Latar
Belakang dan Permasalahan
Menurut Anthony J. S. Reid, operasi Jepang untuk
menaklukkan Indonesia hanya memakan waktu dua bulan, Jawa jatuh pada tanggal 8
Maret 1942. Pemerintah Belanda, dengan segala kebanggaan akan sifat-sifatnya
yang kuat, praktis dan efisien, lenyap dalam sekejap. Bagi pihak militer Jepang
yang memerintah Indonesia, memenangkan perang merupakan prioritas di atas
segala pertimbangan yang semata-mata kolonial.[1]
Penjajahan Jepang di Indonesia, lebih bersifat strategis militer karena
Indonesia merupakan front terdepan
dalam menghadapi kekuatan Sekutu yang berpusat di Australia, oleh karena itu
pemerintahan Jepang di Indonesia merupakan pemerintahan pendudukan. Jepang
menduduki Indonesia dalam rangka Perang Dunia II. Dengan demikian, penjajahan
Jepang sangat berbeda dengan penjajahan Belanda.[2]
Situasi sebelum pendaratan Jepang di
ibukota Batavia (Jakarta) pada tanggal 5 Maret 1942 diumumkan sebagai “kota terbuka” yang berarti bahwa kota itu tidak akan dipertahankan oleh pihak
Belanda.[3]
Ketika tentara Jepang menyerbu Jawa Barat (1-8 Maret 1942), Purwakarta termasuk
salah satu daerah pertama yang di duduki oleh sebagian pasukan Jepang. Kantor
Asisten Residen di Purwakarta dijadikan HonbuKenpetai (Markas Polisi) Jepang,
namun demikian kemenangan Jepang dalam Perang Dunia II tidak berlangsung lama.
Pada tanggal 7 September 1944 di dalam sidang istimewa ke-85 Teikoku Ginkai (Parlemen Jepang) di
Tokyo mengumumkan tentang pendirian pemerintah Kemaharajaan Jepang, bahwa daerah
Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan merdeka “kelak di kemudian hari”.
Pernyataan tersebut di keluarkan karena semakin terjepitnya angkatan perang
Jepang. Situasi Jepang semakin buruk di dalam bulan Agustus 1944.[4]
Akhirnya, Perang Dunia II berakhir dengan menyerahnya Jerman kepada Sekutu di
Eropa, serta menyerahnya Jepang kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 sebagai
akibat dari dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika.[5] Dalam
situasi yang demikian pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atas nama
bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan.
Berita tentang proklamasi kemerdekaan
disebarkan ke seluruh Jawa dalam beberapa jam oleh para pemuda Indonesia
melalui kantor-kantor berita dan telegraf Jepang.[6]
Berita proklamasi ini tidak hanya disiarkan di dalam negeri saja tetapi juga ke
luar negeri. Penyiaran berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ke luar negeri
pada hari pertama disalurkan pula melalui Stasion Radio Pemancar Pos Telegraf
dan Telepon (PTT) di Dayeuh Kolot. Dinas Sejarah Kodam VI/Siliwangi Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) mengemukakan peristiwa penyiaran
berita proklamasi tersebut sebagai berikut:
”Pemancar Radio Bandung pulalah yang pertama kali
mengumandangkan ”station call” bertandas-tandas
”Radio Republik Indonesia”. Kelompok Sakti Alamsyah antara lain Hasyim Rakhman,
Sofyan Ju, Sam Amir, Abdul Razak, Nona Odas Sumadilaga, R. A. Darya, Sutarno
Brotokusumo dan lain-lainnya, menyiarkan proklamasi kemerdekaan bangsa
Indonesia pada malam itu juga tanggal 17 Agustus 1945, yakni pada pukul
19.00-20.00-21.00 waktu Jawa, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris untuk
kemudian ditutup dengan lagu ”Indonesia Raya” yang pada waktu itu belum lagi
diresmikan menjadi lagu Kebangsaan Indonesia. Pada dasarnya kelompok ini sudah
memegang senjata di tangan dan menduduki gedung radio tersebut. Selanjutnya
dengan bekerjasama dengan kelompok PTT yang menangkap dan menghubungkan siaran
tersebut malalui pemancar bergelombang pendek, tersiarlah Proklamasi 17 Agustus
1945 itu ke seluruh dunia pada hari itu juga di Bandung.”[7]
Setelah proklamasi kemerdekaan,
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang sebanyak tiga
kali. Pada sidang PPKI yang ketiga salah satunya membahas mengenai Badan
Keamanan Rakyat (BKR).[8]
Hal itu antara lain merupakan respon atas perkembangan situasi sesudah
proklamasi di mana banyak terjadi pertempuran dan bentrokan antara
pemuda-pemuda Indonesia melawan aparat kekuasaan Jepang. Tujuannya adalah untuk
merebut kekuasaan guna menegakkan kedaulatan Republik serta untuk memperoleh
senjata.[9]
Usaha-usaha yang pada mulanya hanya bersifat perorangan untuk merebut senjata
tentara Jepang, kemudian meningkat menjadi gerakan massa yang teratur untuk
melucuti kesatuan-kesatuan tentara Jepang setempat. Selanjutnya gerakan itu
lebih meningkat dengan pengambilalihan kekuasaan sipil dan militer beserta
alat-alat perlengkapannya, yang diikuti dengan gerakan menaikkan Sang Merah
Putih[10]
dan meneriakkan pekik merdeka, sambil menurunkan bendera Hinomaru.[11]
Pertempuran dengan Jepang juga terjadi
di ibu kota Jawa Barat, Bandung. Pertempuran diawali oleh usaha para pemuda
untuk merebut Pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas Artilleri Constructie Winkel (ACW).[12]
Perebutan pabrik senjata dan mesiu ini dipelopori oleh Angkatan Muda Pos,
Telegraf dan Telepon (AMPTT) di bawah pimpinan Soetoko dan Nawawi Alif. Dalam
bukunya yang berjudul Bandung Lautan Api,
Suwarno Kartawiriaputra menyaksikan peristiwa tersebut sebagai berikut:
”Salah satu sasaran yang amat penting ialah
perebutan Pabrik Senjata dan Mesiu (PSM) di Kiaracondong. Pada tanggal 9
Oktober 1945 sebanyak 40 orang pemuda dengan kendaraan bus berangkat ke
Kiaracondong. Mereka ialah para pemuda PTT di bawah pimpinan Soetoko dan Nawawi
Alif”.[13]
Kekuatan asing berikutnya yang harus
dihadapi oleh Republik Indonesia (RI) adalah pasukan-pasukan Sekutu yang telah
keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia II. Mereka bertugas untuk kembali
menduduki wilayah Indonesia dan melucuti tentara Jepang, tugas tersebut
dilaksanakan oleh Komando Asia Tenggara atau South East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord
Louis Mountbatten. Ia kemudian membentuk suatu komando khusus yang diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI).[14]
Tentara Sekutu mendarat di Jakarta
pada tanggal 29 September 1945 di bawah pimpinan Sir Philip Christison.
