisasi
birokrasi, pada pemimpin atau pejabat yang memiliki kewenangan formal terdapat
tugas pokok dan fungsi serta tanggung jawab yang melekat. Apabila dipetakan
kembali, hal ini memperlihatkan ketergantungan yang tinggi terhadap pimpinan.
Faktanya, sudah ada pejabat yang memiliki wewenang
formal dalam pengelolaan PIK dimana Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko
menunjuk Kepala Bagian Hubungan Luar Negeri Lilik Sri Haryanto sebagai Pimpinan
Pusat Informasi dan Komunikasi (PIK), pada saat yang sama Lilik Sri Haryanto
juga menjabat sebagai Deputy National Project Director CAPPLER Project, serta
program manager PIK.
Dalam wawancara dengan Lilik Sri Haryanto terkait
kapasitasnya sebagai Deputy National Project Director CAPPLER Project dan
Program Manager PIK, Lilik Sri Haryanto menjelaskan :
“Sebenarnya dari
konsultan sendiri termasuk UNDP itu hasil kerja konsultan saat terakhir
termasuk rekomendasi UNDP dan tentu rekomendasi dari pelaksana PIK pada waktu
itu adalah Deputy CAPPLER Project itu rekomendasinya memang harus segera
distrukturkan. Dan strukturnya harus setingkat eselon 2. Kenapa setingkat
eselon 2, ini supaya bisa menjadi payung daripada semua PIK-PIK, atau CIC-CIC,
atau mini CIC yang ada di unit utama eselon 1 maupun di kantor wilayah. Yang rencananya akan
ditingkatkan setingkat eselon 3.Nah, persoalannya adalah pada waktu
direkomendasikan hal itu, yang berkeberatan itu adalah disampaikan secara
langsung adalah dari perencanaan. Pada waktu itu sesungguhnya pak Sekjen
berkali-kali sudah menyetujui hal itu, kemudian karena persepsi keliru dari Biro Perencanaan itulah yang
menyebabkan ini menjadi tidak terwujud. Nah, persepsi keliru yang pertama itu
adalah dibangun bahwa kalau mau membuat suatu struktur organisasi seperti ini
waktunya lama, panjang, butuh waktu yang tahunan, gitu. Itu persepsi yang
pertama, keliru. Padahal sesungguhnya, kalau ada kehendak dari kementerian
untuk setingkat eselon 2 itu tidak perlu dimintakan persetujuan kepada
presiden. Itu bisa langsung dibuat. Bahkan sekarang untuk setingkat eselon 3
pun, rancangan yang sudah berubah menjadi setingkat eselon 3 pun, karena
ternyata Biro Perencanaan sudah punya rencana, punya niat sendiri untuk
menjadikan Biro Pullahta menjadi suatu Biro tersendiri jadi kemudian, kepentingan
itu menjadi tidak sinkron. Nah sesungguhnya itu bisa digabungkan, satu :
pullahta itu bisa digabungkan dengan Pusat Informasi dan Komunikasi. Karena itu
adalah apa namanya, pusat pengolahan data yang diolah kan informasi. Kecuali
ada pemahaman yang berbeda. Kita juga ga tahu. Nah persepsi yang pertama itu
tentang waktu yang panjang. Persepsi yang kedua, yang keliru itu adalah
menempatkan informasi dan komunikasi itu bukan hal yang penting. Meskipun sudah
ada undang-undang keterbukaan informasi publik itu sendiri. Nah, pameo atau apa
namanya ideologi Biro Perencanaan yang selalu mengatakan : 'kecil struktur kaya
fungsi' kadang-kadang itu juga dipersepsikan keliru, Nah ini satu hal yang menurut saya sangat
fatal. Dia selalu mengatakan ' sebaiknya dalam suatu organisasi publik itu, apa
namanya 'kecil struktur, kaya fungsi' itu yang salah. Kan, oke struktur kecil,
boleh asal fungsinya sama, misalnya kebo sama telor , atau sapi sama telor,
atau ayam sama telor. ini yang sering keliru dipahami. Oke,boleh kecil struktur
tapi mewadahi fungsi-fungsi yang sama.Fungsi-fungsi yang satu sama lain
terkait. Kalau tidak, ya susah. Kalau sekarang misalnya sekarang humas dicampur
dengan datin, humas dicampur dengan P2L, humas dicampur dengan apa, itu menjadi
tidak relevan. Gitu lho. Jadi ada hal yang memang bisa begitu, ada hal yang ga
bisa begitu. Kemudian kecilnya struktur itu harus dapat dipertimbangkan, berapa
struktur lagi yang akan diakomodasi. Tapi kalau misalnya kita mau memayungi
eselon 3 sementara kita sendiri strukturnya eselon 4 bagaimana itu bisa
terjadi. Mungkin bisa diwujudkan suatu mekanisme kebersamaan yang terorganisasi
dimana PIK menjadi bagian yang itu.”
Lilik Sri Haryanto mengakui bahwa ada strategi
komunikasi yang telah diusulkan kepada Biro Perencanaan. Akan tetapi menurut Lilik
Sri Haryanto, terjadi resistensi karena Biro Perencanaan akan mengembangkan
unit baru yakni Pusbangyatel yang merupakan peningkatan eselonitas serta tugas
pokok dan fungsi dari Bagian Pullahta. Adapun dalam indikator kinerja terlihat
apa fungsi dari Pusbangyatel :
|
(a)
Persentase administrasi pusat pengembangan dan pendayagunaan
telematika yang tepat waktu dan akuntabel.
