Pendahuluan
Globalisasi dan perdagangan global merupakan suatu hal
yang tidak terelakkan dari kemajuan teknologi. Teknologi informasi dan
komunikasi yang bekembang dengan pesat telah mengaburkan batas-batas wilayah
karena satu wilayah dapat terhubung dengan wilayah lainnya dalam satu waktu
yang sama. Pentingnya informasi diera tersebut kemudian menimbulkan ekonomi
informasi, yaitu kegiatan ekonomi yang berbasis pada penyediaan informasi.
Setelah hampir sebagian besar wilayah di dunia terhubung
pada era ekonomi informasi, tantangan globalisasi menjadi semakin nyata. Dalam
konteks globalisasi, daya saing merupakan kunci utama untuk bisa sukses dan
bertahan. Daya saing ini muncul tidak hanya dalam bentuk produk dalam jumah
banyak namun juga berkualitas. Kualitas produk tersebut dapat diperoleh melalui
pencitraan ataupun menciptakan produk-produk inovatif yang berbeda dari wilayah
lainnya. Diperlukan kreativitas yang tinggi untuk dapat menciptakan
produk-produk inovatif. Berangkat dari poin inilah, ekonomi kreatif menemukan eksistensinya
dan berkembang (Salman, 2010).
Ekonomi kreatf telah dikembangkan di berbagai negara dan
menampilkan hasil positif yang signifikan, antara lain berupa penyerapan tenaga
kerja, penambahan pendapatan daerah, hingga pencitraan wilayah di tingkat internasional.
Pencitraan wilayah muncul ketika suatu wilayah menjadi terkenal karena produk
kreatif yang dihasilkannya. Sebagai contoh, Kota Bandung yang saat ini terkenal
karena distro dan factory outlet-nya. Dalam konteks yang
lebih luas, pencitraan wilayah dengan menggunakan ekonomi kreatif juga
terkoneksi dengan berbagai sektor, di antaranya sektor wisata.
Ekonomi Kreatif :
Definisi, Potensi, dan Tantangannya pada Kota-Kota di Indonesia
Definisi ekonomi kreatif hinggga saat ini masih belum
dapat dirumuskan secara jelas. Kreatifitas, yang menjadi unsur vital dalam
ekonomi kreatif sendiri masih sulit untuk dibedakan apakah sebagai proses atau
karakter bawaan manusia. Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008)
merumuskan ekonomi kreatif sebagai upaya pembangunan ekonomi secara
berkelanjutan melalui kreativitas dengan iklim perekonomian yang berdaya saing
dan memiliki cadangan sumber daya yang terbarukan. Definisi yang lebih jelas
disampaikan oleh UNDP (2008) yang merumuskan bahwa ekonomi kreatif merupakan bagian integratif dari pengetahuan yang
bersifat inovatif, pemanfaatan teknologi secara kreatif, dan budaya. Seperti dijelaskan pada Gambar 1.
Gambar 1: bagan rumusan ekonomi kreatif menurut UNDP (2008)
Lingkup kegiatan dari ekonomi kreatif dapat mencakup
banyak aspek. Departemen Perdagangan (2008) mengidentifikasi setidaknya 14
sektor yang termasuk dalam ekonomi kreatif, yaitu :
- Periklanan
- Arsitektur
- Pasar barang seni
- Kerajinan (handicraft)
- Desain
- Fashion
- Film, video, dan fotografi
8. Permainan interaktif
9. Musik
10. Seni pertunjukan
11. Penrbitan dan percetakan
12. Layanan komputer dan piranti lunak
13. Radio dan televisi
14. Riset dan pengembangan
Bila dilihat luasan cakupan ekonomi kreatif tersebut,
sebagian besar merupakan sektor ekonomi yang tidak membutuhkan skala produksi
dalam jumlah besar. Tidak seperti industri manufaktur yang berorientasi pada
kuantitas produk, industri kreatif lebih bertumpu pada kualitas sumber daya
manusia. Industri kreatif justru lebih banyak muncul dari kelompok industri
kecil menengah. Sebagai contoh, adalah industri kreatif berupa distro yang sengaja memproduksi desain
produk dalam jumlah kecil. Hal tersebut lebih memunculkan kesan eksklusifitas
bagi konsumen sehingga produk distro menjadi
layak untuk dibeli dan bahkan dikoleksi. Hal yang sama juga berlaku untuk
produk garmen kreatif lainnya, seperti Dagadu dari Jogja atau Joger dari Bali.
