DOWNLOAD MAKALAH PEDAGOGIK KEWIBAWAAN KITA SEBAGAI PENDIDIK


1.1       Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta kecerdasan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. pendidikan juga adalah satu usaha mengatur pengetahuan untuk menambahkan lagi pengetahuan yang semulan tidak tahu  menjadi tahu.
Dalam proses tidak tahu menjadi tahu tersebut manusia mengalami sebuah rangkaian proses pembelajaran. Di mulai dari pembelajaran pertama yang datang dari lingkungan mikro yaitu lingkungan keluarga, kemudian beralih di sekolah dan pada akhirnya mereka akan mengaplikasikan ilmu nya di lingkungan masyarakat, Semua itu merupakan salah satu unsur pendidikan yaitu Lingkungan pendidikan. Dalam proses tersebut manusia senantiasa berinteraksi dan bergaul dengan sesamanya di dalam lingkungan pendidikan  tersebut. Dalam interaksi tersebut terdapat proses saling mempengaruhi antar manusia yang satu dengan yang lainnya sehingga akan menimbulkan suatu situasi pergaulan pendidikan tertentu. Pergaulan pendidikan ini tentunya hanya terjadi antara orang dewasa dan anak.
Oleh karena itu, kami disini akan berusaha mengkaji tentang hal-hal mengenai pergaulan pendidikan, lingkungan pendidikan, kedudukan manusia sebagai mahluk pendidikan, serta kewibawaan kita sebagai tenaga pendidik.
1.2 Rumusan  Masalah
          Mengenai Pembahasan Masalah kami mencoba memfokuskan dan mengerucutkan permasalahan dalam bentuk pertanyaan yang bersifat menuntun kepada materi ini.
Adapun Rumusan Masalah yang coba kami rumuskan adalah sebagai berikut:
·                     Bagaimana pergaulan yang mendidik itu ?
·                     Seperti apa lingkungan pendidikan yang baik dan kondusif itu ?
·                     Bagaimana menentukan kewibawaan kita sebagai tenaga pendidik ?
·                     Seperti apa kedudukan kita sebagai makhluk yang berpendidikan ?
1.3 Tujuan
Dalam penyusunan makalah ini ada beberapa tujuan yang hendak kami capai yaitu:
a.                   Memberikan gambaran tentang bagaimana pergaulan yang mendidik, lingkungan pendidikan yang kondusif, menentukan kewibawaan kita, jika kita berprofesi sebagai tenaga pendidik, serta kedudukan kita sebagai mahluk berpendidikan
b.                  Dengan mengetahui pentingnya hal-hal tersebut semoga para mahasiswa calon tenaga pendidikan dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan mendatang.
c.                   Tak dipungkiri, pembuatan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pedagogik.
1.4  Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil dari pembuatan makalah ini adalah:
a.                   Semoga makalah ini dapat menjadi referensi dalam pembuatan makalah selanjutnya
b.                  Dapat menjadikan mahasiswa terutama Administrasi Pendidikan menjadi lebih mengetahui dan mengerti akan aspek-aspek yang terdapat dalam lingkungan pendidikan
c.                   Dapat memberikan pengetahuan lebih terutama dalam mata kuliah Pedagogik


BAB II
KAJIAN TEORI
ñ          PERGAULAN PENDIDIKAN
A.Perlunya sebagai Tempat Fenomena Pendidikan atau Situasi Pendidikan
Manusia sebagai makhluk social. Manusia adalah makhluk social. Di dalam pergaulan tersebut tiap orang melakukan   tindakan-tindakan social tertentu, sehingga terjadi saling pengaruh mempengaruhi antara manusia yang satu terhadap manusia lainnya.
Jenis pergaulan.
Berdasarkan pelakunya, pergaulan dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu ;
a. Pergaulan antara orang dewasa dengan orang dewasa.
b. Pergaulan antara orang dewasa dengan anak (orang yang belum dewasa)
c. Pergaulan antara anak dengan anak.
Situasi pergaulan.
Dalam seiap jenis pergaulan terkandung suatu situasi tertentu, yaitu suatu keadaan yang mempunyai bentuk dan tujuan tertentudari pergaulan yang bersangkutan. Dari pengalaman hidup sehari-hari dapat disimpulkan dua macam situasi yaitu :
a. Situasi pergaulan biasa atau situasi pergaulan bukan pendidikan.
b. Situasi pendidikan.
Fenomena pendidikan berada di dalam pergaulan. Semua pergaulan termasuk fenomena pendidikan (situasi pendidikan) akan tetapi fenomena pendidikan (situasi pendidikan) hakikatnya berada di dalam pergaulan
B. Fenomena Pendidikan Berlangsung dalam Pergaulan Orang Dewasa dengan  Anak.
Menurut M.J. Langeveld (1980:20) bahwa “lingkungan tempat kita melihat fenomena pendidikan terlaksana terdapat dalam pergaulan orang dewasa dengan anak”. Maka, pendidikan atau kegiatan mendidik hanya akan berlangsung dalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak (orang yang belum dewasa).
C. Sifat-sifat Pergaulan Pendidikan.
Tidak setiap pergaulan antara orang dewasa dengan anak mengandung situasi pendidikan, sehingga dengan demikian tidak setiap pergaulan antara orang dewasa  dengan anak dapat tergolong kedalam pendidikan.
Pengaruh orang dewasa kepada anak dikatakan mendidik hanya jika tindakan atau pengaruh itu diberikan secara sengaja dan bersifat positif. Artinya, bahwa pengaruh itu secara disadari diciptakan atau diberikan oleh orang dewasa kepada anak; selain itu  bahwa isi tindakan atau pengaruhnya itu bersifat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri atau terarah kepada pencapaian kedewasaan. Sejalan dengan pernyataan ini M.J. Langeveld (1980:20-21) mengemukakan adanya dua sifat pergaulan dalam rangka pendidikan, yaitu:
a.       Bahwa dalam pergaulan berusaha mempengaruhi
b.      Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa yang ditunjukan kepada anak agar mencapai kedewasaan.
D. Kemungkinan dan Sifat Perubahan Situasi Pergaulan Biasa Menjadi Situasi Pendidikan.
Situasi pergaulan biasa pada saat tertentu dapat diubah menjadi situasi pendidikan. Sebaliknya, pada saat tertentu pula situasi pendidikan dapat berubah menjadi situasi pergaulan biasa. “Pergaulan itu seakan-akan disediakan untuk memungkinkan munculnya gejala pendidikan dan … yang setiap waktu pula bersedia “menyimpan kembali” gejala pendidikan itu” (M.J. Langeveld. 1980:29).