(b)
Persentase unit utama dan kantor wilayah
yang terintegrasi dalam jaringan data dan informasi.
(c)
Jumlah kebijakan, standarisasi, pedoman dan prosedur yang mendukung
integrasi bidang telematika di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. (diusulkan menjadi Bidang Kebijakan dan Standarisasi
Telematika)
(Sumber : Indikator Kinerja Sekretariat Jenderal Departemen Hukum
dan HAM)
Kepala Bagian Pullahta Othman Nasution mengatakan bahwa
saat ini memang belum ada kebijakan terkait UU KIP secara terintegrasi, akan
tetapi saat ini, penataan sistem informasi itu bukan merupakan domain dari
Pullahta :
“Itu yang saya
katakan perlu ada kebijakan yang terintegrasi. Kalau nanti memang penataan
sistem informasi bukan menjadi domain Humas, menjadi domain pusat pengembangan
dan pemberdayaan maka kita akan melakukan. Tapi sekarang belum bisa.”
Penjelasan dari Othman Nasution menegaskan bahwa
penataan sistem informasi masih menjadi domain Humas. Sementara penjelasan dari
Lilik Sri Haryanto terkait resistensi Biro perencanaan terhadap strategi rekomendasi
menegaskan bahwa Biro Perencanaan tidak setuju terhadap berdirinya unit baru
Pusat Informasi dan Komunikasi setingkat Eselon II. Hal itu lebih disebabkan
pada tugas pokok dan fungsi PIK memiliki banyak kemiripan dengan tugas pokok
dan fungsi Biro Humas dan HLN, jadi yang disetujui adalah penataan ulang Biro
Humas dan HLN agar sesuai dengan strategi komunikasi PIK, bukan membangun unit
baru.
Terkait resistensi dari Biro Perencanaan, Lilik Sri
Haryanto menjelaskan :
“Sekarang yang
mengelola informasi itu macam-macam. Misalnya contohnya di HAM. Yang mengelola
informasi itu setingkat eselon 2. Nah di unit lain, ada yang eselon 3, ada yang
eselon 4, ada yang eselon 2. Jadi yang mana ? Lagi di imigrasi itu apa namanya,
humas PPL, PPL sendiri itu kan mengkaji
segala macam laporan gitu kan dan kemudian mewujudkan laporan tentang
kegiatan-kegiatan. Sementara informasi dan komunikasi itu hal-hal yang lain.
Tidak semua informasi yang ditaruh disana bisa ditaruh disini. Dan tidak semua
informasi itu bisa dikomunikasikan. Nah ini adalah pemikiran-pemikiran yang
selama ini keliru. Dari nomenklatur yang dibangun dan juga fungsi-fungsi yang
dibangun dalam setiap satu struktur. Nah ini saya kira pengkajian yang
dilakukan oleh Biro Humas pada waktu itu, melalui Rakor Kehumasan itu
sesungguhnya harus ditindaklanjuti. Tapi sampai sekarang rekomendasi itu tidak
pernah ditindaklanjuti oleh pimpinan. Kemudian perintah undang-undang no.14
thun 2008 juga tidak diikuti dalam rangka restrukturisasi. Di sana kan
diharapkan bahwa setiap organisasi publik mempunyai badan, setingkat eselon 1
bahkan, bukan cuma sekedar eselon 2, tapi sampai hari ini, mungkin saya tidak
tahu apakah departemen lain pernah membicarakan hal yang sama atau tidak. Tapi
yang pasti Departemen Hukum dan HAM tidak akan pernah berpikir ke sana. Kita
sudah menyampaikan berkali-kali, mestinya begini, tapi ya sepanjang Biro
Perencanaan tidak mengakomodasi, ya tidak pernah akan terjadi.”
Lilik Sri Haryanto menyatakan bahwa
dalam UU KIP diharapkan bahwa dalam setiap organisasi publik mempunyai badan
setingkat eselon I bahkan, bukan cuma sekedar eselon II. Sementara dalam UU KIP
yang menjadi kewajiban badan publik adalah :
1)
Badan Publik wajib menyediakan,
memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada dibawah
kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang
dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
2)
Badan publik wajib menyediakan
informasi publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan.
3)
Untuk melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus membangun dan
mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik
secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.
4)
Badan publik wajib membuat
pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak
setiap orang atas informasi publik.
5)
Pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi,
social, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
6)
Dalam rangka memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat
memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.
(Bagian keempat Kewajiban Badan Publik Pasal 7 UU No.14/2008)
Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik secara spesifik mengatur bahwa untuk mewujudkan
pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik menunjuk Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID); dan membuat dan mengembangkan
sistem penyediaan layanan informasi secara cepat, mudah, dan wajar sesuai
dengan petunjuk teknis standar layanan informasi publik yang berlaku secara
nasional (Pasal 13 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi
Publik). Dalam UU KIP tidak ada secara
spesifik menegaskan harus berdiri suatu badan setingkat eselon I yang khusus
mengelola dan melayani informasi. Undang-undang ini memberikan otonomi kepada
badan publik untuk melakukan transformasi sesuai dengan kondisi badan publik.
Resistensi Biro
Perencanaan terhadap rencana menjadikan PIK sebagai unit pengelola informasi
setingkat eselon I dikemukakan oleh Lilik Sri Haryanto dalam wawancara sebagai
salah satu penyebab ketidaksiapan organisasi menyongsong implementasi UU KIP.