Kedua industri kreatif tersebut tidak berproduksi dalam jumlah besar namun
ekslusifitas dan kerativitas desain produknya digemari konsumen.
Walaupun tidak menghasilkan produk dalam jumlah banyak,
industri kreatif mampu memberikan kontribusi positif yang cukup signifikan
terhadap perekonomian nasional. Depertemen Perdagangan (2008) mencatat bahwa
kontribusi industri kreatif terhadap PDB di tahun 2002 hingga 2006 rata-rata
mencapai 6,3% atau setara dengan 152,5 trilyun jika dirupiahkan. Industri
kreatif juga sanggup menyerap tenaga kerja hingga 5,4 juta dengan tingkat
partisipasi 5,8%. Dari segi ekspor, industri kreatif telah membukukan total
ekspor 10,6% antara tahun 2002 hingga 2006.
Merujuk pada angka-angka tersebut di atas, ekonomi
kreatif sangat potensial dan penting untuk dikembangkan di Indonesia. Dr. Mari
Elka Pangestu dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 menyebutkan
beberapa alasan mengapa industri kreatif perlu dikembangkan di Indonesia,
antara lain :
1. Memberikan kontibusi ekonomi yang signifikan
2. Menciptakan iklimbisnis yang positif
3. Membangun citra dan identitas bangsa
4. Berbasis kepada sumber daya yang terbarukan
5. Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif
suatu bangsa
6. Memberikan dampak sosial yang positif
Salah satu alasan dari pengembangan
industri kreatif adalah adanya dampak positif yang akan berpengaruh pada
kehidupan sosial, iklim bisnis, peningkatan ekonomi, dan juga berdampak para
citra suatu kawasan tersebut.
Dalam konteks pengembangan ekonomi kreatif pada kota-kota
di Indonesia, industri kreatif lebih berpotensi untuk berkembang pada kota-kota
besar atau kota-kota yang telah “dikenal”. Hal ini terkait dengan ketersediaan
sumber daya manusia yang handal dan juga tersedianya jaringan pemasaran yang
lebih baik dibanding kota-kota kecil. Namun demikian, hal itu tidak menutup
kemungkinan kota-kota kecil di Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kreatif.
Bagi kota-kota kecil, strategi pengembangan ekonomi kreatif dapat dilakukan
dengan memanfaatkan landmark kota
atau kegiatan sosial seperti festival sebagai venue untuk mengenalkan produk khas daerah (Susan, 2004). Salah
satu contoh yang cukup berhasil menerapkan strategi ini adalah Jember dengan
Jember Fashion Carnival. Festival yang digelar satu tahun sekali tersebut mampu
menarik sejumlah turis untuk berkunjung dan melihat potensi industri kreatif
yang ada di Jember.
Bertolak dari kasus Jember dengan Jember Fashion
Carnival, sejatinya sejumlah kota di Indonesia berpotensi untuk mengembangkan
ekonomi kreatif. Indonesia dikenal sebagai negara dengan banyak suku bangsa dan
budaya. Sebuah kota dapat merepresentasikan budayanya melalui cara-cara yang
unik, inovatif, dan kreatif. Pada gilirannya, pengembangan ekonomi kreatif
tersebut juga akan berdampak pada perbaikan lingkungan kota, baik secara
estetis ataupun kualitas lingkungan.
Ekonomi Kreatif dan
Pengembangan Wisata
Pariwisata didefinisikan sebagai aktivitas perjalanan
yang dilakukan untuk sementara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah
tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan hanya
untuk bersenang senang, memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang
atau waktu libur serta tujuan tujuan lainnya (UNESCO, 2009). Sedangkan menurut
UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah
berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta
layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah
Daerah. Seseorang atau lebih yang melakukan perjalanan wisata serta melakukan
kegiatan yang terkait dengan wisata disebut Wisatawan. Wisatawan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara.
Wisatawan nusantara adalah wisatawan warga negara Indonesia yang melakukan
perjalanan wisata sementara wisatawan mancanegara ditujukan bagi wisatawan
warga negara asing yang melakukan perjalanan wisata.