1.         Sifat yang harus dipenuhi dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi pergaulan pendidikan. Menurut M.J. Langeveld (1980:30-31) ada dua sifat yang harus diperhatikan apabila pendidik akan mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan, yaitu :
a. Kewajaran (wajar)
Perlunya kewajaran dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan hendaknya dilakukan secara wajar sehingga tidak tampak jelas dan tidak dirasakan kesengajaannya oleh anak didik, walaupun sesungguhnya pengubahan situasi pergaulan itu secara sengaja diciptakan oleh pendidik. Dalam keadaan seperti ini anak biasanya hampir tidak menyadari bahwa situasi pergaulan yang sedang berlangsung telah berubah menjadi situasi pendidikan, sehingga dengan demikian anak menerima pengaruh pendidik secara wajar pula.
b.Ketegasan (tegas)
Perlunya ketegasan dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan. Tegas disini maksudnya harus menunjukan kejelasan perbedaan antara pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan perbuatan yan benar atau baik dengan yang salah atau tidak baik.
2.                        Kepercayaan sebagai syarat teknik pendidikan. M.J. Langeveld (1980:33) menyatakan bahwa perhubungan yang berdasarkan percayamempercayai merupakan syarat teknik bagi pendidikan”.
3.                        Lingkungan pendidikan.Secara umum lingkungan pendidikan dibedakan kedalam 3 jenis yaitu ;
a.             Lingkungan pendidikan informal (Keluarga)
b.            Lingkungan pendidikan formal (Sekolah)
c.             Lingkungan pendidikan nonformal (Masyarakat)
4.                        Sifat pendidikan. Pergaulan pendidikan yang tujuan, isi, mode, dan alat pendidikannya tidak sesuai dengan kodrat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan tidak dapat disebut sebagai pendidikan. Oleh sebab itu dinyatakan bahwa pendidikan bersifat normatif. Selain itu, bahwa dalam rangka bertindak di dalam pergaulan pendidikan, pendidik harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspek pribadi anak didik. Pendidik juga harus mempertimbankan bahwa anak didik bukan hanya tumbuh dan berkembang sehingga memiliki kecenderungan untuk menjadi “besar”, melainkan juga “ketidakmampuan dan ketergantungannya” yang menuntut asuhan, bimbingan, pengajaran dari pendidik. Selain itu, pendidik pun harus sadar bahwa anak didik pada dasarnya memiliki kebebasan dan keinginan untuk menjadi dirinya sendiri. Semua itu harus diperhatikan sebab, “pergaulan yang tidak menghormati keanakan itu menunjukan kekurangan dan ketidaksempurnaan pedagogis” (M.J. Langeveld, 1980:34)
ñ          KEWIBAWAAN DAN TANGGUNGJAWAB PENDIDIKAN
A.                Kewibawaan Pendidikan.
Dalam pergaulan antara anak dengan anak tidak mungkin muncul  situasi pendidikan, sebab di dalam pergaulan tersebut tidak akan terdapat hubungan berdasarkan kewibawaan. Kewibawaan pendidikan adalah kekuatan pribadi pendidik yang diakui dan diterima secara sadar dan tulus oleh anak didik, sehingga dengan kebebasannya anak didik mau menuruti pengaruh positif dar pendidiknya.
B.                 Faktor-faktor penentu kewibawaan pendidik.
Menurut M.J.Langeveld (1980:40-65) dalm hubungannya dengan anak didik, kewibawaan pendidikan akan tertentukan oleh berbagai factor, yaitu:
a.                   kasih sayang terhadap anak didik
b.                  kepercayaan bahwa anak akan mampu dewasa
c.                   kedewasaan
d.                  identifikasi terhadap anak didik, dan
e.                   tanggung jawab pendidikan.
C.                 Faktor penentu kepenurutan anak didik kepada pendidik dalam hubungan kewibawaan.
M.J. Langeveld (1980) menjelaskan bahwa kepenurutan anak didik kepada pendidik akan akan tertentukan oleh factor sebagai berikut :
a.   kemampuan anak didik dalam menyadari “diri/aku” dan memahami bahasa.
b.   kepercayaan anak didik kepada pendidik
c.   identifikasi
d.   imitasi dan simpati
e.   kebebasan anak untuk menentukan sikap, perbuatan, dan masa depannya.
D.                Pengalihan tanggungjawab bipolaritet kewibawaan dan implikasinya terhadap batas-batas pendidikan.
a.             Pengalihan tanggung jawab dalam pendidikan.
Dalam situasi pendidikan yang berlangsung dalam pergaulan antara pendidik dngan anak didik, pada awalnya tanggung jawab berada pada pendidik. Namun seiring dengan perkembangan anak dalam menuju kedewasaannya, lambat laun tanggung jawab itu harus dialihkan oleh pendidik kepada anak didik. Apabila pendidik tidak mengalihkan tanggung jawab kepada anak didiknya, dan apabila anak didik tidak berupaya manerima atau merebut tanggung jawab yang harus diembannya, maka anak didik tidak akan mencapai kedewasaan.
b.            Bipolaritet Kewibawaan.
Kewibawaan bersifat bipolaritet atau berada pada ketegangan polair (M.J. Langeveld, 1980:61). Maksudnya, di satu pihak pendidik menuntut kepenurutan dari anak didik, di pihak lain pendidik mengakui bahwa anak didik harus mampu berdiri sendiri.
c.             Implikasi kewibawaan dan tanggung jawab terhadap batas-batas pendidikan.
Ada dua alasan berkenaan dengan keharusan adanya kewibawaan dalam pergaulan pendidikan :
1.   Bila kewibawaan tidak ada, maka suatu perintah, ajakan, petunjuk, dan tindakan-tindakan lainnya dari pendidik akan dituruti oleh anak hanya atas dasar “pengaruh keterikatan anak kepada pendidiknya”. Karena itu anak didik tidak akan pernah menjadi dewasa, ia akan tetap tak terdidik.
2.    Bila kewibawaan tidak ada, maka kepenurutan anak akan terjadi berkat pemahaman anak atas pengalamannya sendiri. Jika demikian halnya berarti anak sudah mampu berdiri sendiri (sudah dewasa), dan hal ini bertentangan dengan keadaan anak yang sebenarnya.
