CONTOH MAKALAH HUKUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA

A.    Latar Belakang
Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia telah  mendorong  lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dimaksudkan untuk menjawab   berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran hak asasi manusia berat.
Delapan belas (18)  perkara yang telah dihadapkan ke pengadilan hak  asasi manusia, yang terdiri atas Dua belas (12) perkara pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Timur, empat (4) Perkara  peristiwa Tanjung Priok dan dua (2)  Perkara  pelanggaran hak asasi manusia berat di Abepura ,Papua tidak menghasilkan keputusan yang memuaskan rasa keadalan khususnya bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia berat tersebut.  
Pengadilan hak asasi manusia terbentuk tidak terlepas dari dinamika politik yang terjadi saat  itu, baik politik nasional maupun internasional.[1]Dinamika politik yang terjadi pada saat itu menghendaki agar pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Indonesia diselesaikan dengan pengadilan hak asasi manusia.
Pembentukan undang-undang tersebut merupakan perwujudan  tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota perserikatan bangsa-bangsa, serta sebagai tanggung jawab moral dan hukum dalam melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh  Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta  yang terdapat dalam instrumen hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia.[2]
Pelanggaran hak  asasi manusia  dalam pandangan para pakar dapat diselesaikan melalui mekanisme  pengadilan, dan komisi kebenaran,  untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia dengan pengadilan dimaksudkan untuk  menjunjung rule of law dan keadilan.[3]
Undang-Undang No 26 tahun 2000 mempunyai  mandat untuk menyelesaiakan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, dengan kewenangannya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia barat di Indonesia, tetapi  pada tatanan das sein tidak ada satupun pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang dijatuhkan sanksi oleh Pengadilan HAM , yang secara hukum berarti tidak pernah terjadi Pelanggaran HAM, sedangkan  pada tatanan das sollen diatur apa saja yang merupakan Pelanggaran HAM Berat yang dituangkan dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000, yang meliputi kajahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Dengan unsur-unsur kejahatannya yang diatur dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000.
Perbedaan pandangan dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat selalu terjadi  antara Komnas HAM, Jaksa Penuntut Umum, serta Hakim dalam menyikapi pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Indonesia, yang dapat dilihat dari proses bergulirnya  kasus pelanggaran HAM dari proses penyelidikan di Komnas HAM sampai dengan putusan pengadilan HAM di Pengadilan.
Tahapan penyelidikan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah kewenangan  Komnas HAM   berdasarkan Undang-Undang No 39 tahun 1999 yang hasilnya selalu merekomendasisan adanya pelanggaran HAM. Komnas HAM dalam menjalankan perannya melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang dibuktikan dengan rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM dalam kasus-kasus hak asasi manusia khususnya Kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura yang selalu menyatakan adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus-kasus tersebut.
Kejaksaan selalu menuntut adanya pelanggaran hak asasi manusia berat dalam tuntutannya dan  selama ini dikarenakan  tidak ada   pilihan bagi kejaksaan dalam menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia berat selain dengan tuntutan atas kejahatan terhadap kemanusiaan, dikarenakan hanya hal tersebut yang dapat dipergunakan dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000, selain ketentuan mengenai Genosida yang tidak dapat diterapkan  dalam kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Proses penuntutan kasus-kasus pelanggaran HAM berat para terdakwa selalu dituntut melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM Berat mulai kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura, yang berarti dari pihak penuntut umum, melihat adanya pelanggaran hak asasi  manusia berat, tetapi  dalam kasus Adam Damiri Jaksa Penuntut Umum menuntut bebas Adam Damiri, yang dapat diartikan bahwa dalam tuntutan Jaksa tidak melihat adanya pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan oleh Adam Damiri dalam kasus  Timor-Timur, yang sekalipun dituntut bebas oleh Jaksa, tetapi Hakim pada pengadilan tingkat pertama  menjatuhkan hukum 3 tahun atas  tuntutan bebas jaksa, yang kemudian dalam proses banding di Pengadilan Tinggi dibatalkan dan Adam Damiri dinyatakan bebas dari segala tuduhan.
Pengadilan Hak Asasi Manusia sendiri dalam berbagai tingkatan kemudian membebaskan semua terdakwa yang diadili di Pengadilan HAM ad hoc dengan kesemuanya  dinyatakan  tidak bersalah dan dinyatakan bebas dari segala tuduhan.
Pada sisi lain penyelesaian persoalan melalui komisi kebenaran dan persahabatan yang laporan akhirnya dinamakan Per Memoar A Spem  yang berarti melalui kenangan menuju harapan dipandang mengabaikan prinsip-prinsip dalam penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia.
Hal yang juga mendorong penulis untuk menulis disertasi ini adalah adanya pengakuan pelanggaran hak asasi manusia berat dalam laporan akhir komisi kebenaran dan persahabatan , tetapi tanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat  tersebut diambi alih oleh negara.  Bagaimana meletakan tanggung jawab pidana pada negara, sebagai contoh dalam  hal terjadinya pembunuhan yang  dalam Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia Timor-Leste  yang diberi judul Per Memoar ad Spem yang berarti  melalui kenangan menuju harapan,  diakui adanya pembunuhan yang dilakukan dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana yang terdapat dalam keempat dokumen yang ditelaah oleh Komisi Kebenaran dan persahabatan yang meliputi Laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran  HAM di Timor-Timur ( KPP HAM ) yang ditunjuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (  Komnas HAM ); dokumen-dokumen  persidangan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta,termasuk BAP-BAP Kejaksaan Agung RI;Laporan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR/Commissao De Acolhimento, Verdade e Reconciliacao) dan; dokumen persidangan dan penyidikan yang dijalankan oleh panel khusus untuk kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili (SPSC/Special Panel for Srious Crimes-Panel Khusus untuk Kejahatan Berat) serta Unit Kejahatan Berat ( SCU/Serious Crimes Unit) di Dili, menemukan bahwa Pelanggaran  HAM berat terjadi di Timor-Timur.
Dalam Laporannya  ketika membicarakan  Partisipasi Pelaku Individual Komisi mengatakan :
“Tidak ada lembaga yang dapat berfungsi tanpa anggota atau tanpa kepemimpinan. Tindakan-Tindakan kelembagaan yang berujung pada kekerasan tahun 1999 merupakan puncak dari aksi-aksi individu yang turut serta dalam kekerasan. Sesungguhnya, setiap pelanggaran HAM tahun 1999 disebabkan oleh tindakan masing-masing individu. Akan tetapi penentuan tanggung jawab individual atau bahkan tanggung jawab komando, bukan tugas yang diamanatkan kepada komisi. Terlebih lagi pelaku-pelaku  individu dalam bentuk kekerasan terorganisasi dan termotivasi politik yang terjadi di Timor-Timur tahun 1999 bertindak dalam konteks kelembagaan. Seperti tersebut diatas, kekerasan tahun 1999 bukan merupakan sesuatu yang acak, terisolasi atau spontan.Sifat yang terorganisasi dan terkoordinasi menunjukan bagaimana masing-masing tindakan individu tertentu perlu dilihat dalam konteks kelembagaan lebih luas ketika peristiwa-peristiwa tahun 1999.”[4] berkembang. Konteks ini menjadi dasar untuk menilai tanggung jawab kelembagaan.