Pendaratan kemudian dilakukan di Padang, Medan, dan Bandung pada tanggal 13
Oktober 1945 serta di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945.[15]
Tugas tentara Sekutu di Indonesia, antara lain: (1) Menerima penyerahan resmi
dari pihak Jepang, kemudian melucuti dan memulangkan tentara Jepang ke
negerinya; (2) Menyelamatkan, memberikan bantuan serta mengevakuasi Allied Prisoners-of-War and Internees (APWI)[16];
(3) Mengambil alih wilayah yang diduduki Jepang; (4) Mengusut dan menuntut
penjahat-penjahat perang; (5) Menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah yang
diambil alih.[17]
Sebelum mendarat di Indonesia, pada
tanggal 26 September, Sir Philip Christison kepada wartawan Reuter di Singapura
mengatakan:
“Tugas tentara Inggris di Indonesia hanyalah
melucuti senjata tentara Jepang dan menerima tawanan dan tahanan rakyat Sekutu.
Mereka tidak mempunyai tugas-tugas politik di Indonesia.”[18]
Kedatangan Sekutu semula disambut
dengan sikap terbuka oleh pihak Indonesia, akan tetapi setelah diketahui bahwa
pasukan Sekutu datang dengan membawa orang-orang Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang hendak
menegakkan kembali kekuasaan kolonial Hindia Belanda, sikap Indonesia berubah
menjadi curiga dan kemudian bermusuhan. Situasi dengan cepat memburuk setelah
NICA mempersenjatai kembali bekas KoninklijkNetherlands-Indisch Leger (KNIL) yang baru dilepaskan dari tahanan Jepang.
Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya, dan Bandung mulai memancing
kerusuhan dengan cara mengadakan provokasi.[19]
Sementara itu, Christison menyadari
bahwa usaha pasukan-pasukan sekutu tidak akan berhasil tanpa bantuan Pemerintah
RI sehingga Christison bersedia berunding dengan Pemerintah RI dan pada tanggal
1 Oktober 1945 mengeluarkan pernyataan yang pada hakikatnya mengakui de facto negara RI.[20]
Pernyataan tersebut berbunyi:
”The
NRI...will be expected to continue civil administration in the area outside
those accupied by British forces”. (NRI...diharapkan terus melangsungkan
pemerintahan sipilnya di daerah-daerah yang tidak di duduki oleh
pasukan-pasukan Inggris).[21]
Sejak adanya pengakuan de facto terhadap Pemerintah RI dari
Panglima AFNEI itu, masuknya pasukan Sekutu ke wilayah RI diterima dengan lebih
terbuka oleh pejabat-pejabat RI karena menghormati tugas-tugas yang
dilaksanakan oleh pasukan-pasukan Sekutu. Christison juga menegaskan bahwa ia
tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut status kenegaraan Indonesia.
Namun kenyataannya adalah lain: di kota-kota yang didatangi oleh pasukan Sekutu
sering terjadi insiden, bahkan pertempuran dengan pihak RI karena
pasukan-pasukan Sekutu itu tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia.[22]
Pada tanggal 22 Agustus 1945 telah
dibentuk suatu Badan Keamanan Rakyat yang bertugas untuk mengamankan negara,
namun dengan adanya pendaratan Sekutu yang diboncengi NICA maka untuk
menghadapinya dirubahlah BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal
5 Oktober 1945. Pada tanggal 7 Januari 1946 diganti menjadi Tentara Keselamatan
Rakyat (TKR), kemudian 25 Januari 1946 dirubah menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI), terakhir pada tanggal 3 Juni 1947 menjadi Tentara Nasional
Indonesia (TNI).
Pada tanggal 15 November 1946
ditandatangani persetujuan Linggarjati yang berisi 17 pasal. Draft persetujuan tersebut tidak segera
mendapat pengesahan yang mulus, baik di pihak Republik maupun di pihak Belanda.
Pada 20 Desember 1946, Tweede Kamer
di Belanda meratifikasi persetujuan Linggarjati setelah dilakukan voting dengan
suara 65 lawan 30. Tanggal 25 Februari 1947, Badan Pekerja-Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-Sementara,
bersidang di Malang guna membahas persetujuan Linggarjati. Sebagian besar yang
hadir adalah pengikut Perdana Menteri Sutan Syahrir, dan terhadap para
penentang persetujuan tersebut dilancarkan berbagai tekanan. Bahkan dalam rapat
pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Wakil Presiden Hatta mengancam,
bahwa Sukarno-Hatta akan mengundurkan diri apabila persetujuan Linggarjati
tidak disahkan. Akhirnya Syahrir berhasil memuluskan pengesahan KNIP atas
persetujuan Linggarjati. Pada 25 Maret 1947 persetujuan Linggarjati
ditandatangani oleh Pemerintah RI dan Pemerintah Belanda di Istana Gambir
(sekarang Istana Merdeka), Jakarta.[23]
Pada tanggal 21 Juli 1947 pihak
Belanda melancarkan agresi militer I terhadap daerah RI sebagai pengkhianatan
terhadap perjanjian Linggarjati. Untuk menguasai Jawa Barat, Belanda
mengerahkan dua divisi tentaranya, dengan dugaan bahwa mereka akan mendapat
perlawanan yang cukup gigih dari Siliwangi. Setelah agresi militer I itu
dihentikan kembali diadakan perundingan di atas kapal laut Renville yang kemudian naskah perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Pada saat itu
masyarakat Jawa Barat, termasuk Purwakarta, kehilangan pelindung karena dengan
adanya perjanjian tersebut maka pasukan Siliwangi diharuskan untuk hijrah ke wilayah
Jawa Tengah.