Selain resistensi dari Biro Perencanaan, Lilik Sri Haryanto juga mengungkapkan
bahwa UNDP tidak mengakomodir rencana persiapan sampai pada tahap perumusan
substansi UU KIP, hingga persiapan organisasi menyongsong implementasi UU KIP
akan sulit sekali. Sementara Project Manager CAPPLER Project Ruslan Adji
menegaskan bahwa substansi Keterbukaan Informasi Publik bukan ranah Kementerian
Hukum dan HAM melainkan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Tapi belakangan
setelah diketahui bahwa keterbukaan itu bukan ranahnya Kementerian Hukum dan
HAM. Kita mengikuti kebenaran yang baru itu. Dalam pertemuan project board,
mereka menyangka bahwa keterbukaan informasi publik itu ranahnya Departemen
Hukum dan HAM. Ternyata bukan. Kalau ranahnya Departemen Hukum dan HAM, memang
tepat di Pusat Informasi Komunikasi tapi ternyata di Menkominfo. Apa lagi
pertanyaannya... satu tadi adalah mendirikan PIK ya... mendirikan PIK menurut
kami dari proyek itu sudah tercapai... sudah kita serahkan ke Kementerian Hukum
dan HAM.. kita malah ingin tahu sekarang apakah masih berfungsi sebagaimana
waktu kita tinggalkan apa tidak..”
Pihak UNDP dalam hal ini dinyatakan oleh Ruslan Adji menyatakan
bahwa sebagai mitra organisasi, UNDP terikat pada kesepakatan serta fakta yang
berlaku. Konsep keterbukaan informasi dalam CAPPLER Project berada pada
pendirian PIK dan penyusunan prosedur partisipasi publik, bukan menyusun suatu
mekanisme yang berlaku nasional, karena itu adalah ranah organisasi lain. Ruslan
Adji juga menyatakan pernah ada ketidakefisienan penggunaan keuangan
mengakibatkan penyusunan prosedur partisipasi publik tujuan keempat dalam
CAPPLER Project belum tercapai.
“penyusunan prosedur partisipasi publik....
belom tercapai belom dimulai itu... karena konsep kami dulu kan bahwa inilah
bagian tugas dari salah satu unit implementing partnernya adalah Pusat Informasi
Komunikasi.. nanti bersama dengan pak syaf..tapi sampai sekarang karena dulu
pemakaian uangnya tidak efisien.. jaman saya belum masuk itu uangnya habis tujuan yang keempat belum
dicapai karena menyusun perda guideline itu aku masuk kan udah proyek sudah dua
tahun tapi belom apa-apa.”
Keberadaan pimpinan yang efektif merupakan aktivitas
pengembangan organisasi yang diperlukan untuk mempertahankan momentum
perubahan. Hal ini dimaksudkan agar dalam kepemimpinan yang efektif, langkah-langkah
perubahan tetap berada dalam jalurnya, dan bisa diselesaikan sesuai rencana
atau berlaku dinamis dalam menyikapi adanya masalah menuju pencapaian tujuan.
Banyak upaya perubahan gagal karena anggota organisasi pada level
manajerial atau yang sudah menempati jabatan tertentu memandang perubahan
sebagai kesempatan. Kesempatan - baik untuk organisasi atau untuk diri sendiri.
Hingga ada kecenderungan untuk memanfaatkan momen perubahan untuk kepentingan
pribadi dan mengabaikan kepentingan organisasi. Momentum dalam perubahan
organisasi bisa terlewati begitu saja apabila ada hal-hal yang terkait
kepentingan pribadi mendominasi apa yang sesungguhnya menjadi kepentingan
organisasi.
Pemimpin dalam
pengelolaan perubahan dan transisi organisasi bertugas menyikapi momen
perubahan agar dapat mencapai tujuan organisasi. Apabila konsep PIK adalah
berupaya mewujudkan keterbukaan informasi dan meningkatkan partisipasi publik,
semestinya tidak ada misconduct dari
prodoc, atau dengan kata lain, seorang pemimpin dapat mengawal prodoc bersama
mitra terkait dalam hal ini UNDP untuk mewujudkan tujuan dari hal-hal yang
telah disepakati bersama. Terkait dengan UU KIP, perubahan memang menimbulkan
resistensi, hal ini perlu disikapi dengan penyesuaian perencanaan agar tetap
dapat sampai pada tujuan utama yakni mempersiapkan organisasi menyongsong UU
KIP. Kesiapan organisasi dalam mempersiapkan diri bukan semata-mata membangun
satu unit baru setingkat eselon I melainkan membangun sistem pengelolaan dan
pelayanan informasi yang selaras dengan UU KIP.
Pemimpin yang ideal
dalam manajemen perubahan mampu memandang hambatan sebagai tantangan, dan tidak
menjadikan suatu hambatan sebagai alasan untuk melalaikan tanggung jawab.
Penolakan atau resistensi yang pasti terjadi dalam upaya perubahan dipandang
secara positif tentunya dapat disikapi secara kreatif agar tujuan organisasi
dapat tercapai.