Dengan melihat apa yang diungkapkan oleh komisi Kebenaran dan persahabatan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya komisi mengetahui bahwa dalam hal adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, ada tanggung jawab individu yang melekat pada pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut, akan tetapi komisi tidak memasuki kajian tanggung jawab individu, karena komisi berpendapat bahwa persoalan tanggung jawab individu bukanlah kewenangan dari  komisi kebenaran dan persahabatan untuk membahasnya, sehingga komisi hanya menyatakan adanya tanggung jawab negara dalam kasus Timor-Timur 1999 tersebut.
Sehingga seandainya persoalan Timor-Timur sudah selesai bagi kedua negara yaitu Republik Indonesia dengan Timor Leste, maka tidak ada tanggung jawab individu, berarti kedua belah pihak telah memulai suatu babak dalam hubungan kedua negara kedepan dengan menerapkan impunitas dengan tidak meminta pertanggungjawaban terhadap individu pelaku  kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut.Karena prinsip utama dalam penyelesaian pelanggaran Berat Hak Asasi manusia adalah  penggantian kerugian yang dialami korban dan hukuman melalui pengadilan terhadap pelakunya, dan kedua belah pihak telah sepakat untuk menerima laporan komisi kebenaran dan persahabatan sebagai suatu proses akhir dalam penyelesaian konflik timor-timur tanpa membawa pelaku individu ke depan pengadilan yang berarti telah menerapkan impunitas sebagai landasan penyelesaian persoalan Timor-Timur.
Dalam kajian hukum, Pembunuhan adalah Delik Materil, Delik materil adalah delik yang dalam perumusannya terdapat akibat yang dilarang, karena ditemukan akibat  yang dilarang, maka   dicari perbuatan yang menjadi sebab dari timbulnya akibat, dalam hal ini andaikan ditemukan perbuatan yang menjadi sebab dari timbulnya akibat, misalkan menembak,menusuk dan lain sebagainya, baru kemudian dicari dan ditemukan  orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Ketika ditemukan orang tersebut seharusnya proses hukum berlanjut sejak penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Per Memoar ad Spem menghasilkan bahwa semua perbuatan individu tersebut diambil alih  tanggung jawabnya oleh negara. Bagaimana meletakan tanggung jawab tersebut pada  negara, dalam kaitannya dengan sangsi pidana yang harus diiberikan pada individu yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter tersebut.
Dalam hukum internasional, timbulnya tanggung jawab negara apabila terdapat internationally  wrongful act , sebagaimana yang terdapat dalam  pasal 1  Rancangan tentang Tanggung Jawab Negara atas Tindakan-Tindakan  Salah Secara Internasional (Draft Articles on Responsibility of States for International Wrongful ACT), yang dibuat oleh Internasional Law Commission, yang berbunyi  “Every Internationally Wrongful Act of State Entails the international responsibility of that state.[5]