Stabilitas politik pemerintah
Indonesia yang tergoncang karena adanya peristiwa Madiun dipergunakan oleh
Belanda untuk melancarkan agresi militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Pagi-pagi
angkatan perang Belanda menyerbu Yogyakarta sebagai ibu kota RI yang kemudian jatuh
ke tangan mereka.[24]
Hal ini terjadi karena pihak Belanda beranggapan bahwa RI tidak mengakui adanya
gencatan senjata dan persetujuan Renville.
Dalam rangka menegakkan dan mempertahankan
kemerdekaan RI hampir segenap komponen bangsa dari berbagai daerah di Indonesia
ikut berpartisipasi secara aktif. Demikian pula di daerah Purwakarta di mana masyarakat
Purwakarta ikut serta terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang
telah lama dinantikan sampai akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI pada
tanggal 27 Desember 1949.
Zaman revolusi kemerdekaan, Purwakarta
menjadi salah satu daerah perjuangan dalam upaya mengusir penjajah Jepang dan
menghadapi tentara Sekutu dan Belanda (NICA) yang mengambil alih kekuasaan
Jepang. Gejolak perjuangan di Purwakarta untuk mempertahankan kemerdekaan makin
meningkat setelah berdirinya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID), dan BKR
Komandemen I-Jawa Barat.[25]
Dalam gejolak perjuangan itu, kemudian
dibentuk TKR Komandemen I di tingkat provinsi Jawa Barat. Semula komandemen itu
berkedudukan di Tasikmalaya, namun dipindahkan ke Purwakarta dengan
pertimbangan komandemen itu harus dekat dengan kedudukan pemerintah pusat dan
mengingat daerah Purwakarta menjadi basis perjuangan, maka kedudukan TKR
Komandemen I-Jawa Barat dipindahkan ke Purwakarta.[26]
Dengan melihat latar belakang di atas,
maka terdapat beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana jalannya revolusi fisik di Purwakarta
dan kekuatan-kekuatan apa saja yang terbentuk atau muncul dan kemudian berperan
dalam revolusi tersebut?
2. Bagaimana bentuk dan perlawanan yang ditempuh
selama berlangsungnya revolusi tersebut dan mengapa demikian?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh, sehingga
ditempuh bentuk perlawanan tertentu oleh masyarakat Purwakarta?
B. Ruang
Lingkup
Penulisan skripsi dengan judul Revolusi Fisik di Purwakarta: PerananMasyarakat dalam Mempertahankan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 dibatasi oleh tiga lingkup atau batasan, yaitu
lingkup spasial, lingkup temporal, dan lingkup keilmuan. Penentuan ruang
lingkup yang terbatas dari studi sejarah bukan saja lebih praktis dan lebih
mempunyai kemungkinan untuk diteliti secara empiris, tetapi juga secara
metodologis lebih bisa dipertanggungjawabkan.[27]
Ruang
lingkup spasial adalah batasan yang didasarkan pada kesatuan wilayah,
daerah atau tempat objek penelitian yang diteliti. Pengambilan daerah tertentu
dalam hal ini Purwakarta merupakan daerah geografis yang terbatas untuk
menunjukkan peristiwa yang bersifat lokal.[28] Diharapkan
dengan penulisan sejarah lokal ini akan tampak peranan dari bangsa Indonesia
sendiri dan dengan demikian dapat dipenuhi tuntutan yang timbul dari perspektif
Indonesiacentris, karena menempatkan
peranan bangsa Indonesia sendiri sebagai fokus proses sejarah.[29]
Adapun alasan lain penelitian ini
karena Purwakarta yang secara geografis berdekatan dengan Jakarta ikut andil dalam
persiapan proklamasi kemerdekaan RI dan Purwakarta juga merupakan basis
perjuangan utama sejak Komandemen I Jawa Barat dipindahkan ke Purwakarta pada
20 Oktober 1945.
Ruang lingkup temporal merupakan
batasan waktu yang telah ditentukan untuk menjadi objek penelitian. Dalam
penulisan skripsi ini penulis mengambil batasan waktu tahun 1945 sampai tahun
1949. Diawali pada tahun 1945 karena pada saat itu Indonesia baru saja
diproklamasikan sebagai negara merdeka namun masih menghadapi berbagai
tantangan yang berat terkait dengan eksistensi kekuatan dan kekuasaan asing,
sedangkan diakhiri tahun 1949 karena adanya Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
intinya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Selama periode tersebut berbagai
komponen masyarakat Purwakarta ikut berperan dalam menegakkan dan
mempertahankan kemerdekaan negara RI.
Sesuai
dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini, maka lingkup keilmuan
skripsi ini termasuk dalam kategori sejarah politik. Dalam hal ini sejarah
politik mengkaji segala persoalan yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan
beserta konflik-konflik dalam aneka bentuk yang terjadi antara Indonesia dan
Belanda. Politik adalah ilmu yang mempelajari suatu segi khusus dari kehidupan
masyarakat yang menyangkut soal kekuasaan. Tumpuan kajiannya terhadap daya
upaya memperoleh kekuasaan, usaha mempertahankan kekuasaan, penggunaan
kekuasaan tersebut dan juga bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan.[30]
C.
Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan
tinjauan terhadap beberapa pustaka. Tinjauan pustaka memuat uraian mengenai isi
pustaka secara ringkas, penjelasan tentang relevansi antara buku yang ditinjau
dengan penelitian yang dilakukan sekaligus menunjukkan perbedaannya.[31]
Tinjauan pustaka pada penulisan
skripsi ini diawali dengan buku yang berjudul Sejarah Purwakarta karangan A. Sobana Hardjasaputra.[32]
Pada bagian awal buku ini dijelaskan mengenai kondisi umum Purwakarta yang
dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa wilayah Purwakarta memiliki
berbagai potensi, baik potensi alam maupun potensi sosial-ekonomi dan budaya.
Kondisi tersebut merupakan hasil proses berkesinambungan dari masa-masa
sebelumnya.
Secara garis besar bagian-bagian dalam buku
ini dipisahkan menjadi dua periode, yaitu masa penjajahan dan masa kemerdekaan.
Masa penjajahan mencakup masa Kompeni/Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC), masa Hindia-Belanda, dan masa pendudukan
Jepang. Untuk masa kemerdekaan mencakup masa revolusi kemerdekaan, masa
Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), dan masa Orde Baru.
Terdapat beberapa aspek yang menjadi
isi atau substansi dari masalah yang dijelaskan, yaitu aspek pemerintahan
termasuk politik, dan aspek sosial-ekonomi mencakup penduduk, ekonomi dan
sosial-budaya. Aspek yang disebutkan terakhir mencakup pendidikan, agama, dan
kesenian. Aspek-aspek tersebut diuraikan dan dibahas berdasarkan data yang
diperoleh, baik dari sumber primer maupun sekunder yang cukup akurat. Relevansi
buku ini dengan tema yang diteliti ialah dalam buku ini menguraikan mengenai
kondisi dan situasi Purwakarta dengan lengkap, terutama pada bab IV yaitu
tentang masa kemerdekaan yang menyoroti peristiwa di Purwakarta pada saat
proklamasi kemerdekaan hingga perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Di
sini dijelaskan bahwa pada saat itu berita tentang proklamasi kemerdekaan
disambut dengan suka cita oleh masyarakat Purwakarta, di samping itu
masyarakatnya juga mempunyai kesadaran untuk mempertahankan kemerdekaan serta
melakukan perlawanan terhadap Tentara Jepang yang saat itu sebagian besar masih
berada di wilayah Purwakarta. Akan tetapi terdapat sedikit kekurangan yaitu
tidak menjelaskan secara terperinci tentang lahirnya organisasi-organisasi
militer maupun semi militer yang terdapat di Purwakarta
Pustaka yang kedua ialah karya Drs.
Djunaedi A. Sumantapura, buku ini juga berjudul Sejarah Purwakarta yang terdiri dari tujuh jilid buku.[33]
Masing-masing buku menggambarkan keadaan Purwakarta yang saling berkaitan satu
sama lain. Dari ketujuh buku tersebut terdapat dua buku yang relevan dengan
tema yang diangkat, yaitu buku jilid kedua dan jilid ketiga.
Buku jilid kedua menjabarkan kondisi
dan situasi yang terjadi di Purwakarta antara tahun 1942 sampai 1947, yang mana
pada tahun tersebut dibahas mengenai keadaan Purwakarta pada masa pendudukan
Jepang, persiapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga pada keadaan
Purwakarta menjelang Agresi Militer Belanda I. Dalam buku ini dijelaskan bahwa
selama masa pendudukan Jepang, masyarakat Purwakarta hidup serba kekurangan
tetapi mereka mempunyai semangat kebangsaan yang kuat untuk menjadi bangsa yang
merdeka. Hal tersebut dapat dilihat bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, sama seperti di daerah lainnya di Purwakarta juga terjadi pelucutan
senjata dan perlawanan terhadap tentara Jepang yang dilakukan oleh para pemuda,
kemudian didirikan pula lembaga-lembaga pemerintahan dan badan-badan perjuangan
seperti BKR, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Hisbullah, Angkatan
Muda Indonesia (AMI), dan Tentara Republik Indonesia Kereta Api (TRI KA).
Meskipun dalam buku ini menjelaskan tentang adanya badan-badan perjuangan,
namun hal tersebut tidak dipaparkan secara menyeluruh sehingga hal tersebut
menjadi salah satu kekurangan dalam buku ini.
Dalam bukunya, Djunaedi juga menyoroti
berbagai peristiwa mejelang Agresi Militer Belanda I, di mana terjadi berbagai
peristiwa seperti serangan ke markas Belanda, penghadangan konvoi Tentara
Belanda yang akan menuju Ibukota Jawa Barat, dan adanya peran serta rakyat
Purwakarta dalam serangan-serangan umum yang bertujuan untuk melindungi wilayah
Purwakarta dan sekitarnya.
Buku jilid ketiga[34]
merupakan lanjutan dari buku jilid kedua, yang membahas mengenai keadaan dan
peranan masyarakat Purwakarta dalam Agresi Militer Belanda I sampai Agresi Militer
Belanda II, dijelaskan bahwa pada saat itu terjadi serangan ke berbagai daerah
di Purwakarta yang dilakukan oleh Tentara Belanda seperti di Rancadarah,
Plered, Pasawahan, dan sebagainya, di mana pada saat bersamaan TNI, Badan-badan
Perjuangan, dan Pemerintah Sipil RI telah pergi mengungsi ke hutan. Pada saat
TNI diharuskan hijrah ke Jawa Tengah, di Purwakarta dibentuk suatu oraganisasi
militer yang disebut TNI FieldPreparation Barisan Hitam/88 (TNI FP BH/88), anggotanya berasal dari TNI
yang tidak ikut hijrah ke Jawa Tengah.