Berdasarkan alasan itu M.J. Langeveld (1980:60-61) mengemukakan bahwa “adanya kewibawaan itu menciptakan kemungkinan orang dewasa memberikan bantuan kepada orang yang masih belum dewasa”, karena itu “kewibawaan ialah syarat mutlak untuk pendidikan”
ñ          LINGKUNGAN PENDIDIKAN
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri individu. Lingkungan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu lingkungan alam dan lingkungan social-budaya.
Lingkungan pendidikan adalah suatu tempat dengan situasi dan kondisi sosial budaya yang ada dimana pergaulam pendidikan berlangsung. Secara garis besar, lingkungan pendidikan dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
1.      Keluarga
Dalam arti sempit keluarga adalah unit social yang terdiri atas dua orang (suami-istri) atau lebih (ayah, ibu dan anak) berdasarkan ikatan pernikahan. Sedeangkan dalam arti luas keluarga adalah unit social berdasarkan hubungan darah atau keturunan, yang terdiri atas beberapa keluarga dalam arti sempit.
a.                   Jenis-Jenis keluarga
Menurut Kamanto Sunarto (1993:159-160) keluarga dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk, yaitu :
·         Berdasarkan keangotaannya
·         Berdasarkan garis keturunannnya
·         Berdasarkan pemegang kekuasaannya
·         Berdasarkan bentuk perkawinan
·         Berdasarkan status social ekonominya
·         Berdasarkan keutuhannya
b.                   Fungsi keluarga
Keluarga memiliki berbagai fungsi, antara lain fungsi biologis, fungsi ekonomi, fungsi edukatif, fungsi religius, fungsi sosialisasi, fungsi rekreasi, fungsi orientasi dll. Peter Murdock (Sudardja Adiwikarta, 1988:67) mengemukakan 4 fungsi keluarga yang bersifat universal yaitu :
·         Sebagai pranata yang membenarkan hubungan seksual antara pria dan wanita dewasa berdasarkan pernikahan.
·         Mengembangkan keturunan
·         Melaksanakan pendidikan
·         Sebagai kesatuan ekonomi
c.                    Orang tua sebagai pengemban tangung jawab pendidikan anak
Salah satu fungsi keluarga yang yang bersifat universal adalah melaksanakan pendidikan. Dalam hal ini orang tua adalah pengemban tanggung jawab pendidikan bagi anak-anaknya. Orang yang berperan sebagai pendidik bagi anak di dalam keluarga utamanya adalah ayah dan ibu.
d.                  Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang bersifat wajar atau informal.
Pendidikan di dalam keluarga dilaksanakan atas dasar tanggung jawab kodrati dan atas dasar kasih sayang yang secara naluriyah muncul pada diri orang tua. Sejak anaknya lahir orang tua sudah terpanggil untuk menolongnya, melindunginya, dan membantunya. Di dalam keluarga pelaksanaan pendidikan berlangsung tidak dengan cara-cara yang artificial, melainkan bersifat wajar.
e.                   Keluarga sebagai peletak dasar pendidikan anak
Pendidikan yang dilakukan si dalam keluarga sejak anak masih kecil akan menjadi dasar bagi pendidikan dan kehidupannya di masa datang. Hal ini sebagaimana dikemukakan M.I. Soelaeman (1985) bahwa : “pengalaman dan perlakuan yang didapat anak dari lingkungannya masih kecil dari keluarganya menggariskan semacam pola hidup bagi kehidupan selanjutnya.
f.                   Tujuan dan isi pendidikan dalam keluarga.
Tujuan pendidikan dalam keluarga adalah agar anak menjadi pribadi yang mantab, beragama, bermoral, dan menjadi anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. Adapun isi pendidikan dalam keluarga biasanya meliputi nilai agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.
g.                  Fungsi pendidikan dalam keluarga
1. Sebagai peletak dasar pendidikan anak,
2. Sebagai persiapan kearah kehidupan anak dalam masyarakatnya.
h.                  Faktor-faktor yang menentukan kualitas pendidikan di dalam keluarga.
Jenis keluarga, gaya kepemimpina orang tua, kedudukan anak dalam urutan keangotaan keluarga, fasilitas yang ada dalam keluarga, hubungan keluarga dengan dunia luar, status social ekonomi orang tua, akan turut mempengaruhi perkembangan pribadi anak.
i.                    Karakteristik pendidikan di dalam keluarga
·      Pendidikan di dalam keluarga lebih menekankan pada pengembangan karakter
·      Peserta didiknya bersifat heterogen
·      Isi pendidikannya tidak terprogram secara formal/tidak ada kurikulum tertulis
·      Tidak berjenjang
·      Waktu pendidika tidak terjadwal secara ketat, relative lama.
·      Cara pelaksanaan pendidikan bersifat wajar
·      Evaluasi pendidikan tidak sistematis dan incidental
·      Credentials tidak ada dan tidak penting.
2.      Sekolah
Sekolah adalah salah satu pranata social yang memiliki tugas khusus untuk menyelenggarakan pendidikan.
a.          Komponen sekolah
Komponen sekolah antara lain terdiri atas :
1.tujuan pendidikan
2.Sumber daya manusia seperti guru/pendidik, murid/siswa, laboran, pustakawan, tenaga administrasi, petugas kebersihan, dst.
3.kurikulum (isi pendidikan)
4.Media pendidikan dan teknologi pendidikan,
5.sarana, prasarana, dan fasilitas
6.pengelola sekolah
Tiga komponen utama sekolah yaitu :
1.      peserta didik
2.      guru
3.      kurikulum
b.      Fungsi pendidikan sekolah
1.      Fungsi transmisi (konservasi) kebudayaan masyarakat
2.      Fungsi sosialisasi (memilih dan mengajarkan peranan social)
3.      Fungsi integrasi social
4.      Fungsi mengembangkan kepribadian anak didik
5.      fungsi mempersiapkan anak didik untuk suatu pekerjaan
6.      Fungsi inovasi/mentransformasi masyarakat dan kebudayaannya.
c.       Tujuan dan fungsi pendidikan sekolah
Secara umum sekolah memiliki tujuan pendidikan sejalan dengan fungsi-fungsi sekolah. Implikasinya, maka isi pendidikan di sekolah akan disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah yang bersangkutan. Adapun tujuan dan isi pendidikan masing-masing sekolah tentunya telah terumuskan secara tertulis (formal) di dalam kurikulumnya.