Dalam hal adanya internasionally wrongful act maka negara bertanggung jawab atas kesalahan tersebut.
Akan tetapi menjadi tidak lazim dalam hukum internasional apabila tanggung jawab yang seharusnya melekat pada individu diambil alih oleh negara, dengan meniadakan tanggung jawab pidana pada individu.
Dalam hal negara meniadakan tanggung jawab pidana pada individu, maka negara telah melakukan impunity, yaitu ketidak mampuan negara untuk menghukum pelaku pelanggaran hukum khususnya hukum humaniter dan hukum hak asasi manusi.
Pada sisi lain apabila negara memutuskan untuk bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hukum humaniter yang terjadi , maka bagaimana menghukum negara secara pidana. Bukankah personifikasi  negara terletak pada individu-individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum humaniter tersebut.
Katakanlah sebagai wujud tanggung jawab negara, negara melakukan berbagai hal seperti kompensasi, rehabilitasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran  hukum humaniter, bagaimana dengan sangsi pidana yang umumnya terdapat dalam hukum pidana, baik hukum pidana nasional  maupun hukum pidana internasional seperti hukuman penjara. Sudah pasti negara tidak dapat dipenjara, keculai individu-individu yang merupakan personifikasi negara yang bisa bertanggung jawab di depan hukum baik  hukum pidana nasional, maupun hukum pidana internasional.
Peniadaan tanggung jawab individu merupakan suatu kemunduran dibidang hukum, terlepas dari kesepakatan para pihak untuk tidak meletakan tanggung jawab pidana pada individu dan membebankan tanggung jawab pada negara.
Pembebanan tanggung jawab pelanggaran hak asasi manusia pada negara, sekalipun diakui merupakan penyelesaian politik, tetapi jangan lupakan bahwa apa yang merupakan produk negara merupakan faktor pembuat hukum dan merupakan suatu contoh bagaimanan negara bersikap dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi.
Suka atau tidak suka dengan per memoar ad spem negara telah meletakan landasan impunity dalam proses bernegara. Dan hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang lazim dalam hukum internasional.
Per memoar ad spem tentunnya menimbulkan ketidakpuasan pada korban,tetapi pada para pelaku yang seharusnya bertanggung jawab tentunya akan merasa sangat setuju dengan proses penyelesaian yang direkomendasikan dalam per memoar ad spem, karena tidak memasukan tanggung jawab pidana pada individu sebagai rekomendasi  yang harus dilakukan negara.
Per Memoar ad Spem telah diterima oleh kedua negara, yaitu Timor Leste dan Indonesia. Dengan demikian persoalan Timor leste secara  kenegaraan sudah selesai dan kedua negara akan memulai langkah baru dengan melupakan masa lalu yang bisa dibaca sebagai lupakan masa lalu yang juga bisa diartikan bahwa tidak ada apa apa dengan  dengan masa lalu, bagaimana dengan tanggung jawab hukumnya baik hukum  pidananya, ataupun hukum pidana internasional yang berkaitan dengan pelanggaran hukum perang, kejahatan terhadap kemanusiaan,
Akhirnya permasalahan Timpr-Leste sudah selesai tetapi bukan tidak mungkin akan merupakan suatu persoalan  yang akan kembali  datang di kemudian hari  karena secara hukum masih meninggalkan persolan khususnya terhadap tindak pidana  yang berkaitan dengan hak asasi manusia, karena tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia tidak mengenal daluarsa.