Untuk mengembangkan kegiatan wisata, daerah tujuan wisata
setidaknya harus memiliki komponen-komponen sebagai berikut (UNESCO, 2009) :
- Obyek/atraksi dan daya tarik
wisata
- Transportasi dan infrastruktur
- Akomodasi (tempat menginap)
- Usaha makanan dan minuman
- Jasa pendukung lainnya (hal-hal
yang mendukung kelancaran berwisata misalnya biro perjalanan yang mengatur
perjalanan wisatawan, penjualan cindera mata, informasi, jasa pemandu,
kantor pos, bank, sarana penukaran uang, internet, wartel, tempat
penjualan pulsa, salon, dll)
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia sebelumnya
telah menetapkan program yang disebut dengan Sapta Pesona. Sapta Pesona
mencakup 7 aspek yang harus diterapkan untuk memberikan pelayanan yang baik
serta menjaga keindahan dan kelestarian alam dan budaya di daerah kita. Program
Sapta Pesona ini mendapat dukungan dari UNESCO (2009) yang menyatakan bahwa
setidaknya 6 aspek dari tujuh Sapta Pesona harus dimiliki oleh sebuah daerah
tujuan wisata untuk membuat wisatawan betah dan ingin terus kembali ke tempat
wisata, yaitu: Aman; Tertib; Bersih: Indah; Ramah; dan Kenangan
Ekonomi kreatif dan sektor wisata merupakan dua hal yang
saling berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik (Ooi,
2006). Konsep kegiatan wisata dapat didefinisikan dengan tiga faktor, yaitu
harus ada something to see, something to
do, dan something to buy (Yoeti,
1985). Something to see terkait
dengan atraksi di daerah tujuan wisata, something
to do terkait dengan aktivitas wisatawan di daerah wisata, sementara something to buy terkait dengan souvenir
khas yang dibeli di daerah wisata sebagai memorabilia pribadi\ wisatawan. Dalam
tiga komponen tersebut, ekonomi kreatif dapat masuk melalui something to buy dengan menciptakan
produk-produk inovatif khas daerah.
Pada era tradisional, souvenir yang berupa memorabilia
hanya terbatas pada foto polaroid yang menampilkan foto sang wisatawan di suatu
obyek wisata tertentu. Seiring dengan kemajuan tekonologi dan perubahan
paradigma wisata dari sekedar “melihat” menjadi “merasakan pengalaman baru”,
maka produk-produk kreatif melalui sektor wisata mempunyai potensi yang lebih
besar untuk dikembangkan. Ekonomi kreatif tidak hanya masuk melalui something to buy tetapi juga mulai
merambah something to do dan something to see melalui paket-paket
wisata yang menawarkan pengalaman langsung dan interaksi dengan kebudayaan
lokal.
Penerapan strategi pengembangan ekonomi kreatif melalui
sektor wisata ini telah diterapkan di beberapa wilayah. Beberapa yang cukup
sukses dan populer di antaranya adalah Kanazawa (Jepang), New Zealand, dan
Singapura. Daerah Kanazawa, Jepang menawarkan paket wisata ke tempat pembuatan
kerajinan (handicraft) warga
setempat. Produk kerajinan (handicraft)
Kanazawa merupakan bentuk kerajinan tradisional, seperti keramik dan sutra.
Para pengrajin bekerja sekaligus menjual serta memamerkan hasil produksinya di
sekitar kastil Kanazawa
(Kanazawa Kanazawa City Tourism Association,
2010).
New Zealand mengadakan paket
wisata berikut pelatihan kerajinan tanah liat, pelatihan membuat kerajinan
perak, dan pembuatan anggur (wine).
Dalam paket wisata tersebut, wisatawan dapat berpartisipasi aktif dan membawa
pulang hasil kerajinannya sebagai memorabilia pribadi (Yozcu dan İçöz, 2010). Sementara Singapura mengembangkan ekonomi kreatif melalui pusat perbelanjaan
sehingga dikenal sebagai daerah tujuan wisata belanja (Ooi, 2006).
Dalam pengembangan ekonomi
kreatif melalui sektor wisata yang dijelaskan lebih lanjut oleh Yozcu dan İçöz (2010), kreativitas akan merangsang daerah tujuan wisata untuk menciptakan produk-produk
inovatif yang akan memberi nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi
dibanding dengan daerah tujuan wisata lainnya. Dari sisi wisatawan, mereka akan
merasa lebih tertarik untuk berkunjung ke daerah wisata yang memiliki produk
khas untuk kemudian dibawa pulang sebagai souvenir. Di sisi lain, produk-produk
kreatif tersebut secara tidak langsung akan melibatkan individual dan pengusaha
enterprise bersentuhan dengan sektor
budaya. Persentuhan tersebut akan membawa dampak positif pada upaya pelestarian
budaya dan sekaligus peningkatan ekonomi serta estetika lokasi wisata. Contoh bentuk pengembangan
ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat dilihat pada Tabel 1.
Potensi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak
sektor wisata di Indonesia masih belum dapat diimplementasikan secara optimal.