d.    Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
Sekolah merupakan kesatuan kegiatan-kegiatan menyelenggarakan pembelajaran yang dilakukan oleh para petugas khusus dengan cara-cara terencana dan teratur menurut tatanan nilai dan norma yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
e.     Formalitas sekola merembes ke dalam kurikulum dan pembelajaran
Formalitas sekolah berakar pada status para individu yang menjadi komponennya, serta system nilai dan norma yang serba resmi. Perlu kita sadari bahwa selanjutnya formalitas tersebut merembes ke dalam kurikulum dan cara-cara pembelajaran.
f.     Karakteristik pendidikan di sekolah
1.   Secara factual, pendidikan di sekolah lebih menekankan kepada pengembangan kemampuan intelektual
2.   Peserta didiknya bersifat homogen
3.   Isi pendidiknya terprogram secara formal/kurikulumnya tertulis
4.   Berjenjang dan berkesinambungan
5.   Waktu pendidikan terjadwal secara ketat, relative lama.
6.   Cara pelaksanaan pendidikan bersifat formal dan artificial
7.   Evaluasi pendidikan dilaksanakan secara sistematis
8.   Credentials ada dan penting.
3.   Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang berintegrasi secara terorganisasi, menempati daerah tertentu, dan mengikuti suatu cara hidup atau budaya tertentu. Masyarakat dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan.
a.    Fungsi masyarakat sebagai lingkungan pendidikan
Di dalam lingkungan masyarakat, anak akan memperoleh pengalaman tentang berbagai hal, antara lain berkenaan dengan lingkungan alamnya, seperti flora dan fauna. Di lingkungan masyarakat anak pun akan memperoleh pengaruh dari orang-orang yang ada di sekitarnya, baik dari teman sebaya, maupun orang dewasa. Anak juga akan memperoleh pengaruh dari hasil karya masyarakat. Di dalam masyarakat  anak belajar tentang nilai-nilai dan peranan-perana yang seharusnya mereka lakukan. Anak memperoleh pengalaman bergaul dengan teman-temannya di luar rumah dan di luar lingkungan Sekolah. Karena itu pendidikan anak dalam lingkungan masyarakat dapat berfungsi sebagai pelengkap, penambah, dan mungkin juga pengembang pendidikan di dalam keluarga dan sekolah, bahkan dapat berfungsi sebagai pengganti pendidikan di sekolah.
b.                  Tanggung jawab pendidikan di lingkungan masyarakat.
Selain menjadi tanggung jawab pemerintah, pendidikan di lingkungan masyarakat harus menjadi tangung jawab bersama para orang dewasa yang ada di lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
c.                   Pendidikan informal dalam masyarakat
Pendidikan informal dalam masyarakat antara lain dapat berlangsung melalui adapt kebiasaan, pergaulan anak sebaya, upacara adat, pergaulan di lingkungan kerja, permainan, pagelaran kesenian, dan bahkan percakapan biasa sehari-hari. Dalam konteks ini pendidikan merupakan pewaris social yang berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat.
d.                   Pendidikan nonformal di dalam masyarakat
Definisi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (Pasal 1 ayat (12) UU RI No. 20 Tahun 2003).
Fungsi. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional.
Lingkup. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, serta pendidikan lain yang ditunjukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan Pendidikan. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis.
e.                   Karakteristik pendidikan di masyarakat.
1.                  Secara factual tujuan pendidikannya lebih menekankan pada pengembangan keterampilan praktis
2.                  Peserta didiknya bersifat heterogen
3.                  Isi pendidikannya ada yang terprogram secara tertulis, ada pula yang tidak terprogram secara tidak tertulis.
4.                  Dapat berjenjang dan berkesinambungan dan dapat pula tidak berjenjang dan tidak berkesinambungan.
5.                  Waktu pendidikan terjadwal secara ketat atau tidak terjadwal, lama pendidikannya relative singkat
6.                  Cara pelaksanaan pendidikan mungkin bersifat artificial mungkin pula bersifat wajar.
7.                  Evaluasi pendidikan mungkin dilaksanakan secara sistematis dapat pula tidak sistematis
8.                  Credentials mungkin ada dan mungkin pula tidak ada.
ñ          MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN
A.                Keharusan Manusia untuk menjadi Manusia Dewasa
Manusia dihadapkan kepada suatu kenyataan bahwa ia harus melanjutkan keberadaannya (eksistensinya). Hakikatnya manusia harus menjadi manusia idea yang bersumber dari Tuhan yang diketahui melali ajaran agama yan diturunkanNya, bersumber dari sesama dan budayanya bakan dari diri manusia itu sendiri. Manusia ideal adalah manusia yang telah dan mampu mewujudkan berbagai potensinya secara optimal, sehingga beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat dan cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya.
Manusia ideal disebut sebagai manusia yang telah mencapai kedewasaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan manusia adalah untuk menjadi manusia dewasa atau untuk mencapai kedewasaan.
B.                 Eksistensi dan Perkembangan Manusia bersifat Terbuka
1.                  Eksistensi Manusia bersifat Terbuka
Manusia bersifat terbuka artinya bahwa dalam eksistensinya manusia adalah makhluk yang belum selesai mengadakan dirinya sendiri. Ia harus merencanakan dan terus menerus mengupayakan ”mewujudkan” apa yang telah direncanakanya itu, untuk menjadi seseorang pribadi tertentu sesuai pilihannya (bereksistensi).
2.                  Perkembangan manusia bersifat terbuka
Blok telah mengemukakan teori retardasi (teori perlambatan dan perkembangan). Teorinya menunjukan bahwa perkembangan hewan bersifat terspesialisasi (tertutup), sedangkan perkembangan manusia bersifat belum terspesialisasi (terbuka). Manusia bersifat terbuka artinya manusia memiliki berbagai potensi untuk mampu menjadi manusia, misalnya : potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk dapat berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa.
C.                 Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Bantuan
Dalam perjalanan hidupnya, anak manusia masih harus belajar untuk ”hidup”, adapun hal tersebut mengimplikasikan adanya ketergantungan dan perlunya anak memperolah bantuan dari orang dewasa. Bagi anak manusia, insting, nafsu, dan semua potensi itu belum mencukupi untuk dapat langsung menjalani dan mengahadapi kehidupan serta untuk dapat mengatasi semua masalah dan tantangan dalam hidupnya. Untuk dapa mewujudkan semua potensinya itu, anak manusia mempunyai ketergantungan kepada orang dewasa.