Ketiadaan pemimpin
yang efektif dan dihormati dapat menghambat kinerja organisasi. Sementara,
dalam UU KIP Badan Publik diperintahkan
untuk menunjuk PPID yang akan menjadi pimpinan dalam penyusunan baik sistem
informasi maupun mekanisme pelayanan dan pengelolaan informasi, sampai saat ini
Kementerian Hukum dan HAM belum menunjuk PPID.
d.2 Manajemen Sistem Informasi
Dalam UU KIP diwajibkan bagi badan publik untuk membangun
sistem penyediaan layanan informasi secara cepat, mudah, dan wajar. Pembangunan
sistem ini termasuk pengelolaan database, pengarsipan dan pendokumentasian
informasi publik dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 8
UU KIP). Pengelolaan keterbukaan informasi juga didukung dengan keberadaan UU
No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No.25/2009 tentang
Pelayanan Publik dan UU No. 43/2009 tentang Kearsipan. Dalam wawancara dengan
Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko (wawancara dengan Kepala Biro Humas
dan HLN Djoko Sasongko, 06 Oktober 2009) manajemen sistem informasi Kementerian
Hukum dan HAM adalah :
“Manajemennya
berupa pengendalian informasi. Pengendalian informasi berupa melakukan
inventarisasi permasalahan di dalam informasi itu sendiri dimana kita harus
bedakan mana yang rahasia dan yang tidak rahasia. Mana yang wajib
dipublikasikan dan mana yang tidak boleh. Membentuk PPID (Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi) sesuai dengan undang-undang KIP. Standar indikator,
kriteria untuk menghasilkan target yang diinginkan dalam rangka persiapan
implementasi UU KIP. Kementerian Hukum dan HAM masih mempersiapkan proses
operasional dan antisipatif.”
Menurut Djoko Sasongko, organisasi masih mempersiapkan
proses operasional dan antisipatif serta pengendalian informasi. Sementara
menurut Kepala Bagian Pullahta Othman Nasution (wawancara dengan Kepala Bagian
Pullahta Othman Nasution, 12 Oktober 2009) di Kementerian Hukum dan HAM belum
ada suatu sistem yang terintegrasi sebagai persiapan implementasi UU KIP.
“Secara terperinci belum, yang ada setiap
unit memang melakukan kegiatan pembangunan e-gov yang dalam arti kata mereka
mempunyai website masing-masing,syukur-syukur informasi yang disampaikan
melalui website tersebut sudah bersifat informatif sesuai tupoksi, bersifat
terbuka dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. karena penyajian informasi yang
di website itu tergantung dengan content nya, yang belum menjembatani kebutuhan
masyarakat. saat ini lebih terfokus pada interface, atau tampilan yang menarik,
sedangkan untuk content nya perlu dikaji ulang. saya yakin belum semua yang
mampu memenuhi, karena saya sering mendapat pertanyaan dari berbagai lapisan
masyarakat, melalui email misalnya. Perlu manajemen hingga data informasi dapat
diolah sehingga itu dapat memberi kontribusi terhadap apa yang menjadi tuntutan
masyarakat dengan adanya undang-undang keterbukaan informasi. Sedangkan
keterbukaan informasi itu sendiripun menurut saya, tentu harus digariskan mana yang menjadi keterbukaan informasi dan
mana yang menurut undang-undang. informasi yang dirahasiakan. Tidak semuanya
kan ? Ada beberapa kategori, kalau saya tidak salah, akan tetapi yang menjadi
kepentingan khalayak umum yang benar-benar dapat diperoleh dengan azas
keterbukaan itu ada kategori yang harus dirumuskan terlebih dahulu. Dan itu
belum dilakukan oleh Departemen Hukum
dan HAM. Belum ada yang merespon ya, baik yang ditingkat Setjen maupun yang di
unit utama.”
Keterangan dari Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko
dan Kepala Bagian Pullahta Othman Nasution mengindikasikan bahwa sistem
informasi yang akan menjadi landasan keterbukaan informasi Kementerian Hukum
dan HAM masih belum jelas keberadaannya.
Secara teori, manajemen yang birokratis menekankan pada
kebutuhan akan hirarki yang ditetapkan dengan ketat untuk mengatur regulasi dan
wewenang yang jelas. Apabila belum ada wewenang dalam
organisasi yang mekanistis, maka belum bisa ditentukan siapa yang akan
bertanggung jawab dalam pendelegasian, penyusunan kebijakan serta quality control yang akan menjadi
standar dalam sistem yang terkena dampak UU KIP.
d.3 Penegasan Komitmen
Penegasan komitmen ditunjukkan oleh manajemen organisasi
Kementerian Hukum dan HAM. Melekat pada sistem yang birokratis, bahwa kebijakan
yang disusun dan diformalkan menjadi landasan hokum dalam persiapan organisasi
menyongsong implementasi UU KIP. Kebijakan yang dikeluarkan dapat berupa
Keputusan Menteri (Kepmen) atau surat tugas. Kebutuhan akan penegasan komitmen
dan kewenangan ditegaskan oleh Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika
Suprawoto (wawancara dengan Suprawoto, 08 Oktober 2009) :
Penjelasan Suprawoto berimplikasi positif dengan teori
yang dikemukakan Dessler bahwa komitmen organisasi harus dibuat secara tertulis
untuk mempertegas komitmen organisasi. Meskipun demikian, dalam organisasi
Kementerian Hukum dan HAM belum ada penegasan komitmen yang dilakukan oleh
pimpinan. Sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Bagian Pullahta Othman Nasution
(wawancara dengan Othman Nasution, 12 Oktober 2009) :
“Ini baru dalam tahap penyusunan indikator
dan indikator ini nilai yang sebenarnya yang nanti akan dicapai, maka sekarang
tahap berikutnya dari reformasi birokrasi ini adalah menyusun kegiatan. kita
belum melakukan ini. apa untuk mencapai indikator kinerja pusat pendayagunaan
dan pengembangan telematika, tepat waktu dan akuntabel itu apa yang mau
dilakukan.”