Jika dibandingkan dengan pola paket wisata luar negeri seperti yang diuraikan
di atas, Indonesia mengadopsi bentuk paket wisata tersebut ke dalam desa
wisata. Hingga saat ini, tercatat banyak desa wisata yang bermunculan namun
hanya sebagian kecil yang berhasil (dalam arti sanggup mendatangkan wisatawan
secara berkala dan meningkatkan ekonomi warganya). Fenomena banyaknya desa
wisata di Indonesia seringkali terjadi bukan sebagai bentuk kreatifitas, tetapi
lebih pada prestige. Sangat sering
ditemui desa wisata yang infrastrukturnya tidak siap untuk dikunjungi
wisatawan. Kelemahan terbesar dari konsep desa wisata selanjutnya adalah
minimnya upaya promosi dan tidak adanya link
dengan industri kreatif untuk produksi souvenir. Wisatawan hanya sekedar
datang dan pulang tanpa membawa sesuatu untuk dikenang (memorabilia) atau untuk
dipromosikan pada calon wisatawan lainnya.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa ekonomi kreatif
dan sektor wisata pada sebagian besar kota-kota di Indonesia berjalan secara
terpisah. Masih
kurangnya linkage
antara ekonomi kreatif dan sektor wisata dapat
terlihat dari tiadanya tempat penjualan souvenir khas daerah. Kalaupun ada,
tempat penjualan souvenir dan souvenir yang dijual terkesan “biasa” saja, dan
dapat dengan mudah ditemukan di daerah lain. Atau, pada beberapa kasus, tempat
penjualan souvenir berlokasi terlalu jauh. Pasar Gabusan Yogyakarta merupakan
salah satu contoh tempat ekonomi kreatif yang berada terlalu jauh dari tempat
wisata, kurang dipromosikan, dan dengan desain produk yang “biasa” saja
sehingga menjadi sebuah proyek yang gagal mendatangkan lebih banyak wisatawan.
Pada hakikatnya, hampir sebagian besar kota/kabupaten di
Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai
penggerak sektor wisata. Kota/kabupaten di Indonesia memiliki daya tarik wisata
yang berbeda untuk dapat diolah menjadi ekonomi kreatif. Purworejo, sebagai
salah satu kota tertua di Indonesia, memiliki potensi yang cukup besar untuk
pengembangan ekonomi kreatif. Alun-alun Purworejo dengan sentra kuliner dan
bedug sebagai atraksi wisata membutuhkan sentuhan kreatifitas, di antaranya
dengan menciptakan souvenir khas Purworejo. Potensi kerajinan di Kabupaten Purworejo
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Industri
Kerajinan Rumah Tangga di Kabupaten Purworejo 2007
Jenis kerajinan
|
Jumlah
|
Lokasi/Kecamatan
|
1. Sangkar burung
|
69
|
Kutoarjo
|
2. Ukir kayu
|
12
|
Kaligesing
|
3. Anyaman bambu
|
2741
|
13 kecamatan
|
4. Anyaman mendong
|
25
|
Ngombol dan Bruno
|
5. Anyaman batok/kayu
|
12
|
Grabag, Purworejo, Kutoarjo
|
6. Minyak
Astiri 18
|
18
|
Kaligesing, Kemiri, Bruno
|
7. Batik tulis
|
189
|
Grabag, Bagelen, Banyurip, Bayan,
Pituruh, Kemiri
|
8. Konveksi
|
75
|
Bagelen, Purworejo, Bruno
|
9. |
Bordir
27
Grabag
10. Sepatu
4
Ngombol, Purworejo, Kutoarjo
11. Ikat pinggang
1
Kutoarjo
Dari segi sumber daya manusia, keberadaan sejumlah UMKM
berpotensi untuk diarahkan sebagai industri-industri kreatif. Tidak berhenti di
situ, potensi wisata Purworejo juga mencakup wisata alam, wisata budaya, hingga
wisata sejarah (potensi wisata Purworejo secara lebih lengkap ditampilkan dalam
Tabel 3).