D.                Manusia sebagai Makhluk yang Perlu dididik dan Perlu Mendidik Diri
Manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu dididik dan mendidik diri. ”Manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan”, demikian kesimpulan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959). Peryataan tersebut sejalan dengan hasil studi M.J. Langeveld yang memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan ”animal Educandum atau hewan yang perlu didik dan mendidik diri (M.J.Langeveld, 1980)
4 Prinsip yang menjadi alasan mengapa manusia perlu mendidik.
1. Manusia belum selesai mengadakan dirinya sendiri
2. Keharusan manusia untuk menjadi manusia dewasa
3. Perkembangan manusia bersifat terbuka
4.Manusia sebagai makhluk yang lahir tak berdaya, memiliki ketergantungan dan memerlukan bantuan
E.                 Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik
N. Drijakarya S.J. (1986) menyatakan bahwa manusia mempunyai atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Dinamika mempunyai arah horisontal (ke arah sesama dan dunia) maupun kearah transedental (kearah Yang Mutlak).Karena itu dinamika manusia mengimplikasikan bahwa ia akan dapat dididik.
Manusia (anak didik) hakikatnya adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik dimana setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu, maka sosialitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
5 prinsip antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu :
1. Prinsip Potensialitas
2. Prinsip Dinamika
3. Prinsip Individualitas
Prinsip Sosialitas
F.                  Batas-batas Pendidikan
1.                  Masalah Batas Pendidikan
Sebagaimana dikemukakan oleh M.I. Soelaeman (1988:42-51) mengenai batas-batas pendidikan ini terdapat dua permasalahan, yaitu :
1.                  Batas pendidikan
2.                  Batas kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan atau untuk dididik

2.                  Jenis Batas Pendidikan
Batas pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
1.                  Batas bawah pendidikan
2.                  Batas atas pendidikan
3.                  Batas pendidikan berkenaan dengan pribadi anak didik.
3.                  Batas bawah dan Batas atas pendidikan
Batas bawah adalah ketika anak didik mengenal kewibawaan yaitu kurang lebih sekitar usia 3,5 tahun. Batas atas pendidikan adalah ketika tujuan pendidikan telah tercapai atau ketika anak mencapa kedewasaan.
4.                  Batas Pendidikan berhubungan dengan pribadi anak didik.
Praktek pendidikan hendaknya dilaksanakan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan anak didi. Pendidik dalam melaksanakan peranan-peranannya hendaknya tetap menghormati pribadi anak didik. Jangan sampai anak pendidik mengorbankan pribadi anak didik. M.J.Langeveld (1980:34) pernah mengingatkan bahwa ”pergaulan yang tidak menghormati keanakan itu tidak menunjukan kekurangan dan ketidaksempurnaan pedagogis”.
5.                  Batas Kemungkinan dididik
Batas pendidikan hanya berurusan dengan potensi atau bakat mana yang harus dikembangkan, bagaimana cara mengembangkannya, dan sejauhmana potensi atau bakat yang ada pada diri anak didik telah dikembangkan. Selain itu, batas kemungkinan dididik berhubungan dengan jenis kelamin anak didik, yaitu bagaimana mengembangkan anak laki-laki menjadi laki-laki dan anak prempuan menjadi perempuan.
6.                  Batas pendidikan bersifat individual
Batas pendidikan tidak bisa disamaratakan untuk anak yang satu dengan anak lainnya.
7.                  Dasar dan ajar
 Pembawaan/dasar (nature) atau pendidikan/ajar memiliki 3 aliran pokok, yaitu:
1.      Nativisme
Tokoh aliran nativisme adalah Schoupenhauer. Penganut teori ini berasumsi bahwa setiap individu (anak) dilahirkan kedunia dengan mmbawa bakat atau potensi yang merupakan faktor turunan yang berasal dari orang tuanya. Bakat atau potensi ini diyakini menjadi faktor penentu perkembangan individu selanjutnya setelah ia dilahirkan. Teori ini dikenal sebagai teori yang pesimistik terhadap peranan ajar/pendidikan (nature).
2.      Empirisme
Tokoh aliran empirisme antara lain John Locke dan J.B. Watson. Mereka berasumsi bahwa setiap anak dilahirkan ke dunia dalam keadaan bersih ibarat papan tulis yang belum ditulisi. Mereka tidak percaya kepada faktor bakat atau potensi yang merupakan turunan atau hereditas sebagai penentu perkembangan individu (anak didik).
Implikasi teori empirisme terhadap pendidikan yakni memberikan kemungkinan sepenuhnya bagi pendidik (pendidikan/ajar/nurture) untuk dapat membentuk kepribadian anak didik, tanggung jawab pendidikan sepenuhnya ada di pihak pendidik
3.      Konvergensi
Tokoh aliran ini antaralain, William Stern. Penganut aliran ini berasumsi bahwa perkembanga individu ditentukan baik oleh faktor bakat/potensi yang merupakan turunan maupun oleh faktor lingkungan/pengalaman. Implikasi teor ini terhadap pendidikan yakni, bahwa perkembangan anak didik mendapat pengaruh baik dari bakat bawaan maupun dari lingkungan, termasuk dari pendidik


   
  