Dalam buku ini dijelaskan pula mengenai
pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949, sampai pada perayaan
Kemerdekaan RI yang kelima di Purwakarta. Buku ini baik sebagai bahan bacaan
penambah pengetahuan, namun sayangnya tidak ditulis dalam bentuk penulisan
ilmiah sebagaimana karya ilmiah lainnya. Selain itu, meskipun buku ini membahas
mengenai peranan masyarakat Purwakarta dalam mempertahankan dan menegakkan
kemerdekaan akan tetapi terdapat perbedaannya dengan skripsi ini, di mana
penulis akan berusaha untuk mengembangkan lagi mengenai peranan masyarakat di
Purwakarta pada masa revolusi fisik
Pustaka ketiga berjudul Mari Bung, Rebut Kembali karangan R. H.
A. Saleh.[35] Secara garis besar buku
ini menggambarkan tentang fase-fase penting dari perjalanan korps Siliwangi
serta peranannya. Dalam buku dipaparkan mengenai sejarah awal pembentukan
organisasi ketentaraan di Jawa Barat sebelum dideklarasikannya Divisi
Siliwangi. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa penataan atau manajemen organisasi
ketentaraan masih belum stabil dan mantap. Keadaan ini mencerminkan pula
kebijakan pemerintah RI yang pada waktu itu masih mencari bentuk organisasi
ketentaraan yang tepat.
Di dalam masa pencarian bentuk organisasi
itulah, pernah lahir suatu organisasi kemiliteran yang dikenal dengan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR). Dalam masa pembentukan TKR inilah kemudian diputuskan
untuk membagi teritori pulau Jawa menjadi tiga Komandemen, yaitu Komandemen
I-Jawa Barat (Mayjen Didi Kartasasmita/mantan KNIL), Komandemen II-Jawa Tengah
(Mayjen Suratman/mantan KNIL), dan Komandemen III-Jawa Timur (Mayjen
Mohamad/mantan Pembela Tanah Air (PETA). Ketiga Kepala Komandemen itu diangkat
berdasarkan surat pengangkatan pada tanggal 19 Desember 1945 No. 44/MT, yang
ditandatangani oleh Letjen Urip Sumohardjo, Kepala Markas Besar Umum TKR.
Buku ini sangat relevan dengan tema
yang diteliti karena di dalamnya dipaparkan mengenai Komandemen I-Jawa Barat. Terdapat
alasan mengapa masa Komandemen ini begitu istimewa dan perlu dituliskan, karena
dari ketiga Komandemen tersebut, hanya Komandemen I-Jawa Barat yang berhasil
dibentuk, selain itu dalam masa Komandemen yang hanya berumur tujuh bulan ini
telah terjadi peristiwa-peristiwa heroik seperti Bandung Lautan Api,
Pertempuran di Karawang-Bekasi, Kepahlawanan para Kadet Akedemi Militer
Tangerang dalam Peristiwa Lengkong, serta Penghadangan terhadap Konvoi Sekutu
dan Belanda. Markas Komandemen I-Jawa Barat pada awalnya berada di kota
Tasikmalaya dengan alasan bahwa kota tersebut secara taktis militer lebih cocok
dari pada Bandung, namun pada perkembangannya markas Komandemen I-Jawa Barat
dipindahkan ke Purwakarta yang dianggap strategis karena berada dekat dengan
Pemerintah RI di Jakarta.
Dalam perjalanan selama periode pada
tahun 1945 hingga 1946, Komandemen I telah dihadapkan pada musuh-musuh yang
sangat tangguh, mulai dari tentara Jepang, tentara Sekutu (Inggris) dan tentara
Belanda, serta berbagai unsur-unsur kekuatan politik di dalam negeri (internal)
yang memunculkan gejolak-gejolak sosial yang menambah pekerjaan rumah
Komandemen I. Pada bagian akhir buku ini ditutup dengan gambaran situasi Jawa
Barat saat proses perubahan atau peleburan dari Komandemen I menjadi Divisi I.
Kelemahan buku ini ialah kurangnya penjelasan mengenai peran serta masyarakat
dalam penunjang dan operasi Tentara Nasional Indonesia.
Pustaka terakhir berjudul Siliwangi
dari Masa ke Masa Jilid 1 karangan Sudjono Dirdjosisworo.[36]
Pada awal buku ini diuraikan mengenai sejarah singkat Prabu Siliwangi yang
merupakan Raja Pakuan Pajajaran yang memerintah selama 39 tahun (1474-1513).
Nama tokoh Prabu Siliwangi inilah yang sekarang diabadikan oleh KODAM VI
sebagai julukannya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa Barat. Bukanlah
sesuatu hal yang kebetulan belaka bahwa Siliwangi berhasil dalam pengabdiannya
sebagai abdi negara dan pembela rakyat, sehingga sebutan Siliwangi untuk
kesatuan TNI-AD di Jawa Barat ini merupakan penerus tokoh Prabu Siliwangi yang
pada masa pemerintahannya sangat termasyhur karena arif dan bijaksana serta
keberhasilannya dalam memajukan negara Kerajaan Pajajaran.
Buku ini banyak menyoroti tentang peranan dan pengalaman Tentara Siliwangi
dalam kurun waktu tiga tahun yaitu mulai tahun 1946-1949. Peranan dan
pengalaman tersebut terdapat dalam berbagai peristiwa yang ada di Jawa Barat
seperti pertempuran di Bekasi, Cileungsir, Sumedang, Karawang, Cikampek dan
sebagainya. Selain peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jawa Barat, dipaparkan
pula mengenai peranan tentara Siliwangi dalam Agresi Militer Belanda I, hijrah
dan long marchnya Tentara Siliwangi,
peranannya dalam membasmi Partai Komunis Indonesia (PKI)-Muso di Madiun hingga
pada Agresi Militer Belanda II. Selain itu, buku ini juga membahas sekitar
pembentukan Divisi Siliwangi yang sebelumnya berbentuk Komandemen I-Jawa Barat,
di mana pada mulanya anggota dari Divisi Siliwangi adalah pasukan-pasukan
bersenjata warga Jawa Barat yang dibentuk, disusun dan bergerak di Jawa Barat.