Kepala Bagian Pullahta Othman Nasution
menegaskan bahwa perubahan dan pengembangan organisasi berada pada tahap
penyusunan indikator kinerja. Indikator kinerja mengacu pada reformasi
birokrasi dan belum secara eksplisit kepada keterbukaan informasi. Sementara
indikator kinerja Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini Biro Humas dan HLN belum
mencerminkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi sebagaimana diamanatkan
dalam UU KIP.
Dalam
prakteknya, belum ada penegasan komitmen yang telah diformalisasi oleh pimpinan
puncak organisasi. Bahkan indikator kinerja yang disusun juga belum
mencerminkan pemberian wewenang kepada salah satu unit dalam lingkungan
Sekretariat Jenderal sebagai pengelola dan pelayanan informasi publik.
Meskipun
dalam teori, komitmen organisasi harus dibuat secara tertulis serta disosialisasikan,
dalam prakteknya belum tentu. Seperti yang ada pada Kementerian Hukum dan HAM,
dimana sampai saat ini, belum ada penegasan komitmen tertulis yang dilakukan
oleh manajemen puncak atau pimpinan organisasi.
d.4 Budaya Organisasi
Paradigma
baru keterbukaan informasi yang diamanatkan dalam UU KIP memaksa perubahan budaya kerja badan publik.
Keterbukaan informasi memaksa badan publik untuk melakukan beberapa perubahan
dalam rangka mewujudkan informasi yang harus dapat diakses siapa saja dengan
mudah, cepat, murah. Menghilangkan
birokrasi berbelit-belit untuk mendapat informasi, memperkuat prinsip
pelayanan, menggeser paradigma lama dimana informasi publik bukan sekedar
public relations, propaganda dan pencitraan pemerintah, melainkan penyediaan
informasi yang dapat diakses. Petugas informasi dan humas memiliki peran yang
lebih penting dari sebelumnya, karena kini petugas informasi dan humas memiliki
posisi strategis karena menjadi pusat informasi serta memiliki akses terhadap
data badan publik.
Budaya
organisasi perlu mendapat perhatian lebih karena bagi organisasi yang sedang
merancang suatu perubahan, sesungguhnya budaya organisasi jauh lebih kompleks
dari sekedar format struktur dalam bagan organisasi, penempatan jabatan hingga
penyusunan acuan tertulis oleh manajemen atau pihak yang berwenang, Budaya
organisasi disadari atau tidak membentuk perilaku anggota organisasi.
Dalam
wawancara dengan Lilik Sri Haryanto terkait kesiapan organisasi, Lilik Sri
Haryanto memberikan penekanan terhadap peran sponsorship untuk mendukung
persiapan implementasi UU KIP :
“Saya kira kalau
tidak ada ..apa namanya tidak ada pemikiran yang kearah sana kemudian juga apa
namanya tidak ditunjang oleh sponsorship dari organisasi non publik itu saya
kira ya akan sulit untuk persiapan 2010 sementara di dalam anggaran kita yang
ada sekarang itu hanya baru setahap mengenai sosialisasi dan itupun sifatnya
sangat kecil sekali”
Kepala
Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko memberikan penekanan pada anggaran terkait
persiapan yang dilakukan Biro Humas dan HLN :
“Tahapan-tahapan
persiapan berupa pengajuan anggaran
melalui pra RKAKL dimana kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh struktur
baru diajukan ke Rocana.”
Sementara
Kepala Bagian Pullahta memberi penekanan pada belum adanya kebijakan yang
terperinci mengenai persiapan organisasi menyongsong implementasi UU KIP :
“Pasti semua
organisasi terpengaruh oleh UU KIP, tapi kita lihat sekarang ini itu belum disiasati dengan kebijakan yang
benar-benar terprogram dengan baik. Dalam suatu kebijakan yang terintegrasi
misalnya, dalam kebijakan manajemen, kebijakan pengelolaan SDM, infrastruktur,
dan juga pembangunan database.”
Manajemen
Kementerian Hukum dan HAM memiliki penekanan masing-masing terkait persiapan
yang perlu dilakukan organisasi. Penekanan tersebut tampak berhubungan dengan
bidang tugas dan jabatan masing-masing. Ketiadaan suatu konsep yang utuh dalam
mempersiapkan organisasi, bahkan ketiadaan ketersinggungan mengenai budaya
organisasi memperlihatkan suatu pemahaman parsial terhadap konsep kesiapan
organisasi serta apa yang perlu dipersiapkan menyongsong implementasi UU KIP.
d.5
Sumber Daya Manusia
UU KIP dapat berjalan dengan baik dan efektif jika badan
publik memiliki kesiapan pelayanan informasi dan masyarakat mau dan mampu
menggunakan haknya untuk memperoleh informasi. Paradigma penyelenggaraan
pemerintahan baru mensyaratkan adanya perubahan dalam mekanisme komunikasi
pemerintah yang semula kurang responsive dan akomodatif kepada masyarakat
menjadi lebih terbuka, produktif, efektif dan efisien (Thohari, 2009). Relevansi praktis keterbukaan informasi
adalah menjadi instrumen pencegahan korupsi, kolusi, dan peningkatan kualitas
pelayanan publik. Dengan diundangkannya UU tentang Pelayanan Publik, secara
yuridis, perundang-undangan dalam rangka peningkatan kualitas tata kelola
pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan masyarakat menjadi semakin baik.
Posisi strategis keterbukaan informasi dalam
penyelenggaraan negara memerlukan kesiapan sumber daya manusia sebagai
pengelolanya. Dalam perumusan rencana strategis serta pengelolaan perubahan
organisasi, keberadaan sumber daya manusia yang kompeten menjadi salah satu
faktor kunci yang memastikan kontinuitas perubahan organisasi dalam persiapan
menyongsong implementasi UU KIP.