BAB III
PEMBAHASAN
A.  PERGAULAN PENDIDIKAN.
Sebelum kita mengkaji lebih lanjut tentang pergaulan pendidikan, terlebih dahulu kita harus mengetahui arti dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar pesrta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta kecerdasan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan adalah berlainan dan berubah mengikut tujuan,tugas dan tempat Dalam Bahasa Inggeris . “education” atau pendidikan dikatakan berasal dari perkataan Latin “educare” yang bermakna memelihara dan mengasuh anak . Walau bagaimanapun ramai ahli pendidik tidak menghadkan proses ini kepada kanak-kanak tetapi memikirkannya sebagai suatu proses pemeliharaan Mengikut John Dewey, Pendidikan adalah satu proses pertumbuhan dan perkembangan. Beliau memandangkan pendidikan sebagai satu usaha mengatur pengetahuan untuk menambahkan lagi pengetahuan semulajadi yang ada pada seseorang individu itu . Bagi James Mill pula, pendidikan adalah satu proses memberi pertolongan maksimum kepada setiap anggota satu-satu masyarakat supaya hidup dengan penuh keselesaan serta kegembiraan Manakala menurut John Macdonald, dalam bukunya A Philosophy Of Education” makna pendidikan jelas dilihat dengan membandingkan masyarakat primitif dengan masyarakat moden. Dalam masyarakat primitif, makna pendidikan ialah latihan vokasional. Kanak-kanak dalam masyarakat primitif perlu diajar bagaimana menggunakan alat-alat serta senjata kuno, bagaimana menangkap ikan dan mempertahankan diri supaya dapat mengekalkan taekonomi puaknya. Dalam masyarakat moden, unsur-unsur asas pendidikan masih sama, apa yang berbeza dalam masyarakat ini pengetahuan disampaikan secara langsung, Seorang guru yang tinggi ilmu pengetahuan serta kemahiranya adalah amat diperlukan. Oleh itu jelaslah bahawa pendidikan adalah merupakan satu proses menolong dan memajukan pertumbuhan dan perkembangan seseorang individu dari semua aspek iaitu Jasmani , akal , emosi, sosial , seni dan juga moral untuk mengembangkan individi supaya hidup dengan sempurna serta memperkembangkan bakatnya untuk kepentingan diri dan menjadi ahli masyarakat yang berguna.
Pendidikan yang sebenarnya berlaku dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak. Pendidikan memang kita dapati dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak. Pergaulan antara orang dewasa dan orang dewasa tidak disebut pergaulan pendidikan(pergaulan pedagogis) sebab didalam pergaulan itu orang dewasa menerima dan bertanggung jawab sendiri terhadap pengaruh yang terdapat dalam pergaulan itu.
Jadi, pergaulan pedagogis hanya terdapat antara orang dewasa dan anak ( orang yang belum dewasa). Tetapi, kita harus ingat bahwa tidak tiap-tiap pergaulan antara orang dewasa dan anak bersifat pendidikan. Banyak pergaulan dan hubungan yang bersifat netral saja, yang bersifat pedagogis, misalnya, orang tua menyuruh mengambil kaca mata bukan karena bermaksud mendidik, melainkan karena ia sendiri enggan mengambil. Misalnya lagi, seorang yang berproganda untuk menjual buku-bukunya yang bersifat cabul kepada anak-anak, tidak dapat dikatakan pergaulan pedagogis.
Satu-satunya pengaruh yang dapat dinamakan pendidikan ialah pengaruh yang menuju kdewasaan anak: untuk menolong anak menjadi orang yang kelak dapat dan sanggup memenuhi tugas hidupnya atas tanggung jawab sendiri.
Pergaulan pedagogis itu bersifat :
1. Di dalam pergaulan ini ada pengaruh yang sedang dilaksanakan;
2. Ada maksud bahwa pengaruh itu dilaksanakan oleh orang dewasa (dalam berbagai bentuk, misalnya, berupa sekolah, pengajian, buku-buku, pelajaran, dan sebagainya) kepada orang yang belum dewasa.
3. Pengaruh ini diberikan atau dilaksanakan dengan sadar dan diarahkan pada tujuan yang berupa nilai-nilai atau norma-norma yang baik yang akan ditanamkan dalam diri anak didik atau orang yang belum dewasa.
Pergaulan itu disebut pergaulan pedagogis jika orang dewasa atau si pendidik sadar akan kemampuannya sendiri dalam tindakannya terhadap anak yang “tidak mampu apa-apa” itu, tetapi disamping itu, ia masih ada percaya bahwa anak memiliki kemampuan untuk membantu dirinya sendiri. Lebih jelas lagi: dalam pergaulan dengan anak-anak, orang dewasa menyadari bahwa tindakannya yang dilakukan terhadap anak-anak itu mengandung maksud, ada tujuan untuk menolong anak yang masih perlu ditolong untuk membentuk dirinya sendiri.
Dari keterangan di atas berarti pula bahwa pergaulan bisa sekoyong-koyong dapat berubah menjadi pergaulanpedagogis, seperti sekoyong-koyong pendidik terpaksa memperlihatkan suatu sikap sengaja (misalnya, memarahi memperingatkan, dan lain-lain) karena anak berbuat sesuatu yang terlarang atau tidak pantas. Tetapi pada umumnya, perubahan pergaulan biasa ke pergaulan pedagogis tidak disadari oleh anak-anak dan diterima dengan sewajarnya oleh anak. Ini suatu bukti bahwa pada dasarnya anak itu memerlukan dan suka akan pimpinan dari orang dewasa.
®    Iplementasi Pergaulan pendidikan terhadap kehidupan nyata
Jika kita mengamati pendidikan di Indonesia maka kita akan mendapatkan beberapa fenomena dan indikasi pergaulan pendidikan yang sangat tidak kondusif untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dalam bidang pendidikan apalagi dalam bidang ekonomi fenomene dan indikasi tersebut antara lain :
1. Rendahnya mutu dan tingkat pendidikan para tenaga pengajar di semua jenjang pendidikan.
Fenomena ini dapat ditangkap dengan mudah oleh siapa saja yang memiliki sedikit wawasan mengenai kependidikan. Walaupun tentunya penelitian ilmiah mengenai masalah ini sangat perlu dilakukan agar kesimpulan yang diambil lebih bernilai objektif. Namun secara sederhana dapat kita ketengahkan beberapa indikasi umum yang diketahui oleh banyak orang. Berdasarkan jenjang pendidikan yang telah diselesaikan oleh para pendidik, dapat kita temukan kondisi berikut ini: para guru di tingkat pendidikan dasar di Indonesia sangat jarang diantara mereka yang memiliki ijazah strata satu (S1). Rata-rata adalah tamatan sekolah menengah atau sarjana muda. Untuk tingkat pendidikan menengah pertama dan atas, maka akan kita temukan juga kondisi yang hampir sama. Tenaga pengajar ditingkat ini kebanyakan sarjana muda dan sedikit sekali yang merupakan sarjana penuh. Dan bisa dikatakan tidak ada diantara mereka yang tamatan S2. Selanjutnya untuk tingkat perguruan tinggi secara umum, dan jenjang S1 secara khusus, masih banyak sekali dosen yang hanya tamatan S1.