Buku ini relevan dengan masalah yang diteliti dalam penulisan skripsi ini
karena terdapat keterangan-keterangan yang dapat membantu untuk melengkapai
tentang peranan militer khususnya di wilayah Jawa Barat serta berisi tentang
pembentukan Komandemen I Jawa Barat yang wilayahnya meliputi Jawa Barat dan
Jakarta Raya. Komandemen I Jawa Barat ini membawahi 13 resimen yaitu Resimen I
Banten, Resimen II Bogor, Resimen III Sukabumi, Resimen IV Tengerang, Resimen V
Cikampek, Resimen VI Purwakarta, Resimen VII Cirebon, Resimen VIII Bandung,
Resimen IX Padalarang, Resimen X Garut, Resimen XI Tasikmalaya, resimen XII
Jatiwangi, dan Resimen XIII Sumedang.
Untuk Resimen VI Purwakarta pada saat itu berada dibawah pimpinan Letnan
Kolonel Sumarna, yang kemudian Resimen VI Purwakarta ini di masukkan ke dalam
Divisi II/Cirebon di bawah pimpinan Kolonel Asikin yang kemudian diganti oleh
Jenderal Mayor Abdulkadir. Kelemahan dari buku ini ialah kurangnya menyoroti
tentang peranan masyarakat Jawa Barat, serta tidak adanya tulisan mengenai
pertempuran maupun peristiwa heroik yang terjadi di Purwakarta, di samping itu
buku ini juga kurangnya menjelaskan tentang ke-13 Resimen yang dibawahi oleh
Komandemen I Jawa Barat.
D.
Kerangka Teoritis dan Pendekatan
Langkah yang sangat penting dalam membuat analisis
sejarah ialah menyediakan suatu kerangka pemikiran yang mencakup berbagai
konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu.[37] Di
samping itu, penggambaran terhadap suatu peristiwa sangat tergantung pada
pendekatan, yaitu dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang
diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan lain sebagainya. Hasil-hasil
pelukisannya akan sangat ditentukan oleh pendekatan yang dipakai.[38]
Penulisan skripsi ini akan mengkaji
mengenai revolusi fisik yang terjadi di Purwakarta dan peranan masyarakat dalam
mempertahankan kemerdekaan, dengan demikian akan dipakai suatu pendekatan dari
ilmu sosiologi dan ilmu politik. Pendekatan dari ilmu sosiologi dan ilmu
politik[39]
ini bertujuan untuk menganalisis tentang konsep konflik, revolusi, peranan dan
kepemimpinan.
Para sosiolog membedakan dua jenis
konflik yang masing-masing memiliki sebab yang berbeda dalam permunculannya.
Pertama, konflik yang bersifat destruktif, yaitu konflik yang disebabkan karena
adanya rasa kebencian dari mereka yang terlibat konflik. Kedua, konflik yang
fungsional, yaitu konflik yang menghasilkan perubahan atau konsensus baru yang
bermuara pada perbaikan.[40]
Secara harfiah konflik berarti
percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Konflik sebagai perselisihan
terjadi akibat adanya perbedaan, persinggungan, dan pergerakan. Ketika berfikir
tentang konflik, maka akan tertuju pada bayangan rasa sakit, penderitaan, dan
kematian yang muncul sebagai dampak dari kekerasan atau peperangan.[41] Teori
konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat merupakan
pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas dan menekankan
peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.[42] Menurut
Lewis Coser, konflik adalah perjuangan mengenai nilai serta tuntutan atas
status, kekuasan dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud
menetralkan, mencenderai atau melenyapkan lawan.[43]
Coser melihat konflik sebagai
mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif, atau
fungsi positif, dalam masyarakat. Coser membedakan dua tipe dasar konflik yaitu yang realistik dan non
realistik. Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat
material, seperti sengketa sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah
memperoleh sumber sengketa itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian,
maka konflik akan segera diatasi dengan baik. Konflik non realistik didorong
oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konflik
ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya.
Antara konflik yang pertama dan kedua, konflik yang non realistik lah cenderung
sulit untuk menemukan solusi konflik atau sulitnya mencapai konsensus dan
perdamaian. Bagi Coser sangat memungkinkan bahwa konflik melahirkan kedua tipe
ini sekaligus dalam situasi konflik yang sama.[44]
Dengan adanya konflik tersebut maka
timbul keadaan di mana suatu kelompok yang merasa tertekan atau tidak puas
terhadap sistim yang ada akan melakukan suatu perlawanan dengan tujuan untuk
merubah keadaan menjadi lebih baik yang menjelma dalam bentuk kekerasan
bersenjata seperti perang, pemberontakan atau revolusi.[45]
Revolusi dapat dilihat sebagai
loncatan dua tahap, pertama, loncatan
dari penjajahan ke alam merdeka, dan kedua,
loncatan dari masyarakat yang diwariskan oleh zaman penjajahan dan perang
kemerdekaan yang bertahun-tahun ke suatu masyarakat Indonesia yang modern,
adil, makmur dan mencerminkan kepribadian kita dan yang mempunyai swadaya untuk
perkembangan yang terus-menerus.[46]
Di Indonesia kata revolusi mempunyai makna yang khas. Kondisi politik, sosial
ekonomis, kebudayaan, menyebabkan pengertian revolusi itu erat hubungannya
dengan kemerdekaan. Tiada kemerdekaan tanpa revolusi, dan tiada revolusi tanpa
kemerdekaan.[47]
Pada waktu itu di Indonesia terjadi
suatu perubahan yang fundamentil dan dalam waktu yang singkat, yang bersifat
fundamentil ialah perubahan dari bangsa yang terjajah beralih menjadi bangsa
yang merdeka. Dengan sendirinya terjadi juga perubahan struktur dari
pemerintahan selama penjajahan ke alam struktur pemerintahan yang baru dari
bangsa yang merdeka. Semua berlangsung dalam waktu yang amat singkat.[48]
Dilihat dari sudut yang lain, yaitu
dari sudut kenegaraan, maka selama revolusi tersebut sebenarnya terjadi
peperangan antara negara Indonesia yang merdeka yaitu RI dan kerajaan Belanda
sebagai lawan, karena peperangan itu dilihat dari sudut Indonesia adalah
peperangan yang berhubungan untuk mempertahankan kemerdekaannya, maka ia
disebut perang kemerdekaan. Masa perang kemerdekaan ini berlangsung dari tahun
1945-1949. Pada akhir 1949 Belanda dengan resmi mengakui kedaulatan RI, dan
sesuai dengan istilah KMB disebut: Penyerahan Kedaulatan. Dalam perang kemerdekaan itu akhirnya Belanda lah
yang kalah dengan konsekuensi diadakannya KMB tersebut. Atas dasar pandangan ini
maka periode tahun 1945-1949 dinamakan periode ”perang kemerdekaan” atau ”Independence War”. [49]
Dalam revolusi juga sering menonjolkan
unsur-unsur kekerasan (violence), karena dalam suasana revolusi
memang ada kecenderungan untuk mem-”beres”-kan segala sesuatu melalui jalan
pintas, yang sering berarti mempergunakan kekerasan. Disebut juga unsur exaltation yang barangkali paling tepat
diterjemahkan dengan perkataan semangat atau jiwa revolusi.[50]
Suatu revolusi tidak terjadi begitu
saja, seolah-olah dia jatuh dari atas. Dalam suatu revolusi maka
kekuatan-kekuatan dan cita-cita yang telah lama tertekan dan terpendam muncul
kepermukaan, sering dengan disertai oleh kemarahan dan kadang-kadang keganasan.