Kepala Biro Humas dan HLN Djoko Sasongko terkait
pengembangan sumber daya manusia memfokuskan pada peningkatan kualitas pegawai dengan
mengikutsertakan pegawai pada berbagai pelatihan terkait UU KIP :
“Bentuk dukungan
manajemen terhadap persiapan implementasi UU KIP pada lingkungan Biro Humas
diantaranya berupa : Langkah pertama berupa peningkatan kemampuan staff dalam
pemahaman UU KIP dimana apabila ada workshop staff-staff kita selalu diikutkan
untuk turut serta”
Sejauh ini tampaknya persiapan organisasi dalam manajemen sumber
daya manusia masih sangat terbatas. Peningkatan kemampuan staff merupakan salah
satu yang dilakukan organisasi, akan tetapi manajemen sumber daya manusia dapat
berperan lebih. Dalam teori yang dikemukakan Dessler, manajemen sumber daya
manusia berpartisipasi dengan mensuplai informasi terkait kekuatan dan
kelemahan internal organisasi. Dengan kata lain manajemen sumber daya manusia perlu
terlibat aktif baik dalam formulasi maupun implementasi strategi yang
dipersiapkan organisasi.
Dalam pembahasan mengenai persiapan keterbukaan
informasi publik, Lilik Sri Haryanto memberi penekanan pada Biro Perencanaan
dan Biro Keuangan. Manajemen sumber daya manusia pada Sekretariat Jenderal
Kementerian Hukum dan HAM dikelola oleh Biro Kepegawaian.
“Nah ini kan
jadi persoalan, sementara itu kesiapan kita dalam rangka melaksanakan
undang-undang keterbukaan informasi publik, undang-undang 14 tahun 2008 itu
semuanya diawali dengan pemahaman persepsi yang begitu dalam pada dua
organisasi ini, perencanaan dan keuangan itu.Perencanaan itu kan boleh dibilang
yang menyiapkan segala sesuatunya, Biro Keuangan itu yang membudget, nah kalau
dua-dua organisasi ini tidak memahami materi dan juga tidak memahami
message dari undang-undang maupun klausula-klausula yang diatur di dalam
undang-undang keterbukaan informasi publik itu yang sudah fatal gitu.”
Bahkan menurut Lilik
Sri Haryanto, Unit Eselon II Sekretariat Jenderal yang diundang dalam
pembahasan persiapan keterbukaan informasi publik adalah Biro Umum, Biro
Perencanaan dan Biro Keuangan :
“Pada waktu
menyusun program mengenai CAPPLER Project itu sudah merupakan bagian tidak
terpisahkan dari pada itu. Kemudian tidak kurang-kurangnya Kepala Biro
Perencanaan, Kepala Biro Umum, dan juga Kepala Biro Keuangan itu selalu kita
undang bersama-sama untuk ikut melakukan pemikiran-pemikiran tentang persiapan
dalam rangka keterbukaan informasi publik itu.”
Merujuk pada teori manajemen sumber daya manusia,
perencanaan sumber daya manusia ditekankan kepada analisis lingkungan eksternal
dan menyusun kemungkinan pemanfaatan sumber daya manusia terbaik. Perencanaan
sumber daya manusia mendukung strategi untuk mencapai tujuan organisasi.
Meskipun demikian, hal-hal yang tampak ideal pada teori kadang
tidak sama halnya dengan praktek. Karena dalam kesiapan organisasi Kementerian
Hukum dan HAM tidak terlihat manajemen sumber daya manusia yang optimal, bahkan
unit yang memiliki tugas pokok dan fungsi terkait sumber daya manusia dalam
organisasi tidak dilibatkan dalam pembahasan
persiapan organisasi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dalam penelitian Kesiapan Organisasi Kementerian Hukum dan HAM
Menyongsong Implementasi UU KIP dapat disimpulkan bahwa :
a.
Pada saat ini Kementerian Hukum dan HAM belum siap dalam menyongsong
implementasi UU KIP.
Ketidaksiapan
organisasi Kementerian Hukum dan HAM terlihat dari :
-
Kementerian Hukum dan HAM belum menunjuk secara
siapa atau unit apa yang menjadi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
(PPID).
-
Belum adanya rencana implementasi yang substantif disebabkan oleh
manajemen puncak tidak memberikan wewenang formal kepada salah satu unit serta
komunikasi yang tidak lancar pada internal organisasi.
-
Dalam birokrasi klasik diperlukan suatu
inisiatif dari pimpinan tertinggi organisasi (Menteri Hukum dan HAM) dalam
rangka mempersiapkan organisasi ke dalam paradigma baru keterbukaan,
pengelolaan dan pelayanan informasi. Meskipun UU KIP telah memberikan mandat
pada pimpinan organisasi publik untuk menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID), hal itu tidak ada artinya apabila tidak dilakukan tindak
lanjut oleh manajemen organisasi.
-
Dukungan manajemen yang sampat saat ini berupa arahan dan petunjuk
perlu dikonkritkan dalam suatu perencanaan terintegrasi, dimana selanjutnya
manajemen memberikan dukungan baik secara kebijakan juga secara logistic dan
finansial.
b.
Belum ada standar prosedur pengelolaan dan pelayanan informasi yang
dirancang sesuai dengan prinsip keterbukaan informasi dalam UU KIP.
-
Manajemen Kementerian Hukum dan HAM belum merancang blue print implementasi
UU KIP agar tiap-tiap Unit Utama, Kanwil dan Unit Pelayanan Teknis bergerak
dalam koridor yang sama. Akibatnya, belum ada format bagaimana system
operasional prosedur yang akan dijalankan oleh organisasi.
c.