Sementara itu kalau ditinjau dari segi kesiapan mereka secara ilmiah dalam aktifitas belajar mengajar, maka mayoritas dari sarjana atau tenaga pengajar yang terjun kebidang pendidikan ini tidak memiliki spesialisasi dalam bidang pendidikan. Artinya bukan lulusan dari fakultas pendidikan dan sejenisnya. Terutama untuk tingkat pendidikan menengah ke bawah. Padahal ilmu-ilmu pendidikan sangat perlu dimiliki oleh siapa saja yang menggeluti aktifitas mendidik. Karena mendidik bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid atau siswa, tetapi ia merupakan aktifitas yang komplek dan integral yang mempunyai metode dan seni tersendiri.
2. Rendahnya kemampuan sarjana-sarjana Indonesia
Gejala yang kedua ini merupakan akibat logis dari fenomena yang kita sebutkan di atas. Karena kapasitas dan kapabilitas para pendidik (dosen) akan berakibat lansung terhadap mutu yang mahasiswanya, baik secara positif maupun secara negatif. Dengan arti kata apabila seorang dosen memiliki tingkat akademis yang tinggi kemudian ia juga memiliki wawasan yang cukup dalam ilmu pendidikan maka besar peluang ia akan menghasilkan mahasisiwa dan mahasisiwi yang yang unggul dan lebih baik dibandingkan dengan dosen lain yang tidak memilki kriteria tersebut. Ini dapat kita ambil contoh pada beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang memilki kemampuan finansial yang kuat yang memungkinnya untuk mendatangkan tenaga dosen yang qualified. Dibandingkan dengan perguruan tinggi yang lain yang kebanyakan para dosennya hanya lulusan S1, maka prestasi mahasisiwanya akan sangat jauh berbeda. Apalagi ketika bersaing dalam mendapatkan peluang kerja
3. Dekadensi moral dikalangan mahasiswa dan pelajar
Gejala yang ketiga ini sudah menjadi rahasia umum. Bahkan tidak dapat lagi dikatakan sebagai gejala. Tapi telah menjurus kepada fenomena. Kalau dulu di awal-awal 90-an kita sudah terbiasa mendengar tawuran antara sesama pelajar dan mahasisiwa. Baik antara sekolah dan perguruan yang sama atau pun yang berbeda. Kadang penyebab dari tawuran tersebut adalah hal yang sangat sepele, seperti persaingan nama, persaingan cinta (pacaran), kesenggol di bis atau di jalan dan lain sebagainya.
Kita tidak memungkiri adanya faktor eksternal yang sangat kuat yang menyebabkan kondisi ini. Tapi minimal ini merupakan indikator yang sangat nyata betapa jeleknya kondisi internal mereka (baca pendidikan dengan segala isinya). Karena apa yang mereka pelajari dan siapa yang mengajari mereka sudah tidak mampu lagi memberikan imunitas kepada mereka dari bahaya- bahaya luar. Sehingga ketika mereka dirasuki oleh racun-racun eksternal mereka
®    LINGKUNGAN PENDIDIKAN
Pendidikan di masyarakat adalah pendidikan nonformal yang dibedakan yang dibedakan dari pendidikan keluarga (informal) dan pendidikan sekolah (formal). Sesuai dengan UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 26, pendidikan nonformal diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal yang terdapat di masyarakat meliputi :
A. Pendidikan kecakapan hidup yaitu program pendidikan yang berpotensi mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi sesuai dengan minat dan bakat peserta didik, dan juga kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan daerah.
B.  Pendidikan Anak Usia Dini adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
C. Pendidikan kepemudaan adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa, seperti organisasi pemuda, pendidikan kepanduan/kepramukaan, keolahragaan, palang merah, pelatihan, kepemimpinan, pecinta alam, serta kewirausahaan. Pendidikan pemberdayaan perempuan adalah program pendidikan yang diselenggarakan menunjang dan mempercepat tercapainya kualitas hidup dan mitra kesejajaran laki-laki dan perempuan.
D. Pendidikan keaksaraan untuk meningkatkan kompetensi keaksaraan pada semua tingkatan (dasar, fungsional, dan lanjutan) bagi penduduk buta aksara dewasa secara meluas, adil dan merata untuk mendorong perbaikan kesejahteraan dan produktivitas penduduk.
E. Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja untuk meningkatan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja serta mengurangi angka pengangguran.
®    Adapun dalam ruang lingkup pendidikan terdapat Satuan pendidikan nonformal yang terdiri atas:
a)                  Lembaga kursus yaitu lembaga yang memberikan pengajaran kepada masyarakat tentang suatu pelajaran tertentu agar lebih fokus dan mendalami mata pelajaran/keterampilan yang dimaksud.
b)                  Lembaga pelatihan yaitu lembaga yang khusus mempersiapkan calon-calon tenaga kerja di bidang perusahaan tertentu.
c)                  Kelompok belajar yaitu pendidikan masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah untuk siswa yang belajarnya tidak melalui jalur sekolah, atau bagi siswa yang belajar di sekolah berbasis kurikulum non pemerintah seperti Cambridge, dan IB (International Baccalureate).
d)                 Pusat kegiatan belajar masyarakat yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang pendidikan. PKBM ini masih berada di bawah pengawasan dan bimbingan dari Dinas Pendidikan Nasional. PKBM ini bisa berupa tingkat dusun, desa ataupun kecamatan.
e)                  Majelis taklim yaitu pendidikan nonformal yang bertujuan untuk membina dan mengmbangkan ajaran islam dalam rangka membentukmasyarakat yang
bertaqwa kepada Allah SWT.


®    Pendidikan Jalur Formal, Nonformal, dan Informal
Selain pendidikan yang dapat dikategorikan ke dalam pendidikan formal, nonformal, dan informal, ada pendidikan yang dapat diselenggarakan baik formal, nonformal, meupun informal. Macam-macam pendidikan itu adalah :
a)      Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan sekolah dasar agar anak memiliki kesiapan yang lebih matang untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya.
Pendidikan anak usia pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK),   Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
2.      Pendidikan anak usia dini berjalur nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau yang lainnya.
3. Pendidikan keagamaan, diselenggarakan oleh pemerintah dan kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendidikan keagamaan berbentuk Pendidikan Diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
4. Pendidikan khusus/layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses belajar mengajar karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
®    Hubungan di antara Tripusat Pendidikan
Tripusat pendidikan saling berhubungan dan berpengaruh. Tidak hanya hubungan positif yang menuntut kerjasama tetapi hubungan negatif juga dapat menimbulkan persaingan. Keterkaitan ketiga pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat masing-masing memiliki fingsi tersendiri dengan satu tujuan yaitu menolong pertumbuhan dan perkembangan peserta didik secara optimal untul mencapai tujuan pendidikan yaitu menjadikan manusia yang seutuhnya, berjatidiri, memiliki integritas, dan martabat.