Revolusi 1945 digerakkan oleh kekuatan-kekuatan dan cita-cita yang telah
berkembang selama pergerakan kebangsaan sejak permulaan abad ke 20 yang telah
memperoleh sifat-sifat yang lebih militan selama tahun-tahun pendudukan Jepang.[51]
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa
pada satu pihak Revolusi 1945 itu adalah reaksi dan penolakan terhadap
penjajahan Belanda dan juga terhadap pendudukan Jepang. Setelah berlangsung
perebutan kekuasaan terhadap Jepang, maka perhatian pemerintah pusat terutama
tertuju kepada penyelesaian revolusi nasional berhubungan dengan kembalinya
penjajah yang lama, Hindia-Belanda. Bagi perasaan golongan-golongan yang luas
di kalangan rakyat, revolusi ini bukan saja tertuju kepada pengenyahan
pegawai-pegawai dan swapraja yang sejak dahulu menjadi sendi-sendi dari
pemerintahan jajahan. Banyak pula rasa dendam orang-seorang yang diwariskan
oleh zaman yang lalu. Maka zaman revolusi dirasakan sebagai saat kesempatan
untuk membalas pula.[52]
Lahirnya revolusi Indonesia dan
keberhasilan dalam mengusir penjajah salah satunya adalah berkat adanya
kesadaran dan peranan masyarakat.[53]
Menurut Soerjono Soekanto, peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status).
Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya
maka dia menjalankan suatu peranan.[54]
Peranan juga merupakan bagian dari tugas utama yang harus dilakukan dan
terdapat sesuatu yang diharapkan orang lain melalui proses sosial, yaitu
hubungan timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama.[55]
Peranan masyarakat tentunya tidak
terlepas dari adanya peranan pemimpin. Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yang
dipimpin atau pengikut-pengikutnya). Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan
meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau sesuatu badan yang
menyebabkan gerak dari warga masyarakat. Kepemimpinan ada yang bersifat resmi (formal leadership) yaitu kepemimpinan
yang tersimpul di dalam suatu jabatan. Ada pula kepemimpinan karena pengakuan
masyarakat akan kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan.[56]
Suatu perbedaan yang
mencolok antara kepemimpinan yang resmi dengan yang tidak resmi (informal leadership) adalah kepemimpinan
yang resmi di dalam pelaksanaannya selalu harus berada di atas
landasan-landasan atau peraturan-peraturan resmi sehingga dengan demikian daya
cakupnya agak terbatas, sedangkan kepemimpinan tidak resmi mempunyai ruang
lingkup tanpa batas-batas resmi, karena kepemimpinan demikian didasarkan atas
pengakuan dan kepercayaan masyarakat.[57]
Hubungan konsep
kepemimpinan dengan penulisan ini ialah adanya peranan tokoh-tokoh pemuda dan
tokoh-tokoh masyarakat dalam organisasi perjuangan yang mengkoordinir masyarakat
untuk turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan. Konsep-konsep di atas cukup
relevan jika diterapkan dalam tema yang akan dikaji, mengingat pada waktu itu
Indonesia telah lama mengalami masa penjajahan yang akhirnya mengantarkan pada
suatu keadaan di mana masyarakat Purwakarta khususnya merasa tertekan dan
melakukan perlawanan yang juga didukung oleh pemerintah, kekuatan militer dan
kekuatan-kekuatan perlawanan rakyat sebagai ujung tombak.
E.
Metode Penelitian dan Penggunaan Sumber
Penulisan penelitian ini menggunakan metode
sejarah yaitu suatu perangkat aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang secara
sistematis dipergunakan untuk mencari atau menggunakan sumber-sumber sejarah
yang kemudian menilai sumber-sumber itu secara kritis dan menyajikan
hasil-hasil dari penelitian itu umumnya dalam bentuk tertulis dari hasil-hasil
yang telah dicapai.
Menurut
Louis Gottschalk, metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara
kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Dengan metode sejarah juga dapat
merekonstruksi sebanyak-banyaknya peristiwa masa lampau manusia.[58] Metode
penelitian sejarah kritis terdiri dari empat tahapan pokok yaitu heuristik,
kritik sumber, interpretasi fakta dan historiografi.[59]
Tahap
pertama adalah heuristik, berasal dari bahasa Yunani hueriskein artinya memperoleh.[60]
Heuristik merupakan suatu proses untuk mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah,
baik sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber-sumber yang dicari dan
dikumpulkan ialah sumber-sumber yang relevan dengan tema yang diteliti.