“Komisi Kebenaran dan Persahabatan berdasarkan hasil Telaah Ulang Dokumen dan hasil analisis atas fakta-fakta yang telah diulas dalam temuan berdasarkan Kerangka Acuan 14 a (i) dan (ii), Komisi berkesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesimpulan Komisi ini juga didasarkan analisis bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi telah dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil. Jenis tindak kekerasan tersebut antara lain: (1) Pembunuhan; (2) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk; (3) Penahanan ilegal (4) Kekerasan seksual lainnya; (5) Penghilangan paksa; dan
(6) Perbuatan tak manusiawi lain, yaitu penghancuran dan pembakaran harta benda. Untuk dapat menyimpulkan bahwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi, Komisi pertama-tama melihat apakah kekerasan tersebut “diarahkan terhadap” warga sipil. Kekerasan ini dapat berupa segala bentuk kekerasan fisik, pemaksaan, ancaman, intimidasi, atau penghilangan kemerdekaan fisik. Warga sipil yang diserang harus dalam jumlah yang cukup untuk menunjukkan bahwa penyerangan tersebut tidak hanya ditujukan terhadap perorangan sipil dalam jumlah yang sedikit, terbatas, atau terpilih secara acak, namun sekelompok orang yang signifikan. Pemikiran dasarnya di sini adalah untuk menentukan apakah ada bukti kredibel mengenai penganiayaan atau penggunaan kekuatan, pemaksaan, atau kekerasan terhadap sejumlah substansial warga sipil. Jika kekerasan (1) diarahkan hanya terhadap sedikit warga sipil terpisah, atau (2) diarahkan terutama terhadap lawan militer yang sah namun terdapat beberapa warga sipil yang terbunuh dalam suatu insiden yang acak dan terpisah, maka ini tidak digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun di Timor Timur tahun 1999 dimensi politik konflik dan fokusnya pada jajak pendapat, jenis-jenis kejahatan dan status para korban, terutama penargetan warga sipil yang dipandang memiliki hubungan dengan keyakinan atau tujuan politik tertentu, secara jelas menunjukkan bahwa serangan terhadap penduduk sipil telah terjadi. Komisi berkesimpulan bahwa bukti mengenai hal ini sangat banyak dan definitif.
Selain temuan Komisi bahwa terjadi serangan terhadap penduduk sipil, penting juga untuk menentukan bahwa serangan tersebut bersifat “meluas atau sistematis.” Istilah “meluas” mencakup dimensi kuantitatif, cakupan, dan sifat serangan. Istilah “sistematis” terutama berkaitan dengan aspek kualitatif serangan dengan mengindikasikan misalnya, bahwa serangan tersebut bukan terdiri dari tindak kekerasan yang acak, terpisah dan individual, namun mencakup banyak tindakan dengan jumlah atau skala korban yang signifikan, atau terdapat pengorganisasian, perencanaan, koordinasi, atau kegiatan terpola. Di sini sekali lagi Komisi berkesimpulan bahwa bukti secara kuat menunjukkan serangan terhadap penduduk sipil di Timor Timur terjadi secara meluas maupun sistematis. Bukti ini mengindikasikan bahwa jumlah korban dan insiden, juga skalanya, cukup besar.
Bukti juga menunjukkan bahwa serangan sering menjadikan sasaran orang-orang yang dipandang memiliki afiliasi politik tertentu dan serangan ini terjadi berulang kali dalam rentang waktu, pada banyak tempat, serta mengikuti pola perbuatan yang terorganisasi.