Tuntutan perkembangan zaman dan IPTEKS, telah menjadikan persaingan baik sadar maupun tidak sadar. Sekolah semula memperoleh otritas mendidik, karena sekolah hanyalah sebagian dari masyarakat, dan pendidikan hanyalah salah satu pranata sosial disamping pranata ekonomi, politik, teknologi, dan moral atau etika.
Agar fungsi pendidikan dapat tercapai dengan baik, harus terjadi kerjasama yang harmonis antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan peran serta masyarakat dalam pendidikan.
Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan pertimbangan, arahan, dan dukungan. Untuk itu telah terbit Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002, tanggal 12 April 2002.


®    Lingkungan Makro Pendidikan
Lingkungan makro pendidikan yaitu lingkungan yang lebih besar atau lebih luas yang berpengaruh terhadap semua lingkungan mikro tersebut dan bersifat global. Lingkungan makro pendidikan mempunyai arti luas terhadap :
a)      Ideologi
Ideologi berpengaruh terhadap dunia pendidikan karena ideologi menjadi landasan sekaligus tujuan setiap bentuk pendidikan. Sebagai contoh :
Bahasa Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologi, falsafah, pandangan hidup, jatidiri, kepribadian pasti akan menjadikan Pancasila sebagai landasan tujuan pendidikan nasional.keyakinan atau agama akan melandasi dan menjadi tujuan setiap upaya pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, dan dijamin oleh undang-undang.
b)      Politik
Politik suatu negara berpengaruh terhadap dunia pendidikan.
Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik, karena kebijakan-kebijakan pendidikan ditentukan oleh golongan politik di lembaga legislatif. Pendidikan yang dikaitkan dengan pembentukan warga negara jelas tak terlepas dari kepentingan politik, hal ini karena terdapat aliran pikiran “statalisme” yang artinya menundukkan kepentingan anak didik sepenuhnya kepada negara.
c)      Ekonomi social
Kesejahteraan masyarakat dan pendanaan pendidikan berpengaruh besar terhadap pendidikan salah satu masalah besar pendidikan Indonesia disamping masalah pemerataan dan mutu pendidikan. Tingkat ekonomi yang rendah menyebabkan banyak orang tidak mampu meraih pendidikan sebagaimana mestinya. Tingkat kesejahteraan memiliki korelasi terhadap kesejahteraan hidup. Dengan demikian timbullah deferensiasi sosial bahkan cenderung menjadi diskriminasi.
d)     Budaya
Pendidikan bermula dari budaya dan berakhir pada budaya. Karena budaya yang menjiwai seluruh proses pendidikan. Kebudayaan menuntun pendidikan. Makin tinggi pendidikan seseorang maka ma
kin berbudaya.
e)      Militer dan Pertahanan
Proses pendidikan memerlukan ketahanan dan keamanan fisik (lahir) maupun batin (mental). Dalam keadaan kacau pada sebuah negara seperti peperangan, pendidikan tidak dapat berjalan secara wajar tapi dalam keadaan kacau tersebut dapat menjadi pelajaran yang bermakna. Pertahanan dan keamanan suatu bangsa menjadi materi pendidikan kewarganegaraan dalam rangka membentuk warga negara yang baik.
f)                               Era globalisasi
Era globalisasi telah menimbulkan dehumanisasi dan memperkuat materialisme. Perkembangan teknologi yang canggih di sisi lain membuat anak didik diperalat seperti robot. Sekolah tidak lagi bersifat edukatif dan kreatif melainkan hanya menyiapkan tenaga atau mesin industri. Era globalisasi sebagai lingkungan pendidikan di satu sisi menimbulkan modernisasi, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan dominasi negara maju terhadap negara berkembang.
Demikian lingkungan global tehadap dunia pendidikan. Hal ini menjadi tantangan yang tidak ringan bagi dunia pendidikan di Indonesia, maka dalam rangka menghadapi era modernisasi dan postmodernisme pendidikan harus bangkit dan kembali pada jalur yang benar.



BAB IV
PENUTUP
A.       KESIMPULAN
Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, susila, dan religius. Sifat kodrati manusia sebagai makhluk pribadi, sosial, susila, dan religii harus dikembangkan secara seimbang, selaras, dan serasi. Perlu disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Manusia mempunyai arti hidup secara layak jika ada diantara manusia lainnya. Tanpa ada manusia lain atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik.
Guna meningkatkan kualitas hidup, manusia memerlukan pendidikan, baik pendidikan yang formal, informal maupun nonformal. Dalam kenyataannya, manusia menunjukkan bahwa pendidikan merupakan pembimbingan diri sudah berlangsung sejak zaman primitif. Kegiatan pendidikan terjadi dalam hubungan orangtua dan anak.
B.  SARAN






DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rohani HM. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Arby, Sutan Santi dan syahrun, Syahmar. 1991/1992. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Depdikbud
Arikunto, suharsimi. 1991. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Buchari Muchtar, 1980. Teknik-teknik Evaluasi dalam Pendidikan. Bandung: Jemmars.
Faisal Sanapiah & Hanafi Abdillah. 1983. Pendidikan Non-Formal. Surabaya. Usaha Nasional
Mudyahardjo Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada
Nasution S. 2003. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta. PT Bumi Aksara
Purwanto, Ngalim. 2006. Ilmu Mendidik Teoritis dan Praktis. Jakarta: Remaja Rosda karya.
Sadulloh Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. Alfabeta
Sahabudding. 1985. Pendidikan Non-Formal Suatu Pengantar Ke Dalam Pemahaman Konsep Dan Prinsip Pengembangan. Ujung Pandang. IKIP Ujung Pandang
Sudiyono, Anas, 1996. Pengantar evaluasi pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Beajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syahrun, Syahmiar. 1991. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Depdikbud.
Tirtarahardja Umar & S. L. La Silo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta. PT Rineka Cipta
Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

0 Response to "DOWNLOAD MAKALAH PEDAGOGIK KEWIBAWAAN KITA SEBAGAI PENDIDIK"

Posting Komentar

wdcfawqafwef

BACKLINK OTOMATIS GRATIS JURAGAN.