Tabel 3 : Potensi Wisata Purworejo
Bentuk Wisata
|
Lokasi
|
Wisata alam gua
|
Seplawan, Anjani, Gong, Silumbu, Gajah dan Semar
|
Wisata Pantai
|
Jatimalang, Ketawang, dan Watukuro
|
Air Terjun
|
Curug Muncar, Curug Pangilon, dan Curug Silangit
|
Wisata Buatan
|
Kawasan Geger Menjangan
|
Wisata Sejarah/Budaya
|
Imampuro, Bagelen, Nanggul Jaya, Cokronegoro, Pangeran Bintoro
|
Wisata Bangunan Bersejarah
|
Kawasan pusat kota Purworejo dari Stasiuk KA hingga SPG (SMU 2)
|
Masjid
|
Kauman, Seboro Krapyak, Santren, dan Banyu-urip
|
Gereja
|
Kyai Sadrah, GPIB, dan Gereja Katolik
|
Sumber: RIPP Purworejo, 1996
Sementara menurut hasil survei potensi wisata yang
dilakukan pada bulan April 2004 berhasil mengidentifikasi sejumlah aset wisata
yang dimiliki oleh Purworejo, yaitu :
1. Aset Bangunan Bersejarah : Mesjid
Kauman, Gereja, Bangunan Kawasan Pusat Kota (Stasiun-SPG/SMU-2), Kerkop, dan
Benteng Pendem.
2. Aset Wisata Spiritual/Makam : Cokro
Negoro, Gagak Handoko, Romo Sumono, Imampuro, Gagak Pranolo, Nyai Bagelen, dan
Mesjid Satren.
3. Aset Wisata Pahlawan :
Taman Makam Pahlawan, A. Yani, Sarwo Edhi, Urip Sumoharjo, dan WR Supratman
Potensi wisata tersebut dapat dikembangkan melalui
ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif di sini tidak hanya melibatkan masyarakat atau
komunitas sebagai sumber daya yang berkualitas, tetapi juga melibatkan unsur
birokrasi dengan pola entrepreneurship (kewirausahaan).
Konsep pelibatan birokrasi dalam ekonomi kreatif adalah bahwa birokrasi tidak
hanya membelanjakan tetapi juga menghasilkan (income generating) dalam arti positif (Obsore dan Gaebler, 1992).
Pertentangan pajak untuk penganggaran unit-unit birokrasi harus dihentikan dan
birokrasi harus dapat menciptakan “pemasukan” baru melalui ekonomi kreatif
(Gale Wilson, Mantan Manajer Kota Fairled, California).
Strategi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak
sektor wisata dirumuskan sebagai berikut (Barringer) :
- Meningkatkan peran seni dan budaya pariwisata
- Memperkuat keberadaan kluster-kluster industri kreatif
- Mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif
- Melakukan pemetaan aset yang dapat mendukung munculnya ekonomi
kreatif.
- Mengembangkan pendekatan regional, yaitu membangun jaringan antar
kluster-kluster industri kreatif.
- Mengidentifikasi kepemimpinan (leadership)
untuk menjaga keberlangsungan dari ekonomi kreatif, termasuk dengan
melibatkan unsur birokrasi sebagai bagian dari leadership dan facilitator.
- Membangun dan memperluas jaringan di seluruh sektor
- Mengembangkan dan mengimplementasikan strategi, termasuk
mensosialisasikan kebijakan terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif
dan pengembangan wisata kepada pengrajin. Pengrajin harus mengetahui
apakah ada insentif bagi pengembangan ekonomi kreatif, ataupun pajak
ekspor jika diperlukan.
Model Pengembangan
Ekonomi Kreatif Sebagai Penggerak Sektor Wisata
Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor
wisata memerlukan sinergi antar stakeholder yang terlibat di dalamnya, yaitu
pemerintah, cendekiawan, dan sektor swasta (bisnis). Dalam Konvensi
Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 yang disampaikan oleh Dr. Mari Elka
Pangestu, berhasil dirumuskan model sinergitas antar stakeholders ekonomi
kreatif, khususnya pada sub sektor kerajinan. Sebagai catatan, sub sektor
kerajinan merupakan bentuk ekonomi kreatif yang paling dekat dengan pengembangan
wisata. Kerajinan termasuk pada pembuatan souvenir atau memorabilia yang
memberikan “kenangan” pada wisatawan sehingga membuka peluang agar wisatawan
tersebut kembali berkunjung di kesempatan lain.