Sumber
primer penulisan ini berasal dari arsip-arsip dan dokumen-dokumen yang relevan,
serta surat kabar-surat kabar sejaman. Arsip-arsip tersebut baik yang tersimpan
di Arsip Daerah Jawa Barat, Arsip Nasional Republik Indonesia, perorangan,
maupun arsip yang tersimpan dalam dinas-dinas militer seperti Museum Wangsit
Mandala Siliwangi. Arsip secara keseluruhan merupakan bahan-bahan penting
sebagai pemberi informasi dasar tentang banyak aspek sejarah Indonesia modern,[61] sedangkan
beberapa surat kabar sejaman diperoleh penulis dari Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, surat kabar itu di antaranya Berita Indonesia, Merdeka, dan Asia Raya. Surat kabar tersebut
berisi tentang Sidang KNIP, Maklumat Pemerintah, dan peristiwa lainnya yang
dianggap relevan dengan penulisan skripsi ini.
Selain
itu untuk menunjang data yang diperoleh dari arsip-arsip maupun dokumen,
penulis juga mengadakan wawancara dengan informan yang terdiri dari tiga
kategori, yaitu: orang yang terlibat langsung dalam peristiwa (pelaku,
pendukung, pengikut), orang yang tidak terlibat langsung tetapi menyaksikan,
dan orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa, tetapi mendapat
keterangan dari orang yang terlibat dalam peristiwa. Wawancara dilakukan dengan
beberapa veteran dan tokoh masyarakat yang ada di Purwakarta, antara lain Rd.
Moch. Affandi Bratakusumah (Pemimpin Lasykar Buruh Purwakarta dan Ketua Markas
Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Purwakarta), Rd. Gar
Subagdja (Pemuda Pejuang dan Mantan Guru SMA Saba Siswa Purwakarta) dan
Djunaedi A. Sumantapura (Pemuda Pejuang dan Mantan Guru SMA N 1 Purwakarta).
Sumber
sekunder diperoleh melalui riset kepustakaan meliputi buku-buku karangan ilmiah
yang ditulis oleh para ahli yang relevan dengan masalah yang diteliti. Hal ini
berdasarkan pada pertimbangan bahwa melalui penelusuran dan penelaahan
kepustakaan, dapat dipelajari bagaimana mengungkapkan buah pikiran secara
sistematis dan kritis.[62]
Di samping itu data juga diperoleh dari internet dan majalah atau jurnal yang
terkait dengan permasalahan-permasalahan yang dikaji. Sumber sekunder digunakan
untuk membantu dalam melengkapi data yang tidak diperoleh dari sumber primer.
Tahap
kedua adalah kritik sumber yang terdiri dari dua macam kritik, yaitu kritik
ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern penting dilakukan guna mengetahui
otensitas atau keaslian sumber dan perlu atau tidaknya untuk mendukung
penulisan, sedangkan kritik intern penting untuk menentukan apakah sumber yang
digunakan kredibel, dapat dipercaya atau tidak. Kritik ini dilakukan terhadap
informasi yang diperoleh dari para informan, yang kemudian dibandingkan dengan
data dari berbagai sumber tertulis yang relevan dan telah diseleksi, begitu
pula sebaliknya dilakukan kritik dengan membandingkan data dari sumber tertulis
dengan keterangan yang diperoleh dari informan. Di samping itu, kritik juga
dilakukan terhadap berbagai arsip atau dokumen yang telah diperoleh, antara
lain seperti: peta, foto-foto dan sebagainya.
Tahap ketiga adalah interpretasi,
yaitu menafsirkan dan menyusun fakta-fakta sehingga menjadi keseluruhan yang
masuk akal dan relevan dengan masalah yang diteliti. Disini fakta disintesiskan
dalam bentuk kata-kata dan kalimat, sehingga dapat dibaca dan dimengerti.
Tahap yang terakhir adalah
Historiografi, yaitu proses penulisan kembali peristiwa sejarah, dalam tahap
ini fakta yang sudah disentesiskan dan dianalisis harus dipaparkan dalam bentuk
tulisan dengan menggunakan bahasa yang baik, sehingga dapat dipahami oleh
pembaca.
F.
Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan pembahasan penelitian ini
dibagi dalam lima bab, yaitu:
Bab I, merupakan pendahuluan yang
antara lain berisi latar belakang dan permasalahan, ruang lingkup, tinjauan
pustaka, kerangka teoritis dan pendekatan, metode penelitian dan penggunaan
sumber, serta sistematika penulisan.
Bab II, berisi tentang gambaran umum
daerah Purwakarta pada masa revolusi fisik, yang meliputi: kondisi geografis
dan kondisi masyarakat Purwakarta. Pada kondisi masyarakat ini akan diuraikan
mengenai kondisi sosial ekonomi, kondisi sosial politik, dan kondisi sosial budaya.
Bab III, membahas mengenai keadaan Purwakarta
pada masa awal Revolusi Kemerdekaan. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai
berita dan sambutan proklamasi kemerdekaan di Purwakarta, penngambil alihan
kekuasaan dari tangan Jepang, pembentukan BKR dan badan-badan perjuangan, serta
ditetapkannya Purwakarta sebagai markas Komandemen I-Jawa Barat.
Bab IV, mengemukakan tentang Revolusi
Fisik yang terjadi di Purwakarta, di mana terdapat peranan masyarakat Purwakarta
dalam menghadapi agresi militer Belanda I dan peranan masyarakat Purwakarta
dalam agresi militer Belanda II, serta keadaan Purwakarta setelah perang
kemerdekaan.
Bab V, merupakan penutup yang berisi
kesimpulan dari keseluruhan bab yang merupakan jawaban dari permasalahan yang
dikaji dalam skripsi ini.
0 Response to "DOWNLOAD CONTOH PENELITIAN SEJARAH INDONESIA"
Posting Komentar