           Dengan hasil dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste  yang tidak meletakan tanggung jawab pidana pada individu maka  Pemerintah Indonesia  telah melakukan impunity dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Timur, dan mengabaikan hak untuk mendapatkan remedy dari korban pelanggaran hak asasi manusia, dan beberapa ketentuan dalam hukum internasional berikut ini dapat  menjelaskan bahwa seharusnya Pemerintah Indonesia tidak melepaskan tanggung jawab pidana individu dari pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Timur.
         Hak untuk mendapatkan remedi atas pelanggaran hak asasi manusia merupakan cerminan dari hak asasi manusia yang bersifat universal. Sebagaimana disebutkan oleh Martha Meier:

“Impunitas adalah ketidakmampuan  de jure dan de facto, untuk membawa para pelaku kejahatan dan kekerasan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya  baik dalam  proses persidangan  pidana,perdata, administrasi atau disipliner karena mereka  tidak tunduk pada  penyidikan yang bisa mengarahkan  mereka  pada alasan mengapa mereka dituduh,ditangkap, diadili dan, jika ditemukan bersalah, dihukum dengan hukuman yang tepat, dan untuk  melakukan reparasi bagi para korban. “ [6]


Impunity dalam hukum internasional tidak dikenal, impunity adalah suatu keadaan dimana pelaku tidak terjangkau oleh hukum, dan negara tidak menghukum pelaku, sehingga pelaku tidak diminta pertanggungjawabannya atas pelanggaran HAM yang dilakukannya. Sebagai konsekuensi dari adanya hak tersebut, sebagai suatu hak yang bersifat universal, tentunya setiap pelanggaran hak asasi manusia, harus dilakukan proses remedy yang tidak saja meliputi proses peradilan atas pelanggaran HAM tersebut, tetapi juga dapat meliputi, rehabilitasi, restitusi dan kompensasi.
Latar belakang yang demikian penulis tertarik untuk menulis Implementasi Instrumen Hak Asasi Manusia dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dihubungkan dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia , karena dengan latar belakang yang penulis sampaikan diatas dalam pandangan penulis sistem perdilan  pidana Indonesia tidak mampu menjangkau pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia yang terlihat dari tidak adanya satupun terdakwa dari kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dijatuhi sanksi pidana.
Bebasnya seluruh terdakwa kasus pelanggaran HAM berat khususnya yang terjadi di Timor-Timur, mendorong segenap komponen masyarakat Indonesia khususnya  Pemerintah untuk mencari suatu solusi yang dapat menyelesaikan persoalan hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran ham  berat.
Komisi kebenaran dan rekonsiliasi menjadi pilihan sebagai suatu solusi yang mungkin dicapai sebagai suatu upaya untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya  pelanggaran ham berat yang terjadi di Indonesia, yang dalam pembentukannya yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari standarisasi HAM yang bersifat universal.
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor leste  yang diprakarsai oleh pemerintah kedua negara yaitu Indonesia dan Timor leste, dilakukan sebaga upaya untuk menyelesaikan persoalan Timor-Timur secara mendasar dan menyeluruh untuk mendapatkan penyelesaiaan menyeluruh dan untuk mendapatkan kebenaran yang fundamental mengenai apa yang terjadi di Timor-Timur Pasca jejak pendapat tahun 1999.
Penulis berpandangan hak asasi manusia yang universal dapat terjawab dengan melihat kepada bagaimana Indonesia menyelesaikan persoalan Hak Asasi Manusia yang dialaminya khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat, lebih khusus lagi bagaimana standarisasi hak asasi manusia yang universal diterapkan dalam kasus pelanggaran HAM berat, khususnya dalam kasus Timor-Timur sebagai ukuran universal dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Penelitian ini  melihat bahwa  Pengadilan HAM, Komisi Kebenarran dan Rekonsiliasi yang dalam tulisan ini digunakan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste merupakan bagian dari suatu sistem untuk menjawab persoalan pelanggaran HAM berat di Indonesia yang  tidak dapat dipisahkan dari sistem peradilan pidana, yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan  pelanggaran Hak Asassi Manusia di Indonesia dalam hal ini pelanggaran hak asasi manusia berat.