Model pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor
wisata dapat diadaptasi dari model-model kota kreatif. Kota kreatif bertumpu
pada kualitas sumber daya manusia untuk membentuk (bisa dalam bentuk design atau redesign) ruang-ruang kreatif (UNDP, 2008). Pembentukan ruang
kreatif diperlukan untuk dapat merangsang munculnya ide-ide kreatif, karena
manusia yang ditempatkan dalam lingkungan yang kondusif akan mampu menghasilkan
produk-produk kreatif bernilai ekonomi. Festival budaya, merupakan salah satu
bentuk penciptaan ruang kreatif yang sukses mendatangkan wisatawan. Penjelasan lebih lanjut terdapat pada
Bagan Model Sinegitas Stakeholders Ekonomi Kreatif Sub-Sektor Kerajinan dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2: Bagan Model Sinergitas Stakeholders Ekonomi Kreatif Sub-Sektor Kerajinan (sumber: Departemeni
Perdagangan Rep. Indonesia, 2008)
Dalam konteks kepariwisataan, diperlukan ruang-ruang kreatif
bagi para pengrajin untuk dapat menghasilkan produk khas daerah wisata yang
tidak dapat ditemui di daerah lain. Salah satu tempat yang paling penting bagi seorang pengrajin untuk bisa
menghasilkan karya adalah bengkel kerja atau studio. Bengkel kerja atau studio
sebagai ruang kreatif harus dihubungkan dengan daerah wisata sehingga tercipta linkage atau konektivitas. Konektivitas
tersebut diperlukan untuk mempermudah rantai produksi (Evans, 2009). Dari segi
ekonomi kreatif, produk kerajinan dalam bentuk souvenir dapat terjual sementara
dari sektor wisata, wisatawan memperoleh suatu memorabilia mengenai daerah
wisata tersebut. Konektivitas atau linkage
antara ekonomi kreatif dan wisata dapat berbentuk outlet penjualan yang terletak di daerah wisata. Dengan kata lain,
wisata menjadi venue bagi ekonomi
kreatif untuk proses produksi, didtribusi, sekaligus pemasaran. Seperti dijelaskan
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi model
linkage tersebut adalah penetapan
lokasi outlet yang harus diusahakan
berada di tempat stratgis dan dekat dengan tempat wisata. Upaya ini telah
dilakukan sejumlah industri kreatif, di antaranya Dagadu yang meletakkan outlet-nya di pusat perbelanjaan. Contoh
lain adalah industri batik di Kampung Laweyan, Solo. Wisatawan dapat melihat
proses pembuatan batik, beberapa paket wisata malah menawarkan wisatawan untuk
mencoba membatik, dan setelah melihat proses pembatikan wisatawan dapat
berkunjung ke outlet penjualan batik
untuk membeli batik sebagai souvenir.
Pengembangan Industri Kreatif untuk
mendukung Pariwisata Purworejo
Potensi batik sebagai industri kreatif saat ini sangat
tinggi. Batik telah diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO di tahun 2009 dan
telah dikenal oleh masyarakat internasional sebagai produk khas Indonesia. Dalam
penyelenggaraan INACRAFT tahun 2009, batik tercatat sebagai komoditas yang
paling diminati (Warta Ekspor, 2009). Persebaran motif batik di Indonesia cukup
luas dan masing-masing daerah memiliki motif khas yang berbeda antara satu
dengan lainnya. Kekayaan motif batik Indonesia juga bertambah dengan munculnya
motif-motif baru yang umumnya berwarna lebih cerah dan memiliki corak yang
lebih modern.
Purworejo memiliki sejumlah UMKM yang bergerak di bidang produksi batik namun belum digarap secara
optimal sebagai bagian dari industri kreatif ataupun wisata. Di kabupaten
Purworejo terdapat dua jenis batik dari
segi produksinya, yaitu batik tulis dan batik cap. Sejumlah kelompok sentra
kerajinan batik tulis di Purworejo yaitu (1) Laras Driyo di Kecamatan dan
Wahyuningsih di kecamatan Grabag, (2) Lung Kenongo di kecamatan Banyuurip, (3)
Wijoyo Kusumo dan Sidoluhur di kecamatan Bayan, dan (4) Limaran di kecamatan
Bagelen. Batik cap di Purworejo sempat mengalami masa jaya di tahun 1970an
namun saat ini tengah mengalami “mati suri”, khususnya di keluraahan Baledono
yang sudah tidak berproduksi lagi. Alat cap batik sebagian besar telah dijual
dan ruang produksinya telah dialihfungsikan.