Meskipun sudah ada persiapan antisipatif terkait implementasi UU KIP,
masih terlihat kurang optimal. Walaupun dalam hal ini optimal berarti telah
memenuhi kaidah teoritis kesiapan perubahan organisasi.
-
Meskipun organisasi telah bermitra dengan Agen Perubahan atau Unit
apabila memiliki wewenang terkait perubahan organisasi, masih perlu dilakukan
pengendalian dan pengawalan kebijakan agar proses dapat berjalan hingga sampai
tujuan. Keberadaan fasilitas dari agen perubahan tidak dikelola dengan baik
oleh manajemen organisasi hingga manfaatnya kurang terlihat.
-
Langkah antisipatif yang telah dijalankan Kementerian Hukum dan HAM
adalah memberikan penugasan kepada kepada pegawai untuk mengikuti pelatihan.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan pegawai sebagai
bentuk pengembangan sumber daya manusia.
-
Keberadaan pimpinan yang efektif merupakan hal krusial dalam mewujudkan
tujuan organisasi. Seorang pemimpin yang tidak efektif, tidak hanya dapat
menggagalkan tercapainya tujuan, juga menyebabkan organisasi yang dipimpinnya
gagal berkinerja.
d.
Belum ada sistem informasi yang terpadu atau menyatukan unit-unit utama
eselon I dalam organisasi Kementerian Hukum dan HAM
5.2 Saran
a.
Membangun mekanime pelayanan dan pengelolaan informas sesuai prinsip
keterbukaan informasi dalam reformasi birokrasi yang ternyata tidak hanya
dikawal oleh UU KIP, melainkan juga oleh UU ITE, UU Pelayanan Publik dan UU Kearsipan.
b.
Memberikan pemahaman kepada pimpinan organisasi
mengenai signifikansi keterbukaan informasi, agar penyusun kebijakan dapat
membuat kebijakan yang memadai.
c.
Formalisasi dukungan dalam bentuk Surat
Keputusan atau Instruksi Menteri. Menkonkritkan dukungan yang telah ada saat ini dalam suatu
perencanaan terintegrasi, agar tersusun perencanaan yang diperkuat dengan
kebijakan juga secara logistik dan finansial.
d.
Memilih pemimpin yang efektif dan bertanggung
jawab serta membangun sistem appraisal dan remunerasi agar kinerja tetap
terjaga dan terpantau.
Memberikan wewenang kepada pejabat terpilih untuk menyusun rencana implementasi
yang substantive dengan melibatkan unit-unit terkait agar terjalin komunikasi
yang lancar.
e.
Merancang blue print implementasi keterbukaan informasi yang
selaras dengan prinsip-prinsip UU KIP, UU ITE, UU Pelayanan Publik dan UU
Kearsipan agar tiap-tiap Unit Utama,
Kanwil dan Unit Pelayanan Teknis bergerak dalam koridor yang sama.
f.
Pejabat yang terpilih sesuai wewenangnya terkait perubahan organisasi
perlu melakukan pengendalian dan pengawalan kebijakan agar proses dapat
berjalan hingga sampai tujuan.
5.3 Rekomendasi
Organisasi dapat dikatakan siap untuk berubah jika sudah
memenuhi minimal tiga kondisi utama, yakni : (1) pemimpin yang efektif, (2)
organisasi memiliki sistem imbalan yang tepat, (3) organisasi non hierarkis dan
orang-orang dapat bekerja kolaboratif. Penunjukkan PPID dengan surat keputusan
tim pelaksana kegiatan melalui peraturan Menteri memiliki konsekuensi pemberian
honorarium yang diatur dalam Standar Biaya Umum Departemen Keuangan, yaitu :
berkisar Rp.750.000,- /bulan sampai Rp. 1.500.000,-/bulan (Permenkeu :
No.01/PM.2/2009 tentang Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 2010). Dalam
kewenangannya PPID dapat menyusun mekanisme yang lebih terdesentralisasi dimana
unit-unit kerja memiliki otonomi yang lebih besar dibanding sebelumnya serta
harus memberikan peluang kolaborasi mengingat mekanisme yang ada akan
melibatkan orang-orang dari berbagai unit utama eselon I, kantor wilayah dan
unit pelaksana teknis, apalagi orang-orang ini mungkin berada pada jenjang
struktural yang berbeda.
Tugas PPID perlu diformalkan dalam Surat Keputusan
dengan melekat didalamnya tugas pokok dan fungsi serta kompensasi. PPID perlu
didukung dengan tim kerja yang dapat membantu PPID dalam membangun sistem
informasi serta melakukan pertimbangan permohonan informasi, uji konsekuensi
serta memberikan konsultasi baik kepada unit utama maupun unit pelaksana
teknis. PPID menjadi penghubung antara badan publik dengan Komisi Informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Beckhardt, R. and Harris, R.T. (1987). Organizational transitions : managing
complex change. Reading : Addison-Wesley.
Covey, Stephen R. (1992), Principle of Centered Leadership. New York : Fireside.
Creswell. J.W. (2009). Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches, 2nd ed. Thousand Oaks, CA : Sage Publications.
Cummings, G.Thomas dan Worley, G. Christopher.
(2005). Organization Development and
Change. Ohio : Thomson.
Dessler, Gary. (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia Terjemahan. Jakarta : Prenhallindo.
Gaspersz, Vincent. (2004). Perencanaan Stratejik untuk Peningkatan Kinerja Sektor Publik.