 Sebagaimana penulis sadari, tulisan yang membicarakan mengenai Hak Asasi Manusia sangatlah banyak, dalam penelitian ini peneliti hendak melihat suatu  rangkaian pemikiran mengenai hak asasi manusia, sejak  hak asasi manusia dipandang perlu untuk diatur dalam undang-undang dasar sebagai bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan kenyataan yang harus dihadapi ketika berhadapan dengan pelanggaran hak asasi manusia, serta mekanisme alternatif yang perlu dilakukan ketika  dirasakan mekanisme pengadilan hak asasi manusia dirasakan tidak memberikan jawaban atas persoalan hak asasi manusia, yang  diwujudkan dalam komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dengan memperhatikan standarisasi hak asasi manusia yang bersifat universal.
B. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini yang menjadi pokok permasalahan adalah :
1.      Bagaimana pengaturan tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia?
2.      Bagaimana Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dimaksudkan  untuk menemukan :  
1.      Pengaturan tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.
      2.   Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini diharapkan:
1.      Secara Teoritis mengembangkan disiplin hukum Hak Asasi Manusia yang diperkaya oleh hasil penelitian para peneliti dan pendapat para ahli terdahulu.
2.      Secara praktis memberikan sumbangan pemikiran mengenai  konsep  Asasi Manusia dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran
            Sebagai negara yang berdasarkan hukum, dimana salah satu pola yang harus ada didalam negara berdasarkan hukum adalah adanya penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, selain dari adanya mekanisme kelembagaan negara yang demokratis, adanya suatu tertib hukum dan adanya kekuasaan kehakiman yang bebas.[7] Indonesia juga mengatur hak asasi manusia dalam Konstitusinya dan perundang-undangan yang menunjukkan bahwa Indonesia memperhatikan persoalan hak asasi manusia dan bertanggung jawab atas penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Konsep hak asasi manusia yang dipergunakan oleh  Indonesia dalam mengatur hak asasi manusia baik dalam Konstitusinya ataupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain, idealnya sebagai konsep yang diikuti oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur secara teknis mengenai hak asasi manusia, atau terjadi perubahan konsep dalam pengaturan  yang terdapat pada peraturan perundang-undangan yang mengatur HAM.
Hak asasi manusia adalah suatu konsep yang sifatnya universal, idealnya  Konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia juga menggunakan konsep yang bersifat universal, tetapi  peraturan perundang-undangan seringkali menjadi sumber  perdebatan mengenai hak asasi manusia, yang mengurangi makna universal dari hak asasi manusia dikarenakan perbedaan pandangan mengenai hak asasi manusia, sehingga mengurangi makna  universal dari hak asasi manusia yang seharusnya dapat diterima oleh semua orang, karena HAM yang sifatnya universal tidak akan menimbulkan perdebatan.
Dalam peraturan perundang-undangan nasional terdapat peraturan perundang-undangan yang bermuatan hak asasi manusia ketika akan dikeluarkan atau sudah dikeluarkan menimbulkan perdebatan yang sangat kuat membicarakan mengenai peraturan perundangan tersebut, sebagai contoh konsep hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000  tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang  No 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berdasarkan keputusan mahkamah konstitusi  pada tanggal 7 Desember 2006  membatalkan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menunjukkan konsep yang berbeda dalam melihat persoalan hak asasi manusia di Indonesia.
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Republik Indonesia dan Timor Leste  dapat dijadikan  kajian penelitian dalam mencari jawaban konsep hak asasi manusia dan implementasinya dalam sistem hukum nasional  Indonesia.
Perbedaan dalam memandang  hak asasi manusia, tentunya dilandasi atas  perspektif berbeda terhadap  hak asasi manusia , yang dapat diartikan  terdapat perbedaan konsep mengenai hak asasi manusia
Hak  asasi manusia filosofinya adalah menjamin penghormatan  terhadap setiap orang, martabat dan kemerdekaan  manusia  dari semua bentuk  tindakan  yang tidak sesuai dengan harkat martabat manusia dalam  menjalankan hidupnya di masyarakat.[8]

Pemikiran mengenai hak  asasi manusia yang sifatnya universal diawali dengan situasi  dunia pada perang dunia kedua yang menimbulkan penderitaan yang sangat besar bagi masyarakat dunia sehingga mendorong perlunya tatanan universal yang mengatur masyarakat dunia agar lebih dapat menghormati hak  asasi manusia


Related Posts :

0 Response to "CONTOH MAKALAH HUKUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA"

Posting Komentar

wdcfawqafwef

BACKLINK OTOMATIS GRATIS JURAGAN.