Jika dikomparasikan dengan model pengembangan ekonomi
kreatif sebagai penggerak ekonomi wisata, Purworejo telah memiliki sejumlah
modal utama. Alun-alun Purworejo yang terkenal dengan bedug terbesar yang
dibuat dari satu batang pohon utuh merupakan sebuah landmark dan lokasi di sekitarnya berpotensi menjadi outlet untuk industri kreatif. Sentra
kuliner di sekeliling alun-alun juga memiliki potensi untuk dikembangkan lebih
lanjut menjadi industri kreatif, antara lain dengan menyajikan kulier
tradisional, menciptakan kuliner baru, atau bahkan dengan menciptakan kemasan
baru. Untuk industri kreatif kuliner, Bandung merupakan salah satu contoh
sukses karena berhasil mengembangkan kuliner-kuliner dengan penyajian yang
kreatif serta rasa yang inovatif, seperti pisang molen, roti unyil, ataupun cireng aneka rasa. Untuk lebih jelas pola adaptasi pengembangan ekonomi
kreatif sebagai penggerak sektor wisata yang di terapkan di Purworejo, perhatikan Tabel 4.
Sementara di sisi lain, batik Purworejo yang belum
tergarap juga merupakan potensi ekonomi kreatif. Bercermin dari Laweyan, Solo,
indsutri batik Purworejo dapat dikemas dalam paket-paket wisata atraktif.
Wisatawan dapat melihat proses pembuatan batik tulis ataupun batik cap
Purworejo. Untuk batik cap, karena proses pembuatannya relatif lebih mudah dan cepat
dibanding batik tulis, dapat dikemas paket wisata yang menawarkan wisatawan
untuk berkerasi dengan batik cap dan setelahnya hasil kreasi wisatawan tersebut
dapat dikirim sebagai souvenir (dengan ongkos pembayaran tertentu). Pola-pola
industri kreatif tersebut akan dapat menghidupkan lagi kerajinan batik cap yang
saat ini sedang mati suri,
Untuk mendukung pengembangan batik sebagai bagian dari
industri kreatif sekaligus penggerak wisata, perlu diciptakan linkage antara industri batik dan atraksi wisata Purworejo. Outlet kerajinan
batik sebaiknya diposisikan dekat dengan alun-alun Purworejo, sehingga tercipta
suatu sistem wisata; wisatawan berkunjung melihat atraksi wisata di Alun-alun,
makan di sekitar alun-alun, membeli oleh-oleh makanan khas, dilanjutkan dengan
melihat sekaligus membeli batik Purworejo sebagai souvenir. seperti digambarkan pada Gambar 4.
Pola-pola pengembangan ekonomi kreatif
sebagai penggerak sektor wisata juga dapat diterapkan pada obyek wisata lain di
Purworejo. Bentuk adaptasi pola-pola pengembangan ekonomi kreatif tersebut
dijabarkan dalam Tabel 5.
Tantangan Pengembangan
Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata
Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor
wisata walau terdengar sangat menjanjikan, namun tetap memiliki sejumlah
tantangan. Tantangan tersebar terkait dengan keberlanjutan industri kreatif itu
sendiri untuk menggerakkan sektor wisata. Trend wisata cenderung cepat berubah
sehingga pengrajin dituntut untuk bisa menciptakan produk-produk kreatif dan
inovatif. Di sisi lain, pengarajin juga tidak boleh terjebak pada selera pasar
karena dapat menghilangkan orisinalitas dan keunikan produk (Syahram 2000). Ooi
(2006), mengindentifikasi sejumlah tantangan pengembangan sebagai berikut :
1. Kualitas poduk.
Dengan bertumpu pada pengembangan wisata, maka produk
ekonomi kreatif akan lebih berorientasi pada selera wisatawan dan diproduksi
dalam jumlah yang cukup banyak sebagai souvenir. Hal ini dapat mengakibatkan
hilangnya keunikan ataupun nilai khas dari produk hasil ekonomi kreatif
tersebut.
2. Konflik sosial terkait dengan isu komersialisasi dan komodifikasi.
Pengembangan ekonomi kreatif melalui wisata seringkali
”mengkomersialisasikan” ruang-ruang sosial dan kehidupan sosial untuk
dipertontonan pada wisatawan sebagai atraksi wisata. Bila tidak dikelola dengan
melibatkan komunitas lokal, hal ini dapat berkembang menjadi konflik sosial,
karena di beberapa komunitas terdpat ruang-ruang sosial yang bersifat suci dan
tidak untuk dipertontonkan pada wisatawan.