Jakarta : Gramedia.
Handoko, T. (2003). Manajemen. Yogyakarta : BPFE.
Jessup, Leonard dan Valacich, Joseph. (2008). Informations Sistems Today. New Jersey :
Pearson Prentice Hall.
Johnson, L.K and Luecke, R. (2005). The Essential of Managing Change and
Transitions. Boston, Massachusetts : Harvard Business School Press.
Kotter, John P. (1996). Leading Change. Boston,
Massachusetts : Harvard Business School Press.
Kotler, Philip, Amstrong, Garry. (1996). Priciple
of Marketing 9th Edition, Upper
Saddle River, New Jersey.Inc : Prentice
Hall
Mandica-Nur, Notrida G.B. (2009). Panduan Keterbukaan Informasi Publik untuk
Petugas Pengelola dan Pemberi Informasi di Badan Publik. Jakarta :
Indonesian Research and Development Institute (IRDI).
McKenna, E dan Beech, Nir. (1995). The Essence of Manajemen Sumber Daya Manusia
Terjemahan. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Miles, M.B., dan A.M. Huberman (1994). Qualitative Data Analysis 2nd ed.
Thousand Oaks, CA : Sage Publications.
Mintzberg, Henry. (1973) The Nature of Managerial Work. New York : Harper and Row.
Patilima, Hamid. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.
Purwanto, Iwan. (2008). Manajemen Strategi. Bandung : Yrama Widya.
Robbins, Stephen P. (2006). Perilaku Organisasi Terjemahan. Jakarta : Gramedia.
Robbins, Stephen P., Judge, T.A. (2008). Essentials of Organizational Behavior 9th
edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall.
Robbins, Stephen P.,Coulter, Mary (2002).Management 7th edition. New
Jersey : Pearson Prentice Hall.
Schiffman, Leon G. Kanuk,L.L. ( 2000) Consumer
Behavior, 7th Edition, Upper
Saddle River, New Jersey : Prentice Hall Inc.
Simanjuntak,Payaman. (2005). Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Suparlan,Parsudi, Phd. (1994). Metode Penelitian Kwalitatif. Jakarta : Program Kajian Wilayah
Amerika – Universitas Indonesia.
Stoner, James A.F., Freeman. Edward R., Gilbert Jr,
Daniel R. (1995). Management. New
Jersey : Pearson Prentice Hall.
Prawirosentono, Suyadi (2007). Manajemen Operasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Turner,D. and Crawford,M. (1998). Change Power : capabilities that drive
corporate renewal. Sydney : Business and Professional Publishing.
Jurnal
Armenakis, A.A., and Harris,S.G. (2002). Crafting a
change message to create transformational readiness, Journal of Organizational Change Management, 15 (Number 2), 169
-183.
Armenakis, A.A., Harris,S.G., and Mossholder, K.W.
(1993). Creating readiness for organizational change, Human Relations, 46 (June), 681 -703
Bienerth, Jeremy. (2004). Expanding our understanding
of the change message, Human Resource
Development Review, 3 (March), 36-52.
Eby, Lilian T., Adams, Danielle M., Russel, Joyce
E.A., and Gaby, Stephen H. (2000). Perceptions of organizational readiness :
factor related to employees’ reaction to the implementation of team based
selling, Human Relation, 53 (March),
419-442.
Lacey,Anna,. Luff,Donna.( 2001). Trent Focus for Research and Development in primary Health Care :
Qualitative Data Analysis. Sheffield : Trent Focus.
Schneider, B., Wheeler, J.K., and Cox, J.F. (1992). A
Passion for service : using content analysis to explicate service climate
themes. Journal of Applied Psychology,
77 (October), 705-716.
Smith, Ian (2005). Continuing professional
development and workplace learning 11: managing the “people” side of
organizational change, Library Management,
26 (March), 152-155.
Smith, Ian. (2005). Achieving readiness for
organizational change, Library Management,26
(June), 406-412.
Stadtlander, Christian (2006). Strategic balanced
change ; a key factor in modern management,
Electronic Journal of Business Ethic and Organization Studies, 11 (May),
17-25.
Strebel, P (1996). Why do employees resist change ?, Harvard Business Review, 74 (May),
86-92.
Waddeal, Dianne and Sohal, Amrik S. (1998).
Resistance : a constructive tool for change management, Management Decisions, 36 (Number 8),543-548.
Zeffane, Rachid. (1996). Dynamics of Strategic Change
: critical issues in fostering positive organizational change, Leadership and Organization Development
Journal, 17 (Number 7), 36-43.
Artikel
MZW, “Badan
Publik Perlu Mempersiapkan Diri”. Kompas,
19 November 2008.
Makalah
Thohari,
Hajriyanto Y (2009). Signifikansi UU KIP
Untuk Pelayanan Publik Yang Berkualitas. Makalah dipresentasikan pada
Seminar Keterbukaan Informasi Publik Menuju Pelayanan Publik Berkualitas,
Bappenas 06 Agustus 2009.
Mandan, Arief Mudatsir (2009). Sekilas Tentang UU KIP. Makalah dipresentasikan pada Seminar UU KIP
Departemen Hukum dan HAM 12 Maret 2009.
McManus,S.E., Russel, J.E.A., D.M. and Rotricht, M.T.
(1995). Factors related to employees’
perceptions of organizational readiness for change. Makalah dipresentasikan
dalam pertemuan tahunan The Academy of Management, Vanvouver, BC, Canada
0 Response to "KUMPULAN SKRIPSI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERBARU "
Posting Komentar