3. Manajemen ekonomi kreatif.
Ekonomi kreatif seringkali menyajikan produk-produk yang
berbau isu politik ataupun isu sosial yang sangat sensitif (misal :
rasialisme). Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan manajemen ekonomi kreatif yang
baik, dengan salah satu fungsinya menentukan ”guideline” ekonomi kreatif mana yang harus dikembangkan dan mana
yang sebaiknya tidak dikembangkan
Kesimpulan
Sinergi antara ekonomi kreatif dengan sektor wisata
merupakan sebuah model pengembangan ekonomi yang cukup potensial untuk
dikembangkan di Indonesia, termasuk Kabupaten Purworejo. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor
wisata dibutuhkan konektivitas, yaitu dengan menciptakan outlet produk-prouk kreatif di lokasi yang strategsi dan dekat
dengan lokasi wisata. Outlet tersebut
dapat berupa counter
atau sentra kerajinan yang dapat dikemas dalam paket-paket wisata. Outlet kerajinan
berupa counter atau kios atau toko sebaiknya dikembangkan pada tempat wisata
yang sudah popular seperti mesjid agung dan alun-alun Purworejo. Pada sentra
kerajinan wisatawan tidak hanya sekedar membeli souvenir, tetapi
juga melihat proses pembuatannya dan bahkan ikut serta dalam proses pembuatan
tersebut (souvenir sebagai memorabilia).
Potensi
batik selain untuk kebutuhan souvenir pariwisata juga bisa untuk kebutuhan
seragam sekolah dan pegawai. Untuk menggerakkan industry keratif dalam
perekonomian dan kepariwisataan Purworejo, maka potensi kerajinan batik perlu
dikembangkan dan didukung melalui kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, Pemda
Purworejo bekerja sama dengan DPR, tokoh dan pengusaha batik menyusun Perda
seragam batik untuk para pegawai negeri, swasta, sekolah (SD, SMP, SMA). Perda perlu disiapkan dengan
instansi terkait untuk mengembangkan produksi batik cap secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan seragam.
Setelah
akes cukup jelas, maka usaha kerajinan perlu ditingkatkan pada aspek
ketrampilan SDM perajin, akases teknologi dan financial atau permodalan.
Sehingga peran pemerintah, perguruan tinggi dan dana bergulir dari BUMN sangat
dibutuhkan.
Daftar Pustaka
Barringer, Richard,
et.al., (tidak ada tahun). “The Creative Economy in Maine: Measurement &
Analysis”, The Southern Maine Review,
University of Southern Maine
Christopherson, Susan
(2004). “Creative Economy Strategies For Small and Medium Size Cities: Options
for New York State”, Quality Communities Marketing and Economics Workshop,
Albany New York, April 20, 2004
Departemen Perdagangan
Republik Indonesia (2008). “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 :
Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009 – 2025”
Evans, Graeme L (2009). “From Cultural Quarters to Creative Clusters –
Creative Spaces in The New City Economy”
Kanazawa
City Tourism Association, 2010, “Trip to Kanazawa, City of Crafts 2010 Dates: Jan. 1 - March 31, 2010,” accessed
on May 12, 2010 from http://www.kanazawa-tourism.com/eng/campaign/images/VJY_winter.pdf
Ooi, Can-Seng (2006).
”Tourism and the Creative Economy in Singapore”
Pangestu, Mari Elka
(2008). “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025”, disampaikan dalam
Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 yang diselenggarakan pada Pekan
Produk Budaya Indonesia 2008, JCC, 4 -8 Juni 2008
Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata (RIPP) Purworejo, (1996)
Salman, Duygu (2010).
“Rethinking of Cities, Culture and Tourism within a Creative Perspective”
sebuah editorial dari PASOS, Vol.
8(3) Special Issue 2010-06-16
Sumantra, I Made (tidak
ada tahun). ”Peluang Emas Seni Kriya Dalam Ekonomi Kreatif”
Syahra, Rusydi (2000).
“Pengelolaan Sumber Daya Manusia Pendukung Produksi Produk Kerajinan Sebagai
Daya Saing Dalam Menghadapi Persaingan”, makalah yang disampaikan dalam Seminar
Nasional Kerajinan 2000, Balai Sidang, Jakarta
UNDP (2008). “Creative
Economy Report 2008”
UNESCO (2009). Pamduan
Dasar Pelaksanaan Ekowisata
Warta Ekspor (2009)
edisi April 2009, didownload dari http://www.nafed.go.id/docs/warta_ekspor/file/Warta_Ekspor_2009_04.pdf
Yoeti, Oka A. (1985). Pengantar Ilmu Pariwisata, Bandung:
Angkasa
Yozcu, Özen Kırant dan
İçöz, Orhan (2010). “A Model Proposal on the Use of Creative Tourism
Experiences in Congress Tourism and the Congress Marketing Mix”, PASOS, Vol. 8(3) Special Issue 2010
0 Response to "DOWNLOAD MAKALAH EKONOMI KREATIF PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF SEBAGAI PENGGERAK INDUSTRI PARIWISATA"
Posting Komentar